Aku tersenyum di depan cermin. Mengingat semua kebodohan demi kebodohan yang aku lakukan.
Hanya tersenyum, dan sebentar lagi jadi gila.
Aku merasakan kaki telanjang menginjak kaki yang dingin. Sudah berganti pakaian rumah lebih santai. Anak-anakku sedang berlarian di luar, tiada hari tanpa lari, kejar-kejaran, tertawa, dan menangis. Hanya itu masalah anak kecil.
Danish sialan itu sedang bermain bersama anak-anaknya. Walau bagaimanapun dia terlihat bertanggung jawab, dan menyayangi anak-anaknya, walau memang wajib dia melakukan hal itu.
"Mama." Aku hanya mendelik tajam ke arahnya. Memilih duduk di sofa, dan menghidupkan TV.
"Ayah, mau menggambar aja." Celena meloncat dari punggung lebar Danish. Dan mulai mewarnai, Celine masih tertawa, dan ingin terus bermain kuda. Bahkan, mereka rela menunggu aku di kantor, dan akhirnya semua orang tahu Anna punya anak, kembar pula, bahkan sudah besar. Aku tak peduli orang-orang mau be
Sudah saatnya bangun, mengangkat pantat yang malas ini untuk bekerja, dan melakukan aktivitas. Hawa pagi identik dengan semangat baru. Walau aku tak bersemangat.Aku menarik tanganku yang terasa keram, dan mengelus-elus wajahnya, sambil mendengar suara halus dengkurannya.Aku menusuk-nusuk pipi Danish. Sebenarnya sangat kesal padanya, tapi aku senang saat dia berada di sekelilingku."Kau tahu, sialan! Saat dulu kamu pergi, pagi-pagi gini aku bangun dan nangis. Kamu tuh jahat, Danish." Aku mengelus-elus rambutnya, sambil mencium pipinya. Mulai menganggunya, membuka matanya, membuka bibirnya, dan menghitung giginya. Menarik-narik hidung mancung tersebut, tapi laki-laki ini seperti sangat kelelahan.Saat tanganku menyusuri wajahnya, tanpa sadar tanganku sudah digigit. Aku terpekik, dan memukul dada Danish. Dia tersenyum, masih dengan menutupi matanya, aku menarik rambutnya. Akhirnya dia membuka matanya.Aku mengintip ke a
Tertawa lepas seolah tak ada beban.Senyum tak dapat terlepas dari bibir ini. Aku menatap Celine dan Celena yang bermain di taman, sudah mandi, berpakaian rapi. Mereka seperti malaikat bagiku."Kamu sebenarnya tahu, nggak? Kalau anak itu tak bisa di-download." Sumpah! Tanganku seketika ingin menabok wajah Danish, tapi kuurungkan dan hanya mendorong tubuhnya, yang sedang bersandar di bahuku sebenarnya kepalanya batu yang dia letakkan, sambil memeluk tubuhku dari belakang."Tapi pertemuan dua kelamin yang bersilaturahim." Aku berbalik dan menutupi mulut Danish, jika tidak dia akan terus mengoceh dengan hal-hal tak senonoh.Gara-gara sialan ini membuatku bolos kerja walau sudah meminta izin, dan anak-anakku tidak pergi ke sekolah. Momma sudah mengomel, menelponku, dan aku cukup pintar beralasan.Aku melihat wajah Danish dari dekat, bekas-bekas jambang yang menghitam bekas cukur. Masih melihat anak-anak yang sudah tertawa,
"Kamu punya anak laki-laki, nggak?" Aku mengangkat alisku, dengan perkataan ambigu tersebut, berbalik pada manusia laknat yang terus menempel ke tubuhku. Dia seperti tokek!Aku hanya menarik hidung mancung Danish."Ayok kita buat anak laki-laki!" Refleks, aku memukul dada Danish. Dia berbicara seperti manusia tanpa otak, oh ya benar, dia memang tak punya otak!Aku mengintip ke arah anak-anakku yang sedang bermain bersama neneknya. Konsep nenek, ayah, keluarga terasa asing dan aneh bagiku, karena selama ini aku tidak merasakan itu.Saat tiba di rumahku, Mommy Danish memeluk tubuhku erat, menciumku berkali-kali, betapa dia berterima kasih karena aku sudah mengabulkan doa-doanya selama ini, padahal aku bukan Tuhan. Aku bahkan bodoh, dan terus bersikap bodoh."Jadi, kamu akhirnya bersedia menikah denganku?" Aku mengangkat potongan cake itu ke nampan kecil, dan menyusunnya. Aku akan memberi ini pada tamu yang rasanya merepo
"Selamat pagi, istri." Mataku melotot, memastikan sekali lagi, dia benar-benar Danish bukan hantu, atau vampir jadi-jadian."Wait! Semalam kamu tidur di mana?""Di luar lah. Kan kamu tega sama suami sendiri, kualat entar. Nggak, deh, bohong, aku pulang!" Aku mendelik kesal, saat Danish hanya terkekeh. Kepalanya celingukan mencari sesuatu. Aku mengikuti arah pandanganya, sambil mengangkat alisku mengode padanya, apa yang dia cari."Mana anak kita?" Danish langsung memeluk tubuhku, sambil mencium pipiku. Sebenarnya risih, tapi Danish memang sangat suka menempel seperti anak koala. Danish kembali memeluk diriku, dan kami terduduk di sofa.Dia terus mengendus-endus leherku, walau aku mendorongnya, tapi dia tak peduli. Sekarang kepalanya tepat berada di depan perutku."Anak kita di sana ngapain, ya, dia? Apa dia main domino?" Aku mencubit Danish karena bicara sembarangan."Aku belum sikat gigi, jangan dekat-dek
Aku menatap Mommy Danish penuh permusuhan, aku benar-benar jadi pengangguran sekarang, dan aku benci itu!"Anna, Mommy tahu kamu kesal luar biasa pada Danish. Tapi, jika anak sudah lahir, kamu akan berpikir untuk resign. Kehilangan pekerjaan memang bisa dicari, tapi waktu bersama anak-anak, kehilangan saksi saat mereka tumbuh. Mommy tak ingin sok berguru, Anna sudah punya anak, dan tahu.""Aku sudah diajarkan mandiri sejak kecil sama orang tuaku. Aku bisa bekerja, mengurus rumah, mengurus anak!" Aku masih membantah, karena tak terima sama sekali, kehilangan pekerjaan begitu saja."Aku bahkan nggak mau nikah sama Danish! Aku benci diatur-atur!" Mommy Danish terhenyak, dia menganga."Aku serius. Selama ini, aku hidup menurut apa yang aku mau, dan saat ada orang asing yang masuk dalam hidupku, dan mengatur-atur hidupku, aku tak bisa menerimanya lagi.""Anna, Danish calon suami kamu. Pikirkan nasib anak-anak. Anak kalian udah ba
Aku duduk merenungi nasibku, lebih tepatnya sedang meratapi nasib sialku.Begini ceritanya, setelah mencoba apply beberapa tempat, aku mendapatkan respon yang cukup serius dan cepat, aku dipanggil untuk melakukan interview segera. Tanpa sepengetahuan Danish, walau aku tak peduli, jika dia akhirnya tahu."Bu Anna sangat berkompeten, perusahaan memang mencari kandidat seperti Bu Anna, tapi, maaf perusahaan tidak menerima ibu hamil. Sekiranya, ketika Ibu sudah melahirkan, kami bisa memanggil kembali." Begitu kira-kira hasil akhir dari wawancara, yang sangat menguras waktu, dan lagi-lagi gagal. Tapi, aku tidak menyerah, aku tetap menunggu panggilan untuk pekerjaan yang lain, walau pada akhirnya tetap mendapatkan hasil yang sama. Jujur, baru kali ini aku sial dalam mencari pekerjaan, di saat aku terbiasa dibujuk masing-masing perusahaan dengan gaji yang menggiurkan.Aku melirik ke gelas di depanku, masih berisi setengah susu coklat ibu hamil. Aku ti
Danish entah berubah, atau aku yang melihat laki-laki ini dari kacamata lain. Dia begitu bersemangat untuk mengurus anak-anak, mengurus rumah, walau makanan yang dia masak berakhir gagal."Makan yang banyak biar cepat besar." Dia mengelus-elus kepala Celine dan Celena bergantian, mencium pucuk kepala anak-anak.Hari ini weekend, anak-anak di rumah. Sekarang, anak-anak lebih sering di rumah, karena aku hanya menganggur. Aunty Ilene berencana untuk membawa anak-anak ke pantai, walau Aunty Ilene masih menaruh dendam pada Danish, padahal keponakannya sendiri.Aku menggigit roti yang telah Danish siapakan. Pagi ini, dia memang kesurupan, bangun lebih pagi dari biasanya, di saat dia sangat susah untuk bangun pagi. Pagi-pagi dia sudah memutar musik keras, menyiapkan sarapan, dan membersihkan rumah, bahkan aku berani bertaruh jika dia sudah mandi."Aunty Ilene mau bawa anak-anak ke pantai."Danish mengangkat wajahnya, menatapk
Aku melirik ke samping Danish yang tertidur pulas, aku bangkit dan mencium pipinya."Kamu memang ngeselin bangat. Sangat-sangat bikin naik darah setiap saat, tapi aku mencintai kamu, sialan!" Aku menarik hidungnya, karena kesal.Dia berbalik, membuka matanya. Aku tersenyum padanya, dulu dia orang yang sangat ambisius, akan melakukan apa saja demi cita-citanya, walau aku yang akhirnya dibuang. Aku menatapnya, sembari mengelus-elus kepalanya, mencium pipinya.Jadi ceritanya, dia sedang kelelahan karena kami bercinta yang panas. Ya, tak ada hal lain yang dilakukan bersama Danish jika hanya berdua."Kenapa, Mama? Kurang? Bentar, Papa simpan tenaga lagi, biar kuat genjot nanti." Aku tertawa, sambil memukul dadanya. Dia memang bicara sembarangan, seperti mulut itu tak pernah diruqiyah.Aku kembali memeluknya erat. Danish menepuk-nepuk kepalaku."Mama mau nikah sama Papa?" Aku mengangguk malu."Mama