“Kasian ya mbak, dedeknya diajak ikut panas-panasan begini. Ke mana suaminya?” tutur salah seorang peserta job fair dengan sorot mata dan nada bicara yang mengejek. Sejak kedatangannya di tempat itu beberapa saat yang lalu, semua orang berfokus pada perutnya yang membuncit. Anin sadar betul akan hal itu, ia sudah berusaha menutupinya sayangnya tak berdampak banyak.Kini Anin harus membiasakan diri untuk menerima tatapan sinis orang-orang terhadapnya juga mendengar kalimat sindiran. Seperti sekarang ini, ia mendengar seseorang menyebut kata ‘bunting nganggur.’“Ayo, Nin. Masa udah jauh-jauh datang ke sini lo cuma minum air putih doang? Cobain nih, aman kok.” Ucapan terakhir yang ada di memori Anin sebelum dirinya terbangun di dalam kamar hotel tanpa mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. Jika saja malam itu ia tak menuruti permintaan temannya untuk datang ke acara ulang tahun tersebut, tentu nasibnya tak akan senaas ini. Ia tak akan hamil tanpa suami dan diberhentikan secara tida
“Da- darah ..." ujarnya wanita yang kini terbaring lemah ketika melihat merah darah yang menembus celana hitamnya. Ditambah lagi kepalanya ikut berdenyut, ia hanya menunduk lesu, air mata menetes di pipinya.“Kamu baik-baik saja?” Anin menggerakkan kepalanya ke atas, untuk melihat siapa yang bertanya padanya namun sayang, pandangannya kabur. Detik selanjutnya ia roboh, di atas tangan sang pria yang menghampirinya tadi.***“Suster‼” pekiknya mengalihkan pandangan setiap pengunjung rumah sakit. Mereka tak berkedip menatap pria tampan yang panik menggendong seorang wanita yang terbaring lemah tak sadarkan diri. Lelaki itu membaringkan tubuh anin di atas brankar lalu membantu suster mendorong ke arah ruang gawat darurat.“Pasien akan kami tangani, silakan Bapak mengurus administrasi terlebih dahulu,” ujar seorang perawat kepada pria berjas lengkap itu.Walaupun bingung pria itu tetap mengikuti instruksi perawat tersebut, kaki panjangnya melangkah menuju bagian administrasi. Setibanya d
Harris berjalan dengan cepat ke arah Anin yang tergeletak di lantai, tangan kekarnya mengangkat tubuh kurus itu kembali ke atas ranjang. Suster memasang jarum yang terlepas di tangan kiri Anin sedang rekan suster tersebut memanggil dokter, Haris sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Anin. “Bagaimana keadaannya, Dokter?” “Kondisi pasien semakin lemah, kami akan memantau keadaannya lebih intens lagi. Saya harap Bapak lebih mengawasi istri Bapak agar hal serupa tak terjadi kembali,” ujar sang Dokter. Harris menganggukkan kepalanya dengan cepat. Usai mengatakan hal tersebut, dokter dan suster keluar dari ruang rawat kelas VIP itu. Kini tinggal Harris berdua dengan wanita yang terlelap di hadapannya. Harris menatap Anin lekat-lekat, merasa familiar dengan wajah cantik wanita itu. "Mengapa aku merasa pernah bertemu denganmu?" batin Harris sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut sakit. Perhatian Harris teralih pada ponselnya yang berdering panjang, ia segera meraih gawai
“Maaf sus tetapi … Pak Haris bu –““Kamu sudah sadar?” potong Harris berdiri di ambang pintu ruangan Anin.Suster itu menunduk dan berjalan menjauhi ranjang Anin, ia melangkahkan kaki keluar membawa nampan berisi obat-obatan. Harris menggeser sedikit tubuhnya memberi ruang agar pekerja medis itu dapat keluar.Setelah kepergian suster itu, Harris berjalan menghampiri ranjang Anin. Ia melihat wanita itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Ada apa? Apa ada yang salah?”“Tentu.” Anin berkata dengan singkat dan datar.Kerutan halus tercetak di kening pria berjas hitam itu. “Apa?”“Kedatanganmu, maksudnya kenapa kamu datang lagi?”Bukannya menjawab, Harris justru tertawa membuat matanya menyipit. “Rasa kemanusiaan … mungkin.”Anin memutar bola matanya malas. Ia memilih untuk diam dan tak membalas ucapan pria itu, yang Anin lakukan justru mengubah posisi tidurnya, ia memunggungi Harris dan bersikap seolah tak ada pria itu di sana. Karena merasa diabaikan, Harris memilih untuk
“Mas!” panggilnya sekali lagi. Harris mencoba menetralkan air mukanya. “Mas kok di sini? Mas lagi sakit? Atau mas ke –““Saya tidak papa,” jawab Harris singkat tanpa menatap lawan bicaranya.Wanita yang memakai pakaian seksi dan dandanan menor itu tampak mengerucutkan bibirnya. “Kapan sih mas bisa menerima kehadiran aku di sini? Kita sebentar lagi akan menikah, kenapa Mas Harris selalu dingin denganku?” tanyanya dengan wajah memelas.Harris menyunggingkan senyum sinis, ia tak sedikitpun berniat menatap wanita seksi di depannya. “Sampai kapanpun saya tidak akan menikahimu.”“Tetapi kata Om Setya kita akan menikah bulan depan, Mas.”“Kalau begitu nikah saja dengan dia. Saya tak pernah menyetujui usulan perjodohan bodoh ini.” Harris kembali melangkahkan kakinya menjauhi wanita itu.“Mas, mas bisa saja jauhin atau bersikap dingin denganku. Tetapi bukan Clara kalau gak bisa mendapatkan apa yang dia mau,” pekik wanita bernama Clara membuat langkah Harris terhenti.Pria itu menoleh dan mena
Harris membaca guratan sedih dan bingung di wajah Anin, ia curiga jika Anin adalah korban pemerkosaan. “Aku tak punya suami.” Untuk sepersekian detik, Harris tercengang mendengar jawaban Anin, otaknya yang cerdas mendadak hilang fungsi. “Maksudnya?” “Aku bilang, aku tidak punya suami.” ucap Anin sambil meyakinkan lelaki yang ada di hadapannya sekali lagi. “Iya aku tahu, maksudku ke mana suamimu? Kalian bercerai?” Anin menghela napas panjang, ia awalnya hanya ingin mengacuhkan pertanyaan dari Harris, namun dirinya tak enak hati untuk menutup diri dari pria yang telah menyelamatkan dia dan kedua bayinya itu. “Tidak. Aku hamil karena jebakan temanku. Ajakan dia berakhir menjadi keperawananku yang direnggut oleh pria yang bahkan tak pernah aku kenal hingga sekarang.” urai Anin mulai menceritakan sedikit kejadian malam itu. Hatinya tertusuk ngilu kala harus mengingat kejadian yang tak pernah terbayang olehnya, malam kelabu yang mengubah kehidupannya. “Seharusnya aku bisa menolak ajaka
“Apa?” tanya Anin menatap pria di depannya bingung.“Menikah denganku!” jawab Harris kesal karena wanita di depannya ini berpura-pura tak mendengar.“Bukan maksudku, apa kau sedang melamarku?”Harris tampak berpikir sejenak. “Bisa dibilang begitu. Mungkin lebih tepatnya membuat kerja sama?”“Maaf aku tak bisa!” jawab Anin cepat, kala mendengar maksud Harris.“Dengar dulu! Aku mengajakmu menikah demi kebaikan baby twin. Dia butuh kehadiran seorang ayah bukan?” Anin tampak berpikir sejenak kala mendengar ucapan Harris. “Kalau begitu, aku akan jadi ayahnya. Dan baby twin tidak akan kekurangan kasih sayang ataupun kebutuhan lainnya.”“Maksudmu aku tak bisa menghidupi anakku sendiri?” tanya Anin, air mukanya tampak kesal mendengar penjabaran pria kaya di depannya. “Walau saat ini aku masih mencari pekerjaan tetapi aku yakin, aku bisa menafkahinya.”“Dengan cara?”“Bekerja!” sahut Anin cepat.“Lantas siapa yang menjaga anakmu?” Pertanyaan Harris berhasil membungkam Anin, wanita itu termenun
Anin terus teringat ucapan Harris, ia tak menyangkal ucapan pria itu. Karena pada kenyataannya ia tak mungkin membiayai pengobatan putranya seorang diri. Batin dan otaknya berperang hebat, ia harus memutuskan secepat mungkin karena nyawa putranya berada pada pria yang kini tengah duduk di sofa kamarnya.Berulang kali, Anin menghela napas berat. “Tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ujar Harris yang sedari tadi mengawasi pergerakan wanita berpakaian khas pasien rumah sakit.“Apa kau sengaja menjebakku dalam situasi ini?” Pertanyaan Anin mengintrupsi pria itu bangkit dari duduknya.Pria itu mengendikkan bahunya dan menyeret kursi ke samping ranjang Anin. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Bergantung kamu mau melihat dari sudut pandang yang mana.”“Mengapa harus begini?” tanya Anin lirih, tak ada sorot mata tajam tak ada wajah sinis yang ia tunjukka