Share

Kebahagiaan Berasal Dari Rumah

El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan.  Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.

“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.

El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.

El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.

“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.

Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diartikan, jabatan ini berada di bawah jabatan CEO. Dia berperan penting untuk jalannya perusahaan. Jika CEO itu adalah bos besarnya, COO ini adalah bos kecilnya, bertanggung jawab mengambil tanggung jawab internal perusahaan.

“Siang, Pak Felix,” sapa El.

Felix tertawa. “Panggil saja seperti biasa.”

“Aku hanya ingin membiasakan diri saja,” jawab El seraya duduk tepat di samping Felix dan di depan daddy-nya.

“Terserah padamu.”

“Felix sudah menyiapkan kantor di lantai lima untukmu. Kamu bisa memakainya. Beberapa karyawan juga sudah direkrut untuk membantumu.”

“Terima kasih, Dad. Sudah mau membantuku.”

“Jangan seperti orang lain, El.”

El tersenyum. Dia merasa bersyukur saat orang tuanya mau membantunya. Tinggal melanjutkan semuanya sesuai dengan rencananya.

“Aku sudah mendapatkan lahan yang kamu inginkan, jadi kamu tinggal membangunnya.” Felix menambahkan pembicaraan.

El mengangguk. Enam bulan lalu dia memang mendapat kabar dari temannya jika ada sebuah lahan di daerah pinggiran ibu kota yang cukup luas sedang dijual. Dengan segera, dia meminta tolong Felix untuk membelinya. Uang hasil kerja dan beberapa penghasilan sahamnya mampu membeli lahan itu. Namun, memang untuk menyewa kantor sendiri, El masih mempertimbangkan. Maka dari itu dia meminjam kantor Adion untuk operasional.

“Surat akta pembangunan perusahaanmu juga sudah kami urus. Jadi kamu tinggal melanjutkan sesuai dengan maumu.” Sebagai orang tua Bryan sangat mendukung apa yang dilakukan anaknya. Apa saja yang bisa dilakukan akan dilakukannya.

“Terima kasih, banyak sekali bantuan yang sudah diberikan padaku.”

Bryan dan Felix tersenyum. Merasa senang karena El begitu gigih untuk membangun perusaahan sendiri.

“Kenapa tidak membangun apartemen saja seperti Al?” tanya Felix menepuk bahu El.

“Aku ingin sebuah rumah yang bisa digunakan anak-anak berlarian dan bermain. Aku ingin setiap keluarga yang kelak memiliki rumah itu, akan menemukan kebahagiaan di lingkungan rumah, tidak hanya berkutat di dalam rumah saja seperti apartemen.”

“Lalu kenapa sasaranmu menengah ke bawah?” Felix ingin tahu apa yang menjadi alasan El membangun hunian yang diperuntukkan untuk kalangan menengah ke bawah.

“Rumah adalah hak setiap keluarga. Mau dia mampu atau pun tidak dan aku ingin mewujudkannya. Karena kebahagiaan berasal dari rumah.”

“Tagline yang barus, “karena kebahagiaan berasal dari rumah”.” Bryan menirukan ucapan anaknya. Entah kenapa dia benar-benar bangga pada anaknya. Di saat pengusaha muda mencari keuntungan dengan membangun hunian untuk kalangan menengah ke atas, putranya justru kebalikannya.

“Baiklah, kita akan buat kerja sama. Adion akan bekerja sama membangun perumahan yang kamu inginkan.”

El tersenyum. Tetap saja dia butuh bantuan papanya, mengingat sepak terjangnya baru. “Aku akan siapkan proposalnya dan kita bisa memulai jika semuanya sudah selesai.”

“Lihatlah, anakmu benar-benar tidak mirip denganmu!” ucap Felix tertawa. El memang jauh berbeda sekali dengan Bryan muda. “Aku rasa dulu kamu tidak terlalu sering menjamah Shea.”

“Astaga ... apa kalian sadar aku terlalu muda untuk pembahasan hal ini?” tanya El malas.

“Hai anak muda, cobalah belajar pelan-pelan agar tidak tersesat.” Felix semakin tertawa seraya menepuk bahu El. “Apa kamu sudah punya kekasih?” tanyanya menggoda El.

“Apa kamu lupa jika anakmu kekasihnya?” tanya Bryan menyindir.

“Dad, aku dan Freya hanya berteman,” elak El.

“Kamu dengar sendiri, mereka berteman,” ucap Felix tertawa. “Kamu terlalu bernafsu untuk menjadi besanku,” sindir Felix.

“Sial!” Bryan meremas kertas dan melempar pada Felix. Hal yang sering dilakukannya sejak dulu.

Felix bukannya marah justru tertawa terbahak. Temannya itu memang selalu begitu.

El yang melihat pemandangan itu merasa sangat senang. Memiliki teman yang selalu ada, itulah yang terjadi dengan daddy dan papanya. Dia berharap bisa punya teman yang seperti papa dari Freya itu.

 ***

Freya yang selesai menemui kakeknya berpamitan. Dia bersama-sama keluar dari ruangan kakeknya bersama dengan Al. Menuju ke tempat parkir mobil yang sama.

“Maaf Kak, kakek sudah meminta Kak Al untuk mengajari aku,” ucap Freya yang merasa tidak enak.

“Tidak apa, dia mungkin ingin kamu bisa mengembangkan perusahaan semakin maju lagi.”

Walaupun suara El datar saja, rasanya Freya merasa sesuatu yang lain. Saat bersama kakeknya tadi juga, dia merasa Al banyak bicara, tidak seperti Al yang dikenalnya sewaktu di London.

“Jadi belajarlah yang benar nanti,” ucap Al seraya memegang kepala Freya, mengacak rambut Freya. Namun, seketika dia tersadar dengan apa yang dilakukan. “Maaf, aku terlalu sering melakukannya pada Cia dan Ghea.”

Freya memang terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Al, tetapi dia tidak merasa tersinggung. “Tidak apa-apa.”

Merasa tidak enak, Al memilih untuk segera pergi. “Baiklah, aku pergi dulu,” ucap Al berlalu menuju ke mobilnya.

Freya pun ikut menuju ke mobilnya. Hatinya begitu berdebar saat masuk ke dalam mobilnya. Memegangi kepalanya, dia masih merasakan tangan Al yang berada di atas kepalanya.

“Kenapa perasaanku aneh sekali? Bukannya El juga sering melakukan hal itu?” Freya tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mendapatkan hal semacam itu sudah menjadi biasa, tetapi saat Al yang melakukannya dia merasa aneh.

Saat sedang memikirkan Al, suara ponselnya membuat Freya terkaget. Tangannya langsung bergerak mengambil ponsel di dalam tasnya. Melihat siapa yang menghubunginya dan membuyarkan pikirannya.

Melihat ponselnya, dia melihat nama El di layar ponselnya. Tak butuh waktu Freya langsung mengangkat sambungan teleponnya. “Halo, El,” sapanya.

“Kamu di mana?” tanya El dari sambungan telepon.

“Aku masih di kantor kakek, kamu di mana?”

“Aku baru akan ke restoran, tempat biasa kita makan.”

“Tunggu saja aku di sana, aku akan segera ke sana.”

“Baiklah.”

Freya mematikan sambungan telepon dan melajukan mobilnya menuju ke restoran tempat biasa dia dan El dulu sering ke sana.

***

Di restoran El datang lebih dulu dan memesan makanan. Sesaat kemudian, Freya datang. Dia berbinar saat melihat makanan yang tersaji di meja.

“Steak dengan kematangan medium well,” ucap El.

Freya tersenyum. El selalu tahu apa yang disuka dan tidak disukai. “Terima kasih El,” ucapnya seraya menarik kursi.

Tak butuh waktu lama akhirnya Freya memakan makanan di hadapannya. Potongan demi potongan dia masukkan ke dalam mulut. Rasa gurih dan nikmati daging begitu memanjakan lidahnya.

“Wah ... calon CEO,” goda El saat di sela-sela makan.

“El ... jangan menggodaku seperti itu. Aku masih takut dengan jabatan itu.” Freya memanyunkan bibirnya. Sejujurnya dia takut dengan jabatan itu. Secara dia baru saja lulus kuliah dan belum punya pengalaman apa-apa.

“Kamu mengemaskan sekali,” ucap El seraya mencubit pipi Freya. Gadis di depannya itu memang membuat hari-hari El berwarna.

“El aku bukan anak kecil lagi, jangan suka mencubitku seperti itu.”

“Bagiku kamu tetapi tuan putri kecilku.”

Freya tertawa. Dulu waktu kecil, Freya selalu mengajak El bermain tuan putri dan pangeran.

“Tidak terasa kita sudah besar ya, El.”

“Aku yang sudah besar, kamu tidak.”

“El ... “ keluh Freya lagi.

“Iya-iya. Kamu sudah besar, tetapi masih sangat manja.”

“Hanya padamu aku manja. Jadi jangan katakan pada siapa pun.”

“Iya,” jawab El mengalah.

“Apa nanti setelah aku menikah, aku masih bisa manja denganmu?” Kehilangan perhatian El sangat berat untuk Freya. Tak bisa dia bayangkan akan seperti apa jika hal itu terjadi.

“Masih bisa.”

“Benarkah?” tanya Freya berbinar.

“Jika aku suamimu,” jawab El tertawa.

“El ....” Freya langsung melempar serbet makan yang berada di meja. El selalu saja bercanda saat dia sedang serius.

El hanya tertawa melihat kekesalan. “Sudah lupakan,” ucapnya mengakhiri perdebatan. “Katakan padaku, kapan kamu mulai bekerja?”

“Besok aku sudah mulai bekerja di kantor Kak Al.”

“Al?” tanya El terkejut mendengar nama itu. “Untuk apa kamu bekerja di kantor Al?” Dahi El berkerut dalam dan diiringi dengan alis yang bertautan.

“Astaga, aku lupa jika aku belum mengatakannya padamu.”

“Mengatakan apa?”

“Jadi kakek meminta aku untuk belajar dari Kak Al. Jadi aku akan mulai bekerja di sana besok.”

Sejujurnya El terkejut dengan apa yang dikatakan Freya, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Memikirkan sebuah masalah bukan dari sudut pandang satu saja, tetapi yang lain.

“Aku tidak mengerti kenapa kakek menyuruhku untuk  bekerja di sana,” keluh Freya.

“Mungkin kakek ingin kamu belajar pada orang yang tepat. Mengingat Al adalah pengusaha muda hebat waktu ini, wajar kakekmu meminta untuk belajar dari dia.”

“Iya, mungkin itu alasannya.”

“Belajar dari siapa saja bukan masalah. Yang terpenting, belajarlah yang benar.” El mengusap rambut Freya.

Seketika Freya terdiam. Dia teringat dengan apa yang dilakukan Al tadi padanya. Sama persis seperti yang dilakukan El.

“Kenapa diam?” tanya El.

“Tidak, tidak apa-apa,” elaknya.

Mereka melanjutkan makan. Kemudian, memilih untuk pulang. Hari ini rencananya, akan diadakan pesta kepulangan El dan Freya yang akan diadakan di rumah El, jadi mereka memilih pulang untuk ikut membantu menyiapkan pesta.

Dengan mengendarai mobil masing-masing, El dan Freya menuju ke rumah. Turun dari mobil mereka berjalan bersama-sama ke dalam rumah.

“El ...,“ panggil Freya saat berjalan beriringan dengan El.

“Apa?”

“Apa kamu besok mau mengantar aku berangkat bekerja? Aku merasa berdebar di hari pertama bekerja.”

El tersenyum. Dia tahu akan sepanik apa saat hari pertama Freya melakukan sesuatu. Ingatannya kembali pada bagaimana Freya takut dan panik saat hari pertama kuliahnya. El harus menunggu seharian di kampus, agar Freya merasa tenang ada dirinya di sekitar.

“Tapi aku tidak bisa menunggumu seharian, karena bisa aku sudah mulai bekerja juga.”

“Iya, tidak apa, aku hanya ingin kamu mengantar dan menjemput aku.”

“Baiklah, nanti aku akan mengantarmu.”

“Terima kasih, El.”

El tersenyum dan mengangguk. Melanjutkan langkah masuk ke rumah. Di dalam mereka sudah di sambut ibu-ibu yang sedang sibuk menyiapkan segala hal. Ada Shea, Selly, Chika.

“Aku rasa ini bukan pesta pernikahan, kenapa lengkap sekali personilnya,” goda El seraya mendaratkan kecupan pada mommy-nya. Dari Shea dan beralih pada Selly.

“Kita coba dulu perkumpulan ini, jika berhasil nanti kita adakan pernikahan kalian,” ucap Selly.

“Pernikahan siapa nanti yang akan lebih dulu?” tanya Freya seraya mendaratkan kecupan pada mamanya. “Aku atau El dulu?”

Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Merasa ada yang aneh dengan pertanyaan itu. Mereka semua tahu sedekat apa El dan Freya, tetapi ternyata tak ada hubungan spesial antara mereka berdua.

“Siapa saja yang lebih dulu, pasti akan mendapatkan kebahagiaan.” Shea memecah kecanggungan yang ada.

“Iya, benar, siapa saja yang menikah lebih dulu, semoga kebahagiaan selalu ada untuk mereka.” Selly ikut berbicara. “Ayo kita lanjutkan bikin kue lagi.” Tak mau larut dengan pertanyaan dalam pikiran masing-masing, Selly mengajak untuk membubarkan diri.

El dan Freya saling pandang. Tak mengerti kenapa semua bersikap aneh.

“El, tolong pasangkan lampu di taman belakang,” teriak Shea dari dalam dapur.

“Iya, Mom.” Tak mau larut dengan pikirannya, El mengerjakan apa yang diminta mommy-nya. Dia mengambil lampu dan memasangnya. Dibantu Freya dia naik ke atas kursi.

“Pegang dengan benar, Frey. Jika tidak aku akan jatuh.” El memperingatkan Freya yang memegangi kursinya.

“Iya, aku pegang, jangan cerewet.”

El memasang lampu dan akhirnya lampu terpasang dengan benar. Karena pekerjaannya sudah selesai, akhirnya El bersiap turun. Namun, belum sempat dia turun kursi sudah bergoyang karena Freya tidak benar memeganginya.

Seketika tubuh El terjatuh tepat di atas tubuh Freya. Untung saja tangan El dengan sigap menahan, sehingga tubuhnya tidak jatuh ke tubuh Freya.

Freya yang mendapati El jatuh, hanya bisa pasrah. Dia memejamkan matanya, mengingat tubuh El yang kekar pasti akan menghantamnya. Namun, ternyata dugaannya salah. Karena ternyata tubuh El masih tertahan.

El merasa lega, karena tubuhnya tertahan oleh tangannya. Dengan begitu, dia tidak melukai Freya. Tubuh El yang berada di atas Freya, membuat El dapat memandangi wajah Freya. Entah getaran apa yang dirasakan El, tetapi dia merasa jantungnya begitu berdetak kencang melihat wajah cantik Freya.

Para ibu yang mendengar suara jatuh langsung berlarian mencari sumber suara. Alangkah terkejutnya mereka melihat pemandangan El yang berada di atas tubuh Freya.

“Aku rasa mereka tidak akan ada yang lebih dulu. Yang ada mereka akan menikah bersama,” ucap Selly menggoda Shea dan Chika saat melihat adegan anak mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status