Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.
Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.
Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu melihat sang bibik keluar dari pagar, Ni Wayan Kesumasari menghentikan laju motornya.
*(“Om Swastyastu, lakar luas kije, Bik Tut?"
Ni Wayan Kesumasari terbiasa memanggil sang bibik dengan nama kecilnya. Nama gadis dari Dadong Canangsari adalah I Ketut Sulastri.
(*“Om Swastyastu, lakar luas ke peken, Yan.”
(*“Mai, tyang antar ke peken.”
“Memang kamu mau ke mana?"
“Tyang akan ke Nusa Dua.”
Dadong Canangsari dengan hati-hati, naik ke atas motor. Sesaat setelah sang bibik siap di boncengan, Ni Kesumasari mengendarai motor dengan perlahan menyusuri jalan menurun menuju By Pass Nusa Dua. Sekitar lima belas menit kemudian, mereka telah sampai di depan pasar. Lapak Dadong Canangsari terletak di dekat pagar pasar. Wanita renta ini lalu turun dari motor, Ni Wayan Kesumasari ikut membantu menata barang dagangan Dadong Canangsari. Barang dagangan berupa canangsari beserta perlengkapannya ditata rapi di atas meja kecil. Setelah semua barang dagangan tersusun rapi, Ni Wayan Kesumasari bermaksud pamit diri, akan tetapi Dadong Canangsari mencegahnya.
“Yan, nanti sore bisa antar Bik Tut ke rumah Suri? Ada yang perlu cang omongkan ke kalian.”
Begitu mendengar omongan Dadong, Ni Wayan Kesumasari kaget sekaligus sedih. Teringat omongan sang bibik, beberapa tahun silam bahwa suatu saat Dadong meninggal, ilmu yang dimilikinya akan diwariskan pada salah satu perempuan pada garis keturunan keluarga besar. Ilmu ini adalah ilmu warisan turun temurun dari nenek moyang mereka. Sebuah perjanjian sesat telah diikrarkan dengan sang pemilik kegelapan, Sang Ratu Calon Arang.
Sekitar jam sebelas, Ni Wayan Kesumasari menjemput Dadong Canangsari ke pasar. Sang keponakan telah berpakaian rapi berjaket kulit, Ni Wayan Kesumasari sudah siap antar bibiknya ke Denpasar. Saat Ni Wayan Kesumasari sampai di depan pasar, Dadong sedang bersih-bersih meja jualan. Sisa barang dagangan ditaruh di dalam keranjang. Wanita renta itu dengan terbungkuk-bungkuk merapikan meja dan kursi ke dalam areal pasar agar tak kehujanan. Setelah selesai bersih-bersih Dadong Canangsari melihat sang keponakan telah memarkir motor.
“Yan.” Dadong Canangsari mendekatinya.
“Om Swasyastu, Bik Tut.”
“Om Swasyastu, Yan.” Sang keponakan turun dari motor, mencium tangan Dadong Canangsari.
(*“Payu jani ke jumahne Suri, Bik?”
(*“Payu Yan.”
Dadong Canangsari dengan hati-hati naik ke boncengan motor. Sang keponakan mengendarai motor perlahan demi menjaga keseimbangan Dadong. Mereka melewati jalan tengah hutan yang merupakan jalan pintas menuju ke rumah Dadong Canangsari. Setiba di rumah sang bibik, Ni Wayan Kesumasari menunggu di teras. Dadong Canangsari bergegas masuk rumah, untuk membersihkan badan. Beberapa menit kemudian, wanita renta itu sudah keluar dengan memakai sweater tebal dan lilitan syal pada leher.
“Mai, Yan, agak sore jalanan pasti macet.”
“Benar, Bik.”
Mereka segera beranjak naik motor, sesaat kemudian kendaraan yang mereka tumpangi melaju ke jalan raya. Motor melaju sedang, demi kenyamanan sang bibik. Rumah Wayan Suri—anak Dadong Canangsari—terletak di Jalan. Sedap Malam, memerlukan waktu empat puluh lima menit perjalanan dari Nusa Dua. Jalanan agak padat, ketika motor menyelusuri Jalan. Simpang Siur arah ke Sanur. Dadong Canangsari mempererat pegangan tangannya ke pinggang sang keponakan. Angin siang berembus kencang bercampur debu jalanan dan semakin pekat dengan asap dari kendaraan bermotor yang semakin lama makin padat.
Akhirnya sampai juga motor di depan rumah Wayan Suri, tapi bangunan baru style Bali itu terlihat sepi. Ni Wayan Kesumasari memarkir motor di bawah pohon jepun, sedang sang bibik berjalan ke arah pintu rumah.
‘Tok tok tok’
“Om Swastyastu!"
Terdengar suara TV dimatikan, tak lama kemudian bunyi langkah dari dalam rumah lalu tampak seorang wanita muda membuka pintu. Begitu tahu siapa yang datang, dia pun tersenyum gembira.
“Om Swastyastu! Mek? Dengan siapa ke sini?”
Wanita muda yang tak lain Wayan Suri, mencium tangan sang meme. Tampak Ni Wayan Kesumasari mendekat ke arah mereka, kedua wanita muda ini pun lalu berpelukan sesaat. Mereka bertiga melangkah masuk rumah. Dadong Canangsari meminta sang anak untuk mengunci pintu. Ada rahasia besar keluarga yang harus mereka jaga. Kemudian Dadong Canangsari menjelaskan keperluan kedatangan mereka tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seketika Wayan Suri kaget mendengar penjelasan dari sang meme. Setelah mendapat nasihat dari Dadong juga kakak sepupu, Wayan Suri mulai bisa tenang hatinya. Mereka segera mempersiapkan sebuah ritual persembahyangan di dalam salah satu kamar di rumah tersebut. Dadong Canangsari telah membawa semua keperluan ritual dari Nusa Dua.
Sebelum ritual dimulai, Dadong Canangsari mengajari tata cara pelaksanaan ritual yang akan mereka lakukan agar tak terjadi kesalahan. Akhirnya bertiga mulai melaksanakan tahapan ritual dengan khusuk. Suara anjing menggonggong dari kejauhan, makin lama terdengar makin mendekat. Anjing-anjing tersebut seakan mendapat panggilan, entah dari mana saja datangnya, bintang-binatang itu mengelilingi rumah Wayan Suri. Beruntung rumah berada di antara kebun kosong, jadi kedatangan anjing-anjing tersebut tak menarik perhatian orang. Hawa mistis makin terasa, berbaur dengan aroma dupa yang menyengat. Dengan alunan doa pemanggil, Sang Ratu didatangkan untuk menjadi saksi janji dari mulut mereka bertiga.
Sekitar dua jam ritual berlangsung, sebuah nama penerus sudah disebut dalam hati oleh Dadong. Akhirnya tunai sudah segala tahapan ritual. Ada buliran air bening dari mata ketiga wanita beda generasi ini, sesaat setelah ritual selesai. Mereka terdiam beberapa saat, ada rasa berat untuk melepas di antara mereka. Mulai hari itu Wayan Suri dengan Ni Wayan Kesumasari harus rela melepas kepergian Dadong Canangsari setiap saat. Meski wanita renta itu telah menjelaskan bahwa mereka harus terima takdir yang harus dijalani, kedua wanita muda di depannya masih sesengukan menuntaskan tangisan.
°°°°
Jejak kaki:
(*”Om Swastyastu, lakar luas kije, Bik Tut?”
”Om Swastyastu, akan pergi ke mana, Bik Tut?"
(*”Om Swastyastu, lakar luas ke peken, Yan.”
Om Swastyastu, akan pergi ke pasar, Yan."
(*”Mai, tyang antar ke peken.”
“Mari, saya antar ke pasar."
(*“Payu jani ke jumahne Suri, Bik?”
"Jadi sekarang ke rumahnya Suri, Bik?"
(*“Payu Yan.”
“Jadi Yan."
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu