Tubuh Acasha terpaku, manik violetnya bergetar, tak berkedip. Kedua tangannya menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Ia pun menelan saliva yang terasa gersang dengan susah payah.
"G-gaun siapa ini? Kenapa ... ada gaun pernikahan di sini?"
Ia pun memundurkan langkah dan kembali menarik kenop pintu untuk menunjukkan benda asing yang berada di kamarnya pada ibunya. Namun, begitu pintu terbuka ...
"Ah! Mom!" Acasha sontak terperanjat dan meloncat ke belakang. "Maaf, Mom .... Aku terkejut," gugup Acasha, menepuk-nepuk jantungnya yang berdegup kencang.
Varra yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kamar Acasha pun masuk ke dalam kamar dan melipat tangan di depan dada, memandangi manekin bergaun pengantin putih.
"Bagaimana? Kamu suka, kan?" tanya Varra sontak melebarkan kelopak mata Acasha yang baru saja tertunduk.
"Apa maksudnya suka, Mom?" Acasha mengerjap tak mengerti.
Varra memutar bola mata, lalu menatap gadis yang kebingungan itu dan menunjuk gaun pernikahan di hadapan mereka.
"Gaun ini. Kamu suka gaun ini, kan? Gaun ini baru saja dikirim oleh calon suamimu. Lihatlah! Aku tidak menyangka dia sudah mempersiapkannya sampai sejauh ini. Sungguh luar biasa!" celoteh Varra semakin membuat gadis beriris violet itu mengerutkan alis lebih dalam.
"Tunggu! Calon suamiku? Apa maksudnya ini, Mom? Aku ... tidak punya calon suami," bantah Acasha sekaligus memberi klarifikasi. "Pacar saja aku tak punya, apalagi calon suami?" batinnya menambahkan.
"Ah, apa aku lupa memberi tahu?"
Sebelah tangan Varra terlipat di depan dada, tangan kanannya menyentuh bibir yang sedikit terbuka. Namun, di balik tangan yang menutupi bibir itu, tersembunyi senyuman licik yang mencuat.
"Lusa kamu akan menikah, Acasha. Seseorang telah melamarmu kemarin dan aku menyetujuinya untukmu. Bukankah itu kabar baik? Kamu pasti senang, kan, Acasha?"
Pupil violet Acasha bergetar. "Bagaimana mungkin, Mom? Kita baru saja kehilangan Dad dan aku baru saja lulus. Aku juga belum bekerja dan membalas jasa Mom dan Dad."
"Balas jasa, ya? Bukankah menikah juga salah satu cara untukmu membalas jasa?" Varra menyentuh helaian gaun pengantin. "Menikahlah. Dengan begitu, kuterima balas jasamu dengan senang hati."
Acasha bergeming, menatap hampa gaun pengantin putih tanpa lengan yang elegan, tampak mengembang dengan berlapis-lapis tulle berkilauan. Tiara kecil yang indah juga veil wedding yang panjang menutupi bagian punggung yang terbuka. Gaun itu memang sangat indah. Indah sekali. Siapa pun wanita pasti akan sangat bahagia bila mengenakan gaun tersebut di hari pernikahan. Acasha pun memiliki perasaan yang sama seperti wanita lainnya. Tapi, menikah dan pernikahan bukanlah hal yang diinginkan Acasha untuk saat ini. Terpikirkan saja tidak.
"Kenapa Mom tidak bertanya padaku lebih dulu? Kenapa Mom menyetujuinya begitu saja tanpa menanyakan pendapatku?" tanya Acasha dengan raut sendu.
"Jadi, maksudmu, keputusan Mom ingin menikahkanmu ini salah? Kamu menolaknya, Acasha?"
Lagi-lagi Acasha hanya bisa terdiam. Larut dalam pikiran yang terus berteriak untuk berani menolak pernikahan yang sama sekali tidak diinginkan. Namun, hatinya berkata lain. Bukankah ini langkah besar untuk menyenangkan hati ibunya yang selama ini tak pernah sekali pun peduli maupun perhatian pada Acasha?
"Acasha, kenapa kamu diam? Kenapa tidak menjawab pertanyaan Mom?"
Varra mendekati Acasha yang tertunduk lesu.
"Selama ini, Mom tidak pernah meminta apa pun padamu. Dan sekalinya Mom meminta, kamu mau menolaknya? Apa karena tidak ada lagi Dad di sini, kamu tidak mau mengabulkan permintaan Mom?"
Jantung Acasha berdegup kencang. Ucapan halus sang ibu benar-benar menancap dalam ke relung hatinya. Ia akan mudah luluh jika sudah menyinggung perihal Stephen, mendiang ayahnya.
"Tidak, Mom. Bukan begitu," sahut Acasha dengan suara bergetar.
"Lantas?" Varra mengusap lembut rambut putih Acasha.
Debaran di dada Acasha semakin cepat.
"Aku ... mau. Aku akan memenuhi permintaan Mom," ucapnya lirih.
"Kamu bilang apa, Acasha? Mom tidak mendengarnya, hm?" dusta Varra di balik senyum sebaris yang sebenarnya sudah mendengar jelas ucapan Acasha.
"A-aku ... aku akan menikah, Mom. Lusa, aku akan menikah," ujar Acasha menaikkan intonasi.
Lengkungan senyum semringah terbit dari bibir Varra.
"Terima kasih, Acasha. Kamu memang anak yang berbakti. Dad pasti akan sangat bangga padamu. Kalau begitu, kamu bisa beristirahat. Kamu pasti lelah, kan? Oh, iya. Besok calon suamimu akan datang. Dia ingin melihatmu mencoba mengenakan gaun itu. Jadi, persiapkan dirimu sebaik mungkin. Mengerti?" celoteh Varra merasa puas, tanpa peduli dengan perasaan Acasha yang sebenarnya tercabik-cabik.
Ia pun mengusap pelan puncak kepala Acasha sebelum melenggang meninggalkan Acasha terduduk lemas di atas lantai.
"Inikah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kasih sayang dari Mom?" desah Acasha tersenyum kaku, menyentuh puncak kepalanya yang terasa hangat.
***
"Sampai kapan kau mau memelototi gaun itu? Calon suamimu sebentar lagi datang dan Mom menyuruhku untuk memastikan kau mengenakannya sebelum jam makan malam," bawel Gretta yang sudah sejak satu jam lalu terbaring di ranjang bernuansa pastel milik Acasha.
Sebenarnya, ia tak ingin berlama-lama berada di dekat Acasha. Namun karena Varra memaksa dengan iming-iming liburan panjang pasca pernikahan Acasha, Gretta pun terpaksa menyetujuinya.
"Ayolah .... Tunggu apalagi, Acasha? Kau sengaja membuatku dimarahi Mom?" gerutu Gretta mengambil posisi duduk dengan wajah kesal.
Acasha terus mengigit bibir sampai tak sadar menimbulkan luka. Tangannya sejak tadi menggantung di udara seolah takut jikalau gaun pengantin tersebut rapuh begitu disentuh. Dia berada di atas kebimbangan dan tak siap barang sekali pun menyentuh gaun pengantin yang sudah menjadi miliknya itu.
"Ck! Sini, aku bantu pakaikan!" decak Gretta tak sabar, bergegas turun dari ranjang dan melepaskan gaun dari manekin. "Aku melakukan ini untuk Mom, bukan untukmu. Cepat, pakai!" tukas Gretta membantu Acasha yang hanya bisa pasrah dan menuruti ucapan saudarinya.
Acasha menatap pantulan dirinya di cermin. Rambut dan kulitnya terlihat semakin terang dengan gaun putih yang dikenakannya. Namun, terasa dingin di saat yang sama.
"Yah ... kuakui, gaun ini sangat indah. Tapi, bukankah terlihat pucat?"
Gretta menyambar lipstik dan menorehkan warna merah terang di ranum gadis albino.
"Gretta, apa ini tidak berlebihan? Aku hanya perlu mencoba gaunnya saja, kan?" Acasha berusaha menghindari upaya Gtetta, tapi ia tak cukup gesit dengan gaun super fluffy yang kini membatasi gerak bebasnya.
"Sudah. Kau diam saja. Bukankah ini kali pertama aku berbuat baik padamu? Jadi, terimalah!" desak Gretta yang berhasil mengulaskan coretan merah terang di bibir Acasha dengan sempurna.
Tok tok tok.
"Acasha, apa kau sudah selesai? Calon suamimu ingin bertemu denganmu," celetuk Varra di balik pintu kamar.
Sontak membuat gadis berambut putih itu terperanjat. Seketika napasnya memburu, jantungnya berdebar tak karuan. Bukan karena senang ataupun menantikan kedatangan sang calon suami, melainkan takut, khawatir, dan tidak siap dengan situasi mendadak yang tidak diinginkannya sama sekali.
Gretta dengan sangat antusias berlari dan membuka pintu.
Ceklek.
"Ya, Mom! Acasha sudah siap."
"Silakan, Tuan. Di sebelah sini," ucap Varra mempersilakan calon suami Acasha masuk ke kamar sang calon istri.
Tap tap tap.
Suara langkah kaki yang teratur terdengar semakin mendekati pintu. Degup jantung yang semakin bertalu-talu seolah mengunci seluruh syaraf Acasha untuk tetap berdiri tegak dalam pijakannya dan tidak bergeser sedikit pun.
Pria itu berdiri di ambang pintu, tersenyum dengan seringaian, dan menatap Acasha dengan sorot mata tajam. Kemudian, ia berjalan perlahan penuh karisma, mendekat dan menatap lekat calon istrinya. Acasha membeku, menatap waspada iris merah menyala yang semakin dekat dan berdiri tepat di hadapannya.
"Akhirnya kita bertemu, Calon Istriku."
"Kurang ajar! Beraninya kau pada Tuan Orion!" teriak Gretta yang sejak tadi bersembunyi di balik bayangan Orion. Ia melesat cepat untuk melayangkan serangan kepada Acasha yang berdiri membelakanginya.Namun, dengan gesit, Acasha berpindah dari sana tanpa berhasil tersentuh barang seujung kuku. "Gretta, berhentilah! Aku tidak ingin menyakitimu."Mendengar ucapan Acasha, tubuh Gretta seketika menjadi kaku, kedua kakinya melekat erat dengan lantai dan anggota tubuhnya benar-benar tidak dapat digerakkan sama sekali."Ugh ... kenapa aku nggak bisa gerak? Apa yang kau lakukan padaku?! Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku!!" teriak Gretta sangat lantang."Gretta, apa tuanmu yang sudah mati itu tidak pernah mengajarimu sopan santun? Aku yakin dia sudah pernah mengajarimu, tapi sepertinya otakmu tidak sanggup menyerap pelajaran dengan baik," ucap Acasha dengan ekspresi dan suara bernada datar."Jaga bicaramu! Kau pikir, aku akan bersopan-santun padamu? Cih, jangan harap! Kau bukan Tuan Orion! Me
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan