Share

Mengajari

Pagi ini rumah El begitu riuh. Bagaimana tak riuh saat suara mommy-nya menggelar, menyambut pagi. El yang dari kamar mendengar suara berisik, mau tak mau bangun.

Dengan malas, dia membuka pintu kamarnya. Saat membuka pintu, mommy-nya sedang mengetuk pintu kamar Bian yang tak kunjung bangun.

“Bian ... bangun.” Shea terus saja membangunkan anak bungsunya.

“Bian belum bangun?” tanya El.

“Adikmu ini memang susah sekali dibangunkan.” Shea terus mengetuk pintu agar anaknya bangun.

“Biar El saja, Mom.”

Shea yang masih harus menyiapkan sarapan, mau tak mau akhirnya mengizinkan El membangunkan Bian. Menyerahkan tugas pagi ini pada anak sulungnya.

“Bi ....” El mengetuk pintu.

Sekitar tiga kali El memanggil dan mengetuk, akhirnya Bian membukakan pintu juga. Namun, adiknya itu justru kembali ke tempat tidur, kembali memejamkan matanya lagi. El hanya bisa menggeleng. Kemudian dia ikut merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.

“Ayo, bangun, kamu harus sekolah,” ucap El.

“Aku masih lelah, Kak.”

“Sebuah keputusan itu harus ada konsekuensinya, jadi bertanggung jawablah dengan keputusan yang kamu buat.”

Bian yang tadi ingin tidur, membuka matanya. Melihat kakaknya yang berada tepat di sebelahnya. “Kenapa Kakak bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah Kakak putuskan?”

“Tujuan.” Satu kata yang diberikan pada adiknya. “Saat kamu memiliki satu tujuan, kamu akan bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihanmu.”

Bian mengembuskan napasnya. Hobinya itu hanya sekedar hobi. Dia belum menemukan tujuannya untuk menjadikan hobinya itu masa depan.

“Daddy sudah membiarkanmu melakukan hobimu. Justru dia mendukung dan memberikanmu fasilitas lebih. Jadi bertanggung jawablah untuk menyelesaikan pendidikanmu, karena itu tujuan daddy mengizinkanmu.”

Bian terdiam. Dia ingat betul janjinya pada kedua orang tuanya, tetapi kadang dia terlampau malas karena kelelahan setelah melakukan pertandingan.

“Bangun, dan bersiaplah. Buktikan jika kamu bertanggung jawab dengan keputusanmu. “ El bangun dan menatap adiknya sejenak sebelum akhirnya dia keluar dari kamar.

Bian tersenyum. Seperti mendapatkan energi baru. Tak membuang waktu, dia bangkit dari tempat tidur dan bersiap.

El yang masuk ke dalam kamar, juga ikut bersiap. Pagi ini, dia berencana mengantarkan adiknya itu. Sudah sangat lama, dia tak mengantar adiknya itu. Namun, baru saja El hendak ke kamar mandi, suara ponselnya berdering. Dia kembali melangkah mengambil ponselnya untuk tahu siapa yang menghubunginya pagi-pagi.

“Halo Frey ,” sapa El saat menempelkan ponsel di telinga. Ternyata teman sekaligus tetangganya itu yang menghubunginya.

“Apa kamu semalam menghubungiku?”

“Iya, setelah Al memberitahu jika kamu menghubungi aku, aku menghubungimu, tetapi sepertinya kamu sudah tidur.”

“Iya, aku sudah tidur.”

El tersenyum. “Ada apa kamu menghubungi aku?”

“Aku hanya ingin bertanya apa kegiatanmu hari ini?”

“Pagi ini aku akan mengantarkan Bian dan Ghea. Setelah itu, aku akan mampir ke kantor Daddy. Ada apa kamu bertanya? Apa kamu ingin mengajakku jalan-jalan?”

“Iya, pasti akan sangat membosankan di rumah. Aku ingin jalan-jalan.”

“Baiklah, setelah dari kantor, kita akan pergi jalan-jalan.”

“Terima kasih El. Kamu memang yang terbaik.”

“Jangan merayuku.”

Freya  tertawa mendengar ucapan El. “Baiklah, ketemu nanti.”

“Iya.” El mematikan sambungan telepon dan melanjutkan niatnya untuk bersiap. Tak mau adiknya lama menunggu.

Selesai bersiap, El menuju meja makan. Di sana sudah ada kedua orang tuanya dan adik perempuannya. “Pagi ...,“ sapa El seraya menarik kursi.

“Kamu mau ke mana pagi-pagi?” tanya Shea heran melihat anaknya sudah rapi. Dengan kaos hitam dan celana jeans, El tampak casual. Sepatu kets yang membungkus kakinya, membuat tampilan El terlihat semakin tampan.

“Aku ingin mengantarkan Bian dan Ghea.”

“Wah ... kalau Kakak mengantarkan aku, aku sangat yakin di kampusku akan heboh kedatangan pria tampan,” goda Ghea.

“Bukannya bagus, jadi berbanggalah menjadi adikku.”

Ghea merutuki ucapannya yang tanpa dia sadari mengandung pujian.

“Sudah jangan berdebat.” Bryan yang melihat anaknya tak henti berbicara, menghentikannya, kemudian dia menatap El. “Apa kamu jadi ke kantor?” tanyanya.

“Jadi, Dad. Setelah mengantarkan Bian dan Ghea aku akan ke sana.”

“Baiklah, Daddy akan menunggumu.”

Mereka semua memulai makan, saat Bian datang. Tak banyak obrolan pagi ini, mengingat Bian dan Ghea harus bergegas berangkat. Pagi ini sarapan mereka disponsori dari koki handal di rumah. Siapa lagi jika bukan Mommy Shea. Sandwich dengan isian daging dan keju menjadi sarapan pagi ini.

“Da ... Mom, da ... Dad.” Bian dan Ghea melambaikan tangan saat mobil melaju meninggalkan rumah.

Shea dan Bryan merasa heran, tumben sekali anak bungsunya itu bersemangat berangkat sekolah. Seingatnya, dia paling malas jika berangkat sekolah.

“Apa sandwich tadi mengandung mantra,” goda Bryan pada istrinya.

“Kenapa?” tanya Shea bingung.

“Anakmu hari ini bersemangat sekali. Kalau begitu akan harus makan sandwich menjelang tidur saja.” Bryan tersenyum menyeringai. Untuk ukuran umur lima puluh tahun, dia masih tampak segar. Mungkin karena seringnya dia berolah raga.

“Dasar!” ucap Shea memukul lengan suaminya. Suaminya itu tidak pernah berubah. “Tadi El yang membangunkan Bian. Jadi mungkin dia mengatakan sesuatu,” elaknya.

“Anak sulungmu itu sudah seperti kamu yang punya ilmu sihir.”

“Ilmu sihir?” Shea tidak mengerti kiasan yang diucapkan suaminya.

“Iya, aku selalu patuh denganmu saat kamu berbicara dan sekarang El yang menuruni hal itu.”

“Kapan kamu patuh?” tanya Shea mencibir.

“Bukannya aku selalu patuh? Kapan aku sering tidak patuh?” Bryan menatap istrinya penuh tanya.

“Sering, setiap aku memintamu hanya sekali saja.”

Bryan tersenyum. “Itu lain, kalau itu tidak bisa ditawar.”

Shea mendengus, tetapi seketika langsung beralih tersenyum. “Sudah sana, sebaiknya kamu cepat berangkat.” Shea mendorong tubuh Bryan.

“Jangan menghindar.”

Shea mengabaikan Bryan dan terus mendorong suaminya itu sampai ke pintu mobil. Bryan tak membuka pintu dan justru berbalik. “Jangan suka menawar padaku. Aku lebih suka memberi diskon.”

“Diskon apa?” Shea sungguh ingin tertawa melihat suaminya.

“Diskon waktu.” Bryan mengerlingkan matanya.

“Diskon lima belas menit itu hanya dua belas koma lima persen,” sindirnya.

“Tetap saja itu diskon,” elak Bryan.

“Sudah-sudah. Ini masih terlalu pagi membahas diskon.”

“Baiklah, kita bahas nanti malam.” Bryan tersenyum puas membuat rona merah di pipi istrinya yang semakin menua itu.

Satu kecupan mendarat di pipi Shea sebelum Bryan masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah.

Shea yang melihat suaminya pergi hanya tersenyum. “Siapa kelak yang akan menuruni sikapnya itu?” Dia bertanya-tanya dari ketiga anaknya, kelak siapa yang akan seperti suaminya.

“Tapi semoga, sifat baik saja yang menurun pada anak-anak.” Shea selalu berusaha membuat anak-anaknya jauh lebih baik dari pada dia dan Bryan dulu. Berharap anak-anaknya akan menikah dengan cara yang baik. Menjadikan anak-anak lebih baik adalah tujuan orang tua.

El mengantarkan kedua adiknya sambil mengajak mereka berbicara. Membangun hubungan kembali dengan adiknya. Maklum, enam tahun mereka hanya berkomunikasi lewat sambungan telepon dan bertemu saat liburan tiba.

“Bagaimana kuliahmu?” tanya El pada Ghea yang duduk di sampingnya.

“Kak Ghea jangan ditanya kuliah, tanya dia pergi jalan-jalan ke mana.” Bian yang duduk di belakang menyela pembicaraan.

“Berisik!” seru Ghea pada Bian.

El tertawa. “Pergi ke mana kamu? Dengan siapa?”

“Siapa lagi jika bukan Kak Cia. Akhirnya Kak Al dan Kak Dean yang jadi tumbal untuk menjaga mereka berdua.”

“Bian kamu bisa diam tidak,” ucap Ghea kesal. Dia menatap El dan menjelaskan, “Jangan percaya Bian, Kak.”

“Al dan Dean yang menjaga kalian?” tanya El memastikan.

“Iya, mommy yang minta. Padahal kami bisa pergi sendiri.”

“Pergi sendiri dan akhirnya menimbulkan masalah.” Bian kembali berceloteh.

Ghea membelalak. Kesalnya dengan Bian semakin bertambah.

“Karena membawa mobil dan melanggar lalu lintas.” Bian tertawa menceritakan kejadian yang membuat kakaknya itu harus dikawal.

“Polisinya itu saja yang salah,” elak Ghea.

El tertawa mendengar perdebatan adiknya.“Sekarang ada aku, giliran aku menjagamu.”

“Benarkah?” tanya Ghea berbinar. Mahasiswa kedokteran semester empat itu sangat senang mendengar kakaknya akan menemaninya.

“Iya, tetapi harus di hari libur.”

“Iya, tidak masalah,” jawab Ghea, “apa Kakak benar tidak akan meneruskan usaha daddy?” tanyanya mengingat obrolan semalam.

“Kenapa Kak El tidak melanjutkan usaha daddy?” Bian yang berada di kursi belakang, merasa sangat penasaran.

“Karena kamu yang kelak akan melanjutkan,” ucap El tersenyum.

“Aku?” tanya Bian seraya menunjuk ke arahnya.

“Iya, apa kamu tidak mau?” El melihat adiknya dari pantulan kaca di atas dashboard.

“Apa aku bisa?” Bian tak yakin.

“Berusahalah lebih kuat lagi, buktikan jika kamu bisa.”

Bian terdiam. Kakaknya selalu memberikannya energi positif, tetapi dia tak tahu apakah dia bisa atau tidak. Mengingat nilai akademiknya tidak baik.

“Berusahalah, jangan diam saja!” seru Ghea.

Bian mendengus kesal. Walaupun keinginannya adalah sesukses daddy-nya, tetapi dia sadar dengan kemampuannya.

Bian tak menjawab, dia terus berpikir apakah kelak dia mampu meneruskan usaha papanya, seperti harapan kakaknya.

Perdebatan berakhir saat sampai di sekolahan Bian. Karena jam sudah mendekati waktu masuk, Bian buru-buru keluar dari mobil. “Da ... Kakak,” pamit Bian.

Setelah Bian keluar, El melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan Ghea ke kampusnya. Perjalanan diiringi dengan perbincangan ringan antara El dan adiknya. Hingga tak menyangka akhirnya, mobil El sampai di kampus.

“Itu Dean,” ucap Ghea menunjuk seorang pria di depannya.

El yang sedang melepaskan seatbelt melihat ke arah adiknya menunjuk. Di sana dia melihat seorang pria yang dia kenal. Dean Zachary Maxton, anak dari pasangan dokter kandungan Lyra dan Erix Maxton-adik sepupu dari Regan Maxton. Pria muda dua puluh satu tahun itu kuliah di tempat yang sama dengan Ghea. Mereka sama-sama bercita-cita menjadi dokter.

“Ayo kita temui.” El keluar dari mobil untuk menemui Dean.

“De ...,“ panggil Ghea.

“Iya,” jawabnya seraya menoleh. “Kamu Ge ... ada Kak El juga.” Dean mengulurkan tangan.

“Iya, aku mengantarkan Ghea,” jawab El.

“Maaf kemarin tidak ikut menjemput, Kak.”

“Tidak apa-apa.”

“Tapi nanti aku akan datang ke pesta yang diadakan Daddy Bryan.”

Sejenak El mengingat, jika kedua orang tuanya dan kedua orang tua Freya akan mengadakan pesta kecil-kecilan nanti malam.

“Baiklah, ketemu nanti.”

El kemudian berlalu meninggalkan kampus Freya. Beberapa mahasiswi di sana menatap El, mereka tersenyum manis pada El. Benar dugaan Ghea jika dia akan jadi pusat perhatian. Tak mau berlama-lama, dia buru-buru masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya. Tempat yang akan ditujunya adalah kantor daddy-nya. Ada beberapa hal yang akan dibicarakan.

Di rumah, Freya yang selesai sarapan, mengantarkan adiknya yang berangkat kuliah. Rencananya setelah mengantarkan adiknya, Freya akan pergi ke kantor kakeknya sesuai dengan permintaan kakeknya tadi di sambungan telepon.

“Da ... Kakak ... “ ucap Cia saat keluar dari mobil.

“Da ....” Freya kembali melajukan mobilnya. Sudah lama sekali tidak melawati jalanan ibu kota yang membuat Freya harus beradaptasi lagi. Jalanan macet yang sudah jadi hal lumrah membuatnya harus lebih bersabar.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam akhirnya dia sampai di kantor kakeknya. Diantar oleh sekretarisnya, dia masuk ke dalam ruangan kakeknya.

“Kakek ...,“ panggil Freya dengan manja saat melihat kakeknya. Dia langsung berhamburan ke dalam pelukannya.

“Cucu Kakek akhirnya datang juga. Kakek rindu sekali.” Theo Julian-pemilik Julian Company yang merupakan ayah dari papa Freya. Karena sang anak tak mau meneruskan usahanya, rencananya dia akan memberikan pada cucu pertamanya.

“Aku juga merindukan Kakek.” Freya mengeratkan pelukannya.

“Lihatlah Al, betapa manjanya cucuku ini,” ucap Theo.

Mendengar nama yang tak asing membuat Freya melepas pelukannya dan menoleh ke mana arah mata kakeknya saat berbicara. Freya sungguh dibuat terkejut saat melihat ternyata Al yang berada di ruangan kakeknya.

“Kak Al di sini?” tanyanya ragu-ragu.

“Kakek yang memintanya untuk datang ke sini.” Theo mengajak Freya untuk duduk bersama dengan Al.

Ragu-ragu Freya mengikuti. Entah kenapa perasaannya begitu berdebar saat duduk bersama Al. Akan tetapi, dia berusaha keras untuk tetap tenang.

“Jadi Kakek meminta Al ke mari karena rencananya kamu akan bekerja di perusahaan Al. Kamu bisa belajar dari Al yang sudah sangat paham dengan bisnis. Al ini adalah salah satu pengusaha mudah hebat di negeri kita.” Theo yang melihat perkembangan perusahaan Maxton setelah dipegang Al, tak mau kehilangan kesempatan agar cucunya belajar dari Al.

“Saya masih belajar, Kek,” elak Al saat mendapat pujian.

Freya terkejut saat tahu jika dia akan bekerja di perusahaan Al untuk sementara waktu. Entah apa alasan kakeknya, tampak dia tidak sama sekali keberatan.

“Al akan mengajarimu banyak hal nanti.”

“Kenapa tidak Kakek saja yang mengajari?” tanya Freya basa-basi.

“Kakek sudah tua, tidak sabar mengajarimu. Harusnya hal begini papamu yang mengajari.” Theo masih saja kesal saat anaknya tak mau mengurus perusahaannya.

“Iya, kalau begitu aku mau.” Freya yang tak mau kakeknya membahas papanya, akhirnya menyetujui.

“Bagus, Kakek ikut senang dan tenang jika kamu belajar dengan orang yang tepat.

Al mengangguk. Sebenarnya dia tidak mau mengajari Freya, mengingat pekerjaannya banyak, tetapi mengingat Theo Julian adalah rekan bisnis daddy-nya, Al pasrah menuruti.

“Berapa lama aku akan belajar?” tanya Freya menatap Al.

“Aku rasa tiga bulan cukup untuk kamu memahami bisnis.”

Freya mengerti. Demi kakeknya yang ingin perusahaan maju di tangannya. Dia akan berusaha keras.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hermanto
kisah yang cukup mengharukan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status