"Kau lihat di sana," tunjuk Rachel ke sebuah losmen di atas bukit. Bukit itu berada tepat di belakang gedung, mungkin di sana adalah tempat yang cocok untuk mengintai.
"Pilihan yang bagus, Rachel." Mobil kembali bergerak, menapak jalan menanjak di punggung bukit. Jika diperhatikan dari jendela, truk-truk itu berjejer di halaman belakang gedung tata kelola perkotaan. Tak disangka, halaman itu begitu luas, lebih pantas disebut area parkir daripada halaman. "Pantas saja mereka memilih tempat ini, tapi aku belum puas sebelum mengetahui bahwa itu memang markas mereka," ujar Rachel. Mobil berhenti di depan lobby. Bangunan dua lantai itu menghadap ke arah timur, sangat sempurna karena sudut pandang yang luas menyapu area di bawah. Pemandangan di sekitar losmen juga sangat memanjakan mata, sehingga tidak membuat cepat jenuh duduk berjam-jam mengawasi sesuatu. Sejauh mata memandang, nampak hamparan hijau dengan banyak rumpun pohon maple yang daunnya mulai menguning. Di sisi timur, tepat di depan losmen, gedung tata kota bersanding dengan kastil tua yang ditutup dengan alasan renovasi. Kastil diberi pembatas agar warga sipil tidak keluar masuk seenaknya. Di sisi utara terdapat hutan kota dan berbatasan dengan bukit yang memanjang dari losmen yang mereka datangi. Kontur bukit di belakang hutan lebih mirip tebing daripada perbukitan yang melandai. Dengan dinding terjal dan bebatuan setinggi kurang lebih lima puluh meter, praktis sangat sulit jika seseorang turun dari sana. Di sisi selatan terdapat sungai Liffey yang mengalir sejajar dengan jalan aspal. Membentang dari laut Irlandia menuju pegunungan Wicklow dan mengalir hingga di belakang bukit yang menjadi batas alam kota Dublin. Dengan letak geografis tersebut, akses keluar masuk ke gedung tata kelola perkotaan hanya melalui jalur timur. Karena jika dari arah barat, sudah tidak mungkin karena tidak ada jalan penghubung di sana. Mereka memang jeli untuk mencari markas karena memang diperlukan tempat yang terpencil. Meski Dublin merupakan ibukota, tapi letak gedung itu dikelilingi bentang alam yang seolah jadi pembatas. "Selamat pagi, Nona. Selamat datang di losmen Triump, ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang resepsionis wanita. "Selamat pagi. Kami ingin menginap di sini, apa masih ada kamar kosong?" tanya Rachel. "Kebetulan masih tersisa empat kamar lagi, ada kamar twin dan deluxe. Mau yang mana?" "Twin," jawab Rachel cepat. "Baik, mohon tanda pengenalnya?" Rachel memberikan id card untuk diperiksa. Terdengar suara keyboard ditekan jari terampil resepsionis, wajahnya serius memperhatikan layar sembari menggulir mousepad. Selang beberapa saat wanita itu mengembalikan kartu identitas dan memberikan kunci kamar. "Silakan, ini kuncinya. Selamat beristirahat." "Terima kasih." Mereka menyusuri lorong mencari letak kamar yang nomornya tertera di kunci. Kamar itu ada di atas, terletak tepat di atas lobby dengan jendela mengarah ke timur. Untuk ukuran losmen, luas kamar ternyata cukup lega dengan dua tempat tidur terpisah. Nuansa krem dipadu putih dari gorden yang menghalangi cahaya matahari pagi masuk. Lantai dari kayu cheddar putih, menonjolkan serat kayu berupa garis-garis coklat bermotif lingkaran, semakin di luar berubah menjadi lonjong memanjang. "Coba lihat itu." Di bawah sana, mereka menurunkan patung berbagai macam bentuk menggunakan forklift. Belum ada yang bisa dijadikan petunjuk siapa mereka sebenarnya. "Terlalu jauh, kita tidak bisa melihat lebih detail," keluh Judy. Kemudian, dari arah gerbang sebuah mobil sedan mengkilat baru saja datang dan memasuki halaman belakang. Dari dalam, keluar pria botak dengan kaca mata hitam dan mengawasi proses bongkar muat. Rachel memicingkan mata terhadap perawakan yang tidak asing. "Tunggu dulu, aku tahu siapa orang itu." Judy yang awalnya menata ulang tempat tidur, lantas mendekati jendela mengikuti arah pandang Rachel. "Yang mana?" tanya Judy penasaran. "Yang botak," tunjuknya pada seorang pria di dekat mobil sedan. "Dia pemimpinnya?" "Bukan. Tapi dia orang penting juga, mungkin salah seorang petinggi organisasi." "Jadi fix, ya, itu adalah markas The Myth." Rachel menggeleng. Dibutuhkan bukti jauh lebih banyak lagi untuk bisa dikatakan sebagai markas. Hanya karena kehadiran seorang petinggi, tidak serta merta itu memang markas mereka. Bisa jadi dia hanya bertugas mengawasi pekerjaan yang dilakukan di luar markas. "Saya belum yakin." Rachel terus memperhatikan aktivitas tersebut, hingga dia melihat benda yang nampak sangat familiar. Benda itu pernah berdiri gagah di suatu ruangan, benda berupa meja batu berbentuk lingkaran dengan ukiran di permukaannya. Meja tanpa kaki dengan garis tengah 1,5 meter itu dulu berada di dalam museum, tempat di mana orang tua Rachel bekerja. "Altar Cumhail, itu altar Cumhail," seru Rachel seraya menunjuk ke forklift yang mengangkut batu berbentuk lingkaran tersebut. "Altar? Altar macam apa sekecil itu?" "Itu adalah bagian altar paling atas, bentuk aslinya jauh lebih besar mirip sebuah panggung. Tapi yang dipajang di museum hanya lempengan batu itu saja, karena cuma itu yang tersisa di situs." Altar Cumhail itulah yang dicuri dari museum, mereka juga menculik orang tua Rachel untuk menerjemahkan naskah kuno yang dimiliki pemimpin The Myth. "Jadi, menurutmu itu cukup untuk membuktikan orang tuamu ada di sana?" "Bisa jadi, karena ukiran altar Cumhail masih ada hubungan dengan sesuatu yang dimiliki The Myth. Tebakanku, altar itu diangkut ke sini guna diterjemahkan ayah untuk membuka semacam kunci. Itu tertulis di buku catatan kuno yang mereka lewatkan, buku itu sangat penting, untung saja mereka tidak menemukannya." "Jadi, ada di mana buku itu sekarang?"Dua setengah tahun Adam menahan diri di dalam hutan Arkhivum. Hutan itu bukan sekadar tempat pelatihan, melainkan juga penjara yang mengurungnya dari dunia luar. Ia belajar mengendalikan Orion—daya kuno yang bersemayam dalam dirinya—tanpa campur tangan sihir. Nuada pernah berpesan: *“Hanya dengan menguasai dirimu di tempat di mana sihir tidak berlaku, kau akan benar-benar memahami arti kekuatan.”*Hari-hari Adam dipenuhi keringat, luka, dan kesunyian. Ia melawan kelelahannya sendiri, mengasah ketajaman indra, membiasakan tubuhnya dengan ritme alam. Tidak ada lawan selain dirinya sendiri. Tidak ada suara selain bisikan dedaunan dan tarikan napas yang berat. Namun dari situ, Adam lahir kembali.Ketika akhirnya ia keluar dari hutan, tubuhnya berbeda—lebih berisi, gerakannya lebih terkendali. Mata yang dulu penuh keraguan kini memancarkan tekad dingin. Dunia di luar menantinya, dan di sanalah hutang lama belum terbayar.Salah satu yang pertama ada di benaknya: Rachel.Adam menelusuri kota
Di tempat lain, di dasar jurang tempat Adam dulu terjatuh, Nuada duduk bersila dengan mata terpejam. Posisinya menghadap ke arah pintu masuk gua seperti tengah menunggu kedatangan seseorang.Suasana di luar goa diguyur hujan badai, kilat menyambar, ombak berdebur keras menghantam karang menjadi pertanda akan hadirnya seseorang dengan kekuatan jahat.Di saat petir melintas, mulut gua yang tadinya gelap dalam sekejap menjadi terang. Menampilkan bayangan hitam seseorang berdiri di ambang pintu dengan pongah, tatapan matanya tajam menusuk seseorang hingga membuat nyalinya menciut."Kau sudah datang rupanya, wahai muridku," sapa Nuada kepada sosok pria yang baru saja datang entah dari mana. Kedatangannya seolah beriringan dengan petir. Cepat, dan muncul dalam sekejap.Dia bukanlah Adam, melainkan seseorang yang pernah dilatih Nuada. Sosok pria yang diceritakan kepada Adam, tentang seorang penjaga yang lalai hingga menyebabkan David Lloris tewas.Pria misterius yang mengenakan jubah dengan
Sementara itu saat Adam melakukan perjalanan menuju Hutan Arkhivum tidak mudah. Jalannya berliku, melewati tebing dan lembah yang dipenuhi kabut. Namun semakin dekat ia berjalan, semakin terasa suasana asing di sekelilingnya. Pepohonan seperti memiliki mata yang mengawasinya setiap saat, ranting-ranting seperti tangan yang sigap menyergap kapan mereka mau.Udara di sana berat, seolah-olah setiap langkah menurunkan daya magis yang melekat pada tubuh. Cahaya Orion yang biasanya berkilau di balik kulitnya, kini terasa meredup. Adam merasakan kejanggalan: setiap kali ia mencoba mengeluarkan energi, kekuatannya lenyap begitu saja, seakan diserap oleh tanah.“Aneh… jadi begini maksudnya,” pikir Adam. “Tidak ada sihir yang bekerja di sini. Tapi… mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain?”Sesampainya di tengah hutan, Adam duduk bersila di sebuah batu besar. Ia memejamkan mata, mencoba masuk ke dalam meditasi. Lalu sesuatu terjadi. Kabut tipis muncul, bukan dari luar, melainkan dari dalam dir
Adam duduk termenung di tepi sungai kecil yang alirannya tenang, namun dalam hatinya tidak ada ketenangan sedikit pun. Bayangan wajah August menghantui pikirannya. Tatapan dingin pria itu, gerakan tangannya yang cepat, serta kekuatan yang seakan melampaui batas manusia biasa, semuanya berulang kali muncul dalam benaknya seperti lukisan kelam yang tidak bisa dihapus.Kekalahan itu bukan sekadar luka fisik, melainkan pukulan pada harga dirinya. Adam yang selama ini berlatih keras di bawah bimbingan Nuada merasa runtuh karena kenyataan pahit: ketika benar-benar menghadapi pertempuran nyata, ia tak mampu berbuat banyak.“Aku gagal…,” gumamnya lirih.Nuada, yang memperhatikan muridnya dari kejauhan, menghela napas panjang. Ia tahu Adam tidak kekurangan semangat, namun pengalaman bertarungnya masih mentah. Pertemuan dengan August—yang seharusnya baru terjadi ketika Adam matang—datang terlalu cepat.“Adam,” panggil Nuada sambil berjalan mendekat. “Menyesal itu manusiawi. Tetapi jangan biarka
August tertawa, suara dingin yang menggema. “Kau masih sama saja. Terjebak pada murid, pada harapan yang sia-sia. Apa kau pikir dia mampu menahan badai yang akan datang? Kau salah, Nuada. Sangat salah.”Pertarungan berlangsung sengit. Adam berusaha menyerang August, tapi setiap tebasannya hanya mengenai bayangan. Sekali dorongan dari August, tubuh Adam terpental menghantam pohon besar. Nafasnya hampir putus, tulang rusuknya nyeri. Ia tahu dirinya tidak sebanding.Nuada pun terdesak. Walau sihir tingkat tinggi dikuasainya, kekuatan August terlalu mengerikan. Seakan waktu sendiri tunduk pada lelaki itu. Tongkat Nuada patah sebagian, darah mengalir di sudut bibirnya. Namun ia tidak menyerah. Ia menyalurkan seluruh kekuatan ke tanah, menciptakan gempa kecil yang membuka celah untuk melarikan diri.“Adam! Sekarang!” teriak Nuada sambil menarik muridnya bangkit.Mereka berlari, tubuh limbung dan penuh luka. Hutan terasa tak berujung, tapi Nuada tahu jalur rahasia yang hanya ia pahami. Di be
Malam itu bulan hanya terlihat separuh, cahayanya redup dan terhalang kabut tipis. Adam kehabisan napas setelah berlari sekuat tenaga, sementara di belakangnya Nuada mengayunkan tongkat kayu yang sesekali memancarkan cahaya biru sebagai perisai untuk berjaga-jaga. Mereka sudah menempuh perjalanan panjang, dan malam ini bukanlah pengecualian. Nafas Adam memburu, tubuhnya masih terasa gemetar setelah sihir Nuada membuka jalan keluar dari hutan berliku yang dipenuhi jebakan gaib.Namun semua itu buyar saat suara berat dan penuh wibawa terdengar dari balik kegelapan.“Jadi akhirnya aku bertemu kalian.”Adam mematung, jantungnya berdentum keras. Nuada menoleh, matanya melebar seakan melihat hantu dari masa lalu. Dari balik kabut, muncul seorang pria berpakaian hitam dengan mantel panjang menjuntai hingga tanah. Rambutnya hitam pekat, wajahnya tegas, dan sorot matanya menusuk. Di belakangnya, tiga orang lain berjalan dengan tenang, membawa aura mencekam: Geovani, Elber, dan Krul, para petin