Share

7. Papa beda

"Hei, bangun." Ucap pria bermata ash menarik selimut yang menutupi tubuh gadis tanpa pakaian yang tampak lelap setelah apa yang mereka berdua lakukan beberapa jam lalu.

"Aku masih lelah, Seth," ucap Zizi menarik selimutnya lagi bahkan menutupi kepala.

"Tetangga depan rumah itu iparmu, bukan?" tanya Seth membuat jantung Zizi berdetak cepat.

Seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuh gadis yang langsung berlari ke kamar mandi. Membuat bule bermanik ash itu menatapnya heran saat zizi memuntahkan isi perutnya.

"Jangan bilang kau hamil," ucap Seth menyelimuti tubuh tanpa baju milik zizi yang wajahnya pucat pasi.

"Tenang saja, aku takkan hamil." Jawab Zizi begitu yakin.

"Baguslah, aku belum ingin terikat dengan siapa pun," ucap Seth membuat Zizi menatapnya lekat. "No hard feeling, Baby. It's just the way I live my life, tak berkomitmen pada siapa pun."

"Termasuk aku?" ucap Zizi membuat Seth mengangkat bahunya dingin.

"Ya, termasuk kamu." Jawab Seth lalu keluar dari kamar mandi dan kembali menatap keluar jendela melihat ambulan keluar dari pekarangan rumah seberang diikuti sebuah mobil yang dinaiki dua orang pria.

"Kamu, lihat apa?" tanya Zizi yang sudah keluar dengan melilitkan selimut ditubuh sinyalnya.

"Kau pernah bilang, itu rumah iparmu, bukan?" Tanya Seth menatap Zizi yang diam. Wajahnya masih pucat.

"Ke...kenapa?"

"Tidak. hanya saja ada ambulans yang baru keluar dari rumah itu," ucap Seth sekali lagi menatap keluar jendela.

"O- ohh," balas Zizi membuat Seth menatapi gadis yang tampak mengalihkan pandangannya cepat lalu meraih pakaian berserakan di atas lantai dan memakainya dibawah pengawasan Seth yang lebih tertarik menatap keluar.

"Kau, mau kesana?"

"Apa?"

"Ke rumah iparmu?" ucap Seth menatap bocah kecil yang menangis digendongan wanita yang memakai pakaian tertutup. Lalu berpikir apa nama pakaian yang sedang dikenakan wanita yang tampak berusaha menenangkan gadis kecil yang menangis dalam gendongannya itu.

"Tidak."

"What?" tanya Seth menoleh pada Zizi yang sedang memakai bra.

"Aku takkan ke rumah itu." Jawab Zizi membuat Seth menatapi gadis yang sudah memakai seluruh bajunya yang hanya tiga potong itu.

"I- ... I don't have a good relation with her. That's all," ucap Zizi lalu mengecup bibir Seth yang tak membalas, "Bisakah kau bukakan pintu rumahmu, please. Aku mau pulang." Pinta Zizi membuat Seth diam beberapa saat.

"Sure," jawab seth pada ahirnya setelah menatap wanita yang meski memandangnya, pikirannya seolah berada ditempat lain.

Send: ambulans datang kerumah istrimu, aku tak ingin terlibat dengan hal ini camkan itu. Z

Ping: bagaimana kau tau?

Send: pentingkah ibu? Jangan libatkan aku! aku muak dengan kalian. Z

Ping: kau sudah terlibat anak bodoh! jika tak ingin terlibat lebih, tutup mulutmu dan lupakan yang kau lihat!

"Kau tak perlu memberi tahuku, Ibu" ucap Zizi menginjak pedal gas. Menembus jalanan dini hari yang seakan tak mengenal kata lelah. Ia bahkan tak perduli melihat bi Lisa menenangkan Arimbi yang menangis.

*

Arimbi yang terus menangis ingin ikut Arum itu ahirnya tertidur dengan mata sembab dan hidung merah. Tangan kecilnya memeluk tas kertas berisi permen yang belum dibuka dari pembungkusnya. 

Membuat wanita yang wajah kantuknya hilang itu sesekali menatap ponselnya sendiri yang bunyinya ia tunggu, ingin mendengar kabar tentang keadaan nyonya rumah tempatnya bekerja. Wanita baik dan lembut yang memperlakukannya tak seperti bawahan ataupun orang yang digaji karena tenaganya dibutuhkan.

"Ya Allah, berikanlah yang terbaik pada Mbak Arum dan keluarganya," do'a tulus yang terucap dari bibir Bi Lisa yang selesai menjalankan solat subuh itu terdengar begitu tulus, lalu menatapi gadis kecil yang tertidur lelap diatas kasur memeluk hadiah dari sang mama yang dibawa ke rumah sakit segera setelah ambulan datang.

Setelah melipat mukena dan membetulkan selimut untuk menutupi tubuh kecil yang matanya sembab, sedikit ragu wanita yang memutuskan keluar dari kamarnya itu membawa lap dan air dalam ember. ia membersihkan darah yang sudah mengering meski tak banyak, berharap nona kecilnya takkan pernah melihat.

Kring...kring...

Suara telepon yang ahirnya berbunyi membuat Bi Lisa berlari cepat menghampiri meja telepon dan mengangkat gagang telepon dengan nafas tersengal.

"Halo?"

"Bi, ini Ali."

"Ah! iya, Den, bagaimana nyonya- mbak Arum bagaimana?"

"...."

Tak ada jawaban selama beberapa lama membuat bi Lisa menggenggam gagang telepon ditangannya erat. Tak ingin berpikir buruk. "Den Ali, nyonya ma-

Suara bi Lisa langsung tercekat merasakan matanya memanas.

"Mama ya, Bi?" ucap Arimbi yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya lalu naik kebangku memencet tombol speaker.

"Mama... mama... ini Arim, Ma. kapan mama pulang? arim janji gak akan nangis lagi, kapan mama pulang, Ma?" ucap bocah yang tampak semangat tapi tak ada jawaban dari speaker yang seharusnya terdengar.

"Bibi, telponnya gak rusak 'kan?" tanya bocah yang matanya sembab itu membuat Bi Lisa menggeleng pelan. "Terus kok gak ada suara mama? mama hallo mama...." panggil bocah yang mendekatkan telinganya pada telepon.

"Mama masih sakit, ya?" tanya Arimbi pelan.

"Makanya mama dibawa mobil wiu-wiu, mama sakit apa? Aku mau ikut mama--" ucap bocah yang matanya mulai tergenang air lagi dengan suara bergetar.

"Halo, Sayang. Ini Om Ali."

"Kok, Om Ali? Mama mana? Mama sakit ya? Arim mau kesitu Om, mau ketemu Mama," pinta Arimbi menghapus mata basahnya cepat.

"Arim janji Arim gak akan nakal, gak akan nangis kayak tadi, beneran deh Arim gak akan nangis," ucap Arimbi membuat Bi Lisa menghapus air matanya cepat tak ingin bocah disampingnya melihat.

"Sayang, bisa Om bicara sama bibi dulu?"

"Tapi...,"

"Nanti, Om Ali jemput Arimbi buat ketemu Mama."

"Beneran?" ucap Arimbi yang jadi semangat seketika.

Tak ada jawaban selama beberapa saat, "... iya, beneran, Sayang."

"Janji?"

"Iya, sayang. Om janji. tapi Arim harus dengerin kata-kata bibi ya?"

"Ok!" jawab Arimbi cepat tak lagi ingin menangis.

"Janji?"

"Janji!" ucap arimbi lalu menata Bi Lisa yang mematikan tombol speaker. 

Supaya suara Ali hanya terdengar dari gagang yang menempel ditelinganya. Dan bi Lisa hanya mengiyakan setiap ucapan Ali, sesekali menatap nona kecilnya yang menatapinya begitu berbinar karena bisa bertemu dengan Arum, sang mama yang pergi dibawa mobil wiu-wiu.

*

"Kenapa aku harus sekolah dulu sih, Bi~?" tanya bocah yang sedang disabuni oleh tangan terampil Bi Lisa.

"Biar pinter dan kalau dapat nilai A bisa ditunjukkan ke Mama."

"Hanya A? B atau C gak boleh?" tanya Arimbi polos tak urung membuat Bi Lisa tertawa melihat nona kecilnya memiringkan kepalanya lucu.

wajah serius Arimbi terlihat begitu menggemaskan.

"Tentu saja boleh, tapi nilai A lebih bagus dari B atau C, kan?"

"Ng... iya?" jawab Arimbi ragu lalu menutup matanya merasakan guyuran air dari shower yang diarahkan Bi lisa pada tubuh kecilnya.

"Sudah." ucap bi Lisa menghanduki bocah yang lalu digendongnya ke luar dari kamar mandi. 

"Apa mama akan senang kalau aku dapat nilai A?"

"Tentu saja, bibi juga akan senang kalau nona kecil dapat nilai A." Jawab wanita yang mendapati tatapan menyelidik Arimbi yang memeluk lehernya.

"Tapi, papa tidak pernah suka aku dapat A," ucap gadis yang membuat sang bibi terdiam mengingat tuannya yang jarang dirumah.

"Kenapa Neng Arim berpikir begitu? Papa pasti senang Neng Arim dapat nilai bagus." Ucap wanita yang meletakkan Arimbi di atas kasurnya yang empuk lalu mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Papa tidak seperti mama, Bi, yang akan memeluk dan mencium Arim terus bilang 'anak mama pinter' papa hanya akan melihat sebentar lalu kembali pada- pada korannya atau berdiri terus pergi. Beda sama papanya Rei yang akan bilang Rei anak pintar meski Rei dapet nilai B atau C sambil mengusap kepala Rei. Papa ng...." ucap Arimbi berpikir keras dengan otaknya yang masih berkembang itu.

"Papa beda?" tanya Bi Lisa pada Arimbi yang menatapnya lalu mengangguk.

"Iya, beda. Tidak seperti papa Rei yang akan tersenyum atau mengelus kepala Rei kayak gini nih," ucap bocah kecil yang belum memakai baju itu memperagakan ucapanya sambil mengusapi kepala Bi Lisa.

"Terus tatapan papa Rei beda lagi, Bi," ucap Arimbi yang tatapan mata bulatnya disipitkan dengan senyum membuat sang bibi yang merasa hatinya terusik dengan ucapan sang nona kecil.

"Masa tatapan papanya Rei begitu?"

"Iya, Bi. beneran terus kalo papa kayak gini," Arimbi melirik kemanan seolah memperagakan tatapan Bagas yang tak lerduli dengan gaya polosnya, "terus papa balik lagi baca koran. Papa kayak gini nih," ucap bocah yang tampak tak mau mengalah dan menurut dipakaikan minyak telon yang membuat badannya hangat.

"Bibi, apa aku harus terus pake minyak bayi ini?"

"Minyak bayi?" 

"Iya, itukan minyak bayi. Nih lihat ada gambar bayinya."

"Tapi tubuh Neng Arim jadi hangat dan kita dijauhin nyamuk, lho."

"Emang nyamuk jadi takut kalo aku pake minyak bayi?" tanya bocah yang matanya membesar ini.

"Iya, bibi aja pakai."

"Beneran?"

"Beneran, dong," ucap Bi Lisa membuat Arimbi menghirupi badannya.

"Kok, Bibi gak bau wangi?"

"Bibikan belum mandi, Neng."

"Emang harus dipake habis mandi, ya Bi?" tanya Arimbi yang matanya membesar tiap kali mendengar hal-hal biasa yang membuatnya terkejut.

"Tidak juga, tapi bibi pake kalau mau tidur biar nyamuk jauh-jauh dan tubuh jadi hangat."

"Emang kamar bibi ada nyamuknya? Kamar Arim gak ada, terus kamar Mama juga gak ada."


Ocehan Arimbi berlanjut sampai gerbang sekolah lalu melambai sekali lagi pada Bi Lisa yang membalas lambaian gadis kecil yang berlari masuk ke dalam gedung ramai dengan suara-suara anak kecil. Meninggalkannya yang baru hari ini mengantarakan Arimbi ke sekolah karena wanita yang biasa mengantar jemput Arimbi masih berada di rumah sakit.

"Akh! Maaf" ucap Bi Lisa tak sengaja menabrak tubuh wanita yang berdiri dibelakangnya, meski sang bibi merasa sedikit heran apa yang dilakukan wanita yang wajahnya kaku itu berdiri begitu tepat di belakang tubuhnya padahal masih banyak tempat lain untuk wanita itu berdiri.

"Tidak apa, it- itu Arimbi 'kan? biasanya berangkat dengan mamanya?"

"Iya, Bu. tapi hari ini saya yang nganter."

"O- oh kenapa kalau bole-"

"Mama...! kenapa aku ditinggal?" ucap gadis kecil dengan pita pink dirambutnya, berlari turun dari dalam mobil dengan wajah cemberut.

"Yang sekolah kan aku. Kenapa malah mama yang jalan duluan!" sungut Carmen yang kesal pada wanita yang sengaja berdiri dibelakang tubuh Bu Lisa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status