Harris membaca guratan sedih dan bingung di wajah Anin, ia curiga jika Anin adalah korban pemerkosaan. “Aku tak punya suami.”
Untuk sepersekian detik, Harris tercengang mendengar jawaban Anin, otaknya yang cerdas mendadak hilang fungsi. “Maksudnya?”
“Aku bilang, aku tidak punya suami.” ucap Anin sambil meyakinkan lelaki yang ada di hadapannya sekali lagi.
“Iya aku tahu, maksudku ke mana suamimu? Kalian bercerai?”
Anin menghela napas panjang, ia awalnya hanya ingin mengacuhkan pertanyaan dari Harris, namun dirinya tak enak hati untuk menutup diri dari pria yang telah menyelamatkan dia dan kedua bayinya itu. “Tidak. Aku hamil karena jebakan temanku. Ajakan dia berakhir menjadi keperawananku yang direnggut oleh pria yang bahkan tak pernah aku kenal hingga sekarang.” urai Anin mulai menceritakan sedikit kejadian malam itu.
Hatinya tertusuk ngilu kala harus mengingat kejadian yang tak pernah terbayang olehnya, malam kelabu yang mengubah kehidupannya. “Seharusnya aku bisa menolak ajakan teman kerjaku. Namun, aku justru menerima ajakan itu dengan alasan tak enak hati.”
Harris masih diam terpaku, ia menatap punggung rapuh Anin yang terbalut pakaian rumah sakit berwarna biru. “Aku tak pernah menyangka jika orang yang selama ini aku anggap teman justru menjebak dan menjerumuskan aku ke dunia gelap seorang diri. Ia menjebakku hingga aku berakhir dengan pria brengsek di ranjang.”
Anin memejamkan matanya, berusaha tetap tenang walau jauh di dalam lubuk hatinya bergemuruh dipenuhi dengan kesal dan amarah. “Lalu, ke mana temanmu itu?”
“Apa kamu tahu istilah sudah jatuh tertimpa tangga?” tanya Anin tanpa menatap lawan bicaranya. “Setelah dia menjebakku malam itu, dia juga membuatku kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi satu-satunya penopang hidupku.”
“Dan itu sebabnya kamu mencari pekerjaan walau perutmu sudah membesar.”
Anin tersenyum miris sambil mengangguk pelan. Air mata mulai memenuhi pelupuk matanya, namun segera dihapus oleh tangannya.
Harris terdiam, ia sekarang mengerti kenapa Anin tampak begitu kurus dan tak terawat. Pria itu hanya bisa menatap wanita di hadapannya dengan sendu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ingin berusaha menghibur Anin, tangan kasar milik Harris tiba-tiba menepuk-nepuk pundak milik sang wanita, membuat Anin terkejut oleh sentuhan itu.
Tepar ketika Harris ingin memberikan Anin sebuah pelukan, tiba-tiba ponsel pria itu berdering nyaring. Dengan malas, Harris meraih ponselnya dan membaca nama yang terpampang di layarnya. Pria itu menggeser tombol hijau di layarnya, tak lama terdengar bunyi kaki kursi yang beradu dengan lantai keramik.
Anin melirik sejenak, ia melihat punggung tegap berbalut kemeja hitam itu berjalan menjauhi ranjangnya. Tak lama suara pintu terbuka dan tertutup terdengar di telinganya. Anin pun berusaha cuek dan kembali fokus untuk menghilangkan kesedihan dan keterjutannya terhadap sentuhan dari tangan pria yang baru saja dikenalnya.
Di depan pintu rawat Anin, Harris menempelkan benda pipih itu ke telinganya. “Ada apa lagi?” tanya Harris malas dan dingin.
“Besok malam, aku akan mengadakan makan malam bersama dengan keluarga Clara. Aku harap kau datang.”
“Sampai kapanpun aku tak akan datang.”
Terdengar decak kesal dari seberang sana. “Kau ini kenapa sih? Susah sekali diajak kerja sama! Ini semua demi kelangsungan hidupmu, berhentilah keras kepala.”
“Kelangsungan hidupku atau hidupmu dan wanita liar itu?” balas Harris tajam, ia tak lagi mengenal kata sopan santun jika harus berhadapan dengan ayahnya. Bukan tak sopan, tetapi pria itu sudah terlalu kecewa dengan pria yang disapa dengan sebutan ayah.
“Jangan kurang ajar, Harris! Kenapa kau bersikeras menolak perjodohan ini?!”
Harris memutar bola mata malas. “Karena menurutku ini bodoh. Memperbaiki nama baik perusahaan dengan menikah? Cara kuno macam apa itu. Lagipula aku sudah memiliki wanitaku sendiri.”
“Wanitamu sendiri? Cih. Kalau begitu, bawa wanita itu kehadapanku besok siang. Jika dia tidak sebaik calon yang kupilih, maka aku akan tetap menjalankan perjodohan ini.”
“Keparat!” umpat Harris mengakhiri sambungan teleponnya, ia lantas berjalan ke arah jajaran kursi yang tersedia di lorong rumah sakit. Pria itu terduduk, berusaha menahan amarahnya yang meluap dengan mengacak rambutnya asal sambil memijit pelipisnya.
"Bagaimana aku bisa menemukan wanita pengganti dalam waktu tidak sampai 24 jam?" batin Harris.
Ia merutuki kebodohannya yang justru membuat keadaan semakin sulit.Saat sedang fokus memikirkan keputusan bodohnya, ia mendengar suara pecahan dari dalam kamar Anin. Harris pun bergegas masuk ke dalam ruangan di depannya. Dari ambang pintu ia melihat seorang wanita tengah menatap kosong ke arah pecahan gelas di bawah ranjangnya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Harris berjalan mendekati ranjang Anin. Pria itu khawatir kalau wanita yang baru saja melahirkan itu akan melakukan hal yang tidak-tidak.
"Iya, aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengambil minum, namun tanganku tak mampu menggapainya," Mendengar nada khawatir dari Harris, wanita itu merasa bingung.
Pria itu tak berkata apapun, dan segera berjalan menuju dispenser air yang berada di pojok kanan ruangan. Ia juga memanggil petugas rumah sakit untuk merapikan pecahan gelas.
"Ini, minumlah," ucap Harris mengarahkan segelas air ke Anin. Wanita itu pun langsung mengambil gelas tersebut sambil berucap terima kasih kepada sang pria.
Ketika Anin sedang fokus meneguk air, Harris menatap Anin lekat-lekat.
Aku tak perlu mencari lebih jauh. Pria itu harus mengakui bahwa wanita yang ada di hadapannya mampu membuatnya luluh.Tiba-tiba, suara Harris memecah keheningan di ruangan. Pria itu melontarkan sebuah kalimat yang membuatnya terkejut dan hampir tersedak.
"Hei, maukah kamu menikah denganku?"
“Apa?” tanya Anin menatap pria di depannya bingung.“Menikah denganku!” jawab Harris kesal karena wanita di depannya ini berpura-pura tak mendengar.“Bukan maksudku, apa kau sedang melamarku?”Harris tampak berpikir sejenak. “Bisa dibilang begitu. Mungkin lebih tepatnya membuat kerja sama?”“Maaf aku tak bisa!” jawab Anin cepat, kala mendengar maksud Harris.“Dengar dulu! Aku mengajakmu menikah demi kebaikan baby twin. Dia butuh kehadiran seorang ayah bukan?” Anin tampak berpikir sejenak kala mendengar ucapan Harris. “Kalau begitu, aku akan jadi ayahnya. Dan baby twin tidak akan kekurangan kasih sayang ataupun kebutuhan lainnya.”“Maksudmu aku tak bisa menghidupi anakku sendiri?” tanya Anin, air mukanya tampak kesal mendengar penjabaran pria kaya di depannya. “Walau saat ini aku masih mencari pekerjaan tetapi aku yakin, aku bisa menafkahinya.”“Dengan cara?”“Bekerja!” sahut Anin cepat.“Lantas siapa yang menjaga anakmu?” Pertanyaan Harris berhasil membungkam Anin, wanita itu termenun
Anin terus teringat ucapan Harris, ia tak menyangkal ucapan pria itu. Karena pada kenyataannya ia tak mungkin membiayai pengobatan putranya seorang diri. Batin dan otaknya berperang hebat, ia harus memutuskan secepat mungkin karena nyawa putranya berada pada pria yang kini tengah duduk di sofa kamarnya.Berulang kali, Anin menghela napas berat. “Tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ujar Harris yang sedari tadi mengawasi pergerakan wanita berpakaian khas pasien rumah sakit.“Apa kau sengaja menjebakku dalam situasi ini?” Pertanyaan Anin mengintrupsi pria itu bangkit dari duduknya.Pria itu mengendikkan bahunya dan menyeret kursi ke samping ranjang Anin. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Bergantung kamu mau melihat dari sudut pandang yang mana.”“Mengapa harus begini?” tanya Anin lirih, tak ada sorot mata tajam tak ada wajah sinis yang ia tunjukka
"Anggap saja sebagai latihan sebelum kita menikah.” Anin memutar bola mata malas, ia tak tahu kenapa pria di depannya ini memaksa ia menikah.Ruangan yang di dominasi dengan warna putih itu kembali hening, Anin memilih untuk tidur sedangkan Harris memikirkan cara agar Anin mau menerima perjanjiannya. Ia sendiri tak tahu kenapa begitu yakin jika Anin adalah wanita yang tepat. Mungkin karena sikap yang wanita itu tunjukkan, di antara semua wanita yang pernah ia temui tak ada satupun yang melempar tatapan tajam dan dingin. Semua wanita menatapnya terpesona dan berebut mencari perhatiannya.Kicauan burung dan sinaran matahari yang menelusup melalui kaca jendela rumah sakit, menyilaukan penglihatan Anin. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, dia melirik ke arah sofa di mana seorang pria tengah tertidur dengan berselimut jasnya.Ia melirik ke nakas di samping kasurnya, tangannya yang lentik terulur hendak meraih gelas tersebut. “Ah‼” pekik Anin kala tangannya tak sengaja menyenggol
Ucapan pria itu mengingatkan Anin pada jam tangan yang dikenakannya tempo hari. “Jam tanganmu ke … mana?” tanya Anin melenceng jauh dari pernyatan Harris.“Anin ….” Harris nyaris tak percaya dengan respon yang wanita itu berikan. “Bagaimana jika aku ayah baby twin?” ulang pria itu karena Anin tak merespon ucapannya.“Jawab aku dulu.”Harris menoleh dan melangkah kaki mendekati kursi roda Anin. “Kenapa? Kenapa dengan jam itu?”“Jawab saja, kenapa sih?” tanya Anin meninggikan volume suaranya.Harris menghela napas, ia lantas mengeluarkan jam tangan dari saku celananya. Pria itu sengaja melepasnya karena ia terlalu buru-buru. Anin mengamati jam tangan itu, manik matanya membulat sempurna. Wanita muda itu bahkan menjatuhkan jam berharga puluhan juta ke tanah berumput di bawahnya.
"Kenapa? Anakku!” teriak Anin kala Harris tak melanjutkan ucapannya. Pria itu menghela napas. “Anakmu … membutuhkan perawatan lebih intensif.” Anin memejamkan mata, dunianya seketika itu juga hancur. Ia hanya diam menatap kosong Harris. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Bhama ke rumah sakit besar dan berusaha menyembuhkannya.” “Tidak perlu,” jawab Anin dingin. “Karena aku tahu niatmu tidak tulus, kamu memanfaatkan sakitnya anakku agar aku mau menerima perjanjian bodoh itu ‘kan? Lebih baik tidak usah.” “Kamu mau melihat dia terus menderita begitu? Tidak cukupkan kamu membuatnya menderita saat di dalam kandungan‼” bentak Harris karena kesal dengan keras kepala Anin. Anin tersenyum sinis. “Anda ini tahu apa? ANDA TAHU APA TENTANG HIDUP SAYA‼!” balas Anin tak kalah tinggi. “JAWAB! KENAPA HANYA DIAM‼” Harris menghela napas, ia lantas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Dari luar, Anin mendengar suara kucuran air. Anin berusaha tenang, ia memikirkan cara agar putranya da
“Maaf pak, pasien sudah selesai kami pindahkan. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan untuk Adik Bhama,” info perawat itu membuyarkan kegiatan Harris.Pria itu kembali bersikap dingin dan menatap datar petugas medis di depannya. “Terima kasih.”Harris segera masuk ke dalam lift dan menekan angka di mana kamar rawat Anin berada. Ia menunggu seraya memainkan ponselnya. Ia mengirimkan pesan pada assistennya untuk menghandle jadwal meeting pria itu selama beberapa hari ke depan. Ia juga meminta Damar menggantikkannya jika memang rapat tersebut tak bisa di re-schedule.Langkah Harris berjalan menyusuri koridor rumah sakit, ia menuju ke ruangan yang berada di paling ujung koridor tersebut. “Untuk adik Bhima kondisinya sudah stabil. Dokter akan menginfokan susu formula khusus untuknya dan untuk Bhama kami sedang melakukan observasi untuk menentukan pengobatan yang sesuai.”“Terima kasih, Dok,” balas Harris singkat dan datar.“Kalau begitu kami permisi terlebih dahulu pak. Beberapa jam ke dep
“Bukan begitu, aku hanya penasaran saja.”Anin memicingkan matanya. “Kamu mulai ragu ‘kan? Sudah aku bilang aku ini bukan tipe menantu atau istri idaman. Sudahlah lupakan saja rencanamu, sebelum semuanya terja –““Aku tidak akan merubah keputusanku. Apa salahnya seorang calon suami ingin mengenal lebih lanjut dan dalam tentang wanitanya? Kurasa tidak ada yang salah.” Ucapan Harris membungkam bibir wanita berumur 22 tahun. Ia lantas diam dan mengabaikan keberadaan pria itu.“Kamu mau menitip sesuatu?” tanya Harris bangkit dari kursinya. Anin menatapnya bingung ia tak mengerti arah pembicaraannya. “Aku hendak ke kantin.”Anin membulatkan bibirnya membentuk huruf o lantas menggeleng menjawab pertanyaan pria itu. Harris mengangguk dan berlalu dari hadapan Anin. Pria itu juga mengatakan jika dirinya hendak menemui Bhima, Anin pun berteriak memanggil namanya.“Boleh aku ikut?” tanya Anin penuh harap.“Aku tanya dokter terlebih dahulu,” sahut Harris, pria itu berlalu di balik pintu kayu berw
“Untukmu yang mau menerimaku dengan segala kekurangan dan masa lalu yang aku punya.” Anin menatap pria itu sendu.“Tak perlu berterima kasih karena semua aku lakukan dengan tulus dan bukan karena ada apa-apanya. Aku hanya merasa aku perlu melindungimu,” balas Harris membalas tatapan Anin dengan senyum bahagianya.Anin menatap Harris lekat-lekat dia mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Namun, semuanya terasa nihil, Anin tak menemukan sedikitpun kebohongan di wajah Harris.“ Oh iya, ini aku ada ponsel untukmu. Aku akan –““Apa ini tidak berlebihan?” potong Anin membuat Harris mendongak dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel baru yang ia beli.Harris menghela napas berat, ia lantas mendekatkan dirinya pada Anin dan berkata, “Jangan menolak, anggap saja ini hadiah untukmu yang baru saja melahirkan dua bayi tampan.”“Tetapi itu berlebihan, Mas. Maksudku –““Apa tadi?” tanya Harris memotong ucapan Anin.“Mas? kenapa?”Harris tersenyum bahagia mendengar sapaan baru yang disematka