Ali, yang membeli dua kaleng soda dingin dari fending machine menatap Marko berdiri menatap langit cerah tanpa awan sedikit pun. Sungguh berbanding terbalik dengan dua orang yang hatinya sedang kelabu itu.
Puk!
Tangan Ali menyentuh pundak marco yang menoleh dalam diam.
"Minum dulu biar dingin," ucap Ali menunjukkan senyum menenangkan, membuat Marko mengangguk dan membuka pengait kaleng yang menimbulkan suara berdesis.
Cess..cesss...
"Better?" tanya Ali melihat Marko menarik nafasnya setelah menengguk beberapa kali kaleng soda ditangannya itu.
"Aku, bener-bener gak tau apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Li," ucap pria yang membuat Ali tersenyum lalu menuntun tangan Marko agar duduk di kursi besi panjang di samping tembok rumah sakit yang aromanya begitu khas.
"Apa yang akan terjadi setelah ini?" tanya Ali membuat Marko menatapnya.
"Arum dan Arimbi mereka hanya punya satu sama lain sejak awal walau ada suami dan ayah yang terlalu banyak tak hadir dalam hidup mereka. Tapi sekarang bagaimana?" ucap Ali membuat Marko menarik nafas panjang.
"Arum bilang mau bercerai semalam. Tapi bagaimanapun status mereka masih suami istri, dan setakperduli apapun, Bagas tetap ayah Arimbi, Ko." suara Ali bergetar, "dan kita, sedekat apapun dengan Arum dan Arimbi. Kita tetap orang luar yang tak terikat darah sama sekali. Kita berdua hanya orang luar, Ko."
Mendengar kebenaran itu membuat Marko yang bahkan tak terpikir sampai sana jadi diam. Ia hanya berpikir akan menjaga dua ibu dan anak itu tak kurang dan tak lebih. Menjaga mereka sepenuh hati dan tanggung jawab. Berdua Ali, pria yang pasti akan melakukan hal sama.
Ucapan Ali, kekasih yang pembawaanya selalu tenang itu membuat Marko menyadari apa yang Ali ucapkan adalah kenyataan. Setaksenang apapun dirinya.
Ia dan Ali tetap orang luar bagi keluarga Arum sedekat apapun mereka.
Setelahnya dua pria yang saling bergandengan tangan itu hanya diam tak perduli pada beberapa pasang mata yang menunjuki keduanya. Orang-orang yang tampak mengenali wajah tampan dua pria yang wajahnya femiliar atau hanya mengagumi betapa elok ciptaan tuhan dengan segala rasa yang menjadikan mereka manusia.
*
"Arimbi!" seru Rei, menghampiri gadis kecil yang tingginya hampir sama dengannya itu.
"Kamu lagi apa?" tanya Rei ikut duduk disamping bocah kecil yang menatapi kumpulan bunga warna-warni yang begitu cantik di mata bulat itu.
"Kalau aku petik bunganya, Miss Eva marah tidak, ya?" tanya Arimbi pada Rei.
"Kalau ketahuan, pasti marah. Miss Eva, kan galak." Jawab Rei membuat wajah Arimbi sedih.
"Petik aja." Ucap Rei cepat, lalu mematahkan setangkai bunga dahlia warna merah yang sudah mekar sempurna.
"Jangan, Rei. Nanti Miss Eva marah sama Rei," cegah Arimbi menyentuh tangan Rei hendak mematahkan bunga ke-2.
"Kan, kalau ketahuan. Kalau tidak tak akan kena marah, kok." Ucap Rei lalu tersenyum, "lagian, aku udah sering dijewer sama Miss Eva," ucap Rei entah bangga entah malu dan mengusapi ujung hidungnya yang tiba-tiba jadi gatal.
"Tapi, aku tak ingin Rei dimarahi Miss Eva karena aku," ucap Arimbi membuat Rei menatapnya.
"Oh, ya sudah. Dirumahku ada banyak bunga seperti ini nanti aku mintakan bungannya sama mama buat Arimbi," ucap Rei membuat mata Arimbi bersinar lalu mengangguk.
Entah kenapa wajah Arimbi yang tersenyum membuat Rei senang, "nanti Arimbi langsung pulang kerumahku aja, ng..."
"Main?"
"Iya, main, main sama metilon bunga."
"Ok." Jawab Arimbi cepat. tapi, segera membuka mulutnya yang ingat hari ini ia akan dijemput Om Ali untuk bertemu mama.
"Rei-"
"Cepetan, Miss Eva." Suara tak sabar membuat Arimbi urung berucap, "tuh 'kan, Miss, aku bener. Rei sama Arimbi lagi metikin bunga!" seru carmen menarik tangan Miss eva.
Membuat dua anak kecil yang merasa tertangkap basah langsung berdiri takut-takut, setidaknya untuk yang perempuan sedang yang laki-laki tampak kesal mendapati senyum Carmen yang sangat menyebalkan penuh kemenangan.
"Aduh, sakit, Miss," ucap Rei merasakan jeweran ditelingannya membuat Arimbi menatap bocah nakal itu cepat.
"A- aku yang salah, Miss," ucap Arimbi cepat namun takut-takut, membuat Miss Eva melepaskan jeweran tangannya pada kuping Rei yang lebar. Rei langsung mengusapi telinga dengan jamari-jemari kecilnya yang putih. Sementara Carmen yang melihat terlihat senang sambil mengejek Rei pelan, "sukurin!"
Guru galak yang jeweran mautnya terkenal itu menatapi Arimbi, "baiklah, Miss, tidak akan marah. Tapi, katakan pada Miss Eva kenapa Arimbi melakukan itu?" ucap wanita yang tau, gadis kecil yang takut-takut menatapnya dengan meremas rok seragamnya kuat ini tak bohong.
"Untuk, mama, Miss," ucap Arimbi yang ahirnya berani menatap mata guru galaknya itu. Wanita yang lalu duduk menjajarkan kepala.
"Untuk mama?" ulang Miss eva menyentuh tangan Arimbi yang kuku jarinya sudah memutih, lalu diraihnya dan diusapinya lembut. "Mama Arimbi, kenapa?" tanya miss Eva paham, ada sesuatu yang mengganggu muridnya ini.
Gadis kecil yang biasanya tak suka melanggar peraturan. Beda sekali dengan murid laki-laki disebelahnya yang hampir tiap beberapa saat sekali mendapat jeweran tangannya.
"Mama naik mobil wiu-wiu karena tidur di atas lantai," jawab Arimbi yang mata bulatnya jadi basah dengan suara bergetar. Membuat Miss Eva diam, berpikir mobil apa yang digambarkan gadis kecil yang jadi menangis didepannya ini-
Ambulans...!?
Miss Eva yang biasanya punya banyak kata itu hanya bisa memeluk gadis kecil yan matanya sembab basah lagi, Arimbi yang ceria bahkan murung sejak pagi.
Wanita yang tak tau harus berkata apa itu hanya mengusapi punggung Arimbi sampai tangis bocah cantik ini reda meski meninggalkan isak sementara Rei diam memperhatikan Arimbi menangis. Tidak seperti biasanya, penuh tawa dan celoteh.
"Baiklah, miss akan memaafkan Arimbi dan Rei kali ini saja. Tapi, besok-besok jika kalian mau mengambil sesuatu yang bukan milik kalian, kalian harus izin dulu, mengerti?" ucap Miss Eva mengusap sisa air mata Arimbi yang mengangguk. Lalu menyeka ingus Arimbi yang membuatnya tak jijik sama sekali, malah lucu.
"Promise?" tanya miss Eva.
"Pomis." Jawab Arimbi mengusap hidungnya yang terasa basah dan gatal.
"Rei?" tanya Miss Eva menatap Rei yang menunjukkan jari kelingkingnya.
"I promise, Miss." Jawab Rei lantang dan lancar. Tak urung membuat wanita galak itu tersenyum melihat bocah lelaki kecil pembangkang berucap dengan penuh kesungguhan.
kesungguhan yang akan dilanggar dengan kenakalan lain beberapa saat lagi.
"Kalau bohong, Miss tak akan memberimu jatah puding hari ini," ucap Miss Eva lalu tertawa melihat penolakan sepenuh hati dari bocah nakal pecinta puding dihadapannya.
"Well, kalian boleh menyimpan bunga yang sudah kalian petik, tapi jangan petik lagi, paham Rei?" ucap miss Eva yang nada lembutnya berubah seperti biasa lagi. tegas.
"Aku tak boleh petik satu lagi, Miss?" tawar Rei yang mendapat jeweran lagi dari gurunya itu.
"Ayo, main lagi dengan yang lain, Miss Eva lihat tawon besar di sana?"
"Mana?" tanya Rei penasaran dan menurut saja digandeng Miss Eva saat melihat lebah yang tampak mengancam ada anak-anak nakal mengganggu makanannya.
"Week!" julur lidah Rei pada Carmen yang terkejut Arimbi dan Rei tidak dihukum.
Meskipun, Carmen tak tau kenapa ia rasanya jadi kesal sekali dan menginjaki tanaman cantik beberapa kali lalu lari sambil berteriak karena lebah yang jadi benar-benar marah mengejarnya.
Sementara bule kecil yang meski tak mengerti dengan apa yang ia dengar, tampak paham gadis yang memberinya permen sedang bersedih hari ini. Dan ia tak suka melihat Arimbi bersedih.
*
"Hanya itu?" tanya wanita yang sedikit tak percaya dengan apa yang didengarnya dari pembantu yang tinggal bersama keluarga putra sulungnya itu.
"Benar, Nyonya," jawab Bi Lisa tak berani menatap mata dingin Sukma, perempuan paruh baya yang dandanannya masih modis dengan wajah kencang hasil perawatan yang tentu tak murah.
"Baguslah, kau boleh pergi." Titah wanita yang memang pongah itu seperti mengusir lalat.
"Saya mohon diri, Nyonya Sukma," ucap Bi Lisa menjauh dan rasanya ia bisa bernafas wajar setelah tak lagi bisa melihat ibu mertua dari pemilik rumah yang datang dan bertanya macam-macam. ini-itu. Tanpa henti. Bahkan berulang seolah ingin memastikan sesuatu. Tapi ada yang lupa ditanyakan wanita pongah itu, yaitu keadaan sang cucu, Arimbi.
"Kasian, Neng Arimbi," bisik Bi Lisa begitu pelan takut ada yang mendengar meski hanya ada tembok dan peralatan dapur di sekitarnya.
"Tapi, kenapa bu Sukma sampai bertanya seperti itu ya? setauku memang tak ada yang datang," Bi Lisa jadi merasa ngeri mengingat wajah wanita angkuh dan dingin yang ditinggalkannya sendirian duduk di ruang tamu.
Sekali lagi Sukma menatap lantai di bawah kakinya. Tatapannya begitu dingin. Lalu memperhatikan anak tangga melingkar yang ditatapinya sampi anak tangga teratas. Membuatnya memejamkan mata sesaat dengan tangan mengepal kuat dan tarikan nafas yang membuat sekelilingan senyap.
"Bagus kalau ia takkan bangun lagi tapi aku tetap harus melakukan sesuatu," bisik Sukma menatapi foto-foto yang penuh tawa dari figura-figura kecil di atas meja. Sukma berjalan keluar meninggalkan satu bingkai foto gadis kecil yang dibaliknya ke bawah meja. Meninggalkan hawa menyesakkan meski Sukma sudah pergi beberapa lama.
Apa yang akan dilakukannya?
Apapun itu pasti sesuatu yang takkan bisa dibalikkan lagi melihat tekad dimata Sukma yang dingin begitu menjerat dan tak ada jalan mundur. Karena semua sudah dipotongnya dengan paksa, "hal itu harus kulakukan toh menantu bodohku takkan bangun lagi karena tak boleh ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam. Tidak seorang pun."
Seth, pria berusia 22 tahun itu turun menyusuri tangga, hidungnya tergelitik saat mencium harum kue yang membuat perutnya berbunyi.Black forest dengan potongan stroberi yang sudah dilumuri lelehan coklat mengeras ditiap potongnya membuat Seth mengambil sepotong lagi untuk mengganjal perutnya yang lapar."Enakkan?" tanya wanita yang masuk dari arah taman mengejutkan Seth yang hampir saja tersedak."Kau beli dimana, Mom?" tanya seth pada wanita yang hanya terpaut usia 7 tahun dengannya. Panggilan itu terdengar hanya saat ia di rumah, saat diluar seth akan memanggilnya mira atau miranda."Aku beli dijalan pulang bersama Lisa," ucap Miranda meletakkan gelas berisi air putih di depan Seth yang berterimakasih."Teman baru?""Yups, my new friend's, dia tetangga depan rumah kita," ucap Miranda membuat Seth menatapnya dan berhenti mengunyah."Bukannya wanita cantik itu diba
"Anda baik-baik saja pak bagas?" tanya dokter yang masih gagah itu bertanya pada lelaki yang hanya diam membisu pada penjelasannya mengenai kondisi Arum, sampai Bagas menatapnya."Ya, Dok. Hanya saja saya jadi merindi- lupakan, Dok." ucap Bagas yang bulu halusnya berdiri membuat dokter Anggodo menatapnya."Hanya itu yang bisa saya sampaikan saat ini, saya harap Pak Bagas bersabar dan bisa menerimanya kondisi Bu Arum," ucap Dokter Anggodo membuat Bagas mengangguk.Meski jelas terlihat, ia tidak paham mengangguk untuk apa? atau kenapa ia mengangguk?Lalu menyalami dokter yang memberinya senyum simpati. Pamit.Bagas, menatap langit yang begitu terik dan menarik nafasnya panjang, ekspresi wajahnya sungguh tak bisa dibaca."Arum Wijaya, jika aku tak memilihmu, hidupmu pasti takkan berahir seperti ini," ucap Bagas menutup matanya lagi tapi langsung terbuka dengan cepat melihat sekelebat bayangan wanita yang menggelinding dari tangga begitu cepat tapi
"Kemari, Sayang."Arimbi masuk dengan menatapi orang-orang dewasa, tangannya masih memegang erat permen lolipop yang ingin ia berikan pada Carmen.Suasana nursery jadi sepi beberapa lama, apa lagi Maya diam dengan menutup rapat mulutnya menatap gadis kecil yang berjalan pelan dan menatap kepala yayasan yang tersenyum mengusap kepala Arimbi."Ayo, ucapkan yang mau Arim bilang sama Carmen," ucap wanita bertubuh tambun itu membuat Arimbi menatapnya lalu mengangguk dan mendekat pada ranjang nursery. Gadis kecil imut itu memiringkan kepalanya bingung lalu menoleh."Carmen tidur, Oma," ucap Arimbi memandang kepala yayasan. Membuat beberapa kepala tak percaya dengan panggilan yang diberikan Arimbi pada wanita bertubuh tambun itu."Tidak apa, Sayang. Kalau begitu ucapkan pada mamanya carmen saja, ok?" ucap kepala yayasan tak perduli pada perubahan sikap Maya saat gadis kecil itu menatapnya lalu mengangguk.
"Batalkan rencanamu hari ini, sore nanti kita akan menjenguk menantuku""Apa?!" ucap Zizi melepaskan diri dari pelukan Sukma."Kau dengar Zizi dan jangan membantah. Keluarlah, ibu mau tidur dulu.""Ta-Tapi aku harus membeli ponsel, Ibu." Ucap gadis yang membuat Sukma menatapnya."Bukankah baru minggu lalu kamu beli ponsel Zizi? pergilah tapi pulang sebelum jam lima.""Ya, Ibu." Balas gadis yang lalu keluar. Meski enggan ikut ibunya ia tetap harus menurut dan Zizi paham betul akan apa yang harus ia setujui dan lakukan."Setidaknya, aku ingin tau apa yang terjadi pada kakak iparku" ucap gadis yang merogoh kunci mobilnya dari dalam tas dan langsung masuk setelah memencet tombol kecil yang membuat pintu mobil terbuka seketika."Apa aku kerumah Seth saja? kuharap ia tak marah padaku." ucap gadis yang melihat tampilan dirinya dalam spion dan melajukan mobil cepat setelah
"Arimbi, kangen banget sama mama, Om."Sungguh kalimat yang terlalu wajar mengingat seberapa dekat gadis imut ini dengan sang mama. wanita yang tak akan bangun lagi dari tidurnya selama apapun waktu berlalu.Tapi apa yang akan dikatakan Ali, pria yang hanya bisa diam mendapati mata Arimbi. Mata yang begitu jernih dan polos ini?Tatapan yang seakan menusuki ruang sanubarinya. Bagian terdalam dari rasa yang bahkan membuat Ali tak mampu mengatakan jika Arum takkan lagi bisa memeluknya jika Arimbi sedang merasa sedih ataupun bahagia, takkan lagi mengusapi pipi kenyal dan lembut Arimbi baik dengan tawa atau gemasnya, takkan lagi mendongengkan pak tani yang timunnya diganggu si kancil nakal disetiap malam bersama dekapan lembut pengantar tidur Arimbi.'Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan pada gadis kecil kesayanganku yang hanya punya mamanya ini?' batin Ali menahan agar matanya tak berkaca-kaca."Kita akan
Bi Lisa meletakkan segelas jus tomat yang dipesan Zizi. Gadis yang tumben mau bertamu dan duduk begitu santai memainkan ponsel. Sesekali memfokuskan pandangan matanya ke rumah depan yang tampak sepi.Kuku jarinya yang panjang dan dipoles warna-warni menggantikan warna merah terang di salon tadi, sesekali menjentik tak sabar diatas sofa empuk dan nyaman di teras.Meski tak merasa aneh, pada kedatangan Zizi yang hanya sekali saja menanyakan sang nyonya yang ada dirumah sakit. Tak urung membuat Bi Lisa bertanya pada dirinya sendiri kenapa gadis modis di depan itu tampak hanya basa-basi menanyakan keadaan Arum yang seharusnya lebih diketahui Zizi, mengingat ia adalah adik ipar Arum.Mirip seperti Nyonya Sukma ibunya, gadis yang dandananya tebal itu tak sekalipun menanyakan kabar Arimbi. Dan terus saja melongok ke depan tiap ada suara mobil terdengar. Mata berlensa kontak itu seolah mencari apa yang tidak Bi Lisa ketahui."Mbak Zi
Gadis kecil yang terlelap dalam tidurnya itu terbangun seketika. Wajah kantuknya tampak bingung dengan pemandangan yang terlihat asing. Tapi Arimbi tetap diam, mengedarkan pandangan matanya berkeliling mencari kehangatan tangan yang masih bisa ia rasakan di kepala. Usapan lembut dari wanita yang begitu ia rindukan.Tangan hangat yang rasanya masih begitu kepala Arimbi ingat dan rasa.Mata bulat yang begitu jernih itu menatap berkeliling mencari sosok yang dikenalinya. Dirindukannya. Tapi tak ada. Wanita yang ia cari tak ada dimanapun.Bibir merah yang masih basah itu tampak bergetar, begitupun cuping hidung kecilnya yang kembang kempis diiringi air yang mulai menggenang dimata bak menjangan yang sedih tak menemukan wajah femiliar yang belum dijumpainya sejak ia tidur berdua dengan sang mama di atas ubin yang dingin. Sejak sang mama dibawa mobil wiu-wiu dan membuatnya menangis karena tak di izinkan ikut. Tapi, Arimbi cepat menghapus ma
Bagas, pria yang masih menatap ponselnya itu menarik nafas dalam.Tangannya terus memegangi ponsel yang menyala dengan pesan yang masuk berkali-kali dari Maya. Sampai wajah carmen yang sembab dengan hidung merah dan dengkul di tempeli plester terlihat di layar ponsel. Membuat perasaannya yang sudah tak menentu makin kacau saja."Arimbi nakal, Pi. Aku didorong sampai jatuh.""Sakit banget, Pi.""Keluar darah banyak.""Tapi, Arimbi gak mau minta maaf sama aku.""Arimbi, jahat sama aku, Pi."Ucapan carmen yang menelponya beberapa saat lalu membuat hatinya gusar. Apalagi ucapan Maya yang tampak sangat tak terima anak mereka disakiti Arimbi yang juga putri Bagas dengan wanita yang sedang berbaring diatas bangsal rumah sakit.Wanita yang mungkin tak akan lagi bangun karena mati otak."Apa yang diajarkan Arum pada putrinya itu?" ucap Bagas pelan mengulang ucapan Maya, yang membuat Bagas s