Dunia Dea seperti meledak seketika.
“Ibu!” teriaknya, matanya melebar karena amarah yang tak bisa ia tahan lagi.
"Uang apa?" Jean merasa bingung, tapi sebelum situasi semakin buruk, Jean segera menarik tangannya. “Ayo pergi,” bisiknya tegas.
Dea masih terengah-engah karena kemarahannya, tapi ia tidak melawan saat Jean menyeretnya keluar dari ruang tunggu, menjauh dari tatapan tajam ibunya dan adiknya.
Mereka berjalan cepat melewati lorong rumah sakit, lalu tiba di kantin. Jean akhirnya melepaskan genggamannya, lalu menatap Dea dalam-dalam.
“Duduk,” perintahnya lembut.
Dea menurut. Ia baru menyadari betapa lelahnya ia. Betapa sesaknya dadanya. Betapa semuanya terasa begitu… menyakitkan.
Tiba-tiba dalam pikirannya terlintas saat Yama duduk bersama di kantin yang sama dan pria itu berakhir di ranjang rumah sakit karena alergi
Dea mengangkat wajahnya. Matanya merah dan tubuhnya dipenuhi luka."Tolong aku..."“Aku... baru saja dirampok,” ucapnya lemah. “Mereka ambil semuanya... aku sedang hamil... suamiku sedang di luar negeri…”Wanita itu mendesah, antara bingung dan iba. “Ya Tuhan... ayo ikut saya ke kantor polisi, biar mereka bantu—”“Jangan,” Dea memotong cepat, suaranya pelan namun tegas. “Aku takut... aku cuma ingin istirahat... tolong... bawa aku ke rumah Ibu saja. Hanya untuk malam ini. Aku akan memanggil suamiku untuk menjemputku.”Wanita itu menatapnya ragu, namun ada keibuan yang menang atas logikanya. Ia menggandeng Dea dengan lembut.“Namaku Bu Ranti. Ayo, Nak... kita ke rumah. Rumah saya tidak jauh dari sini.”Dea hanya mengangguk. Matanya mulai kabur, langkahnya melemah. Saat i
Frans menelan ludah. Tenggorokannya tercekat. Ia sendiri tidak yakin lagi dengan kata-katanya. Yang ia tahu, pelukan Elsa tadi terasa berbeda. Ada kelembutan yang juga membuatnya merasa dibutuhkan. Tubuh Elsa yang menjadi candu baginya. Awalnya memang hanya pelampiasan kekesalan semata, tapi saat ini... dengan kondisi wanita itu sudah memberikan anak dalam rahimnya.Sungguh tidak mungkin dia mengabaikan wanita itu, terutama saat ini. Apa pun alasannya.Tapi Dea... Dea adalah wanita yang ia kejar sejak lama, yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.“Kamu mulai mencintainya, bukan?” ulang Dea, lirih namun tajam.Frans tidak menjawab.Dan ketidakjawaban itu terasa lebih menyakitkan daripada pengakuan apa pun.Dea menarik napas panjang, lalu duduk lebih tegak. “Kalau kamu mencintainya... kenapa kamu tidak melepaskanku saja?” ia menatap Frans lurus.“Aku akan kemb
Lampu remang menyinari ruangan. Dea terlihat tertidur dengan selimut membungkus tubuhnya. Nafasnya teratur, wajahnya damai meskipun sedikit pucat.Frans melangkah pelan, berdiri di sisi ranjangnya, menatap lama, namun memilih tak membangunkannya. Ia hanya menarik selimut lebih rapi, membetulkan letak gelas air minum, dan menghela napas."Maafkan aku... sebentar saja dan aku akan kembali," bisiknya, lalu meninggalkan ruangan.Langkahnya menuju kamar Elsa.Di depan pintu, dua pengawal masih berjaga. Ia menghentikan langkah dan bertanya dengan suara pelan namun berwibawa, “Bagaimana hari ini?”Salah satu pengawal menjawab dengan cepat, “Semua terkendali, Paduka. Tidak ada insiden besar. Nona Elsa tidak keluar dari kamar sama sekali. Hanya meminta kami menyampaikan buah untuk Nyonya Dea, sebagai bentuk itikad baik.”Frans mengangguk pelan. “Kirim
“Aku sudah cukup kuat. Aku bisa istirahat di rumah,” jawab Dea tegas. “Kalau Elsa masih ada di rumah sakit ini, aku tidak bisa tenang.”Frans tampak tertekan. Ia menatap Dea lama, lalu menghela napas panjang.“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi tidak hari ini. Malam ini kamu harus observasi satu kali lagi untuk tekanan darah dan detak jantung janin. Kalau semuanya stabil… besok pagi... aku akan jemput kamu sendiri.”Dea diam sesaat, lalu mengangguk.“Besok pagi. Jangan ada penundaan lagi.”Frans mengangguk pelan.Namun dalam hatinya, ia tahu… jika Elsa terus mengganggu, ia harus memilih dengan lebih tegas. Sebelum Dea benar-benar pergi. Bukan dari rumah sakit.Tapi dari hidupnya.Malam harinya, petir menyambar langit malam, menggetarkan jendela r
Ia sadar sepenuhnya. Pikirannya berisik, hatinya sesak. Hanya tubuhnya saja yang diam, pura-pura lemah agar Frans tak mencium gejolak luka yang sedang menyala-nyala di dalam dirinya.Frans duduk di sisi ranjang. Ia mengamati wajah Dea yang tenang dalam tidur pura-pura itu. Nafas wanita itu teratur, mungkin terlalu teratur. Tapi Frans tidak menyadarinya. Dia justru menghela napas panjang, lalu menyentuh rambut Dea yang terurai di bantal."Maafkan aku," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. “Aku hanya ingin melindungimu… Memiliki dirimu seutuhnya.”Dea menahan diri untuk tidak membuka mata. Kata-kata itu… kosong. Dia tahu. Itu bukan tentang perlindungan, bukan tentang cinta. Frans hanya ingin menjadi pemenang dalam sebuah pertandingan diam-diam antara dirinya dan Yama.Dia ingin memiliki Dea, wanita yang dicintai sahabatnya.Dan itu, menurut Dea, adalah be
Dea masih belum sepenuhnya percaya. Namun ketika ketukan berikutnya di pintu kamarnya datang dan yang masuk hanyalah perawat muda dengan wajah ramah—bukan Elsa—ia tahu Frans menepati janjinya."Mudah-mudahan," sahutnya singkat.Frans membelai rambutnya lembut, "Beristirahatlah, Sayang. Aku akan mengunjungimu nanti sesudah memberesi beberapa hal dalam pekerjaanku di kantor."Frans memberikan sebuah kecupan di keningnya dengan penuh kasih sayang.Untuk pertama kalinya, Dea mengizinkan dirinya tersenyum tipis. Ia masih harus berhati-hati, tentu saja. Tapi setidaknya, untuk malam ini, ia bisa tidur tanpa mendengar napas licik dari balik dinding.Pangeran Frans ingin berangkat kerja sesudahnya. Namun, sore yang teduh kembali berubah mendung di mata Dea.Baru saja pria itu hendak berdiri meninggalkan Dea, dan baru saja Dea mulai bernapas sedikit lega setelah mengetahui bahwa Elsa dipindah