Share

JEBAKAN MAUT

Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi hanya semalam menginap di rumah Sanur. Keesokan harinya, mereka sudah balik ke kontrakan di Nusa Dua.

Setelah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di Nusa Dua. Ni Luh Dewi masuk kerja sore hari, sedangkan Komang Wiratama sengaja tutup toko hari ini.

Komang Wiratama adalah seorang seniman tato, dia mempunyai tempat tato di daerah Legian.

Hari ini, Komang Wiratama ada booking service ke tempat pelanggan di Sidakarya.

*****

Setelah ganti baju, kedua pasutri ini duduk santai di teras rumah. Mereka mlelihat hilir mudik orang di depan rumah.

Komang tak bosan-bosannya mengelus perut sang istri. Tampak jelas raut kebahagiaan di wajahnya.

Perut Ni Luh Dewi dielus-elus sesekali digelitik tangan jahil Komang yang membuat sang istri menggeliat kegelian. 

"Bli Mang, geli tahu!"

Komang seakan tidak menghiraukan protes sang istri, terus saja menggelitik. Tiap Ni Luh Dewi menggeliat, dia terbahak.

"Hoek ... hoek ... hoek ...."

Ni Luh Dewi berlari ke dalam segera masuk kamar mandi.

Braakkk!

Terdengar dentuman pintu kamar mandi ditutup dari dalam.

Suara guyuran air di westafel terdengar dari luar. Komang segera menyusul sang istri ke dalam rumah. Rasa panik serta khawatir menyelimuti hatinya.

Tok ... tok ... tok!

Komang mengetuk pintu kamar mandi.

"Gek, kita ke dokter, ya."

"Hoek ... hoek ... hoek ...."

Beberapa saat kemudian, keran air dibuka lagi, terdengar air mengucur. Setelah keran air ditutup, pintu terbuka.

Wajah Ni Luh Dewi terlihat pucat pasi, badan sempoyongan. Komang memapah sang istri ke sofa. Ni Luh Dewi rebahan di atas sofa sambil memijat pelipis.

Komang bergegas mengambil kayu putih di kotak obat lalu mengoleskannya pada kedua pelipis, dada, serta perut sang istri.

Ni Luh Dewi mengambil posisi duduk, sementara kaki selonjor di atas sofa.

Komang mengambil segelas air dari dispenser segera diulurkan pada sang istri. Segelas penuh air tandas diminum sang istri.

"Gek, gimana ... udah agak enakan? Kita ke dokter sekarang, ya?" Komang bertanya lirih sambil duduk menghadap sang istri.

Komang meraih jari-jemari wanita yang telah dinikahi setahun lalu itu kemudian dikecupnya berkali-kali. Dalam batinnya, ingin dia saja yang menggantikan rasa sakit yang dialami Ni Luh Dewi. 

Sang istri menatap sendu pada Komang. Butiran bening menetes dari kedua matanya.

"Bli Mang, Gek sakit, keyel, mual terus."

Tangan Komang mengusap lembut, buliran bening di pipi sang istri. Dia ikut merasakan kesakitan yang dirasakan sang istri. Ia mengangkat tubuh sang istri lalu dinaikkan di pangkuan kemudian mendekap erat tubuhnya.

Ni Luh Dewi menyandarkan kepala pada dada bidang sang suami, merasakan detakan jantung yang memburu.

Badan Ni Luh Dewi berbalik menghadap pada sang suami, menunduk serta menempelkan telinga kanan pada dadanya.

Demi mendengar dag ... dig ... dug ... detakan jantung sang suami, membuatnya terkekeh.

"Kok tertawa? Ngapain, Gek?"

"Gek yang sakit ... Bli Mang yang deg-deg-an."

"Iya dong! Namanya cinta mati," jawab Komang meraih dagu Ni Luh Dewi, mengecup lembut bibir tipis sang istri, kemudian melepasnya pelan sembari menatap mesra mata Ni Luh Dewi.

"Gek, kita pergi periksa sekarang, ganti baju, ya!”

Ni Luh Dewi segera mematuhi perkataan sang suami. Wanita tinggi semampai ini melangkah ke arah kamar untuk berganti baju.

Komang melihat jam di dinding telah menunjukkan pukul dua siang. Padahal dia sudah ada janji dengan seorang pelanggan pada pukul empat sore. 

Komang Wiratama mengambil ponsel di atas nakas, ia segera menghubungi nomor pelanggan untuk meminta maaf. Pada hari ini belum bisa datang karena menemani istrinya ke dokter. Beruntung sekali sang pelanggan mau mengerti akan keadaannya. Schedule ulang disepakati besok sore.

Satu masalah sudah teratasi, lega rasanya di hati. Sambil menunggu Ni Luh Dewi ganti baju, dia menutup tirai serta jendela lalu bersiap memakai jaket.

Ni Luh Dewi keluar dari kamar, sudah berganti baju serta sehelai senteng mengikat pinggangnya. Dia mengunci pintu kamar, sesaat meletakkan dompet di atas nakas sekaligus mengambil sebuah canang dari dalam kulkas. 

Komang mengambil dupa sekaligus menyalakannya. Dupa ditaruh di atas canang, berdua melangkah ke Sanggah untuk memanjatkan Puja Trisandya pada Sang Hyang Widhi Wasa agar selalu diberi perlindungan dan kesehatan untuk mereka beserta janin yang sedang dikandung. Selesai ritual persembahyangan, Ni Luh Dewi melepas senteng serta mengambil dompet di atas nakas. 

Komang sudah bersiap di atas motor, Ni Luh Dewi  segera melangkah keluar rumah lalu mengunci pintu rumah. Dia beranjak naik ke atas boncengan motor, memegang erat lingkar pinggang sang suami.

"Sudah siap, Gek?"

"Sudah, Bli."

Motor mereka melaju ke luar dari mulut gang kemudian ikut berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.

"Bli, periksa ke Bu Bidan Yekti saja, ya!” Ni Luh Dewi agak berteriak karena suaranya bersaing dengan kebisingan jalan raya.

"Ya," sahut Komang Wiratama.

*****

Motor melaju ke arah Tanjung Benoa menuju tempat praktek Bu Bidan Yekti. Perjalanan hanya menempuh waktu sepuluh menit. Sesampai di tempat praktek Bu Bidan suasana masih sepi, mereka adalah pasien pertama yang datang. Mereka bersyukur bisa segera terlayani.

POV Dadong Canangsari.

Pagi ini jualan canang seperti hari biasanya. Tidak ada Rahinan, jadi tidak banyak pembeli yang datang. Sambil minum kopi, pandanganku menghadap ke jalan, berharap ada pembeli datang menghampiri. Tanpa sengaja kulihat pasutri muda yang kemarin lusa bertemu di Puskesmas. Mereka berboncengan motor, berbelok ke arah Bidan Yekti. Aku coba mendekati mereka, agar tahu berapa umur janin di dalam rahim wanita tersebut. Aku harus mencari waktu yang tepat untuk mengambil darah suci sang janin sebagai persembahan terbaik untuk Sang Ratu Kegelapan.

****

Sementara itu di ruang pemeriksaan Bidan Yekti.

Ni Luh Dewi sudah selesai diperiksa Bu Bidan. Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi duduk berhadapan dengan Bu Bidan.

"Bagaimana hasil pemeriksaan istri saya, Bu?"

"Pertumbuhan janin cukup bagus, pada masa trisemester awal memang biasa ada rasa mual. Nanti saya kasih obat anti mual, serta obat tambah darah, Oh ya ... selama kehamilan kalau ada keluhan apa pun konsultasikan dengan saya maupun dokter kandungan. Jangan pernah meminum obat sembarangan! Demi kesehatan janin dan Ibu."

"Terima kasih, Bu," ucap Ni Luh Dewi sembari menyerahkan uang pembayaran.

Mereka berdua pamit pada Bu Bidan. Setiba di teras depan ruang pemeriksaan, mereka bertemu dengan seorang Dadong pedagang canang. Wanita tua tersebut menghampiri mereka berdua.

"Gus, Gek, sepuluh ribu sebungkus."

"Bli Mang, beli, ya? Buat sembahyang besok pagi."

"Boleh," jawab sang suami sambil mengeluarkan motor dari parkiran.

"Beli satu bungkus, ya." Ni Luh Dewi menyodorkan selembar uang sepuluh ribu.

"Ini canangnya. Oh ya, hamil berapa bulan, Gek?"

"Tiga bulan, Dong."

"Ini, Gek. Dadong kasih jeruk, anggap hadiah untuk calon bayi, tidak usah bayar," ucap Dadong saat Ni Luh Dewi menyodorkan uang pembayaran jeruk.

"Suksma, Dong."

"Suksma mewali, Gek."

Pasutri ini pergi meninggalkan Dadong yang masih duduk di teras Bu Bidan.

POV Komang Wiratama.

Tyang merasa ada yang aneh dengan Dadong dagang canang tadi. Tatapan matanya tak lepas dari perut istriku.

Ada apa ya?

POV Ni Luh Dewi.

Mungkinkah, Bli Mang menyadari keanehan perilaku Dadong dagang canang tadi, ya? Apa cuma perasaan Gek saja yang terlalu sensi. Padahal ini jeruk yang biasa Gek beli di swalayan besar. Ini jeruk mahal, cuma dikasihkan saja. Katanya hadiah untuk bayiku yang ada di perut. Aneh, kami belum pernah ketemu sebelumnya.

Mereka berdua tidak tahu, bahwa di dalam jeruk yang mereka bawa, telah terisi mantra pelebur sukma.

•••○○○○●●●●□○○●○○○

Note:

*Bli Mang = Bli Komang/ Kak Komang.

*Gek/ Geg = Jegeg/cantik ( panggilan untuk wanita muda).

*Keyel = Capek

*Puja Trisandya = Doa Pemujaan untuk tiga Dewa (Brahma, Wisnu dan Syiwa)

*Sang Hyang Widhy Wasa = Tuhan

*Senteng = Selendang yang dililitkan ke pinggang dengan ikat simpul ke kiri

*Canang = Alat untuk persembahyangan berupa wadah dari janur (ceper) berisi bunga-bunga

*Sanggah = Tempat persembahyangan untuk kasta biasa

*Dong = Dadong (panggilan untuk nenek)

*Suksma = Terima kasih

*Suksma Mewali = Terima kasih kembali

*Tyang = Saya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status