Share

Bab III - Deklarasi Perang

Pada tanggal XIII, di bagian barat dari Kerajaan Lidah Buaya, goa tersembunyi. Kematian Halbert Stanley yang begitu mencengangkan keseluruhan para prajurit. Tidak dengan kelompok Pedang Raja, sekalipun mereka berkata bahwa ketiadaan Halbert mengguncangkan mereka namun sebenarnya tidak. Jelas bahwa mereka lah yang membunuh Halbert tapi tak seorang pun tahu hal itu. 

Setelah kematian Halbert Stanley, setelah penghormatan kematian layaknya seorang kesatria yang pernah diagungkan, salah satu rekannya Gaston Bruke merupakan si Ahli Pedang non sihir membuang jasad Halbert yang sedari awal memang tidak ada peti tersebut. 

Selain itu rekan-rekan lainnya yang mengikuti rencana jahat Gaston Bruke, tentu akan menutup mulut selama-lamanya. Bahkan mereka berpesta semalaman setelah kematian pemimpin kelompok mereka. 

Di samping itu, 

“Aku sudah melakukannya. Kau harus tepati janjimu.” 

Gaston Bruke melakukan kontak secara tidak langsung, alih-alih hanya berdiri dan melewatinya namun ia berbincang dengan seseorang yang misterius di sana. 

***

Setelah beberapa hari, menjelang kematian Halbert. Suara yang entah itu siapa sebenarnya telah memanggil Halbert, ya memanggil. Namun bukan dengan cara biasa sebab suara itu memanggil jiwa Halbert untuk kembali. 

Setelah merasa frustasi dan dendam akan terbunuhnya di hari itu, Halbert kembali bangkit sebagai undead atau mayat hidup. Dengan bagian kepala yang sudah tersambung dengan tubuhnya dalam keadaan terjahit, ia masih bisa bersuara dan berpikir serta hal-hal lain layaknya masih seorang yang hidup. 

Namun ada kelebihan dan kekurangannya saat Halbert menjadi undead. Ia tidak merasa lapar, haus, atau rasa sakit, jantungnya tidak berdetak, tubuhnya pun tetap dingin seperti itu. Kemudian kekurangannya, cara ia berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya. 

“Kakiku terasa berat.”

Dan mungkin saja ada kekurangan lainnya yang tidak diketahui. Tapi untuk sekarang, Halbert tengah menuju ke kota kerajaan. 

Di suatu desa, bagian terpencil, bagian luar dari kota kerajaan yang berjarak puluhan kilometer dari gubuk kecil sebelumnya, Halbert mampir ke sebuah kedai kecil. 

Kedai tersebut pernah digunakan Gaston dkk untuk berpesta. Selain Gaston, Halbert jelas tahu bahwa Gaston memang seringkali ke sini meski dirinya sudah menjadi bangsawan. Itu memang kebiasannya. 

“Hei, siapa itu?” Seorang pemilik kedai bertanya dengan berbisik kepada salah satu pelayan yang bekerja di tempatnya. 

“Maaf, aku tidak tahu. Tapi bukankah sering kita menemukan orang dengan pakaian serba tertutup begitu?”

“Ah, kau benar juga. Ya sudah, layani dia.” 

Mereka membicarakan seseorang yang barusan datang. Tak lain dan tak bukan adalah Halbert Stanley. Pria itu membebat hampir seluruh tubuhnya dengan kain hitam sebab ia tidak mengenakan pakaian sama sekali ketika dirinya terbangun. 

Dan tentunya sangat susah, bila ia menemukan pakaian pun pasti sulit menyembunyikan identitasnya sendiri.

“Maaf, di kedai kami tidak ada minuman atau makanan yang layak untuk Anda.”

“Tidak masalah. Aku cukup dengan air segar saja,” jawab Halbert seraya melirik ke segala arah dalam kedai lalu duduk di bangku yang paling dekat dengan pintu. 

“Baiklah, terima kasih.” 

Kedai yang terbuat sepenuhnya dari kayu. Desa yang dulu pernah ditinggali oleh Halbert sewaktu beranjak remaja bersama Gaston. Tempat yang membuat kenangan masa lalu terus bermunculan, semakin lama mengingatnya semakin membuat Halbert muak.

“Jika bisa, aku ingin segera ke kota kerajaan dan menemui raja. Tapi tidak bisa jika langsung. Belum ini ...dan itu ...aduh,” gerutu Halbert seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

“Permisi, boleh aku duduk di sini Tuan?” tanya seorang pemuda desa.

“Ya, silahkan. Jangan sungkan dan tolong jangan panggil aku dengan sebutan "Tuan",” kata Halbert sembari menganggukkan kepala. 

“Maafkan aku, biasanya orang yang berpakaian begitu tertutup adalah seorang bangsawan dari negeri lain.”

“Oh, begitu.” Halbert menyahut dengan kalimat pendek. 'Sudah kuduga memang tidak bagus. Mungkin seharusnya aku pergi keluar saat malam hari ya?' pikir Halbert dalam benaknya. 

Ia jelas merasa kecewa pada dirinya sendiri yang tidak ingin mencolok justru sekarang diperhatikan oleh banyak orang. Cara ia berpakaian dengan sangat tertutup pastilah mengundang penasaran banyak orang. 

“Oh iya, apa kau datang kemari untuk sesuatu hal lain? Atau hanya sekadar lapar?”

'Ah, dia mengajakku bicara lagi.' Halbert membatin, mengeluh karena takut ketahuan.

“Tidak. Aku hanya haus saja. Tidak ada alasan lain.”

“Kalau begitu boleh aku tahu siapa kau?” 

“Ah itu ...,aku hanya ...,” Bingung, Halbert jadi diam dan menundukkan kepala. 

Pemuda desa itu pun lantas tertawa bahak-bahak, sampai semua orang yang ada di sini sangat terkejut dan memperhatikan ke arah mereka. 

“Hahaha! Kau mengingatkanku pada seseorang!” Begitu kata pemuda desa ini. 

“Ya?”

“Ya, ya! Itu dia!” Ia menunjuk Halbert dan berkata, “Saat kau bingung menjawab maka kau akan menghela napas. Kau gugup dan itu persis seperti dirinya!” 

“Dirinya? Siapa itu?”

“Halbert,” jawabnya dengan tersenyum riang. 

Sontak saja Halbert dibuat sangat terkejut. Ia diam dengan mata terbelalak, dan akhirnya ia sadar siapakah pemuda yang ada di hadapannya saat ini. 

'Wah, tidak aku sangka dia ternyata orang itu. Sudah lama tidak berjumpa, kok dia semakin terlihat muda ya?' batin Halbert. 

Di sela tawanya yang begitu besar menggelegar bak petir, terdapat seorang pria masuk ke dalam kedai dengan pakaian zirah kulit dengan busur serta anak panah di punggungnya. 

“Selamat pagi kalian semua!!” seru pria tersebut. 

“Richardson?” celetuk Halbert tanpa sadar. Pemuda desa yang diyakini adalah kenalan lama Halbert pun tak sengaja mendengarnya mengungkapkan nama itu. 

“Ada apa pagi-pagi yang cerah begini, Tuan Richardson datang?” balas pemilik kedai dengan tundukkan kepala. 

“Bibi, aku datang untuk memberitahukan sesuatu. Apa kalian tahu tentang kerajaan tetangga?” 

“Kami semua tahu hal itu.”

Tiba-tiba semua orang terpaku dengan arah pembicaraan Richardson. Prajurit desa dan penduduknya melebarkan telinga mereka tuk mendengar sesuatu darinya. 

“Kalian semua tahu siapa mereka yang sebenarnya bukan?”

“Ya! Tentu saja kami tahu!” Salah seorang menyahut Richardson. Sekali lagi ia berkata sembari menggebrak meja dan berdiri dari tempat duduk, “Mereka semua sampah! Berani-beraninya menculik wanita dan anak-anak! Mereka semua pantas mati!”

“Benar! Raja kami! Yang Mulia Raja Eadric sudah memberikan titah pada seluruh prajurit atau kesatria yang ada di kerajaan kita untuk berperang!” ungkap Richardson dengan mata serius memandang ke depan. 

Tak satupun dari perkataannya terdengar kebohongan. Richardson datang untuk memberitakan bahwa perang akan terjadi sebentar lagi. Namun bukannya merasa cemas, justru penduduk desa terlihat bergelora. 

“AKHIRNYA!!!!”

“ITU BENAR!!”

“MEREKA SEMUA AKAN BINASA!!” 

Entah apa yang terjadi sampai semua ini terjadi. Keadaan pun jadi ricuh dalam sekejap usai Richardson mengungkapkan berita tersebut. Sementara ada beberapa orang terutama wanita yang merasa gelisah, begitu pula dengan pemuda desa ini maupun Halbert sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status