Share

8. Keluarkan anak itu!

"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya.

"Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik.

"Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya.

"Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng."

"Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam.

"Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah.

"Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang.

"Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk.

"Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adalah ibu dari gadis kecil yang ia cari. 

"Neng arimbi, sudah masuk kelas, Den."

"Tante siapa?" tanya Rei menatap wajah asing Bi Lisa.

"Saya, pengasuh neng Arimbi, Den."

"Oh, kalo gitu aku mau masuk aja nyusul Arimbi. Dah Papa." ucap Rei menatap pria yang memelambaikan tangannya dan baru teringat bekal sang putra masih ada di kursi belakang.

"Rei, bekalmu, Sayang!" seru pria yang berlari menghampiri Rei yang menatapnya protes.

"Papa, bisa gak, papa, gak manggil aku sayang kalo disekolah?" bisik Rei membuat Tian tersenyum.

"Tapi, kamu kan kesayangannya papa, Rei Sayang," ucap Tian sengaja membuat putra satu-satunya itu cemberut.

"Huh, papa nyebelin."

"Ya dan papa nyebelin ini sayang kamu, Rei." Ucap Tian memeluk erat putranya yang kesal tapi tetap mencium pipi sang ayah sebelum berpisah.

"Udah, masuk sana," perintah Tian sambil mengusap kepala Rei beberapa kali.

"Rambutku jelek lagi nih, Pa," protes Rei membetulkan letak rambutnya tak urung membuat Tian dan beberapa orang tua yang melihat tingkah bocah yang baru berumur 3 tahun itu tersenyum.

"Nanti dibenerin Mama."

"Mamakan dirumah, Pa. Aku ini mau sekolah, dah Papa," protes Rei lagi lalu melambai pada Tian.

"Anakku menggemaskan sekali," ucap Tian berdiri, memasang wajah tenangnya kembali. Berjalan melewati ibu-ibu yang tampak terhipnotis tak menyadari bisa senorak apa pria itu kalau dirumah, di depan istri dan anaknya. Bocah lelaki kecil yang berlari sambil mebalas sapaan anak-anak menggemaskan lain yang pipinya juga tembem dan kenyal.

"Joe!" seru Carmen semangat pada bule kecil yang tangan putihnya digandeng Miranda dan Carmen langsung berlari untuk segera menggandeng tangan Joe yang bebas.

"Let's get in," ajak Carmen semangat menarik tangan Joe yang hanya mengangguk lalu menoleh pada wanita berkaki jenjang di sampingnya.

"Bye-bye, Mommy," ucap Joe yang pipi merahnya dicium Miranda, wanita yang kaki jenjangnya membuat iri.

"Bye, Little bear," ucap Miranda pada jagoan kecilnya dan tersenyum pada lambaian kecil bocah yang berjalan digandeng Carmen meski matanya tampak berkeliling bersamaan dengan Bi Lisa yang berjalan menjauh. 

Membuat sepasang mata yang sejak turun dari mobilnya tadi terus mengawasi Lisa, kecolongan.

Maya hanya bisa diam bahkan lupa pada bekal Carmen yang masih tergeletak di jok belakang.

*


Tin..! tin...!

Suara klakson mobil yang berhenti disamping Bi Lisa langsung menurunkan kaca di samping kursi penumpang, "good morning," sapa Miranda yang dijawab anggukan oleh Bi Lisa meski terlihat bingung.

"I Am your- saya tetangga depan rumah yang baru pindah bulan lalu, kita beberapa kali bertegur sapa."

"Iya, Bu mir...,"

"Miranda. Panggil saja Miranda. Jangan pakai bu, it's sound so formal, masuklah. Mau pulangkan?"

"Tidak apa- Bu Miranda, saya naik ojek saja."

"Oh, ayolah. Lagipula kita searah, bukan? Arum or Lisa?"

"Saya Lisa, Bu," jawab Bi Lisa membuat miranda tersenyum. Tampaknya Bi Lisa lebih nyaman memanggilnya dengan panggilan 'Bu'.

"Ayo masuk," ajak Miranda membuka pintu penumpang membuat Bi Lisa mengangguk lalu masuk dengan kata permisi.

"Terimakasih, Bu."

"Your welcome, Lisa. sama-sama," ucap Miranda melajukan kembali mobilnya.

"Terimakasih info tentang pasar paginya minggu lalu, aku belanja banyak barang di sana tak hanya sayuran segar."

"Sama-sama, Bu."

"Aku juga mau tanya, tempat kursus bahasa yang tak jauh di mana, ya?"

"Di depan ada, Bu. Tempatnya bagus kata Mbak Arum," jawab wanita yang berubah jadi sedih tanpa ia sadari.

"Kamu baik?" Tanya Miranda membuat lisa mengangguk lemah.

"Apa kamu mau menemaniku membeli kue, Lisa?" ucap Miranda sambil tersenyum, membuat wanita disampingnya mengangguk. Ia menyadari perubahan wajah Bi Lisa hanya saja ia tak ingin ikut campur, "toko, yang satu arah saja," tambah bule cantik itu membuat lisa mengangguk lagi lalu menunjukkan tempat kue yang mungkin juga akan disukai wanita ramah disampingnya.

*


"Damn it!" rutuk Marko tampak ingin membanting ponsel ditangan jika tak dipegangi Ali, "kenapa Arum harus dapat lelaki salah seperti Bagas?" ucap Marko mengepalkan tangannya kuat.

"Tinggalin WA saja, biar kalau dia sudah baca kita bisa tau." ucap Ali mengusap pundak Marko berusaha menenangkan pria yang emosinya tampak bisa meledak kapan saja ini.

"Buat apa si brengsek itu punya ponsel kalau tidak bisa dihubungi!" seru Marko melepas kesalnya lalu mengambil nafasnya begitu dalam beberapa kali. Ia menatap tubuh Arum yang terbaring diatas bangsal dengan selang dan jarum infus yang menusuk lengan. Lalu diam.

"Apa yang harus kukatakan pada Arimbi?" tanya Ali membuat Marko yang diam menoleh lalu merangkul pundak kekasihnya, "aku sungguh tak tau, Ko," ucap Ali yang menangis dan dipeluk oleh Marko. Pria yang matanyapun berkaca-kaca dengan amarah nyata namun ia tahan.

"Kita tak mungkin mengatakan mamanya kemungkinan takkan bangun lagi pada Arim, ko. Aku takkan tega mengatakan itu."

"Apa!?" ucap pria yang berdiri diantara pintu tak percaya dengan apa yang didengarnya.


Ali dan Marko langsung menoleh pada si pemilik suara, "Bagas-"


"Brengsek! kemana aja lo!" seru Marko yang hampir saja memberi bogem mentah jika tak ditahan Ali.

"KO!" seru Ali tapi matanya tajam menatap pria yang masih berdiri di tengah pintu dan menarik nafas panjang menatap Bagas yang wajahnya pucat. Ali seolah bertanya semengejutkan itu, lalu tertawa miris sendiri. 

'Tentu saja mengejutkan!'

Bahkan hatinya masih merasa ini tak nyata. Apa yang ia dengar tentang batang otak Arum yang turun, cairan yang menekan, membuat otak Arum mati.

Ali sangat ingin tak percaya pada apa yang dikatakan dokter tentang kondisi Arum yang tak akan mungkin sadar. Kecuali ada keajaiban.

Tapi, bagaimana bisa ia berpikir begitu saat tubuh Arum yang berbaring diatas bangsal ada di depan matanya. tubuh sahabat perempuannya itu hidup karena ada alat-alat medis yang menjadi penopang. Tanpa kemungkinan sadar.

"Lo kemana aja, Gas?" tanya Ali terdengar begitu tenang.

"Kemana lagi? tentu bermesraan sama gundiknya." Jawab Marko cepat membuat Bagas menatapnya. "Kenapa? Kaget?" dengus Marko saat mendapati tatapan Bagas yang tak bisa membalas.

"Lo bener-bener cowok gak tau malu, Gas, lo tau itu?" ucap Marko yang matanya begitu emosi dan tampak sangat menahan dirinya untuk menghajar pria yang hanya diam. berdiri di tengah pintu.

"Lo. kalau mau tau keadaan Arum tanya sama dokter, Gas. Gue sama Marko mau nyari angin segar dulu," ucap Ali menarik tangan Marko yang ingin menolak tapi ahirnya keluar juga meninggalkan ruangan dan memberi tatapan mengancam pada pria yang masih begitu membisu. 

Entah apa yang sedang dipikirkan pria yang hanya berdiri mematung ditempatnya itu kini. Seolah ia hanya bernafas karena hal itu wajar dilakukan. Bagas hanya terus diam tanpa ekspresi lalu memilih keluar, menutup rapat pintu ruangan yang ia tinggalkan. 

Meninggalkan wanita yang bernafas saja butuh bantuan alat yang menyambung pada tubuh.

Wanita yang tak akan bangun lagi menurut ilmu medis. Dan seandainyapun ada keajaiban, Arum tidak akan bisa melakukan apapun tanpa bantuan orang lain.

Hidup tapi seperti mati. Mati tapi jantung dan nafas Arum masih ada. Tubuhnya pun masih terasa hangat. 

Tapi apa bedanya dengan mati, bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status