Share

Mitra Kerja Rahasia

Jalu Anggara tidak langsung menjawab pertanyaan pendekar bunga. Kedua bola matanya tampak berputar-putar. Dia sedang berpikir dan juga mengingat-ingat bagaimana pertemuannya dengan sosok wanita cantik yang dilihatnya sedang mandi di sungai kemarin. 

Melihat pemuda itu tak kunjung menjawab pertanyaannya, Pendekar Bunga kembali membentaknya.

"Cepat katakan apa yang kamu lihat?!" ucapnya galak.

"Engg ... anu, ... Aku hanya melihat dia dari arah belakang," kata Jalu Anggara. Akhirnya ia menemukan jawaban yang tepat karena memang seperti itu yang dia lihat.

"Aku melihat rambutnya yang panjang sepinggang dan juga dia mandi tidak mengenakan sehelai kain pun," kata Jalu Anggara lagi seraya menutup mulutnya dengan tangan kanannya. Dia sendiri malu dan sungkan mengatakan hal itu tetapi Pendekar Bunga memaksanya.

Jalu Anggara berpikir sosok yang berdiri di depannya itu akan senang dengan informasi yang diberikan olehnya. Namun, bukannya senang Pendekar Bunga justru melempar sepotong ranting kepadanya karena kesal.

Beruntung Jalu Anggara bisa menghindarinya. Jika orang biasa yang terkena sabetan ranting itu, bisa-bisa langsung jatuh terkapar.

"Kamu ini ya, dasar tidak tahu sopan santun!! Sudah tahu ada orang mandi kenapa malah memperhatikan? Harusnya kau cepat berpaling dan pergi!" protes Pendekar Bunga. Ia kesal dengan Jalu Anggara yang menurutnya tak tahu adat.

"Aku ... Aku sungguh tak sengaja melihat dia," ucap Jalu Anggara membela diri.

"Siapa juga yang berniat mengintip orang mandi. Aku bukan pemuda brengsek seperti itu. Kebetulan saja aku sedang lewat dan ingin mengambil air minum, tak sengaja aku melihat ada dia yang sedang mandi."

Pendekar bunga terdiam. Apa yang diucapkan Jalu Anggara mungkin benar. Jika dia lelaki kurang ajar, bisa saja justru dia sudah menyergapnya saat sedang sedang mandi.

Melihat Pendekar Bunga yang terdiam, Jalu Anggara kembali bertanya. "Ehm, apakah anda benar-benar tidak pernah mengetahui ada sosok seperti itu di sekitar tempat ini?"

Pendekar bunga tampak bosan dengan Jalu Anggara yang terus-terusan menanyakan di mana keberadaan sosok wanita yang dilihatnya.

"Tidak," jawab Pendekar Bunga dengan keras

"Masa kau tidak melihatnya? Kisanak 'kan orang sakti. Aku pikir seisi hutan ini adalah tempat bermainmu, mana mungkin tidak pernah bertemu dengan dia?" Jalu Anggara masih berusaha mendesak Pendekar Bunga. 

Pendekar nyentrik itu akhirnya hilang kesabaran. Ia tak mau menjawab lagi pertanyaan dari Jalu Anggara dan memilih pergi berlalu begitu saja.

"Hei, hei ... kau jangan seenaknya pergi. Aku sedang menawarkan kesepakatan kepadamu. Lagi pula kau tadi sudah mengambil uangku. Kenapa malah pergi begitu saja?" tanya Jalu Anggara sambil berjalan cepat mengejar Pendekar Bunga. 

Pendekar Bunga menghentikan langkah kakinya. Benar juga, dia sudah mengambil seluruh keping emas dari Jalu Anggara tetapi dia malah pergi begitu saja. Perbuatan itu menyalahi jiwa kesatria dari seorang pendekar. 

"Hmm, baiklah aku akan mendengarkan tawaran darimu tapi berhenti bertanya tentang gadis hantu itu," ucap Pendekar Bunga. Ia sengaja menyebut kata hantu supaya Jalu Anggara menganggap gadis itu memang bangsa lelmbut yang tak akan bisa lagi ditemukan.

Mata Jalu Anggara membelalak lebar. Jadi, gadis yang dicarinya itu hantu? Oh, pantas saja Pendekar Bunga tak mau berurusan dengan dia.

Jalu Anggara tadinya tidak mau mengubah kesepakatan, yang dia butuhkan saat ini memang gadis itu. Tetapi melihat sosok yang dijumpainya adalah seorang pendekar yang legendaris, Jalu Anggara jadi berpikir untuk menawarkan kesepakatan lain. 

Dia sendiri sudah sering mendengar reputasi dari Pendekar Bunga. Seorang pendekar yang misterius tapi suka muncul tiba-tiba membasmi kawanan perampok atau maling yang biasa menyambangi desa-desa. Dia lalu membagi-bagikan barang curian dari penjahat itu kepada penduduk yang miskin.

Jalu Anggara jadi berpikir kalau emas yang tadi dia berikan kepada Pendekar Bunga sudah pasti juga akan dibagi-bagikan juga oleh pendekar itu kepada mereka yang kurang beruntung. Hatinya tersentuh, ia merasa tidak menyesal sudah memberikan semua uangnya. 

"Hmm, begini, Pendekar Bunga. Bagaimana kalau kau bekerja denganku?" tawar Jalu Anggara. Ia bersiap memulai diplomasinya.

"Pekerjaan macam apa itu? Aku tidak suka bekerja, aku suka hidup bebas dan semauku," jawab Pendekar Bunga. 

Jawaban itu tentu saja membuat alis mata Jalu Anggara naik sebelah.

"Iya, maksudku kau tetap bisa hidup bebas dan semaumu tetapi saat aku membutuhkanmu, kau harus membantuku." Jalu Anggara tak mau begitu saja menyerah. 

"Bantuan seperti apa?" tanya Pendekar Bunga sambil memainkan kantong berisi uang di tangannya. Dia sendiri sedang berpikir, jika berhubungan dengan seseorang yang memiliki banyak harta, tentu dia tak akan perlu bersusah payah mengintai para maling.

"Bantuan untuk mengurus para prajurit yang ada di Kadipaten ini. Selain itu, aku juga sering mendapat tugas untuk menangkap gerombolan begal dan perampok. Kita bisa bekerja sana," terang Jalu Anggara. Dia berulangkali melirik Pendekar Bunga, ingin melihat reaksinya.

"Kamu siapa?" tanya Pendekar Bunga.

Jalu Anggara cepat-cepat menjelaskan asal usulnya. "Namaku, Jalu Anggara. Aku adalah keponakan dari seorang Panglima di Kota Praja," jawab lelaki gagah itu penuh percaya diri. 

Pendekar Bunga menunjukkan gelagat tertarik. Jalu Anggara kemudian berbicara lagi. "Kalau kau mau bekerja denganku, hidupmu akan terjamin. Lagi pula aku juga sama sepertimu, suka membantu kaum yang lemah. Salah satu tugasku adalah mengamankan wilayah-wilayah yang rawan menjadi tempat beraksiny apada garong dan perampok," jelas Jalu Anggara. 

Pendekar Bunga tampak sedang menimbang tawaran itu. Pendekar Bunga selama ini enggan sekali bertemu dengan orang asing. Tetapi setelah mendapatkan penjelasan dari ayah angkatnya perihal orang tua aslinya, Pendekar Bunga jadi berpikir untuk mulai menyelidiki kasus itu dan mencari para pembunuh keluarganya.

Satu-satunya jalan agar dia bisa menyusup masuk dan menyelidiki kasus itu adalah dengan bergabung dengan para prajurit Kadipaten.

Jalu Anggara menunggu jawaban dari Pendekar Bunga dengan harap-harap cemas. Dia melihat Pendekar Bunga berdiri tegak dengan tenang tetapi sudah pasti dia sedang merenung dan mempertimbangkan tawaran darinya.

Jalu Anggara kembali menawarkan kesepakatan yang menurutnya lebih bagus lagi.

"Begini saja. Kau tidak hanya menjadi prajuritku tetapi kau akan menjadi orang kepercayaanku, jadi tangan kananku. Aku akan menceritakan apa saja tugas-tugas rahasiaku dan informasi-informasi penting lainnya. Informasi penting itu sebenarnya hanya boleh diketahui oleh para pimpinan. Aku mempercayaimu karena selama ini reputasimu adalah pendekar pembela kebenaran," kata Jalu Anggara. Ia menawarkan hal itu agar mendapatkan kepercayaan dari Pendekar Bunga.

Tawaran terakhir dari Jalu Anggara membuat Pendekar Bunga semakin mantap hatinya untuk menerimanya. Tetapi dia masih punya pemikiran lain.

"Bagaimana ini? terima atau tidak ya? Aku ingin menerimanya tapi pemuda ini juga menyebalkan," kata hatinya.

"Aku tidak berpikir akan bisa bekerja sama dengan baik dengannya. Kelihatan sekali Dia memiliki selera yang aneh. Lagipula dia sepertinya mudah jatuh cinta pada wanita atau mempermainkan wanita. Aku sangat membenci sifat yang seperti itu," batin Arum Sari alias Pendekar Bunga. Sebagai seorang wanita tentu dia harus sangat berhati-hati dengan orang yang baru dikenalnya. 

Namun, kesepakatan lain yang ditawarkan oleh Jalu Anggara yang akan menjadikannya sebagai tangan kanan tak bisa begitu saja diabaikan. Jika dia menjadi orang kepercayaan dari keponakan Panglima Perang itu, dia bisa dengan cepat menemukan siapa pembunuh orang tuanya.

"Bagaimana, apakah kau menerima tawaranku?" tanya Jalu Anggara sekali lagi dengan penuh harap. Bahkan, kini dia pun mencoba memasang wajah memelas agar pendekar bunga mau menerimanya.

Akhirnya pendekar bunga menganggukkan kepalanya dengan berat. "Hmm, baiklah aku menerimanya. Harap kau pegang kata-katamu dan juga janjimu. Pertama kau akan menjamin hidupku, yang kedua kau akan menjadikanku sebagai tangan kananmu," ucap Pendekar Bunga.

Mendengar persetujuan dari Pendekar Bunga, Jalu Anggara spontan menjatuhkan dirinya ke tanah dan bersujud kepadanya.

 "Terima kasih, Tuan. Aku senang sekali kau akhirnya mau menerima tawaranku," ucapnya dengan nada suara ceria.

Namun, Pendekar Bunga tampak kurang suka dengan penghormatan yang berlebihan dari Jalu Anggara. "Hentikan, bangunlah! Aku tidak suka kau seperti itu. Kenapa kau menyembah-nyembahku? Cepat berdiri!" kata dia .

"Katanya aku ini tangan kananmu Kenapa kau bersikap seolah kau adalah pelayanku?" tanya Pendekar Bunga sambil memalingkan muka.

Jalu Anggara segera berdiri dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Iya juga ya.  Kita ini mitra kerja, kenapa aku justru menghamba padamu?" kata dia. Jalu Anggara lalu memasang wajah tegasnya dan membusungkan dadanya.

"Baiklah, kawan. Sekarang kita adalah mitra kerja. Kau bisa memanggilku dengan panggilan Jalu. Apakah kau punya nama yang lain selain julukanmu sebagai Pendekar Bunga?" tanya pimpinan prajurit Kadipaten itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bondan Kejawan
makin penasaran saja dengan cerita yang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status