Dua jam lamanya gadis itu memainkan kecapi di depan Brawijaya. Namun, tidak sedikit pun menarik perhatian Raja itu. Amarawati hanya bisa bernapas lirih melihat Brawijaya yang justru menatap dalam kekosongan.
"Bolehkah saya masuk?" Gadis itu menunduk setelah Raja memintanya memainkan musik di dalam kamar miliknya.
"Saya tidak bisa tidur. Musikmu terdengar sangat indah hingga saya merindukan alunan nadanya. Tidak perlu khawatir, saya yang akan menjamin keselamatanmu, Nara."
Kinara masih ragu, tetapi ia memberanikan diri untuk menerima ajakan Raja. "Jika begitu, saya akan membawa alat musik saya ke dalam kamar Yang Mulia."
Raja mengangguk. Ia menunggu kedatangan Kinara di dalam kamarnya. Tidak berselang lama, Kinara datang. Gadis itu duduk di bawah ranjang milik Raja. Sedang Raja tersenyum sembari membaringkan tubuhnya. Jari-jemari Kinara mulai bermain memetik kecapi. Alunan merdu membuai siapa pu
Ant, aku masih hidup. Berdiri di bumi dengan langit biru di atasnya. Mungkin ini sulit untuk dipercaya, tetapi inilah apa yang tengah aku jalani. Aku tidak tahu bagaimana caranya keluar dari tempat ini. Dan juga ... cara untuk kembali sewaktu-waktu jika aku merindukan orang-orang yang ada disini. Namun Ant, aku kembali menemukan hidupku. Maaf, Ant aku telah sedikit melupakan aku yang dulu. Orang itu, datang dan membawaku pada mimpi yang seringkali kau tanyakan. Aku menyesal mengatakan padamu jika itu mimpi buruk. Ant, perkataanku salah! Dia benar-benar memberiku energi untuk kembali. Tunggu aku, aku pasti pulang, Ant.Zahra menerawang wajah Raden yang sedang diam menatap beberapa bunga di taman dari balik jendela. Untuk hari ini, Zahra ingin sekali menggantikan posisi selimut yang sedang menghangatkan tubuh lelaki itu. Ia kembali menuliskan catatan di bukunya setelah puas menikmati pemandangan baru di rumah Bumyen.Ant, temanku. Aku tahu, ak
Gadis berkepang dua bernama Zahra berdiri termangu di dalam pondok. Lagi dan lagi ia mengosongkan pikirannya. Ditemani Hans dan Miko, Zahra tidak perlu takut sendiri. Malam itu, Raden baru saja berpamitan untuk mengikuti kenduri setelah selesai salat isya' di surau. Ia pun untuk kali pertama di desa itu ikut salat bersama dengan penduduk yang lain. Jamaah disana nampak ramah, tetapi beberapa mempertanyakan wajah Zahra yang begitu natural tanpa ada satu pun kerutan. Di masa ini, sudah seharusnya usia Zahra memasuki kepala empat. Namun, sampai sekarang fisiknya masih bugar dengan wajah khas remaja. Tidak hanya fisik, tetapi perasaan dan tingkah laku Zahra masih begitu labil pula."Hans, Miko, apakah aku terlihat aneh di mata kalian?""Sangat!" Mereka menjawab bersamaan. Zahra mendecih mendengar kekompakan kedua sahabatnya itu."Yang lebih spesifik, dong! Misal, aku tuh anehnya dimana?""Semuanya." Lagi-lagi mereka kompak menjawab.
Tengah malam Kinara terbangun setelah seseorang mencubit-cubit pipinya. Matanya sayu menatap anak lelaki tampan yang baru saja menyelinap diam-diam ke dalam kamar seorang pelayan."Raden Wijaya? Ada apa?" Suara Kinara terdengar serak. Ia mengusap matanya pelan. Pangeran kecil itu menarik tangan Kinara dengan semangat. "Raden, jangan.""Untuk malam ini saja, Kinara. Ayo mainkan musik untukku.""Raja tidak akan senang mendengar ini. Dan, bagaimana jika seseorang tau Raden ada di kamarku?""Tenanglah, aku sudah merencanakan semuanya dengan sangat baik. Malam ini, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang saaaangaaat indah!"Kinara tersenyum mendengar nada yang begitu ceria dari mulut Brawijaya. Ia tidak ingin membuat senyum itu hilang. Isyarat anggukan pun menjadi sebuah jawaban Kinara untuk Brawijaya.Mereka berjalan mengendap-endap menghindari para penjaga. Mata Kinara fokus mengikuti arahan Brawijaya yang nampak cerdik den
Zahra terkepung diantara bisik-bisik para penduduk. Hamparan nyala obor mengawasi jarak yang sangat dekat. Meskipun kain milik Raden telah menutupi sebagian wajah--dari hidung hingga dagu, mata awas itu masih menelisik tiap jengkal wajah yang tersohor di desanya."Aku takut," cicitnya, memundurkan langkah. Kapten Bum meraih tangan Zahra, membawa anak angkatnya bersamaan dengan gerombolan para penduduk desa."Tidak seharusnya kau berkeliaran tengah malam!""Kapten ...." Suara Zahra tercekat. Ia menoleh ke belakang, menatap Raden yang hanya diam tanpa mengikuti gerombolan yang membawa dirinya. "Jinbun ...."Lelaki semampai berjubah putih di sana tersenyum tipis menatap seorang gadis yang berharap penuh kepadanya. Tidak ada yang dapat dilakukan Raden setelah ia memutuskan untuk memajukan jadwal kepulangan ke kampung halaman. Genting beradu suasana hening menerpa dua saudara yang kini berdiri masih mengawasi para gerombolan pen
Gerimis baru saja reda setelah dua hari yang lalu baru saja mengguyur tanah di desa Zahra. Gadis dengan rambut ikal itu masih memenjarakan diri di di dalam kamar. Dua hari setelah didiagnosis abnormal Zahra tidak banyak berbicara. Kesehariannya selain tidur berganti-ganti posisi ia juga menghabiskan waktu dengan melukis di taman.Biar pun ia lemah tiap mempelajari materi di sekolah, tetapi Zahra memiliki bakat melukis yang terbilang hebat. Tiap goresan yang ia lukis di atas media kanvas nyatanya selalu menuai pujian dari bibir yang tak sengaja memandang. Namun, bukan itu yang kini ia damba. Zahra mengalami kekosongan batin yang mendalam. Ia layaknya manusia tanpa nyawa yang berdiri tegap di atas muka bumi."Zahra."Bumyen berjalan mendekati anak gadis berparas ayu yang menjadi buah bibir desa. Gadis itu diangkat resmi menjadi keluarganya. Biar pun ia sempat mencoba membunuh Zahra fakta mengenai ketulusan hati gadis itu sulit ia t
Tubuh Zahra tiba-tiba membeku di tempat. Persendiannya kaku--tak bisa digerakkan sedikit pun. Namun, satu hal yang begitu menyiksanya sekarang ialah merasakan pening hebat tanpa dapat mengeluarkan suara lirih."Saya bukan ahli sihir! Tolong jangan sakiti anak saya!"Samar-samar ingatan tentang Kinara berputar kasar di kepala Zahra. Anehnya, gadis yang ia anggap sebagai raga utama itu tengah mengandung. Zahra bernapas lambat--alur oksigen masuk perlahan ketika Kinara kembali mengambil alih."Aku berjanji akan pergi dari sisi Raja, tapi kumohon, jangan pernah sakiti anakku!"Ada apa dengan Kinara? Siapa ayah dari bayi yang ia kandung? Pertanyaan itu berkecamuk di dalam kepala Zahra. Selang beberapa detik, pernapasannya berjalan normal. Tubuh Zahra lunglai ke dasar. Ia melirik ke depan--menatap bagaimana para prajurit masih mengintimidasi Bumyen dan Galih."Kenapa kalian datang kepadaku?! Kemana Raja yang Agung itu?! Apa
Hidup itu terbagi dua. Abadi dan fana. Namun, entah yang mana Zahra berada diantara dua golongan hidup. Bahkan saat ia dihujani dengan rasa sakit pun ia masih terjebak di dalam kecemasan. Seakan tabir itu begitu kokohnya mengukung Zahra dalam dimensi waktu yang tidak masuk akal."Zahra?"Wajah lelaki tirus dengan kulit putih susu menyapa pagi Zahra. Dia duduk membawa segelas air putih dan sepiring nasi. Zahra terdiam beberapa detik. Ia mengumpulkan kesadaran penuh setelah beberapa hari terkecamuk peristiwa sehari yang lalu."Kenapa kamu kembali?" Bibir Zahra yang kering pucat teratup."Kamu makan dulu, ya." Lelaki itu membantu Zahra duduk, tetapi tangan Zahra lebih dulu menampik tangannya. "Zahra.""Jinbun!" Zahra mendorong piring yang dibawa Raden Patah hingga nasinya jatuh berserakan. "Kamu harusnya malu! Meninggalkan aku dan menyelamatkan aku tanpa membawa serta ayahku!""Jadi, kamu masih tidak percaya jika a
Zahra terdiam untuk beberapa saat. Ia menyingkirkan tangan Raden Patah agar menjauh dari wajahnya."Setidaknya, hari ini kamu bercerita mengenai kabar ayahku."Entah bagaimana nasib Kapten itu sekarang. Jika pun selamat sudah dipastikan ia dibawa para prajurit Majapahit ke Istana. Apa yang ditakuti Kapten itu akan terjadi. Tentang Zahra yang akan pergi menemui Brawijaya dan membalaskan dendam pada Raja tersebut."Kita berdoa agar ayahmu senantiasa dalam lindungan Allah.""Allah?" Zahra mencebikkan bibirnya. "Dimana Allah ketika ketidakadilan terus terjadi padaku?!""Kamu tau? Tanda-tanda Allah menyayangi hambanya adalah dengan mengirimkan ujian kepada mereka. Dan ketika mereka melaluinya dengan sabar dan bertawakal, Allah akan mengangkat derajat hambanya."Angin bertiup lambat--menyisir helai perhelai rambut Zahra. "Omong kosong!" Wajah Zahra menatap depan dengan pandangan yang kosong. "Aku ... bukan hamba yang