"Bukankah tadi ... Nyonya bermaksud untuk menyampaikan hal ini pada Nona Acasha terlebih dahulu?" tanya sang pria utusan, khawatir salah dengar.
Varra duduk kembali di sofa. "Ya, memang. Tapi, kurasa ... dia pasti akan setuju. Ya. Dia pasti setuju. Apa lagi yang akan dia lakukan selain menikah?" desah Varra menaikkan kedua alis dan tersenyum lebar.
"Begitu rupanya," gumam sang pria utusan, meluruskan punggung. "Jadi, kapan kira-kira Nyonya siap untuk menikahkan putri Nyonya?"
Kelopak Varra berkedip cepat mendengar pertanyaan yang begitu mendadak. Lagi-lagi, bibirnya melengkungkan senyum manis.
"Secepatnya."
Sang pria utusan tersenyum miring. "Bagaimana kalau besok? Bukan. Dua hari lagi?" tanya sang pria tampan membuat Varra dan Gretta kompak terperangah.
"Apa? Hahaha. Anda tidak bercanda, kan? Bagaimana mungkin kita bisa mempersiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua hari?" gelak Varra menggelengkan kepala, tak percaya.
"Nyonya tidak perlu khawatir. Tuan Orion sudah mempersiapkan semuanya," tutur sang pria utusan menatap dengan mata gelap kemerahan yang tampak berkilat-kilat.
"Baiklah kalau begitu. Lagi pula, lebih cepat lebih baik," tukas Varra tersenyum puas.
Usai pembicaraan penting tersebut, sang pria utusan yang belum diketahui namanya itu pun undur diri dari kediaman Ignatius. Gretta yang sudah sejak tadi menahan diri di balik dinding pun menghambur menghampiri ibunya untuk menuntut penjelasan.
"Mom, Mom serius menerima lamaran Tuan Orion ... siapa itu? Mom belum tahu orangnya seperti apa, kan? Nama orang tampan tadi saja Mom tidak tahu, kan? Dan lagi, kita belum pernah mendengar nama Tuan Orion dari Dad," berondong Gretta menyejajarkan langkah di samping Varra yang kemudian mengambil air mineral di atas meja makan.
Ia terus mengamati gerak-gerik Varra yang meneguk minumannya hingga tandas.
"Mom? Jawab, dong," desak Gretta tidak sabar.
Terdengar desah panjang Varra. "Duduklah," titah Varra melirik kursi.
"Ya?" tanya Gretta memiringkan kepala, tidak paham.
Sekali lagi Varra mendesahkan napas, lalu mendudukkan Gretta—yang kemudian berkedip-kedip bingung—di kursi.
"Sekarang, kamu dengarkan ucapan Mom."
Gretta mengangguk patuh dan memperhatikan dengan seksama.
"Satu, Mom serius. Dua, Mom tidak peduli siapa dan bagaimana latar belakang orang itu. Tiga, bukankah ini lebih baik daripada harus buang-buang energi mengusir pembunuh itu?" beber Varra menggerakkan tiga jarinya ke kanan dan ke kiri.
"Ah ... ternyata begitu," angguk Gretta mengerti. "Tapi, Mom, kalau ternyata Tuan Orion benar-benar tampan dan seorang 'sultan' bagaimana? Aku 'kan juga mau. Kenapa bukan aku saja yang menikah dengannya, lalu kita yang pergi meninggalkan Penyihir Putih itu sendirian?" protes Gretta kemudian.
"Kau ini ... tidak dengar ucapan pria tampan utusannya tadi? Dia mau si Rambut Putih itu, Sayang. Biarkan saja dia menikahinya. Yang terpenting, kita bisa segera bebas dari kutukan anak tidak tahu diri itu. Toh, putriku ini sangat cantik. Pasti akan ada pria yang lebih tampan dan lebih 'sultan' daripada Tuan Orion ini," tukas Varra mengusap lembut dagu lancip gadis yang memiliki warna rambut cokelat, sama dengannya.
***
Tok tok tok.
"Acasha, bisakah kau buka pintunya?"
Gadis albino yang berhari-hari hanya bergelung di sudut ruangan memeluk pigura dirinya dengan mendiang sang ayah, perlahan membuka kelopak matanya, mengizinkan secercah cahaya menyusup ke dalam retina. Didengarnya samar-samar suara yang tak terdengar asing baginya.
"Acasha, Mom ingin bicara."
Sekali lagi, Acasha menajamkan telinga. Berusaha meyakinkan diri bahwa suara hangat yang didengarnya bukan sekedar imajinasinya saja.
"Baru kali ini Mom memanggil namaku," batin Acasha dalam hati.
Perlahan, ia mulai bangkit dan tertatih menuju pintu dengan pigura masih dalam dekapan. Ia tak peduli bagaimana kondisi tubuhnya, kesehatannya, bahkan penampilannya yang tidak terurus.
Yang ia pedulikan sekarang hanyalah perasaan haru dan gembira karena untuk pertama kalinya Varra menyebut dan memanggil nama Acasha.
Ceklek.
Pintu yang sudah seminggu lebih lamanya tidak pernah terbuka, akhirnya menampakkan wujud sang empu kamar yang sangat memprihatinkan.
"Oh, My God!" pekik Varra terbelalak, sebelah tangannya menutupi mulut yang menganga, tatapan manik cokelatnya memindai setiap sisi tubuh kurus gadis pucat berambut putih di hadapannya yang sangat lusuh dengan gaun yang sudah tak pantas disebut gaun, rambut panjangnya pun kusut dan acak-acakan.
"Apa yang terjadi padamu? Kau ... apa selama ini kau tidak mengurus diri?"
Varra masih terlihat syok melihat sosok menyedihkan di hadapannya.
"Ah, tidak bisa. Ini tidak boleh dibiarkan," gumam wanita berambut cokelat itu menggigit jari.
Sedangkan Acasha yang terpaku di ambang pintu, hanya menatap Varra dengan tatapan lugu. Rasa yang begitu asing, tapi cukup menyenangkan untuknya.
"Apakah Mom khawatir padaku?" batinnya menerka-nerka.
"Acasha, tolong bersiap-bersiap. Setelah ini, kau harus pergi ke salon dan spa bersama Gretta. Okay? Kau tidak boleh seperti ini," tukas Varra setelah beberapa saat berpikir.
Ia pun bergegas turun dan terdengar memanggil Gretta yang saat itu berada di ruang makan.
"Benarkah? Ini ... bukan mimpi, kan?" gumam Acasha seraya mencubit pipinya yang mulai tirus.
"Auw! Sakit!" Mengusap pipi yang memerah.
"Benar, ini bukan mimpi. Ini nyata! Dad, akhirnya Mom menyebut namaku. Nama Acasha, Dad! Dad seharusnya bisa mendengar ini secara langsung. Andai ... Dad masih ada di sini bersamaku, pasti Dad juga akan senang," ujar Acasha mengusap lembut potret mendiang Stephen dengan mata berkaca-kaca.
"Baiklah. Sekarang aku harus bersiap-siap. Aku tidak boleh mengecewakan Mom dan Gretta," tekad Acasha mulai bersemangat.
Akhirnya, dia bisa mengambil satu langkah ke depan dan beranjak dari jurang kesedihan yang selama ini membelenggu.
Hanya dengan disebut namanya saja, Acasha bisa bangkit dan mendapatkan semangat baru? Bagi orang lain memang terlihat sepele, tapi bagi seorang anak yang selalu diacuhkan dan tak pernah disebut namanya oleh sang ibu semasa hidupnya, jelaslah suatu hal yang sangat dinantikan, menyentuh, mengharukan, dan membahagiakan.
Selama di salon dan spa bersama Gretta, Acasha merasakan keanehan di luar kebiasaan. Gretta terlihat tenang dan tak banyak bicara. Tidak ada pertengkaran yang berarti di antara mereka. Tidak ada pula sikap menyebalkan dan kekanak-kanakan seperti yang biasa Gretta lakukan pada Acasha. Ia benar-benar menjaga sikapnya dengan baik.
"Apakah karena di tempat umum?" batin Acasha mengira-ira.
Namun, ternyata sikap Gretta yang aneh itu masih terus berlanjut. Setibanya di rumah, Gretta juga tidak melakukan kebiasaan buruknya yang memperlakukan Acasha dengan semena-mena. Tidak ada umpatan, makian, dan hinaan yang keluar dari mulut tajamnya.
Tak berbeda pula dengan Varra. Varra justru memasakkan steik sapi dengan kematangan rare dan red wine kesukaan Acasha. Mereka pun makan malam bersama di meja makan penuh suka cita.
Suatu pemandangan langka dan baru bagi Acasha yang selama ini hanya makan ditemani mendiang Stephen dan bahkan lebih sering seorang diri karena Stephen sangat sibuk dengan segala urusan bisnisnya.
"Mom, terima kasih untuk makan malamnya. Aku ... sangat suka," ucap Acasha tulus. Ia pun beranjak membereskan piranti makan, kemudian mencuci piring.
"Syukurlah kalau kamu suka. Setelah ini, beristirahatlah," ujar Varra sebelum menjauhi meja makan.
Usai mencuci piring, Acasha kembali ke kamarnya yang tak lagi terkunci. Tapi, ia tak lagi mempermasalahkan hal itu karena hari ini Gretta sudah bersikap baik padanya.
Namun, di luar dugaan, begitu di dalam kamar, Acasha terkejut bukan kepalang! Sebuah gaun pengantin berwarna serba putih sangat cantik dan indah tersemat di tubuh manekin pucat di kamarnya.
"Gaun siapa ini??"
Tubuh Acasha terpaku, manik violetnya bergetar, tak berkedip. Kedua tangannya menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Ia pun menelan saliva yang terasa gersang dengan susah payah. "G-gaun siapa ini? Kenapa ... ada gaun pernikahan di sini?" Ia pun memundurkan langkah dan kembali menarik kenop pintu untuk menunjukkan benda asing yang berada di kamarnya pada ibunya. Namun, begitu pintu terbuka ... "Ah! Mom!" Acasha sontak terperanjat dan meloncat ke belakang. "Maaf, Mom .... Aku terkejut," gugup Acasha, menepuk-nepuk jantungnya yang berdegup kencang. Varra yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kamar Acasha pun masuk ke dalam kamar dan melipat tangan di depan dada, memandangi manekin bergaun pengantin putih. "Bagaimana? Kamu suka, kan?" tanya Varra sontak melebarkan kelopak mata Acasha yang baru saja tertunduk. "Apa maksudnya suka, Mom?" Acasha mengerjap tak mengerti. Varra memutar bola mata, lalu menatap gadis yang kebingunga
"Ehem. Kami akan turun. Silakan panggil kami jika kalian butuh sesuatu," deham Varra seraya menarik lengan Gretta yang terpana melihat ketampanan calon kakak ipar. "Ayo, turun!" bisik Varra pada gadis yang masih enggan beranjak. "Mom! Gretta!" panggil Acasha yang tak nyaman ditinggalkan berdua saja dengan calon suami yang tidak dikenalnya. Namun, apa daya? Ibu dan saudarinya sudah lenyap dari pandangan. Mau tidak mau, Acasha harus tetap berada di tempatnya bersama pria rupawan yang menjulang di hadapannya. Tak lama setelah derap langkah tak lagi terdengar, mendadak pintu kamar menutup pelan dengan sendirinya. Tak ada angin ataupun seseorang yang mendorong pintu yang semula terbuka lebar itu. Seketika bulu roma Acasha meremang. Ia pun melempar pandang pada sang calon suami yang kini tersenyum lebar menampakkan gigi taringnya yang tajam. Pupilnya yang merah terlihat semakin menyala terang. "Apa aku salah lihat?" batin Acasha. Ia tersenta
Acasha mendesahkan napas dan refleks tersenyum miring."Masa depanku?" gumamnya sembari menutup tirai.Tanpa keraguan, Acasha melangkah mendekati pintu, membuka kunci dan melebarkannya. Udara dingin berembus tatkala pintu terbuka, menerbangkan setiap helaian rambut putih Acasha yang panjang terurai. Saat itulah sosok pria bermata biru terlihat sangat jelas di hadapannya.Iris birunya secerah langit di musim panas, wajahnya oval dengan rahang yang kuat, kulitnya seputih gading, hidungnya mancung, dan rambutnya berwarna cokelat karamel. Tubuhnya dibalut mantel musim dingin warna hitam yang cukup hangat.Sang pria menatap ramah gadis yang mengenakan dress piyama bermotif bunga mawar."Senang bisa bertemu lagi dengan Nona," sapanya menyunggingkan senyum manis.Selang sedetik, Acasha membalas dengan senyum datar dan tatapan garang. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Anda seorang penguntit, ya?" tanya sang gadis penuh selidik."Maaf jika kedatangan saya membuat
"Oh, atau mungkin dia sudah di bawah? Ya, ya. Mungkin saja," cetus Varra beranjak melewati Gretta yang membenarkan posisi handuk di kepala. Belum sempat menginjakkan langkah di anak tangga pertama, Varra memutar tubuh. "Gretta, ikut Mom. Bantu Mom cari anak tidak tahu diri itu!" titahnya kemudian. "Mom, aku belum mengeringkan rambut. Kenapa harus repot-repot mencarinya, sih? Dia tidak mungkin berani kabur dari rumah, Mom. Mungkin dia sedang jalan-jalan di luar," sahut Gretta meruncingkan bibir. "Oh, jalan-jalan di luar, ya? Kalau begitu, sekarang cari dia di luar!" perintah Varra beringsut menuruni anak tangga. "Apa, Mom? Mom tidak salah bicara, kan? Di luar sedang turun salju. Masa iya aku ke luar sekarang? Tidak, aku tidak mau," tolak Gretta menyusul langkah ibunya menyusuri lorong. "Cari sekarang atau tidak ada sarapan!" ancam sang ibu terus melangkah cepat. "Mom ...," rengek Gretta mencebik bibir. Ia pun mengentakkan kaki s
Acasha menggigit bibir dan terus menatap boarding pass di tangan. Sebentar lagi dia akan meninggalkan Ispanika, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga Ignatius karena dia memilih untuk pergi bersama seorang pria yang baru dua kali ditemuinya bernama Demian, demi menghindari pernikahan yang tidak diinginkan. Ya. Acasha memang pengecut. Dia lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi masa depan yang sudah ditentukan sepihak oleh ibunya. Tapi, bukankah hal itu wajar dilakukan untuk seseorang yang ingin memperjuangkan impian dan cita-cita yang belum tercapai, sementara pendapatnya tidak didengar? Tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini sepadan dengan kekecewaan yang harus diterima oleh keluarga dan calon suami yang sudah berharap penuh padanya? Bagaimana jika ibu dan saudarinya semakin membenci Acasha? Tapi, bukankah itu semua adalah konsekuensi yang sudah dipertimbangkan sebelumnya oleh Acasha? Lalu, mengapa baru sekarang ia khawatir? Mengapa sek
Tanpa membuang waktu, Demian meninggalkan toilet wanita dan menyusuri lorong, berharap menemukan jejak aroma Acasha yang tertinggal."Fokus, Demian. Fokus!" gumam Demian sembari terpejam beberapa sesaat.Tepat di ujung lorong, samar-samar perpaduan harum bunga Mawar dan Gardenia menyapa indra penciuman Demian. Secepat mungkin ia meninggalkan terminal dan menuju area parkir, kemudian mengikuti aroma tersebut sebelum benar-benar menguap dan diterbangkan angin."Ternyata kau berguna untuk hal semacam ini," gumamnya sembari terus memacu kecepatan mobil sport berwarna navy miliknya yang semakin menderu, membelah jalanan yang lengang.Hingga di suatu titik, tercium aroma khas bunga Anyelir Putih dari vampir Loyal Blood yang masih kental di udara. Terlebih, saat samar-samar harum bunga Mawar dan Gardenia juga bercampur di sana, otomatis berhasil membangkitkan kecurigaan dalam benak sekaligus mempermudah Demian untuk menelusuri dan menemukan keberadaan Acasha.
Sensasi dingin hingga menusuk tulang menggugah alam bawah sadar Acasha untuk segera kembali ke dunia nyata. Lambat-lambat kelopak mata si gadis albino terbuka. Acasha sontak terkesiap mendapati dirinya mengapung dan terbawa arus sungai yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat ke segala arah seolah ingin menggapai sesuatu. Pada saat itulah, genggaman kuat seorang pria memutar tubuh Acasha. Tampaklah wajah pria berambut cokelat karamel yang basah menatap lekat dengan iris biru jernihnya. "Syukurlah, Nona sudah sadar," ungkap Demian penuh rasa syukur. Belum habis keterkejutan Acasha, pelupuknya kembali terbuka lebar. "D-Demian?? Kenapa kita ada di tengah-tengah sungai?? Apa yang sudah terjadi??" panik Acasha balik mencengkeram kuat lengan Demian. Namun, bukannya menjawab, Demian justru memangkas jarak dengan Acasha. "Demian!" "Sstttt .... Tolong, jangan berteriak," bisik Demian merapatkan tubuh dan m
Aroma lezat daging yang baru saja di panggang membelai lembut indra penciuman Acasha, membangkitkan rasa lapar dan menggetarkan indra pengecapnya yang belum mendapatkan asupan sama sekali sejak kabur dari rumah. Melihat kerutan di pelupuk Acasha, Demian menyentuh kening sang gadis yang tak lagi demam. "Nona ...." Acasha mengerjap beberapa saat sebelum pandangannya tertuju pada selimut tebal yang membalut tubuhnya, kemudian piring berisi potongan daging dengan kepulan asap di atasnya. Ia pun menelan saliva. Demian tersenyum seraya mendekatkan piring dengan daging yang masih hangat itu pada gadis di sampingnya. "Nona mau saya suapi?" tanya Demian menawarkan. "Eum ...." Acasha menggeleng pelan. "Saya bisa sendiri," tolaknya lembut, seraya menyambut piring dari tangan Demian. "Pelan-pelan saja," ujar Demian mengambil piring lain di meja. Sambil meniup-niup daging yang mengepulkan asap, Acasha meneliti setiap sudut ruangan.