Anin terus teringat ucapan Harris, ia tak menyangkal ucapan pria itu. Karena pada kenyataannya ia tak mungkin membiayai pengobatan putranya seorang diri. Batin dan otaknya berperang hebat, ia harus memutuskan secepat mungkin karena nyawa putranya berada pada pria yang kini tengah duduk di sofa kamarnya.Berulang kali, Anin menghela napas berat. “Tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ujar Harris yang sedari tadi mengawasi pergerakan wanita berpakaian khas pasien rumah sakit.“Apa kau sengaja menjebakku dalam situasi ini?” Pertanyaan Anin mengintrupsi pria itu bangkit dari duduknya.Pria itu mengendikkan bahunya dan menyeret kursi ke samping ranjang Anin. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Bergantung kamu mau melihat dari sudut pandang yang mana.”“Mengapa harus begini?” tanya Anin lirih, tak ada sorot mata tajam tak ada wajah sinis yang ia tunjukka
"Anggap saja sebagai latihan sebelum kita menikah.” Anin memutar bola mata malas, ia tak tahu kenapa pria di depannya ini memaksa ia menikah.Ruangan yang di dominasi dengan warna putih itu kembali hening, Anin memilih untuk tidur sedangkan Harris memikirkan cara agar Anin mau menerima perjanjiannya. Ia sendiri tak tahu kenapa begitu yakin jika Anin adalah wanita yang tepat. Mungkin karena sikap yang wanita itu tunjukkan, di antara semua wanita yang pernah ia temui tak ada satupun yang melempar tatapan tajam dan dingin. Semua wanita menatapnya terpesona dan berebut mencari perhatiannya.Kicauan burung dan sinaran matahari yang menelusup melalui kaca jendela rumah sakit, menyilaukan penglihatan Anin. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, dia melirik ke arah sofa di mana seorang pria tengah tertidur dengan berselimut jasnya.Ia melirik ke nakas di samping kasurnya, tangannya yang lentik terulur hendak meraih gelas tersebut. “Ah‼” pekik Anin kala tangannya tak sengaja menyenggol
Ucapan pria itu mengingatkan Anin pada jam tangan yang dikenakannya tempo hari. “Jam tanganmu ke … mana?” tanya Anin melenceng jauh dari pernyatan Harris.“Anin ….” Harris nyaris tak percaya dengan respon yang wanita itu berikan. “Bagaimana jika aku ayah baby twin?” ulang pria itu karena Anin tak merespon ucapannya.“Jawab aku dulu.”Harris menoleh dan melangkah kaki mendekati kursi roda Anin. “Kenapa? Kenapa dengan jam itu?”“Jawab saja, kenapa sih?” tanya Anin meninggikan volume suaranya.Harris menghela napas, ia lantas mengeluarkan jam tangan dari saku celananya. Pria itu sengaja melepasnya karena ia terlalu buru-buru. Anin mengamati jam tangan itu, manik matanya membulat sempurna. Wanita muda itu bahkan menjatuhkan jam berharga puluhan juta ke tanah berumput di bawahnya.
"Kenapa? Anakku!” teriak Anin kala Harris tak melanjutkan ucapannya. Pria itu menghela napas. “Anakmu … membutuhkan perawatan lebih intensif.” Anin memejamkan mata, dunianya seketika itu juga hancur. Ia hanya diam menatap kosong Harris. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Bhama ke rumah sakit besar dan berusaha menyembuhkannya.” “Tidak perlu,” jawab Anin dingin. “Karena aku tahu niatmu tidak tulus, kamu memanfaatkan sakitnya anakku agar aku mau menerima perjanjian bodoh itu ‘kan? Lebih baik tidak usah.” “Kamu mau melihat dia terus menderita begitu? Tidak cukupkan kamu membuatnya menderita saat di dalam kandungan‼” bentak Harris karena kesal dengan keras kepala Anin. Anin tersenyum sinis. “Anda ini tahu apa? ANDA TAHU APA TENTANG HIDUP SAYA‼!” balas Anin tak kalah tinggi. “JAWAB! KENAPA HANYA DIAM‼” Harris menghela napas, ia lantas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Dari luar, Anin mendengar suara kucuran air. Anin berusaha tenang, ia memikirkan cara agar putranya da
“Maaf pak, pasien sudah selesai kami pindahkan. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan untuk Adik Bhama,” info perawat itu membuyarkan kegiatan Harris.Pria itu kembali bersikap dingin dan menatap datar petugas medis di depannya. “Terima kasih.”Harris segera masuk ke dalam lift dan menekan angka di mana kamar rawat Anin berada. Ia menunggu seraya memainkan ponselnya. Ia mengirimkan pesan pada assistennya untuk menghandle jadwal meeting pria itu selama beberapa hari ke depan. Ia juga meminta Damar menggantikkannya jika memang rapat tersebut tak bisa di re-schedule.Langkah Harris berjalan menyusuri koridor rumah sakit, ia menuju ke ruangan yang berada di paling ujung koridor tersebut. “Untuk adik Bhima kondisinya sudah stabil. Dokter akan menginfokan susu formula khusus untuknya dan untuk Bhama kami sedang melakukan observasi untuk menentukan pengobatan yang sesuai.”“Terima kasih, Dok,” balas Harris singkat dan datar.“Kalau begitu kami permisi terlebih dahulu pak. Beberapa jam ke dep
“Bukan begitu, aku hanya penasaran saja.”Anin memicingkan matanya. “Kamu mulai ragu ‘kan? Sudah aku bilang aku ini bukan tipe menantu atau istri idaman. Sudahlah lupakan saja rencanamu, sebelum semuanya terja –““Aku tidak akan merubah keputusanku. Apa salahnya seorang calon suami ingin mengenal lebih lanjut dan dalam tentang wanitanya? Kurasa tidak ada yang salah.” Ucapan Harris membungkam bibir wanita berumur 22 tahun. Ia lantas diam dan mengabaikan keberadaan pria itu.“Kamu mau menitip sesuatu?” tanya Harris bangkit dari kursinya. Anin menatapnya bingung ia tak mengerti arah pembicaraannya. “Aku hendak ke kantin.”Anin membulatkan bibirnya membentuk huruf o lantas menggeleng menjawab pertanyaan pria itu. Harris mengangguk dan berlalu dari hadapan Anin. Pria itu juga mengatakan jika dirinya hendak menemui Bhima, Anin pun berteriak memanggil namanya.“Boleh aku ikut?” tanya Anin penuh harap.“Aku tanya dokter terlebih dahulu,” sahut Harris, pria itu berlalu di balik pintu kayu berw
“Untukmu yang mau menerimaku dengan segala kekurangan dan masa lalu yang aku punya.” Anin menatap pria itu sendu.“Tak perlu berterima kasih karena semua aku lakukan dengan tulus dan bukan karena ada apa-apanya. Aku hanya merasa aku perlu melindungimu,” balas Harris membalas tatapan Anin dengan senyum bahagianya.Anin menatap Harris lekat-lekat dia mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Namun, semuanya terasa nihil, Anin tak menemukan sedikitpun kebohongan di wajah Harris.“ Oh iya, ini aku ada ponsel untukmu. Aku akan –““Apa ini tidak berlebihan?” potong Anin membuat Harris mendongak dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel baru yang ia beli.Harris menghela napas berat, ia lantas mendekatkan dirinya pada Anin dan berkata, “Jangan menolak, anggap saja ini hadiah untukmu yang baru saja melahirkan dua bayi tampan.”“Tetapi itu berlebihan, Mas. Maksudku –““Apa tadi?” tanya Harris memotong ucapan Anin.“Mas? kenapa?”Harris tersenyum bahagia mendengar sapaan baru yang disematka
“Takut apa, sayang?”“Takut pada ayahmu, takut akan tanggapan keluargamu padaku,” jawab Anin.“Tanggapan apa? Jangan pernah berpikiran yang buruk sayang,” ujar Harris menenangkan Anin. “Keluargaku pasti akan menerimamu,” lanjutnya. Harris lantas mengajak Anin untuk melihat video kedua putranya yang sempat tertunda sebagai pengalihan agar Anin tidak memikirkan tentang penerimaan keluarganya.Betapa senangnya Anin ketika melihat kedua wajah anaknya yang semakin tampan dari hari ke hari. Mereka terlibat obrolan ringan dan seru tentang parenting, ternyata Harris dan Anin banyak menemukan perbedaan tentang pola asuh anak.“Sudah, sudah saatnya kamu untuk istirahat,” ujar Harris mengakhiri perdebatan mereka yang tak akan pernah usai. Maklum saja keduanya berasal dari background keluarga yang berbeda.“Tetapi pembahasan kita belum selesai, Mas,” rajuk Anin.“Kita akhiri saja dan kamu menang. Mau cepat pulang atau tidak?” kata Harris dengan tatapan wajah tidak ingin dibantah. Terlihat sekali