Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani.
Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui.
"But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir?
Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam.
Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu.
Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
Hu...hu...hu...(ini ceritanya nangis, ya) plakk!! Terimakasih banyak sudah membaca, jangan lupa tinggalkan pesan,kesan,kritik,saran supaya saya tahu apa yang kakak-adek semua pikirkan. Itu bonus terbesar untuk seorang penulis(blush) dapat feedback dari pembacanya(xixixi) terimakaiah sekali lagi, see u when I see u. Sehat dan bahagia selalu untuk kita semua. Maturnuwon....
"Kenapa kamu bisa terluka lagi, Joe?" ucap gadis kecil yang menempelkan plester bergambar bunga matahari, setelah ia memilih koleksi dalam saku rok tutunya yang berumbai-rumbai beberapa lama."Kan, sudah kubilang. Jangan bermain dengan anak-anak nakal itu. Mamaku benar, anak cowok emang susah dibilangin." tambah gadis kecil itu menepuk plester yang sudah menempel disiku bocah bule yang mata abu-abunya tampak protes merasakan perih."Jangan cengeng kamu kan cowok, aku aja gak nangis kalo luka," ucap gadis kecil yang berdiri seolah mengatakan tugasnya selesai dan menatapi bule yang juga berdiri menatap gadis kecil yang selalu menolongnya saat diganggu anak-anak lain hanya karena tubuh Joe lebih kecil dari mereka."Kan, sudah kubilang laporkan saja pada Miss Eva," ucap gadis kecil yang lalu menunjuk guru mereka yang cerewet diantara kumpulan beberapa anak yang pipinya masih begitu tembem dan kenyal, mirip keduanya.&
"Kau takkan suka dengan apa yang akan kau lihat, Kakak ipar." Ucap gadis yang berpakaian begitu minim. Menatap Arum yang memegang kuat-kuat kemudi mobil yang sudah berhenti di depan gedung apartemen."Tapi, terserah padamu, Kakak ipar. Aku hanya akan mengantarmu sampai depan pintu saja karena aku ada janji dengan teman-temanku malam ini." Ucap gadis yang lalu turun, tak perduli dengan suasana hati Arum pada fakta yang baru saja diketahuinya hari ini. Suaminya yang jarang pulang itu memiliki apartemen lain bahkan--Duk..duk..!Suara kaca mobil yang digedor tak sabar membuat Arum menarik nafasnya begitu dalam. Ia keluar lalu berjalan berdua dengan gadis tinggi semampai disampingnya dalam diam. Gadis yang bahkan lebih perduli dengan warna kuteks yang menyala dijemari lentiknya itu dibandingkan dengan perasaan Arum, sang kakak ipar."Kau jadi masuk atau mundur saja dan jalani hidup seperti biasa?" ucap Zizi begitu tak b
"Aku tak pernah berpisah dengan Maya, Arum. Seperti yang Maya katakan padamu."Manik mata Arum membesar meski ia sudah bisa mendengar kalimat Bagas berputar-putar dalam kepalanya berulang kali. Apalagi saat ia melihat gadis kecil yang membuka pintu. "Tapi kau menikahiku, Mas Bagas, tidakkah itu artinya kau memilihku dan melupakan masa lalumu?" ucap Arum berusaha agar suaranya tak melemah meski hatinya sakit. Sangat sakit."Kau hanya datang disaat yang tepat, Arum." Ucap Maya membuat Arum seolah kehilangan kata-kata."Saat yang tepat?" ucap Arum mengulang dengan lemah. Tapi dua orang didepannya tak mengerti itu dan melanjutkan ucapan mereka."Maya kembali tapi pernikahan kita tinggal dua hari lagi dan tak mungkin dibatalkan," ucap Bagas membuat Arum menatapnya dengan tatapan tak percaya."Bukankah aku bertanya padamu sebelum kita benar-benar sah menjadi suami istri. Apa kau sungguh ingin menika
Tok..tok..!"Sebentar!" seru seorang pria berjalan cepat menghampiri pintu yang terus diketuk meski ada bell yang seharusnya bisa disentuh."Tidak sadarkah kamu ini jam berapa?" tanya pria itu membuka lebar pintu lalu menatapi tamunya yang datang tak tau waktu.Namun, rasa kesal pria berwajah tampan tapi mengintimidasi yang dihiasi senyum itu berubah saat melihat penampilan Arum yang begitu muram dengan wajah sembab, hidung merah, pipi yang masih menyisakan bekas air mata, juga mata merah tergenangan air yang bisa jatuh kapan saja."Apa yang ter- " ucap pria yang jadi diam saat Arum memeluknya cepat dengan tangis yang kembali terdengar.Isak Arum kembali pecah dan jadi tangis sepenuh hati saat tubuhnya direngkuh pria bertangan hangat dan kuat yang kesalnya berganti jadi kekhawatiran."Meski aku tak tau apa yang terjadi, menangislah sepuasmu. Tapi kamu harus cerita padaku setel
Mobil Arum berhenti di depan gerbang rumahnya yang sepi. Setelah merogoh tas dan mengambil kunci pagar ia turun dan membuka pagar besi yang menjulang tinggi.Bukan hal tak biasa bagi Arum membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri seperti malam iniApalagi, sebelum pergi arum sudah berpesan agar tak usah ditunggu pada satu-satunya pekerja yang tinggal dirumah dan menyilahkannya tidur setelah putri kecilnya terlelap dan wanita yang usianya tak begitu jauh dari umur Arum itu mengangguk. Bahkan menyuruh Arum untuk berhati-hati kemanapun ia akan pergi.Dengan tangan memegangi pagar ditatapnya kamar sang putri yang lampunya menyala temaram dilantai dua. Mata Arum berair lagi dan seketika diusapnya lalu menarik nafas panjang yang terasa menyesakan."Cukup, aku sudah banyak menangis malam ini." Ucap Arum menghapus sisa air dari dalam matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat."Mama pul
Marko sesekali menatap ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Wajahnya tampak khawatir."Mungkin, Arum langsung tidur" ucap Ali yang keluar dari kamar mandi."Tapi perasaanku jadi tak enak sekali" ucap Marko menggeser tubuhnya ketengah dan menyambut tangan Ali yang naik ke tempat tidur."Pikirannya sedang suntuk ia pasti lupa" ucap Ali menepuk bantal disampingnya."Ya, mungkin juga" ucap Marko merebahkan kepalanya diatas bantal yang Ali tepuk."Kita taruh ponselmu disini" ucap Ali mengambil ponsel dari nakas dan meletakkannya diatas bantal. Membuat Marko menatapnya."Atau, biar kamu tenang aku telponkan Arum saja." Ucap Ali memenceti layar ponsel Marko tapi hanya ada nada sambung yang terdengar diikuti suara veronica.(Nomer yang anda tuju tidak menjawab. Silahkan hubungi sesaat lagi.)"Sekali lagi" ucap Ali menekan ponsel Marco lagi. Sama! hanya
"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu."Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala."Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya."Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi."Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin."Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun.""Termasuk aku?" ucap Z
"Yang sekolah, kan, aku. Kenapa mama malah turun duluan!" seru Carmen dengan wajah cemberut menatapi Maya yang tak bisa menyelesaikan tanyanya."Galak- pemberani ya bu, Anaknya?" ucap Bi Lisa menatap bocah kecil yang memperhatikannya penuh selidik."Siapa, Ma?" tanya Carmen tanpa menoleh pada Maya."Saya, pengasuhnya neng Arimbi, Neng.""Arimbi?" ulang Carmen tampak tak suka, membuat Bi Lisa mengangguk meski heran melihat wajah cemberut Carmen makin bertambah masam."Arimbi?! Dimana? Mana, Arimbi?" tanya bocah lelaki lucu tapi nakal yang berlari cepat menyusul Carmen sambil celingukan kesegala arah."Apaan sih Rei, ganggu aja!" ucap Carmen menatap Rei tak senang."Aku nyari Arimbi tauk, bukan Carmen jelek." Balas Rei membuat wajah Carmen yang cemberut makin ditekuk."Mana Arimbinya, tante Arum?" tanya Rei mengira salah satu wanita disampingnya adala