El yang melajukan mobilnya, menuju ke kantor daddy-nya. Semua karyawan melihat terheran-heran melihat pria dengan pakaian casual datang ke kantor. Untung El membawa jaket kulit hitam untuk menutupi kaos yang di pakainya, jadi masih terlihat tak seperti ingin jalan-jalan. Selain fokus pada pakaian El, mereka fokus pada wajah tampan El.
“Dia anak Pak Bryan,” ucap salah satu karyawan.El yang melewati tersenyum manis. Dia langsung menuju ke ruangan daddy-nya mengingat dia adalah anak dari pemilik perusahaan. El sedikit merutuki karena dia datang dengan pakaian biasa saja. Merasa tidak enak dengan karyawan lain.El sampai di depan ruangan daddy-nya. Di depan ada sekretarisnya yang sudah menyapanya dan mengantarkan El untuk ke ruangan daddy-nya.“Hai El ... “ sapa Felix yang melihat El masuk.Felix Julian yang dulu bekerja sebagai asisten CEO Adion, kini sudah berganti jabatan sebagai COO (chief operating officer) dari Adion. Lebih mudah diartikan, jabatan ini berada di bawah jabatan CEO. Dia berperan penting untuk jalannya perusahaan. Jika CEO itu adalah bos besarnya, COO ini adalah bos kecilnya, bertanggung jawab mengambil tanggung jawab internal perusahaan.“Siang, Pak Felix,” sapa El.Felix tertawa. “Panggil saja seperti biasa.”“Aku hanya ingin membiasakan diri saja,” jawab El seraya duduk tepat di samping Felix dan di depan daddy-nya.“Terserah padamu.”“Felix sudah menyiapkan kantor di lantai lima untukmu. Kamu bisa memakainya. Beberapa karyawan juga sudah direkrut untuk membantumu.”“Terima kasih, Dad. Sudah mau membantuku.”“Jangan seperti orang lain, El.”El tersenyum. Dia merasa bersyukur saat orang tuanya mau membantunya. Tinggal melanjutkan semuanya sesuai dengan rencananya.“Aku sudah mendapatkan lahan yang kamu inginkan, jadi kamu tinggal membangunnya.” Felix menambahkan pembicaraan.El mengangguk. Enam bulan lalu dia memang mendapat kabar dari temannya jika ada sebuah lahan di daerah pinggiran ibu kota yang cukup luas sedang dijual. Dengan segera, dia meminta tolong Felix untuk membelinya. Uang hasil kerja dan beberapa penghasilan sahamnya mampu membeli lahan itu. Namun, memang untuk menyewa kantor sendiri, El masih mempertimbangkan. Maka dari itu dia meminjam kantor Adion untuk operasional.“Surat akta pembangunan perusahaanmu juga sudah kami urus. Jadi kamu tinggal melanjutkan sesuai dengan maumu.” Sebagai orang tua Bryan sangat mendukung apa yang dilakukan anaknya. Apa saja yang bisa dilakukan akan dilakukannya.“Terima kasih, banyak sekali bantuan yang sudah diberikan padaku.”Bryan dan Felix tersenyum. Merasa senang karena El begitu gigih untuk membangun perusaahan sendiri.“Kenapa tidak membangun apartemen saja seperti Al?” tanya Felix menepuk bahu El.“Aku ingin sebuah rumah yang bisa digunakan anak-anak berlarian dan bermain. Aku ingin setiap keluarga yang kelak memiliki rumah itu, akan menemukan kebahagiaan di lingkungan rumah, tidak hanya berkutat di dalam rumah saja seperti apartemen.”“Lalu kenapa sasaranmu menengah ke bawah?” Felix ingin tahu apa yang menjadi alasan El membangun hunian yang diperuntukkan untuk kalangan menengah ke bawah.“Rumah adalah hak setiap keluarga. Mau dia mampu atau pun tidak dan aku ingin mewujudkannya. Karena kebahagiaan berasal dari rumah.”“Tagline yang barus, “karena kebahagiaan berasal dari rumah”.” Bryan menirukan ucapan anaknya. Entah kenapa dia benar-benar bangga pada anaknya. Di saat pengusaha muda mencari keuntungan dengan membangun hunian untuk kalangan menengah ke atas, putranya justru kebalikannya.“Baiklah, kita akan buat kerja sama. Adion akan bekerja sama membangun perumahan yang kamu inginkan.”El tersenyum. Tetap saja dia butuh bantuan papanya, mengingat sepak terjangnya baru. “Aku akan siapkan proposalnya dan kita bisa memulai jika semuanya sudah selesai.”“Lihatlah, anakmu benar-benar tidak mirip denganmu!” ucap Felix tertawa. El memang jauh berbeda sekali dengan Bryan muda. “Aku rasa dulu kamu tidak terlalu sering menjamah Shea.”“Astaga ... apa kalian sadar aku terlalu muda untuk pembahasan hal ini?” tanya El malas.“Hai anak muda, cobalah belajar pelan-pelan agar tidak tersesat.” Felix semakin tertawa seraya menepuk bahu El. “Apa kamu sudah punya kekasih?” tanyanya menggoda El.“Apa kamu lupa jika anakmu kekasihnya?” tanya Bryan menyindir.“Dad, aku dan Freya hanya berteman,” elak El.“Kamu dengar sendiri, mereka berteman,” ucap Felix tertawa. “Kamu terlalu bernafsu untuk menjadi besanku,” sindir Felix.“Sial!” Bryan meremas kertas dan melempar pada Felix. Hal yang sering dilakukannya sejak dulu.Felix bukannya marah justru tertawa terbahak. Temannya itu memang selalu begitu.El yang melihat pemandangan itu merasa sangat senang. Memiliki teman yang selalu ada, itulah yang terjadi dengan daddy dan papanya. Dia berharap bisa punya teman yang seperti papa dari Freya itu. ***Freya yang selesai menemui kakeknya berpamitan. Dia bersama-sama keluar dari ruangan kakeknya bersama dengan Al. Menuju ke tempat parkir mobil yang sama.“Maaf Kak, kakek sudah meminta Kak Al untuk mengajari aku,” ucap Freya yang merasa tidak enak.“Tidak apa, dia mungkin ingin kamu bisa mengembangkan perusahaan semakin maju lagi.”Walaupun suara El datar saja, rasanya Freya merasa sesuatu yang lain. Saat bersama kakeknya tadi juga, dia merasa Al banyak bicara, tidak seperti Al yang dikenalnya sewaktu di London.“Jadi belajarlah yang benar nanti,” ucap Al seraya memegang kepala Freya, mengacak rambut Freya. Namun, seketika dia tersadar dengan apa yang dilakukan. “Maaf, aku terlalu sering melakukannya pada Cia dan Ghea.”Freya memang terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Al, tetapi dia tidak merasa tersinggung. “Tidak apa-apa.”Merasa tidak enak, Al memilih untuk segera pergi. “Baiklah, aku pergi dulu,” ucap Al berlalu menuju ke mobilnya.Freya pun ikut menuju ke mobilnya. Hatinya begitu berdebar saat masuk ke dalam mobilnya. Memegangi kepalanya, dia masih merasakan tangan Al yang berada di atas kepalanya.“Kenapa perasaanku aneh sekali? Bukannya El juga sering melakukan hal itu?” Freya tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Mendapatkan hal semacam itu sudah menjadi biasa, tetapi saat Al yang melakukannya dia merasa aneh.Saat sedang memikirkan Al, suara ponselnya membuat Freya terkaget. Tangannya langsung bergerak mengambil ponsel di dalam tasnya. Melihat siapa yang menghubunginya dan membuyarkan pikirannya.Melihat ponselnya, dia melihat nama El di layar ponselnya. Tak butuh waktu Freya langsung mengangkat sambungan teleponnya. “Halo, El,” sapanya.“Kamu di mana?” tanya El dari sambungan telepon.“Aku masih di kantor kakek, kamu di mana?”“Aku baru akan ke restoran, tempat biasa kita makan.”“Tunggu saja aku di sana, aku akan segera ke sana.”“Baiklah.”Freya mematikan sambungan telepon dan melajukan mobilnya menuju ke restoran tempat biasa dia dan El dulu sering ke sana.***Di restoran El datang lebih dulu dan memesan makanan. Sesaat kemudian, Freya datang. Dia berbinar saat melihat makanan yang tersaji di meja.“Steak dengan kematangan medium well,” ucap El.Freya tersenyum. El selalu tahu apa yang disuka dan tidak disukai. “Terima kasih El,” ucapnya seraya menarik kursi.Tak butuh waktu lama akhirnya Freya memakan makanan di hadapannya. Potongan demi potongan dia masukkan ke dalam mulut. Rasa gurih dan nikmati daging begitu memanjakan lidahnya.“Wah ... calon CEO,” goda El saat di sela-sela makan.“El ... jangan menggodaku seperti itu. Aku masih takut dengan jabatan itu.” Freya memanyunkan bibirnya. Sejujurnya dia takut dengan jabatan itu. Secara dia baru saja lulus kuliah dan belum punya pengalaman apa-apa.“Kamu mengemaskan sekali,” ucap El seraya mencubit pipi Freya. Gadis di depannya itu memang membuat hari-hari El berwarna.“El aku bukan anak kecil lagi, jangan suka mencubitku seperti itu.”“Bagiku kamu tetapi tuan putri kecilku.”Freya tertawa. Dulu waktu kecil, Freya selalu mengajak El bermain tuan putri dan pangeran.“Tidak terasa kita sudah besar ya, El.”“Aku yang sudah besar, kamu tidak.”“El ... “ keluh Freya lagi.“Iya-iya. Kamu sudah besar, tetapi masih sangat manja.”“Hanya padamu aku manja. Jadi jangan katakan pada siapa pun.”“Iya,” jawab El mengalah.“Apa nanti setelah aku menikah, aku masih bisa manja denganmu?” Kehilangan perhatian El sangat berat untuk Freya. Tak bisa dia bayangkan akan seperti apa jika hal itu terjadi.“Masih bisa.”“Benarkah?” tanya Freya berbinar.“Jika aku suamimu,” jawab El tertawa.“El ....” Freya langsung melempar serbet makan yang berada di meja. El selalu saja bercanda saat dia sedang serius.El hanya tertawa melihat kekesalan. “Sudah lupakan,” ucapnya mengakhiri perdebatan. “Katakan padaku, kapan kamu mulai bekerja?”“Besok aku sudah mulai bekerja di kantor Kak Al.”“Al?” tanya El terkejut mendengar nama itu. “Untuk apa kamu bekerja di kantor Al?” Dahi El berkerut dalam dan diiringi dengan alis yang bertautan.“Astaga, aku lupa jika aku belum mengatakannya padamu.”“Mengatakan apa?”“Jadi kakek meminta aku untuk belajar dari Kak Al. Jadi aku akan mulai bekerja di sana besok.”Sejujurnya El terkejut dengan apa yang dikatakan Freya, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. Memikirkan sebuah masalah bukan dari sudut pandang satu saja, tetapi yang lain.“Aku tidak mengerti kenapa kakek menyuruhku untuk bekerja di sana,” keluh Freya.“Mungkin kakek ingin kamu belajar pada orang yang tepat. Mengingat Al adalah pengusaha muda hebat waktu ini, wajar kakekmu meminta untuk belajar dari dia.”“Iya, mungkin itu alasannya.”“Belajar dari siapa saja bukan masalah. Yang terpenting, belajarlah yang benar.” El mengusap rambut Freya.Seketika Freya terdiam. Dia teringat dengan apa yang dilakukan Al tadi padanya. Sama persis seperti yang dilakukan El.“Kenapa diam?” tanya El.“Tidak, tidak apa-apa,” elaknya.Mereka melanjutkan makan. Kemudian, memilih untuk pulang. Hari ini rencananya, akan diadakan pesta kepulangan El dan Freya yang akan diadakan di rumah El, jadi mereka memilih pulang untuk ikut membantu menyiapkan pesta.Dengan mengendarai mobil masing-masing, El dan Freya menuju ke rumah. Turun dari mobil mereka berjalan bersama-sama ke dalam rumah.“El ...,“ panggil Freya saat berjalan beriringan dengan El.“Apa?”“Apa kamu besok mau mengantar aku berangkat bekerja? Aku merasa berdebar di hari pertama bekerja.”El tersenyum. Dia tahu akan sepanik apa saat hari pertama Freya melakukan sesuatu. Ingatannya kembali pada bagaimana Freya takut dan panik saat hari pertama kuliahnya. El harus menunggu seharian di kampus, agar Freya merasa tenang ada dirinya di sekitar.“Tapi aku tidak bisa menunggumu seharian, karena bisa aku sudah mulai bekerja juga.”“Iya, tidak apa, aku hanya ingin kamu mengantar dan menjemput aku.”“Baiklah, nanti aku akan mengantarmu.”“Terima kasih, El.”El tersenyum dan mengangguk. Melanjutkan langkah masuk ke rumah. Di dalam mereka sudah di sambut ibu-ibu yang sedang sibuk menyiapkan segala hal. Ada Shea, Selly, Chika.“Aku rasa ini bukan pesta pernikahan, kenapa lengkap sekali personilnya,” goda El seraya mendaratkan kecupan pada mommy-nya. Dari Shea dan beralih pada Selly.“Kita coba dulu perkumpulan ini, jika berhasil nanti kita adakan pernikahan kalian,” ucap Selly.“Pernikahan siapa nanti yang akan lebih dulu?” tanya Freya seraya mendaratkan kecupan pada mamanya. “Aku atau El dulu?”Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Merasa ada yang aneh dengan pertanyaan itu. Mereka semua tahu sedekat apa El dan Freya, tetapi ternyata tak ada hubungan spesial antara mereka berdua.“Siapa saja yang lebih dulu, pasti akan mendapatkan kebahagiaan.” Shea memecah kecanggungan yang ada.“Iya, benar, siapa saja yang menikah lebih dulu, semoga kebahagiaan selalu ada untuk mereka.” Selly ikut berbicara. “Ayo kita lanjutkan bikin kue lagi.” Tak mau larut dengan pertanyaan dalam pikiran masing-masing, Selly mengajak untuk membubarkan diri.El dan Freya saling pandang. Tak mengerti kenapa semua bersikap aneh.“El, tolong pasangkan lampu di taman belakang,” teriak Shea dari dalam dapur.“Iya, Mom.” Tak mau larut dengan pikirannya, El mengerjakan apa yang diminta mommy-nya. Dia mengambil lampu dan memasangnya. Dibantu Freya dia naik ke atas kursi.“Pegang dengan benar, Frey. Jika tidak aku akan jatuh.” El memperingatkan Freya yang memegangi kursinya.“Iya, aku pegang, jangan cerewet.”El memasang lampu dan akhirnya lampu terpasang dengan benar. Karena pekerjaannya sudah selesai, akhirnya El bersiap turun. Namun, belum sempat dia turun kursi sudah bergoyang karena Freya tidak benar memeganginya.Seketika tubuh El terjatuh tepat di atas tubuh Freya. Untung saja tangan El dengan sigap menahan, sehingga tubuhnya tidak jatuh ke tubuh Freya.Freya yang mendapati El jatuh, hanya bisa pasrah. Dia memejamkan matanya, mengingat tubuh El yang kekar pasti akan menghantamnya. Namun, ternyata dugaannya salah. Karena ternyata tubuh El masih tertahan.El merasa lega, karena tubuhnya tertahan oleh tangannya. Dengan begitu, dia tidak melukai Freya. Tubuh El yang berada di atas Freya, membuat El dapat memandangi wajah Freya. Entah getaran apa yang dirasakan El, tetapi dia merasa jantungnya begitu berdetak kencang melihat wajah cantik Freya.Para ibu yang mendengar suara jatuh langsung berlarian mencari sumber suara. Alangkah terkejutnya mereka melihat pemandangan El yang berada di atas tubuh Freya.“Aku rasa mereka tidak akan ada yang lebih dulu. Yang ada mereka akan menikah bersama,” ucap Selly menggoda Shea dan Chika saat melihat adegan anak mereka berdua.“Kamu yakin menitipkan anak-anak ke daddy dan mommy?” tanya Freya memastikan. “Iya.” El tersenyum menyeringai. Dia memanfaatkan situasi dengan benar seperti yang dikatakan oleh daddy-nya.“Aku malu. Kalau mereka tanya mau apa kita, kita jawab apa?” Freya merasa malu ketika harus menitipkan anak-anaknya. “Mereka lebih paham. Tidak perlu menjelaskan panjang kali lebar.” El tahu jika orang tua mereka lebih paham akan hal itu. “Baiklah, aku akan pastikan yang akan dibawa.” Freya tidak mau ada yang sampai ketinggalan. Yang ada dirinya pasti tidak akan tenang bersama dengan El nanti ketika pergi. “Baiklah, aku akan lihat anak-anak dulu.” El mengayunkan langkah ke kamar sebelah. Mengecek anak-anak yang masih tidur lelap. El tersenyum. Dia merasa waktu bergulir begitu cepatnya. Anak-anak tumbuh begitu cepatnya. Belum lama El mengendong mereka bergantian. Kini mereka sudah bisa digendong bersamaan. Tepat saat El sedang meme
Suara tangis yang saling bersahutan terdengar mengisi keheningan malam. Di saat orang-orang sedang terlelap tidur, sepasang orang tua baru itu tampak sibuk menenangkan dua bayi yang kini sudah berusia lima bulan tersebut. Biasanya Kean akan anteng ketika malam hari, tetapi kali ini dia ikut menangis juga. Freya yang menyusui Lean harus pasrah ketika Kean menangis. El langsung mengambil susu yang disiapkan dan menghangatkannya. Sambil menunggu menghangatkannya, El mengajak main anaknya. Dia meletakkan Kean di atas bahunya, memanggulnya seraya memegangi tangannya. Seketika bayi kecil itu terdiam.El mengayun-ayunkan tubuh Kean hingga membuat melayang-layang. Kean langsung tertawa terbahak merasakan tubuhnya diayun-ayunkan. Tawa Kean itu menarik perhatian Lean. Adiknya itu langsung menoleh. Mulutnya yang masih menyesap puncak dada mommy-nya, tanpa sadar menariknya begitu saja sambil melepaskannya. Membuat mommy-nya mengaduh kesakitan dengan aksi si bungsu. Bola
Waktu bergulir dengan cepatnya. Semua menanti kelahiran penerus dari dua keluarga. Setelah kejadian kemarin, semua keluarga menjaga Freya. Apalagi sudah menjelang melahirkan, pastinya Freya perlu pengawasan penuh. Mommy Shea dan Mama Chika selalu berganti menjaga Freya di saat El bekerja. Tak mau sampai anak dan cucu mereka kenapa-kenapa. El yang biasanya pulang larut malam pun, kini pulang lebih awal. Tak mau sampai kehilangan momen. Mengingat Freya sudah akan melahirkan dan di saat itu, dia ingin selalu ada di sisi istrinya.“Ini sudah jalan berapa minggu?” El yang merebahkan tubuhnya, meletakkan kepalanya di kaki istrinya. Menghadap ke arah perut Freya yang semakin membesar. “Tiga puluh sembilan.” “Kenapa lama sekali mereka keluar. Bukankah harusnya mereka keluar di antara waktu tiga puluh tujuh minggu sampai empat puluh minggu.” El selalu dengan saksama mendengarkan ucapan dokter. Jadi dia selalu tahu perkembangan ibu hamil. “Enta
“Pa, cepat!” El menepuk kursi kemudi dari belakang. Meminta untuk papa mertuanya bergegas untuk melajukan mobilnya. “Sabar, El.” Rasanya, Felix benar-benar mengulang kepanikan sewaktu El lahir. Temannya-Bryan juga menepuk kemudinya, hingga membuatnya lemas. “Berapa bulan sebenarnya usia kandungan anak Freya?” tanya Papa Felix. Mengingat El yang lahir prematur membuat Papa Felix takut jika cucunya akan mengalami hal yang sama. “Tiga puluh enam minggu, Pa.”El menatap Freya dengan tatapan kasihan. Freya tampak meringis kesakitan saat perutnya kencang. Dengan usia segitu, artinya anak akan dilahirkan prematur. Karena usia tiga puluh tujuh-baru anak dikatakan normal. Papa Felix hanya bisa berharap semua baik-baik saja. Mobil berhenti di depan Rumah sakit. El buru-buru membawa Freya keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil, mereka sudah disambut oleh perawat. Namun, El justru membawa Freya dengan tangannya sendiri ke UGD.Papa Fe
Sebagai pengusaha muda, El mulai diperhitungkan. Namanya mulai dikenal di kalangan pengusaha. Apalagi, El terkenal membangun bisnisnya di luar negeri. Kini perusahaannya sudah bergabung dengan Julian Company. Semua proyek pembangunan di bawah tanggung jawab El. Tiga bulan sejak kematian Kakek Theo, perusahaan semakin membaik di bawah pimpinan El. Seperti yang diharapkan Kakek Theo, El berusaha keras memajukan perusahaan. Menjalin kerja sama dengan beberapa kolega sang kakek mertua. “Sayang, ingat besok aku, mama dan mommy akan pergi untuk mencari baju untuk anak kita. Jadi aku harap kamu ikut!” Freya memberi peringatan penuh pada suaminya itu. Beberapa hari belakangan ini El sibuk bekerja hingga malam. Dia takut saat libur, suaminya itu akan tetap bekerja. Kini usia kandungan Freya sudah mencapai dua puluh sembilan minggu atau setara dengan tujuh bulan satu minggu. Semua persiapan mulai dilakukan oleh keluarga, termasuk membeli perlengkapan dari mulai baju dan pe
Beberapa hari ini El disibukkan dengan kepindahannya kantor. Kini kantornya berada di kantor Julian Company. El bertanggung jawab atas perusahaan istrinya karena sang istri yang sedang hamil dan tidak bisa mengurusi perusahaan. Namun, nanti saat sang istri sudah bisa bekerja kembali, dia akan menyerahkannya kembali. Keluarga yang lain pun tidak masalah. Mereka menyerahkan pada El. Terutama Papa Felix. Dia yakin El bisa mengurus perusahaan peninggalan papanya itu. Tidak terasa kandungan Freya sudah mencapai dua puluh minggu. Perutnya semakin hari semakin membesar. Semakin bertambahnya usia kandungannya, mual yang dirasakan Freya semakin berkurang. Dia pun sudah mulai bisa makan seperti biasanya. Justru dia sangat lahap saat makan.El keluar dari kamar mandi. Menggosok-gosokan rambutnya yang basah. Melihat istrinya yang sedang berada di depan cermin. Tampak istrinya itu sedang melihat wajahnya yang terlihat sangat gembil. “Semakin hari, kamu sema
Freya hanya bisa menangis di atas makam sang kakek. Perasaannya hancur ketika tak bisa ikut mengantarkan kakeknya ke peristirahatannya terakhirnya. Dia yang harus pingsan, justru menghabiskan waktu di Rumah sakit.“Jangan bersedih terus. Kamu harus kuat.” El mencoba menenangkan sang istri. Membelai punggung lembut sang istri. Berharap istrinya dapat tenang. El dapat merasakan betapa sedihnya istrinya, tidak bisa menemani sang kakek untuk terakhir kalinya. “Kakek bilang dia ingin bermain dengan cicitnya.” Freya menoleh ke arah suaminya. Matanya yang sudah sembab-menandakan jika dia terus menangis tanpa henti. Freya mengingat apa saja yang dia rencanakan dengan sang kakek sewaktu di Rumah sakit. Namun, rencana tinggal rencana, karena kini sang kakek pergi untuk selama-lamanya. “Iya, dan dia tidak akan senang jika kamu membuat cicitnya kenapa-kenapa. Jadi jangan terus bersedih.” El membawa istrinya dalam pelukan. Manusia hanya bisa berharap dan Tuhanlah yan
Papa Felix merasa cemas dengan keadaan papanya. Pikirannya menerka-nerka apa yang terjadi dengan papanya. Ada sedikit ketakutan dalam hatinya karena apa yang sudah dilakukannya kemarin yang menjadi papanya itu masuk Rumah sakit. Turun dari mobil, Papa Felix langsung menghubungi sekretaris papanya, menanyakan keberadaan papanya. “Apa yang terjadi?” Tepat di depan ruang rawat, Papa Felix bertanya pada sekretaris papanya. Pandangannya penuh ketakutan dan kecemasan. “Pak Theo sudah masuk ke Rumah sakit sejak tiga hari yang lalu, dan sekarang kondisinya menurun.” “Sudah tiga hari dan kamu baru memberitahu sekarang!” Papa Felix ingin melayangkan bogem mentah pada sekretaris papanya itu, tetapi ditahan oleh Daddy Bryan. Temannya itu membawa Felix untuk duduk. Tubuh Felix begitu lemas. Tiga hari artinya di saat dirinya bertemu dengan papanya dan pastinya papanya sakit karena semua ucapannya. “Maaf, Pak, selama ini Pak Theo melarang untuk men
Papa Felix kembali ke Rumah sakit setelah puas mengungkapkan semua perasaan dalam hatinya. Dia sedikit menyesali karena tidak melakukannya sejak lama dan justru membiarkan papanya melakukan apa yang dia mau. Namun, kini Felix tidak akan membiarkannya. Dia akan menjaga anak dan cucunya. Sampai di Rumah sakit sudah banyak orang yang datang. Ada kedua orang El yang ada di sana. Istrinya pun turut hadir di sana. “Kamu dari mana?” tanya Mama Chika pada suaminya. “Dari kantor papa.” Wajah Felix tampak masih terlihat kesal. Masih ada amarah yang meliputinya. “Papa marah dengan kakek?” tanya Freya cepat ketika mendengar ucapan dari papanya. “Dia tidak bisa dibiarkan begitu saja. Ini sudah melampaui batas. Harusnya dia tidak seenaknya memintamu mengecek proyek langsung karena kamu sedang hamil. Lagi pula masih banyak karyawan yang bisa dia suruh untuk mengecek.” “Ta—”Freya masih mau menyanggah, tetapi El memegangi lenganny