Share

Jalu Anggara Sang Pengembara

“Kek …”

Arum Sari berbisik pada Ki Manggala yang buru-buru memberi isyarat untuk diam dengan mengacungkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Pendekar tua itu terlihat memusatkan perhatian dan mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya. Tangannya melakukan gerakan memutar lalu mengarahkan pada pohon-pohon raksasa yang mengelilingi pondok mereka.

Ki Manggala terkenal dengan jurus kesaktian mengaburkan pandangan musuhnya. Rupanya ia baru saja membuat benteng gaib di sekitar pondok mereka. Manusia biasa tak akan bisa menembus ke dalam karena tak akan bisa melihat mereka.

Pendekar Bunga sudah biasa menyaksikan pemandangan itu. Ia percaya gurunya akan semudah membalik telapak tangan menghadapi para pendatang asing. Namun, gadis itu jadi bertanya-tanya. Siapa mereka yang berani-beraninya datang ke hutan larangan yang terkenal angker ini? Pasti bukan orang biasa. Dia pasti orang yang nekat.

“Apa kalian menemukannya?” tanya seseorang di balik rimbun pohon besar.

“Maaf, Tuan. Kami tak bisa menemukannya. Kami sudah berputar-putar di tempat ini, tapi tak ada jejak seorang manusia pun.” Seseorang terdengar menjawab dengan takut-takut.

“Bodoh kalian! Dia hanya seorang gadis remaja. Kalian harusnya bisa menemukan dia!” ucap orang itu lagi dengan marah.

“Iya, Tuan. Jika benar yang dilihat Tuan seorang gadis, kami pasti bisa menemukannya. Akan tetapi … kalau dia bangsa lelembut, bagaimana kami bisa menangkapnya?” elak pengawal yang lain lagi.

“Dia bukan bangsa siluman. Dia manusia bisa. Aku kira juga tadinya dia hantu. Tapi lihat, dia meninggalkan ini di tepi sungai. Ini milik seorang wanita!” Suara pemuda itu kembali bersikukuh bahwa ia melihat seorang manusia, bukan makhluk jadi-jadian.

Arum Sari meraba dadanya dan seketika mukanya memerah. Malu sekaligus marah. Pemuda itu telah merobek-robek rahasia pribadinya.

“Apa yang kau tinggalkan di sungai, Arum?” tanya Ki Manggala ikut penasaran. Ia tahu muridnya itu cerdas tapi adakalanya ceroboh.

“Ehm, anu … tidak, aku tidak meninggalkan apa-apa,” ucap Arum Sari berbohong. Ia pun merasa malu jika mengatakan kalau ia meninggalkan selembar kain yang biasa digunakan untuk melilit dadanya agar terlihat rata.

“Cepat cari lagi! Aku harus menemukan dia dan menikahinya.” Pemuda itu kembali bersuara.

Bagai disambar petir Arum Sari mendengarnya. Ia kini yakin sekali, pemuda itu adalah orang yang telah mengintipnya saat mandi di sungai tadi. ‘Dasar, pemuda mesum!’ kutuknya dalam hati.

Pendekar Bunga bangkit dari duduknya dan menyambar capingnya. Ia sudah tak sabar ingin menghajar pemuda itu. Kalau perlu sekalian membutakan matanya yang durjana karena sudah menatap bagian rahasia tubuhnya.

“Kek, aku tak bisa tinggal diam. Aku harus menghukumnya!” ucap Arum Sari marah. Tenaganya sudah pulih, energinya sudah terisi penuh untuk melakukan perkelahian lagi.

Ki Manggala hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Sia-sia saja melarang keinginan bocah tengil itu jika sudah di ujung amarah. “Pergilah, hati-hati. Sudah selesai cepat pulang lagi. Aku belum selesai menyusun rencana besarmu.”

Arum Sari mengangguk dan segera melesat pergi melewati semak di sisi yang berseberangan dari para pemburunya. Pedang perak tersandang anggun di punggungnya. Tangan kirinya tak lupa memetik sekuntum bunga yang sedang mekar. Pendekar Bunga siap beraksi lagi.

***

“Ssst, apakah kamu yakin yang dicari Tuan Jalu benar-benar manusia?” bisik seorang pengawal kepada temannya yang sedang menuruni jalan setapak.

Temannya menghentikan langkahnya dan membalas berbisik di telinga sang pengawal. “Aku tak yakin, daerah ini terkenal angker. Mungkin yang dilihat Tuan Jalu itu demit penghuni hutan ini.”

“Iya, kamu benar. Ini hutan larangan. Kenapa Tuan Jalu nekat masuk ke sini?” tanya pengawal itu lagi.

Pengawal yang satunya mengusap wajahnya, ia ikut merasa gundah. “Aku dengar Tuan Jalu dijodohkan dengan anak seorang pejabat yang tak disukainya. Ia jadi suka menyendiri dan melarikan diri ke hutan.”

“Ah, kamu yang benar saja. Dijodohkan kok malah kabur? Harusnya dia senang, hihihi …” Kedua pengawal itu terus menggosip pimpinan mereka. Tanpa mereka sadari Jalu Anggara, pemuda yang menjadi pimpinan mereka, sudah berdiri di ujung jalan dan menghadang mereka.

“Kalian berdua! Bukannya bekerja dengan benar malah membuat gosip. Kalian mau ditangkap demit penghuni hutan ini?” tanya Jalu Anggara galak. Pemuda berusia sekitar 18 tahun itu memarahi kedua orang bawahannya.

Jalu Anggara adalah keponakan panglima perang di Kadipaten itu. Ia terkenal kuat dengan ilmu beladirinya. Rupanya pun tak mengecawakan. Ia sangat tampan dengan hidung mancung dan rahang perseginya. 

Benar kata kedua orang pengawalnya, baru-baru ini pamannya bermaksud menjodohkannya dengan putri anak pejabat yang lain. Akan tetapi Jalu Anggara menolaknya. Ia berkata masih ingin mengembara dan mencari pengalaman, tak ingin menikah muda.

“Maaf, Tuan Jalu. Kami hanya sedikit membuang ketakutan kami. Kata orang-orang hutan ini angker. Kenapa Tuan mengajak kami ke sini?” ucap pengawal bertubuh tambun takut-takut.

Jalu Anggara mendengus kesal mendengarnya. “Kalian ini prajurit, tugas kalian tak hanya duduk-duduk berjaga di pintu gerbang. Kalian juga harus bisa berkelahi dan melumpuhkan musuh. Mengerti?”

“Mengerti, Tuan. Ta-tapi …”

“Tidak ada tapi-tapian. Cepat cari lagi gadis itu. Aku harus mendapatkannya,” ujar Jalu Anggara dengan gusar.

“Baik, Tuan.” Kedua pengawal itu bermaksud meneruskan langkahnya tapi tiba-tiba gerakannya terhenti saat dua kerikil yang dilempar dari jauh mengenai kaki mereka.

Kedua prajurit itu saling menatap dan spontan berteriak tanpa bisa menggerakkan tubuhnya. “ADA DEMIT! TOlOONNGG …!”

Jalu Anggara ikut terkejut melihat kejadian di depan matanya. “Ada apa dengan kalian? Kenapa tiba-tiba tak bisa bergerak?”

Pemuda itu segera memasang sikap waspada dan mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Pedang tajam dikeluarkan dari dalam sarungnya.

“Keluarlah! Jangan jadi pengecut. Hadapi aku!” teriak Jalu Anggara berani. Ia tahu ada sepasang mata yang sedang mengamatinya dari tempat yang tersembunyi.

“Kau yang kurang ajar dan tak bisa menjaga mata. Berani-beraninya mengintip orang mandi!” Sebuah suara yang dibuat berwibawa terdengar dari balik pohon besar.

Bukannya takut, Jalu Anggara justru bersorak saat mendengar kalimat itu.

“Apa kau juga melihatnya?” tanya Jalu Anggara. “Keluarlah kisanak. Kita bisa berteman,” bujuk pemuda itu lagi.

“Sembarangan saja mengajak aku berteman denganmu. Aku tak sudi!” Suara dari balik pohon kembali terdengar. Ia menolak mentah-mentah tawaran Jalu Anggara.

“Ki sanak. Kau akan menyesal menolak tawaranku. Aku benar-benar sudah melihat bidadari. Bantu aku menangkap dia, aku akan memberikan imbalan yang sepadan.” Jalu Anggara berucap sembari melemparkan beberapa koin emas di tanah.

Sunyi senyap. Orang di balik pohon tak juga bereaksi.

“Apa jumlah yang aku tawarkan masih kurang? Baiklah aku berikan semua.” Jalu Anggara melemparkan seluruh kantong uangnya. Ia tahu, semua kepeng emas dia bawa cukup digunakan untuk hidup sampai setahun.

“Hmm, dia harus ditangkap hidup-hidup atau mati?” tanya suara dari balik pohon.

“Tentu saja hidup, kisanak. Dia gadis muda yang sangat cantik. Yang paling cantik yang pernah aku lihat.” Jalu Anggara mulai berdiplomasi. Jauh di lubuk hatinya ia memang betul-betul berharap bisa menemukan gadis itu lagi.

Mendengar kata ‘paling cantik’, Pendekar Bunga tak bisa lagi menahan senyumnya. Dia kemudian melesat dan berdiri di depan Jalu Anggara. Wajahnya disembunyikan di balik caping lebarnya.

Jalu Anggara terkejut melihat sosok legendaris itu tiba-tiba berdiri di depannya.

“Kau! Kau Pendekar Bunga yang mahsyur itu?” ucapnya nyaris tak percaya. Pemuda itu spontan menjura hormat.

“Maafkan kelancanganku, Pendekar Bunga.”

Pendekar Bunga mengangkat tangan kanannya. Ia tak suka banyak berbasa-basi. “Katakan padaku. Apa saja yang sudah kau lihat dari gadis itu?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bondan Kejawan
Semangat .........
goodnovel comment avatar
Serafey
Lanjutt .. jarang2 ada pendekar wanita!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status