Share

Bukan Anak Kecil

Shea dan Chika pun hanya tersenyum. “Emm ....” Shea berdeham untuk mengalihkan pandangan El dan membuka mata Freya.

El terkejut saat melihat mommy dan mamanya berjajar menontonnya. Pandangan mereka seolah penuh tanda tanya. Tak butuh waktu lama, dia bangkit. “Tadi kursinya goyang,” elaknya.

“Iya, aku tidak memegangi dengan benar.” Freya yang merasa tidak enak.

“Benarkan kursinya dan selesaikan pekerjaanmu,” ucap Shea tegas. Kemudian berbalik dan mengajak Selly dan Chika kembali ke dapur. Senyum mereka bertiga terhias di wajah cantik yang sudah semakin menua saat melihat aksi anak-anak mereka.

El dan Freya yang merasa tidak enak saat melihat pandangan orang tua mereka jadi salah tingkah.

“Kamu bagaimana El? Kenapa bisa jatuh?” protes Freya.

“Harusnya aku yang bertanya, kenapa bisa kamu tidak memegangi dengan benar kursinya?”

“Kenapa aku yang salah?” tanya Freya menatap kesel pada El.

“Lalu aku mau menyalahkan siapa jika bukan kamu? Kita hanya berdua berada di sini” El tetap tak mau kalah.

Mereka berdua memang berteman dan dekat, tetapi bukan berarti tidak pernah terjadi perdebatan. Untuk hal remeh pasti selalu menimbulkan perdebatan. Mewarnai pertemanan mereka.

Karena kesal, mereka berpisah. El memilih ke kamar, sedangkan Freya memilih pulang. Sejak kecil  mereka selalu begitu jika marah. Cara itu adalah cara ampuh meredam emosi. Memilih untuk tidak bertemu. Karena saat bertemu dalam keadaan marah, yang ada justru menambah keruh pertengkaran.

El yang sudah puas di kamar menyendiri dan meredakan emosinya keluar dari kamar. Di luar sudah ramai orang-orang yang sedang bersiap untuk pesta. Tampak Ghea yang sedang membantu mommy-nya merapikan makanan.

“Pulang dengan siapa kamu tadi?” tanya El pada Ghea.

“Dengan Kak Dean siapa lagi,” celetuk Bian. Dia yang sedang menonton balap motor di televisi masih saja ikut pembicaraan Ghea dan El.

“Dasar!” jawab Ghea kesal.

“Daddy belum pulang?” El meraih apel yang berada di meja dan memakannya.

“Paling sebentar lagi.” Dean kembali menjawab.

El yang gemas menghampiri Dean. “Saat fokus menonton, masih sempat saja kamu menjawab.” Dia duduk tepat di samping Bian.

“Fokus pada tujuan bukan berarti lupa lingkungan sekitar, bukan?”

Mata El membulat, tak menyangka adiknya bijak menjawab. “Dasar!” Dia tersenyum seraya mengacak rambut Bian. Merasa gemas dengan adiknya.

Saat sedang menikmati suasana hangat dan kesibukan mempersiapkan, terdengar suara nyaring dari pintu luar.

“Selamat sore.”

El yang penasaran menoleh ke arah pintu masuk.

“Itu Kak Cia, tidak perlu menoleh,” ucap Bian.

“Kamu sensitif sekali dengan Ghea dan Cia?” tanya El tersenyum.

“Mereka berisik, aku malas.”

El tersenyum.

“Hai Kak El ...,“ sapa Cia.

“Hai ... ada apa kemari?”

“Mengantarkan kue.”

“Kamu yang buat?” Ghea dan Bian langsung bertanya. Penasaran kue buatan siapa yang diberikan oleh Cia.

“Nenek yang buat.” Cia meletakkan kue di atas meja makan.

Ghea dan Bian menghembuskan napas, merasa lega karena ternyata bukan Cia yang membuat kue tersebut.

“Terima kasih,” ucap Ghea.

“Memang kenapa jika Cia yang membuat?” tanya El berbisik pada Bian. Dia merasa heran dengan reaksi adik-adiknya.

“Rasanya benar-benar tidak enak,”  jawab Bian berbisik.

El masih tidak menyangka, karena setahunya nenek Cia seorang koki kue, dan Cia juga sekolah untuk meneruskan usaha neneknya. “Jangan membuat isu kamu,” tegurnya.

“Lain kali Kak El harus coba kue buatanku,” ucap Cia menghampiri El.

“Silakan mencoba dan buktikan sendiri,” bisik Bian seraya menatap Cia.

“Oh ... iya Cia, aku akan mencobanya nanti jika kamu membuat.”

“Baiklah aku akan buat nanti spesial untuk Kak El.”

Bian dan Ghea saling pandang. Mereka menahan tawa. Tak sabar melihat reaksi El saat makan kue buatan Cia.

Cia duduk di samping El ikut menonton dengan El dan Bian yang sedang mengomentari balap motor.

“Kak El tahu tidak Kak Freya kenapa?” Cia bertanya sambil makan kacang yang berada di meja.

“Memang kenapa?” El masih mode makan apel yang dari tadi di tangannya.

“Sewaktu aku pulang, aku mengetuk pintu kamarnya, tetapi dia tidak membuka pintu.”

Sejenak El terdiam. Ingatannya kembali pada pertengkaran tadi. Pasti dia kesal, batinnya. Tanpa mengatakan apa-apa El berdiri dan keluar dari rumah.

Bian dan Cia yang duduk dengan El, merasa heran dengan yang dilakukan El. “Aku tadi hanya bertanya, kenapa dia pergi begitu saja?” gumam Cia.

El yang keluar dari rumah langsung menuju ke rumah Freya. Menyapa Chika yang membuka pintu, El meminta izin ke kamar Freya. Karena sudah menjadi hal biasa El ke rumah, Chika mengizinkan.

Di depan kamar Chika, El mengetuk pintu. “Frey ...,“ panggil El. Tidak ada jawaban dari dalam kamar hingga El mengulang kembali.

“Frey, buka pintunya, aku ingin bicara.”

“Fre—“ Tangan El mengetuk pintu kembali.

“Apa?” potong Freya yang membuka pintu.

El dengan wajah polosnya masuk ke dalam kamar. “Kamu marah?”

Freya tidak menjawab. Dia langsung merebahkan tubuhnya tengkurap di atas tempat tidur. Dia masih sangat kesal karena El menyalahkannya.

“Maaf, tadi aku emosi. Aku hanya kaget saja karena jatuh.” El merebahkan tubuhnya, mencoba membujuk Freya. “Coba bayangkan jika tubuhku jatuh,  tubuhmu tinggal diberikan sambal dan jadilah ayam geprek. “

“El ...,“ panggil Freya seraya memukul El.

El pasrah dipukul, tetapi sesaat kemudian dia memegangi tangan Freya. Menatap gadis cantik yang berada di hadapannya. “Maaf ....” Meminta maaf saat menyadari kesalahan adalah hal biasa yang dilakukan El. Tak pernah malu karena sebuah permintaan maaf.

Seketika Freya luluh. El selalu tak bisa membuatnya marah terlalu lama. “Aku yang harusnya minta maaf. Aku harusnya memegangi kursi dengan baik. Aku ....”

El menghentikan Freya yang terus berbicara. Dengan jarinya, dia menghentikan Freya berbicara. Mata birunya menatap dengan tajam. “Tidak ada yang salah karena memang takdir yang membuatku terjatuh.”

Entah kenapa Freya melihat El tampak lain saat memandanginya. Namun, buru-buru dia menghilangkan pertanyaan dalam hatinya itu.

Saat mereka sedang asyik dengan saling memandang, pintu kamar terbuka. Tampak Felix yang baru pulang kerja melihat anak gadisnya dengan anak laki-laki-tetangga sebelah.

“El ... Freya ... apa yang kalian lakukan?” teriak Felix.

El dan Freya seketika menoleh. Melihat Felix yang tampak sangar, membuat mereka langsung bangkit dari tempat tidur.

“Pa, kami tidak melakukan apa-apa.”

“Mana bisa Papa percaya saat laki-laki dan perempuan berada di dalam satu kamar yang sama.” Wajah Felix memerah marah.

“Pa, dengarkan penjelasan kami.” Freya mendekat pada papanya.

“Menjelaskan apa? Bahwa kalian baru saja berciuman?” Dari apa yang dilihat Felix, dia menangkap jika anaknya baru saja berciuman.

“Pa, aku tidak melakukan hal itu,” elak Freya.

“Pa, kami tidak melakukan hal itu. Tadi Freya marah, dan aku membujuknya. Itu saja.” El merasa takut Papa Freya tidak percaya padanya.

Felix menatap El dan Freya bergantian. Mencari kebohongan dari sorot mata mereka. “Kali ini Papa percaya, tetapi jika Papa temukan kalian di kamar berdua, Papa nikahkan kalian!”

Mata Freya membulat. “Kenapa dinikahkan? Bukannya kami sering di kamar berdua?”

Felix menatap lekat anaknya. “Apa kamu lupa jika kalian sudah dewasa? Dulu kalian bisa tidur berdua karena masih kecil, tetapi jika kalian tidur berdua lagi, yang ada kalian membuat anak kecil.”

“Pa ....” Freya malu dengan ucapan papanya.

El tak kalah malu mendengar ucapan Felix. Daddy dan Papanya itu memang asal jika berbicara, tetapi tetap saja membuat pipinya merona.

“Sudah-sudah, “ ucap Felix, “kalian pergi bersiap untuk pesta. Sudah ada nenek dan kakek yang datang.”

Freya dan El mengangguk. Kemudian El keluar dari kamar Freya dan pulang ke rumah untuk bersiap.

***

Pesta dimulai. Beberapa orang datang ke rumah Bryan dan Shea, sengaja untuk merayakan kedatangan El dan Freya.  Sebenarnya bukan pesta besar karena hanya dihadiri oleh keluarga saja, tetapi tetap saja ramai. Dari mana lagi jika bukan ramai karena suara Ghea dan Cia yang sedari tadi tak berhenti berbicara.

“Lihat siapa yang datang, pemilik pesta,” ucap Felix saat melihat Freya datang ke rumah El.

Gadis cantik itu tampil cantik dengan gaun tanpa lengan dengan potongan sampai di lutut. Gaun dengan tule di pundaknya, pundak mulusnya sedikit tertutup.

Al yang melihat Freya, terpaku. Dulu sewaktu di London, dia memang tidak pernah memerhatikan Freya. Sekalipun mereka berpapasan bertemu, dia lebih sering melihat Freya dengan tampilan casual.

Freya mengayunkan langkahnya menghampiri orang-orang yang sedang berkumpul di taman belakang. Melewati Al, dia mencoba tersenyum. Di luar dugaan Freya, senyumannya dibalas oleh Al. Itu adalah kali pertamanya dia melihat Al tersenyum. Entah perasaan apa yang melingkupi hatinya. Perasaannya begitu senang.

“Cantik sekali kamu.” Melisa yang melihat Freya langsung membelai wajah cantik Freya.

“Terima kasih, Nek.”

“Kalau cantik, bisa dijadikan calon cucu mantu, Bi,” goda Felix pada Melisa.

“Kamu itu ada-ada saja.” Melisa tertawa.

Freya hanya bisa memasang senyuman di wajahnya saat papanya dengan sengajanya mengatakan hal itu. Tak mau membuat wajahnya semakin memerah, Freya berpamitan untuk mengambil minum.

Berjalan dari rumahnya ke rumah El membuatnya tenggorokannya kering. Menuju salah satu meja, dia mengambil minuman dan meminumnya. Matanya sesekali menyapu pandangan, mencari El yang belum tampak batang hidungnya.

“Hai ...,“ sapa Al yang menghampiri.

Karena terkejut dengan suara yang tiba-tiba dari belakang, membuat Freya tersedak. Tangan Al langsung bergerak membelai punggung Freya untuk meredakan.

“Kamu tidak apa-apa?” Al memberikan sapu tangannya pada Freya untuk mengusap bibirnya yang basah.

Tanpa penolakan, Freya menerima, kemudian mengusap bibirnya yang basah. “Terima kasih.”

“Maaf aku mengagetkanmu.”

“Iya, Kak Al datang secara tiba-tiba dari belakang, jadi wajar aku kaget.”

“Kamu yang terlalu fokus minum hingga tidak melihat sekitar,” ucap Al.

“Iya, aku sedang mencari El, kenapa dia belum kelihatan.” Freya masih mengedarkan pandangan mencari El.

“Sepertinya tinggal di London membuat kalian tak bisa jauh.” Al tersenyum, menyadari sedekat apa El dan Al.

“Mungkin karena kami memang berteman saja dari kecil, jadi kami dekat.”

“Apa ....”

“Hai ...,“ sapa Cia menghampiri Al, menghentikan kalimat yang akan keluar dari mulut Al.

“Apa kalian mau coba kue ini.” Cia menyodorkan kue buatannya pada Al dan Freya.

Al dan Freya saling pandang. Mereka sudah tahu seperti apa rasa kue buatan Cia. Bisa dipastikan kue buatan Cia tidak akan enak di lidah.

“Aku akan mencari El dulu.” Freya memilih menghindari. Tak mau jadi tumbal mencicipi kue. Mengayunkan langkahnya, dia buru-buru pergi untuk mencari El.

Di sana tinggallah Al sendiri. Tak mau jadi sasaran untuk mencicip kue, Al juga ikut mencari alasan. “Sepertinya mommy tadi meminta tolong padaku,” ucapnya. Matanya menangkap Dean yang sedang berjalan menghampiri mereka. “Sebaiknya Dean saja yang kamu suruh mencobanya.”

Al langsung memanggil Dean. Menarik tangan sepupunya itu. “De, coba cicipi kue buatan Cia, aku harus menemui mommy.” Tanpa berbasa-basi lagi, Al langsung meninggalkan Dean dengan Cia.

Cia menyodorkan kue dengan tersenyum manis. Berharap Dean akan mencoba kue buatannya.

“Apa jika kue ini tidak enak, kamu akan menjaminku tidak akan kenapa-kenapa?”

“Bukannya kamu calon dokter, jika makan kue buatanku dan sakit, bukankah kamu bisa cari obatnya sendiri,” sindir Cia.

“Sekalipun aku calon dokter, jika aku sakit tetap saja aku harus diperiksa dokter.“

“Sudah nanti biar Ghea yang periksa.” Cia menyuapi Dean dengan kue buatannya.

Dean pasrah saat harus dipaksa makan. Berdoa tidak akan terjadi apa-apa setelah makan kue buatan Cia. Tapi benar saja, baru saja kue masuk ke mulut Dean. Dean buru-buru mencari tisu dan membuangnya. “Apa kami masukkan minuman soda ke kue?”

“Iya, aku memasukkan minuman soda tadi.”

Dean menepuk dahinya. Merasa bingung dengan ide Cia yang semakin hari semakin aneh. Namun, dia memilih diam. “Jangan berikan pada yang lain,” ucap Dean sebelum pergi.

Cia memanyunkan bibirnya. Kemudian mencicipi kue buatannya yang sebenarnya belum dia cicipi. Wajahnya langsung berubah karena merasakan rasa tidak enak. “Pantas tidak ada yang suka dengan kue buatanku.” Akhirnya Cia menyadari kenapa banyak yang tidak suka kue buatannya.

***

Freya yang menghindari adiknya mencari El. Sedari tadi dia tidak melihat El sama sekali. Jadi dia tahu temannya itu ada di mana. Di mana lagi jika bukan di kamar.

Mengetuk pintu Freya memanggil El. Namun, sayangnya tidak ada jawaban dari dalam kamar. Karena terlalu lama menunggu akhirnya Freya masuk ke dalam kamar.

Saat masuk, aroma maskulin menguap ke udara. Mungkin begitulah kamar pria, selalu memberikan sensasi yang menunjukkan jati diri mereka.

Freya terakhir ke kamar EL adalah sewaktu El belum ke London. Di kamar ada beberapa foto yang berjajar di atas meja dan menarik matanya untuk memandang. Foto dirinya dan El berjajar rapi di atas meja. Ada Al, Ghea, Cia, dan Dean juga di sana.  Masa kecil adalah masa-masa paling indah yang tak bisa dilupakannya.

“Sedang apa kamu di sini?” tanya El yang baru keluar dari kamar mandi.

Mendengar suara El, Freya menoleh. Alangkah terkejutnya saat melihat El hanya mengenakan handuk di pinggang saja. Buru-buru Freya berbalik, merasa malu melihat El dalam keadaan seperti itu.

“Kenapa kamu tidak memakai baju?” protes Freya.

“Aku memang biasa mengganti baju di luar kamar mandi, kenapa kamu protes?” cibir El.

“Kamu merusak mata suciku dengan melihat tubuhmu itu.”

“Salah siapa kamu masuk tanpa permisi?” El tetap tak mau kalah.

“Aku sudah mengetuk pintu tadi, karena kamu tadi tidak kunjung membuka pintu, akhirnya aku masuk.”

El melangkah mendekat pada Freya. Berdiri tepat di belakang Freya. Deru napas mint yang tercium membuat tubuh Freya gemetar. Hawa dingin dari tubuh El yang berjarak beberapa inci dari tubuhnya juga begitu terasa.

“Apa kamu lupa jika tadi papa baru saja mengatakan jika kita berdua bukan anak kecil lagi. Jika kamu berada di kamarku seperti ini, aku akan jamin akan ada bayi kecil di antara kita.”

Mata Freya membulat mengingat kata-kata papanya. Belum lagi cara El yang berbicara tepat di telinganya membuatnya begitu gemetar. Tak berkata apa-apa lagi, Freya memilih untuk pergi.

El yang melihat Freya pergi langsung tergelak. Niatnya menggoda membuatnya temannya itu justru takut. “Akan seperti apa anak yang akan kita buat?” gumam El. Namun, seketika El menyadari gumamannya. “Bicara apa aku,” ucapnya seraya mengusap kepalanya.

Tak mau berlama-lama ke pesta, El buru-buru memakai baju dan bersiap untuk ke pesta. Bergabung dengan keluarga lain yang sedang merayakan kedatangannya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ulil Zamhariroh
bedakah cerita nya dengan versi cetak nya??? karena aku udah punya versi cetak nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status