Share

4. Gaun Siapa??

"Bukankah tadi ... Nyonya bermaksud untuk menyampaikan hal ini pada Nona Acasha terlebih dahulu?" tanya sang pria utusan, khawatir salah dengar.

Varra duduk kembali di sofa. "Ya, memang. Tapi, kurasa ... dia pasti akan setuju. Ya. Dia pasti setuju. Apa lagi yang akan dia lakukan selain menikah?" desah Varra menaikkan kedua alis dan tersenyum lebar.

"Begitu rupanya," gumam sang pria utusan, meluruskan punggung. "Jadi, kapan kira-kira Nyonya siap untuk menikahkan putri Nyonya?"

Kelopak Varra berkedip cepat mendengar pertanyaan yang begitu mendadak. Lagi-lagi, bibirnya melengkungkan senyum manis.

"Secepatnya."

Sang pria utusan tersenyum miring. "Bagaimana kalau besok? Bukan. Dua hari lagi?" tanya sang pria tampan membuat Varra dan Gretta kompak terperangah.

"Apa? Hahaha. Anda tidak bercanda, kan? Bagaimana mungkin kita bisa mempersiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua hari?" gelak Varra menggelengkan kepala, tak percaya.

"Nyonya tidak perlu khawatir. Tuan Orion sudah mempersiapkan semuanya," tutur sang pria utusan menatap dengan mata gelap kemerahan yang tampak berkilat-kilat.

"Baiklah kalau begitu. Lagi pula, lebih cepat lebih baik," tukas Varra tersenyum puas.

Usai pembicaraan penting tersebut, sang pria utusan yang belum diketahui namanya itu pun undur diri dari kediaman Ignatius. Gretta yang sudah sejak tadi menahan diri di balik dinding pun menghambur menghampiri ibunya untuk menuntut penjelasan.

"Mom, Mom serius menerima lamaran Tuan Orion ... siapa itu? Mom belum tahu orangnya seperti apa, kan? Nama orang tampan tadi saja Mom tidak tahu, kan? Dan lagi, kita belum pernah mendengar nama Tuan Orion dari Dad," berondong Gretta menyejajarkan langkah di samping Varra yang kemudian mengambil air mineral di atas meja makan.

Ia terus mengamati gerak-gerik Varra yang meneguk minumannya hingga tandas.

"Mom? Jawab, dong," desak Gretta tidak sabar.

Terdengar desah panjang Varra. "Duduklah," titah Varra melirik kursi.

"Ya?" tanya Gretta memiringkan kepala, tidak paham.

Sekali lagi Varra mendesahkan napas, lalu mendudukkan Gretta—yang kemudian berkedip-kedip bingung—di kursi.

"Sekarang, kamu dengarkan ucapan Mom."

Gretta mengangguk patuh dan memperhatikan dengan seksama.

"Satu, Mom serius. Dua, Mom tidak peduli siapa dan bagaimana latar belakang orang itu. Tiga, bukankah ini lebih baik daripada harus buang-buang energi mengusir pembunuh itu?" beber Varra menggerakkan tiga jarinya ke kanan dan ke kiri.

"Ah ... ternyata begitu," angguk Gretta mengerti. "Tapi, Mom, kalau ternyata Tuan Orion benar-benar tampan dan seorang 'sultan' bagaimana? Aku 'kan juga mau. Kenapa bukan aku saja yang menikah dengannya, lalu kita yang pergi meninggalkan Penyihir Putih itu sendirian?" protes Gretta kemudian.

"Kau ini ... tidak dengar ucapan pria tampan utusannya tadi? Dia mau si Rambut Putih itu, Sayang. Biarkan saja dia menikahinya. Yang terpenting, kita bisa segera bebas dari kutukan anak tidak tahu diri itu. Toh, putriku ini sangat cantik. Pasti akan ada pria yang lebih tampan dan lebih 'sultan' daripada Tuan Orion ini," tukas Varra mengusap lembut dagu lancip gadis yang memiliki warna rambut cokelat, sama dengannya.

***

Tok tok tok.

"Acasha, bisakah kau buka pintunya?"

Gadis albino yang berhari-hari hanya bergelung di sudut ruangan memeluk pigura dirinya dengan mendiang sang ayah, perlahan membuka kelopak matanya, mengizinkan secercah cahaya menyusup ke dalam retina. Didengarnya samar-samar suara yang tak terdengar asing baginya.

"Acasha, Mom ingin bicara."

Sekali lagi, Acasha menajamkan telinga. Berusaha meyakinkan diri bahwa suara hangat yang didengarnya bukan sekedar imajinasinya saja.

"Baru kali ini Mom memanggil namaku," batin Acasha dalam hati.

Perlahan, ia mulai bangkit dan tertatih menuju pintu dengan pigura masih dalam dekapan. Ia tak peduli bagaimana kondisi tubuhnya, kesehatannya, bahkan penampilannya yang tidak terurus.

Yang ia pedulikan sekarang hanyalah perasaan haru dan gembira karena untuk pertama kalinya Varra menyebut dan memanggil nama Acasha.

Ceklek.

Pintu yang sudah seminggu lebih lamanya tidak pernah terbuka, akhirnya menampakkan wujud sang empu kamar yang sangat memprihatinkan.

"Oh, My God!" pekik Varra terbelalak, sebelah tangannya menutupi mulut yang menganga, tatapan manik cokelatnya memindai setiap sisi tubuh kurus gadis pucat berambut putih di hadapannya yang sangat lusuh dengan gaun yang sudah tak pantas disebut gaun, rambut panjangnya pun kusut dan acak-acakan.

"Apa yang terjadi padamu? Kau ... apa selama ini kau tidak mengurus diri?"

Varra masih terlihat syok melihat sosok menyedihkan di hadapannya.

"Ah, tidak bisa. Ini tidak boleh dibiarkan," gumam wanita berambut cokelat itu menggigit jari.

Sedangkan Acasha yang terpaku di ambang pintu, hanya menatap Varra dengan tatapan lugu. Rasa yang begitu asing, tapi cukup menyenangkan untuknya.

"Apakah Mom khawatir padaku?" batinnya menerka-nerka.

"Acasha, tolong bersiap-bersiap. Setelah ini, kau harus pergi ke salon dan spa bersama Gretta. Okay? Kau tidak boleh seperti ini," tukas Varra setelah beberapa saat berpikir.

Ia pun bergegas turun dan terdengar memanggil Gretta yang saat itu berada di ruang makan.

"Benarkah? Ini ... bukan mimpi, kan?" gumam Acasha seraya mencubit pipinya yang mulai tirus.

"Auw! Sakit!" Mengusap pipi yang memerah.

"Benar, ini bukan mimpi. Ini nyata! Dad, akhirnya Mom menyebut namaku. Nama Acasha, Dad! Dad seharusnya bisa mendengar ini secara langsung. Andai ... Dad masih ada di sini bersamaku, pasti Dad juga akan senang," ujar Acasha mengusap lembut potret mendiang Stephen dengan mata berkaca-kaca.

"Baiklah. Sekarang aku harus bersiap-siap. Aku tidak boleh mengecewakan Mom dan Gretta," tekad Acasha mulai bersemangat.

Akhirnya, dia bisa mengambil satu langkah ke depan dan beranjak dari jurang kesedihan yang selama ini membelenggu.

Hanya dengan disebut namanya saja, Acasha bisa bangkit dan mendapatkan semangat baru? Bagi orang lain memang terlihat sepele, tapi bagi seorang anak yang selalu diacuhkan dan tak pernah disebut namanya oleh sang ibu semasa hidupnya, jelaslah suatu hal yang sangat dinantikan, menyentuh, mengharukan, dan membahagiakan.

Selama di salon dan spa bersama Gretta, Acasha merasakan keanehan di luar kebiasaan. Gretta terlihat tenang dan tak banyak bicara. Tidak ada pertengkaran yang berarti di antara mereka. Tidak ada pula sikap menyebalkan dan kekanak-kanakan seperti yang biasa Gretta lakukan pada Acasha. Ia benar-benar menjaga sikapnya dengan baik.

"Apakah karena di tempat umum?" batin Acasha mengira-ira.

Namun, ternyata sikap Gretta yang aneh itu masih terus berlanjut. Setibanya di rumah, Gretta juga tidak melakukan kebiasaan buruknya yang memperlakukan Acasha dengan semena-mena. Tidak ada umpatan, makian, dan hinaan yang keluar dari mulut tajamnya.

Tak berbeda pula dengan Varra. Varra justru memasakkan steik sapi dengan kematangan rare dan red wine kesukaan Acasha. Mereka pun makan malam bersama di meja makan penuh suka cita.

Suatu pemandangan langka dan baru bagi Acasha yang selama ini hanya makan ditemani mendiang Stephen dan bahkan lebih sering seorang diri karena Stephen sangat sibuk dengan segala urusan bisnisnya.

"Mom, terima kasih untuk makan malamnya. Aku ... sangat suka," ucap Acasha tulus. Ia pun beranjak membereskan piranti makan, kemudian mencuci piring.

"Syukurlah kalau kamu suka. Setelah ini, beristirahatlah," ujar Varra sebelum menjauhi meja makan. 

Usai mencuci piring, Acasha kembali ke kamarnya yang tak lagi terkunci. Tapi, ia tak lagi mempermasalahkan hal itu karena hari ini Gretta sudah bersikap baik padanya.

Namun, di luar dugaan, begitu di dalam kamar, Acasha terkejut bukan kepalang! Sebuah gaun pengantin berwarna serba putih sangat cantik dan indah tersemat di tubuh manekin pucat di kamarnya.

"Gaun siapa ini??"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status