Beranda / Fantasi / Lahirnya Pengendali Orion / Bab 7. Berubah pikiran

Share

Bab 7. Berubah pikiran

Penulis: Ady Farista
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-28 21:53:24

"Ada di rak buku kuno, tersimpan di tempat yang tersembunyi. Hanya ayah, ibu dan aku yang tahu tempatnya."

Mereka memperhatikan dengan seksama bagaimana proses penurunan altar Cumhail dari dalam kontainer. Batu tersebut lalu dibawa masuk ke dalam gedung melalui pintu belakang, diikuti pria botak yang baru saja datang.

"Bagaimana sekarang?" tanya Judy setelah dirasa mendapat cukup bukti. Namun Rachel terlihat masih belum puas.

"Aku harus masuk ke sana?"

Sontak saja jawaban Rachel memicu perdebatan. Karena sedari awal, dia bilang hanya mencari informasi dari luar dan tidak bertindak terlalu jauh.

"Apa? Kau gila. Tidak, aku tidak setuju," bantah Judy. Dia menilai Rachel terlampau nekat dengan idenya memasuki tempat tersebut. Bisa-bisa dia dijadikan sandera untuk lebih menekan orang tuanya agar segera menerjemahkan naskah yang dibicarakan Rachel.

"Aku sendiri yang akan kesana, kamu tidak perlu ikut. Kamu tidak perlu khawatir, mereka tidak akan mencelakaiku karena tahu masih memerlukan ku."

"Tetap saja aku tidak setuju."

Mereka masih saja beradu argumen hingga kemunculan seorang pria menghentikan perdebatan. Seorang pria berpenampilan klimis. Mengenakan pakaian serba hitam, rambut dan sepatu yang mengkilap terkena cahaya pagi. Penampilan itu sangat menarik perhatian Rachel karena dia masih merasakan pipinya panas akibat ditampar pria itu.

"Itu dia, itu pemimpinnya. Jadi benar, di sini lah markas mereka."

Pria itu lantas masuk ke dalam mobil diikuti beberapa anak buahnya. Tiga buah mobil beriringan keluar area tersebut yang entah kemana tujuannya.

"Kau masih mau masuk ke sana?"

Rachel menatap Judy sekilas lalu kembali mengarahkan pandangannya ke bawah sana. Dia memikirkan kembali niatnya untuk memasuki markas, termasuk resiko yang dihadapi. Jika sudah masuk lalu apa yang hendak dilakukan, tidak mungkin tidak tertangkap karena pasti banyak penjagaan.

"Tidak. Aku atur rencana dulu, saat ini aku belum punya bantuan."

Judy lega mendengarnya karena Rachel tidak bertindak gegabah. Di kampus, dia sangat disegani berkat kecerdasan otaknya, tapi kali ini dia hampir saja bertindak bodoh. Ternyata bakat seseorang masih belum cukup untuk berfikir jernih.

"Kamu tidak ingin mengikuti pria itu?"

"Tidak ada gunanya. Lebih baik kita lanjutkan saja pengintaian kita, siapa tahu mendapat tambahan petunjuk."

"Baiklah," ujar Judy.

Hampir seharian duduk dekat jendela membuat mereka bosan. Rachel memutuskan untuk keluar sekedar jalan-jalan sambil memperhatikan keadaan sekitar saat matahari sudah condong ke barat.

Dia menggambar situasi seandainya nanti dapat bantuan yang cukup, dia tidak perlu mengatur rencana lagi. Masuk secara langsung dari depan tentu tidak mungkin kecuali dengan penyamaran. Namun, menyamar sebagai apa, apakah ada jaminan tidak ketahuan.

Dari arah kastil yang ditutup juga tidak mungkin. Mana mungkin dia bisa memanjat tembok tegak lurus setinggi sepuluh meter. Lagipula, apakah ada akses masuk ke kastil, karena diluar juga diberi pembatas.

Satu-satunya cara adalah melalui hutan kota di belakang gedung. Di sana jika diperhatikan minim penjagaan, karena sejak check in hingga saat ini Rachel belum melihat ada satu orang pun berpatroli ke sana.

"Menurutmu, apakah seseorang bisa turun dari tebing itu," tunjuk Rachel pada bukit di belakang hutan kota.

"Bisa saja. Tebing itu tidak terlalu tinggi, tapi pandangannya bebas jika dilihat dari bawah. Tentu saja akan ketahuan jika tidak cepat-cepat turun. Kita tidak tahu ada berapa pasang mata mengawasi dari dalam markas, bukan?"

Rachel manggut-manggut dengan jawaban Judy. Tinggi tebing hampir tiga kali lipat dari pohon tertinggi di hutan tersebut. Meskipun tebing itu terbilang rendah bagi seorang pemanjat tebing, tapi tempat itu sangat terekspos dilihat dari bawah. Secepat apapun seseorang meluncur, masih kalah cepat dengan mata.

"Kau benar. Bagaimana jika dari depan memakai penyamaran?"

"Aku lebih suka dengan cara ini," jawabnya. "Tapi menyamar sebagai apa, tukang ledeng, tukang listrik, tukang sampah?"

"Itulah. Seandainya saja Adam ada di sini, dia pasti punya solusi. Otaknya itu kelewat encer, dia bisa menyusun rencana dengan segala bentuk resiko serta rencana b jika rencana a gagal."

Menyebut nama Adam, Judy lalu teringat akan perbincangannya dengan Rachel beberapa saat lalu.

"Benar juga, bukankah aku ingin kau mengantarku ke tempat di mana Adam jatuh ke dalam jurang. Aku ingin tahu apakah dia masih selamat atau tidak."

Dirasa informasi sudah cukup, Rachel menyetujui permintaan Judy untuk mengantarnya ke Cliff of Moher. Namun, karena matahari hampir tenggelam, mereka menundanya hingga esok pagi.

Jarak antara Dublin dengan Cliff of Moher yang terletak di taman nasional Burren terbilang jauh. Jika ditarik garis lurus, seakan garis tersebut memotong kue pie menjadi dua bagian karena Dublin berada di ujung timur dan Burren di ujung barat.

Jika ditempuh menggunakan jalur darat akan memakan waktu dua jam setengah hingga tiga jam. Maka, lebih bijak berangkat keesokan harinya daripada memaksakan sore hari karena akan sampai di Burren dalam keadaan gelap.

* * * * *

Sementara di depan apartemen Rachel, Gregor yang tidak mendapati tanda-tanda pemilik apartemen menjadi panik. Dia telah lalai saat diberi tugas mengawasi Rachel, jika anggota The Myth tahu maka bukan tidak mungkin nyawanya sendiri dalam bahaya.

Dalam keadaan terdesak, Gregor nekat memasuki apartemen melalui jendela. Dia harus memanjat gedung setinggi delapan lantai dan masuk ke dalam apartemen Rachel yang berada di lantai ke empat.

Bangunan yang eksteriornya hanya berupa pasangan bata merah dan semen itu berhasil dimasuki Gregor menggunakan tangga darurat. Dia masuk menggunakan alat pencongkel, karena apartemen ini tergolong model lama, dia cukup menggunakan linggis kecil yang dimodifikasi.

Di dalam apartemen, dia mengendap-endap agar langkah kakinya tidak terdengar. Yakin di dalam tidak orang, dia leluasa menjelajah ke dalam hingga dia melihat mesin penerima rekaman suara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 46. Keluar sarang

    Dua setengah tahun Adam menahan diri di dalam hutan Arkhivum. Hutan itu bukan sekadar tempat pelatihan, melainkan juga penjara yang mengurungnya dari dunia luar. Ia belajar mengendalikan Orion—daya kuno yang bersemayam dalam dirinya—tanpa campur tangan sihir. Nuada pernah berpesan: *“Hanya dengan menguasai dirimu di tempat di mana sihir tidak berlaku, kau akan benar-benar memahami arti kekuatan.”*Hari-hari Adam dipenuhi keringat, luka, dan kesunyian. Ia melawan kelelahannya sendiri, mengasah ketajaman indra, membiasakan tubuhnya dengan ritme alam. Tidak ada lawan selain dirinya sendiri. Tidak ada suara selain bisikan dedaunan dan tarikan napas yang berat. Namun dari situ, Adam lahir kembali.Ketika akhirnya ia keluar dari hutan, tubuhnya berbeda—lebih berisi, gerakannya lebih terkendali. Mata yang dulu penuh keraguan kini memancarkan tekad dingin. Dunia di luar menantinya, dan di sanalah hutang lama belum terbayar.Salah satu yang pertama ada di benaknya: Rachel.Adam menelusuri kota

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 45. Kemunculan murid Nuada

    Di tempat lain, di dasar jurang tempat Adam dulu terjatuh, Nuada duduk bersila dengan mata terpejam. Posisinya menghadap ke arah pintu masuk gua seperti tengah menunggu kedatangan seseorang.Suasana di luar goa diguyur hujan badai, kilat menyambar, ombak berdebur keras menghantam karang menjadi pertanda akan hadirnya seseorang dengan kekuatan jahat.Di saat petir melintas, mulut gua yang tadinya gelap dalam sekejap menjadi terang. Menampilkan bayangan hitam seseorang berdiri di ambang pintu dengan pongah, tatapan matanya tajam menusuk seseorang hingga membuat nyalinya menciut."Kau sudah datang rupanya, wahai muridku," sapa Nuada kepada sosok pria yang baru saja datang entah dari mana. Kedatangannya seolah beriringan dengan petir. Cepat, dan muncul dalam sekejap.Dia bukanlah Adam, melainkan seseorang yang pernah dilatih Nuada. Sosok pria yang diceritakan kepada Adam, tentang seorang penjaga yang lalai hingga menyebabkan David Lloris tewas.Pria misterius yang mengenakan jubah dengan

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 44. Ciarán

    Sementara itu saat Adam melakukan perjalanan menuju Hutan Arkhivum tidak mudah. Jalannya berliku, melewati tebing dan lembah yang dipenuhi kabut. Namun semakin dekat ia berjalan, semakin terasa suasana asing di sekelilingnya. Pepohonan seperti memiliki mata yang mengawasinya setiap saat, ranting-ranting seperti tangan yang sigap menyergap kapan mereka mau.Udara di sana berat, seolah-olah setiap langkah menurunkan daya magis yang melekat pada tubuh. Cahaya Orion yang biasanya berkilau di balik kulitnya, kini terasa meredup. Adam merasakan kejanggalan: setiap kali ia mencoba mengeluarkan energi, kekuatannya lenyap begitu saja, seakan diserap oleh tanah.“Aneh… jadi begini maksudnya,” pikir Adam. “Tidak ada sihir yang bekerja di sini. Tapi… mengapa aku merasa ada sesuatu yang lain?”Sesampainya di tengah hutan, Adam duduk bersila di sebuah batu besar. Ia memejamkan mata, mencoba masuk ke dalam meditasi. Lalu sesuatu terjadi. Kabut tipis muncul, bukan dari luar, melainkan dari dalam dir

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 43. Tiga tahun lagi

    Adam duduk termenung di tepi sungai kecil yang alirannya tenang, namun dalam hatinya tidak ada ketenangan sedikit pun. Bayangan wajah August menghantui pikirannya. Tatapan dingin pria itu, gerakan tangannya yang cepat, serta kekuatan yang seakan melampaui batas manusia biasa, semuanya berulang kali muncul dalam benaknya seperti lukisan kelam yang tidak bisa dihapus.Kekalahan itu bukan sekadar luka fisik, melainkan pukulan pada harga dirinya. Adam yang selama ini berlatih keras di bawah bimbingan Nuada merasa runtuh karena kenyataan pahit: ketika benar-benar menghadapi pertempuran nyata, ia tak mampu berbuat banyak.“Aku gagal…,” gumamnya lirih.Nuada, yang memperhatikan muridnya dari kejauhan, menghela napas panjang. Ia tahu Adam tidak kekurangan semangat, namun pengalaman bertarungnya masih mentah. Pertemuan dengan August—yang seharusnya baru terjadi ketika Adam matang—datang terlalu cepat.“Adam,” panggil Nuada sambil berjalan mendekat. “Menyesal itu manusiawi. Tetapi jangan biarka

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 42. Kalung bulan sabit jatuh ke tangan August

    August tertawa, suara dingin yang menggema. “Kau masih sama saja. Terjebak pada murid, pada harapan yang sia-sia. Apa kau pikir dia mampu menahan badai yang akan datang? Kau salah, Nuada. Sangat salah.”Pertarungan berlangsung sengit. Adam berusaha menyerang August, tapi setiap tebasannya hanya mengenai bayangan. Sekali dorongan dari August, tubuh Adam terpental menghantam pohon besar. Nafasnya hampir putus, tulang rusuknya nyeri. Ia tahu dirinya tidak sebanding.Nuada pun terdesak. Walau sihir tingkat tinggi dikuasainya, kekuatan August terlalu mengerikan. Seakan waktu sendiri tunduk pada lelaki itu. Tongkat Nuada patah sebagian, darah mengalir di sudut bibirnya. Namun ia tidak menyerah. Ia menyalurkan seluruh kekuatan ke tanah, menciptakan gempa kecil yang membuka celah untuk melarikan diri.“Adam! Sekarang!” teriak Nuada sambil menarik muridnya bangkit.Mereka berlari, tubuh limbung dan penuh luka. Hutan terasa tak berujung, tapi Nuada tahu jalur rahasia yang hanya ia pahami. Di be

  • Lahirnya Pengendali Orion    Bab 41. Pertarungan dimulai

    Malam itu bulan hanya terlihat separuh, cahayanya redup dan terhalang kabut tipis. Adam kehabisan napas setelah berlari sekuat tenaga, sementara di belakangnya Nuada mengayunkan tongkat kayu yang sesekali memancarkan cahaya biru sebagai perisai untuk berjaga-jaga. Mereka sudah menempuh perjalanan panjang, dan malam ini bukanlah pengecualian. Nafas Adam memburu, tubuhnya masih terasa gemetar setelah sihir Nuada membuka jalan keluar dari hutan berliku yang dipenuhi jebakan gaib.Namun semua itu buyar saat suara berat dan penuh wibawa terdengar dari balik kegelapan.“Jadi akhirnya aku bertemu kalian.”Adam mematung, jantungnya berdentum keras. Nuada menoleh, matanya melebar seakan melihat hantu dari masa lalu. Dari balik kabut, muncul seorang pria berpakaian hitam dengan mantel panjang menjuntai hingga tanah. Rambutnya hitam pekat, wajahnya tegas, dan sorot matanya menusuk. Di belakangnya, tiga orang lain berjalan dengan tenang, membawa aura mencekam: Geovani, Elber, dan Krul, para petin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status