Share

6. Kemunculan Sang Pria

"Ehem. Kami akan turun. Silakan panggil kami jika kalian butuh sesuatu," deham Varra seraya menarik lengan Gretta yang terpana melihat ketampanan calon kakak ipar.

"Ayo, turun!" bisik Varra pada gadis yang masih enggan beranjak.

"Mom! Gretta!" panggil Acasha yang tak nyaman ditinggalkan berdua saja dengan calon suami yang tidak dikenalnya.

Namun, apa daya? Ibu dan saudarinya sudah lenyap dari pandangan. Mau tidak mau, Acasha harus tetap berada di tempatnya bersama pria rupawan yang menjulang di hadapannya.

Tak lama setelah derap langkah tak lagi terdengar, mendadak pintu kamar menutup pelan dengan sendirinya. Tak ada angin ataupun seseorang yang mendorong pintu yang semula terbuka lebar itu. Seketika bulu roma Acasha meremang. Ia pun melempar pandang pada sang calon suami yang kini tersenyum lebar menampakkan gigi taringnya yang tajam. Pupilnya yang merah terlihat semakin menyala terang.

"Apa aku salah lihat?" batin Acasha.

Ia tersentak dan limbung ke belakang. Namun, sang calon suami sangat sigap menangkap pinggangnya yang ramping.

"Wajahmu tegang sekali. Apa yang sebenarnya kamu takutkan, Sayang?" bisik sang calon suami menahan tubuh Acasha yang mulai memberontak.

"Bisakah Anda melepaskan saya?" ujar sang calon istri berusaha menjaga jarak yang semakin dekat itu.

"Izinkan aku ... sebentar saja," pinta sang calon suami mengunci pergerakan Acasha dan perlahan mendekatkan wajah tampannya hingga terasa embusan panjang napasnya menyentuh kulit tengkuk sang calon istri. Sontak tubuh Acasha bergetar ketakutan.

"A-apa yang Anda lakukan? Bukankah tindakan Anda ini tidak sopan?" protes Acasha dengan suara tertahan, mengerahkan segenap tenaga untuk melepaskan kuncian yang sangat erat.

Sang calon suami masih memejamkan pelupuknya dan menghirup aroma di sekitar tengkuk Acasha.

"Ssst. Biarkan aku ... sebentar ... saja."

Acasha mengeratkan rahang dan berhenti memberontak. Ia terpaksa mengalah dan menerima perlakuan aneh dari sang calon suami yang bertenaga lebih besar darinya. Ia sadar bahwa mustahil baginya untuk terus melawan. Suasana pun menjadi hening untuk beberapa saat.

"Sudah sangat lama aku menantikan saat-saat seperti ini. Meskipun kamu belum merekah sempurna, tapi aku merasa cukup tergugah dan berharap banyak padamu," bisik Orion Remo tepat di telinga Acasha yang bergidik ngeri.

"Apa maksud Anda? Bukankah Anda datang untuk melihat saya mencoba gaun pernikahan? Kenapa Anda justru memaksa memeluk saya dan terus mengatakan hal-hal aneh?" protes Acasha merasa risih dan tidak nyaman.

Ia kembali bergerak-gerak hendak melepaskan diri. Namun, tak butuh waktu lama, kuncian erat itu pun melonggar dan Acasha terbebas.

"Aku tak peduli dengan gaun pernikahan. Aku hanya peduli denganmu."

Jemari sang pria menyentuh bekas luka di ranum sang gadis.

Plak!

Acasha menampik tangan yang datang tanpa permisi.

"Sudah cukup! Jangan sentuh saya! Saya tahu kita akan menikah, tapi jangan melakukan sesuatu tanpa seizin saya! Anda tahu, dari tadi Anda tidak sopan pada saya! Apakah itu pantas dilakukan oleh seseorang yang dipanggil dengan sebutan 'Tuan'?"

Dan di luar dugaan, Orion Remo memberikan respon yang tak disangka-sangka. Bukannya marah, ia justru mendendangkan tawa.

"Nah, begitu! Aku suka semangat itu! Baiklah. Kurasa, sudah saatnya aku pergi. Beristirahatlah! Kita akan bertemu di altar besok. Sampai jumpa, Calon Istriku!"

Tanpa sempat menyahut, manik violet Acasha mengekori langkah riang sang calon suami yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu kamar yang mendadak terbuka dan menutup tanpa disentuh.

"Gila! Orang itu ... gila! Oh, Tuhan! Bagaimana mungkin?" ujar Acasha seraya menepuk keningnya. Ia berkedip-kedip untuk beberapa saat dengan kepulan asap keluar dari kepalanya.

"Apa dia penyihir? Atau pesulap? Tidak. Mana mungkin? Di era modern? Ah, tidak, tidak. Ini mungkin hanya ilusi optik. Ya ... ini ilusi optik," celoteh Acasha berusaha berpikir logis.

Ia tidak tahu, seseorang yang ia pikirkan masih berdiri dan menguping celotehannya di depan kamar sambil menyeringai lebar.

***

Waktu seolah melambat dan malam terasa sangat panjang saat otak Acasha terus terjaga dengan berbagai pikiran yang tak ingin diabaikan. Ia hanya duduk di atas ranjang sambil memeluk kedua kaki yang terlipat di depan dada, menatap gaun pengantin yang akan dikenakannya esok hari.

Ia masih tak habis pikir, waktu yang dimilikinya sebagai Acasha Ignatius hanya tersisa beberapa jam saja. Sebentar lagi, ia akan menikah dan berganti status sebagai Acasha Remo.

Semua ini terlalu cepat, terlalu mendadak, dan terlalu buru-buru. Seharusnya, semua ini belum terjadi.

Acasha masih ingin meniti karier, menikmati masa-masa lajangnya, dan bahkan melanjutkan pendidikannya lagi. Ia masih ingin bersenang-senang dengan dirinya sendiri dan membahagiakan Mom juga Gretta. Bukan justru menikah dengan pria asing yang aneh, seperti calon suaminya.

Benar. Ini bukan keinginan Acasha. Ini bukan keputusan Acasha. Ia hanya terpaksa menerima dan menjalani semua ini karena permintaan ibunya dengan dalih untuk membalas jasa keluarga Ignatius yang selama ini sudah melahirkan, merawat, dan menjaganya hingga saat ini.

Tapi, apakah semua ini sepadan? Akankah Acasha bahagia dengan pernikahannya kelak? Semua ini tidak bisa diprediksi. Semua ini tidak bisa dipertanggungjawabkan karena bagaimana pun, hanya Acasha yang menanggung semua beban ini sendirian.

Acasha juga tidak tahu bagaimana sifat dan kepribadian dari calon suaminya ini. Pertemuan pertama yang singkat ini terkesan aneh dan tidak menyenangkan bagi Acasha. Ia juga merasakan atmosfer penuh tekanan dan menakutkan dari aura yang dipancarkan oleh Orion Remo.

"Sikapnya yang tidak sopan itu ... sangat mengganjal. Apa pula maksud dari ucapannya itu? Merekah? Tergugah? Berharap padaku? Arghhh .... Dasar orang aneh!" pekik Acasha menenggelamkan wajah di balik kakinya.

Dalam benaknya, Acasha kembali mengulas penampilan Orion. Dadanya bidang, badannya tegap, tinggi menjulang. Sangat cocok dengan jas hitam yang ia kenakan. Wajahnya tampan dengan dagu yang lancip dan panjang, kulitnya seputih porselen, rambut lurus panjang keabuannya diikat rapi di belakang, hidungnya mancung, alisnya tebal dan tajam, lensa matanya merah terang, dan gigi taringnya terlihat panjang dan sangat tajam.

Alis Acasha berkerut. "Mata merah ... Gigi taring ...."

Belum sempat otak Acasha selesai mencerna, tiba-tiba suara ketukan lambat dari arah balkon memecah keheningan.

Mendadak suasana berubah menjadi semakin sunyi saat suara ketukan tersebut menghilang. Suara jarum jam dinding terdengar lebih lambat dan lebih nyaring daripada biasanya. Degup jantung Acasha bertalu-talu, menambah atmosfer ketegangan di kamar yang terasa dingin itu.

"Mungkinkah aku salah dengar?" batinnya sekaligus menajamkan indra pendengaran. Acasha menunggu beberapa saat sampai ...

Tok ... Tok ...

Ketukan lambat itu kembali terdengar. Setelah menelan saliva yang terasa sebesar anggur, Acasha memberanikan diri untuk mendekat ke sumber suara.

Selangkah demi selangkah mengendap-endap, membuka sedikit tirai yang menutupi kaca jendela. Tanpa sadar, mulut Acasha menganga bersamaan dengan kelopak matanya yang melebar maksimal.

"Dia ... dia ... pria yang di taman, kan? Pria bermata biru, kan?"

Acasha mengucek matanya berulang kali untuk memastikan bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Acasha benar-benar yakin dengan keberadaan pria bermata biru yang tempo hari mengembalikan botol parfum bunga Gardenia miliknya.

"Bagaimana bisa dia tahu rumahku? Dan ini 'kan di lantai dua??"

Acasha terheran dan kebingungan di saat yang sama. Ia terus menggigit bibir sambil menatap sosok pria yang masih berdiri di depan pintu balkon kamarnya.

"Nona, dengar suara saya, kan?" celetuk suara berat sang pria bermata biru seketika menghentikan aktivitas menggigit bibir gadis yang mulai berdarah itu. "Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Nona. Hal ini, berkaitan dengan masa depan Nona."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status