“Untukmu yang mau menerimaku dengan segala kekurangan dan masa lalu yang aku punya.” Anin menatap pria itu sendu.“Tak perlu berterima kasih karena semua aku lakukan dengan tulus dan bukan karena ada apa-apanya. Aku hanya merasa aku perlu melindungimu,” balas Harris membalas tatapan Anin dengan senyum bahagianya.Anin menatap Harris lekat-lekat dia mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Namun, semuanya terasa nihil, Anin tak menemukan sedikitpun kebohongan di wajah Harris.“ Oh iya, ini aku ada ponsel untukmu. Aku akan –““Apa ini tidak berlebihan?” potong Anin membuat Harris mendongak dan mengalihkan perhatiannya dari ponsel baru yang ia beli.Harris menghela napas berat, ia lantas mendekatkan dirinya pada Anin dan berkata, “Jangan menolak, anggap saja ini hadiah untukmu yang baru saja melahirkan dua bayi tampan.”“Tetapi itu berlebihan, Mas. Maksudku –““Apa tadi?” tanya Harris memotong ucapan Anin.“Mas? kenapa?”Harris tersenyum bahagia mendengar sapaan baru yang disematka
“Takut apa, sayang?”“Takut pada ayahmu, takut akan tanggapan keluargamu padaku,” jawab Anin.“Tanggapan apa? Jangan pernah berpikiran yang buruk sayang,” ujar Harris menenangkan Anin. “Keluargaku pasti akan menerimamu,” lanjutnya. Harris lantas mengajak Anin untuk melihat video kedua putranya yang sempat tertunda sebagai pengalihan agar Anin tidak memikirkan tentang penerimaan keluarganya.Betapa senangnya Anin ketika melihat kedua wajah anaknya yang semakin tampan dari hari ke hari. Mereka terlibat obrolan ringan dan seru tentang parenting, ternyata Harris dan Anin banyak menemukan perbedaan tentang pola asuh anak.“Sudah, sudah saatnya kamu untuk istirahat,” ujar Harris mengakhiri perdebatan mereka yang tak akan pernah usai. Maklum saja keduanya berasal dari background keluarga yang berbeda.“Tetapi pembahasan kita belum selesai, Mas,” rajuk Anin.“Kita akhiri saja dan kamu menang. Mau cepat pulang atau tidak?” kata Harris dengan tatapan wajah tidak ingin dibantah. Terlihat sekali
“Kenapa?” tanya Harris ketika melihat raut wajah yang berbeda dari Anin, pria itu lalu mendekat ke arah Anin dengan tatapan bingung. “Siapa Silvia, Mas? Dia mengirimi sebuah email,” kata Anin seraya mengembalikan ponsel Harris. “Kamu cemburu ya?” goda Harris. Lelaki itu lalu menjelaskan jika perempuan yang mengiriminya email adalah sekretaris pribadinya. Ada sebuah pekerjaan yang membutuhkan persetujuan darinya. Mendengar jawaban Harris membuat Anin malu, karena ia tidak memikirkan tentang hal itu. Seorang Boss macam Harris sudah tentu memiliki seorang sekretaris, yang cantik dan berpendidikan tinggi. “Kenapa lagi?” tanya Harris menaikkan alisnya. “Tidak apa-apa, aku boleh pinjam ponselmu lagi?” kata Anin, senyum mengembang di wajah cantiknya. “Boleh, sebenta
“Tenang dulu Bu Anin dan Pak Harris, berdasarkan pemeriksaan yang kami lakukan pada keduanya. Bhima menunjukkan keadaan yang lebih baik sedangkan Bhama sebaliknya,” urai sang Dokter.Air mata Anin tak tertahankan lagi, entah mengapa ia merasa jika putranya itu tidak akan bisa pulang dengannya. Harris terus menenangkan Anin bahkan menghibur wanita itu jika mereka masih bisa berkumpul dengan Bhima untuk sementara waktu.“Lalu kami harus melakukan apa, Dokter?” tanya Harris.“Kami akan terus memantau kondisi ananda Bhama untuk beberapa hari ke depan, mohon selalu untuk mendoakan kesembuhannya,” imbuh sang Dokter. Harris berterima kasih kepada Dokter lalu memapah Anin untuk keluar dari ruangan tersebut.“Mas ...” lirih Anin seraya menatap Harris dengan lelehan air matanya di pipinya. Harris mengh
“Te-tenang dulu Bu Anin, sa-saya bisa jelaskan,” ujar lelaki itu, ia mencoba bersikap tenang berhadapan dengan Ain yang panik.“Siapa kamu? Kenapa kamu tahu nama saya?” tanya Anin, ia tampak terkejut. “Bagaimana caranya kamu masuk ke sini?” lanjut Anin. Banyak hal yang tidak di mengerti oleh perempuan itu, mulai dari lelaki itu yang mengetahui namanya lalu cara dia masuk ke dalam rumah Harris.“Nama saya Damar, saya adalah asisten Pak Harris. Saya ke mari karena diminta oleh beliau untuk mengantarkan makan siang,” jelas Damar sedetail mungkin. Netra Anin lalu beralih pada bungkusan putih yang ditenteng oleh lelaki itu.“Bagaimana caranya kamu masuk ke sini, sidik jarimu juga terbaca?” ujar Anin mengulang pertanyaannya.“Untuk bisa masuk ke rumah ini bisa menggunakan beberapa cara, saya menggunakan cara dengan memasukkan kode pin, Bu.&r
Kedua bola mata Anin membulat ketika melihat kedua orang tua Harris berdiri di hadapannya. Wajah mereka terlihat dingin membuat Anin kikuk. Momen canggung itu terjadi selama beberapa detik, Anin segera mengakhirinya dengan kata sambutan yang manis.“Silakan masuk Pak, Bu,” kata Anin membuka pintu lebar-lebar, ia bahkan sudah menggeser tubuhnya.“Di mana putraku?” tanya Nyonya Setya.“Mas Harris sedang –““Di sini Bu,” jawab Harris yang berdiri di belakang orang tuanya. Semua mata tertuju pada lelaki yang menenteng banyak barang belanjaan.“Kamu dari mana, Ris?”“Dari beli makanan untuk makan malam kita. Bu, ada makanan kesukaan Ibu lho. Aku beli di restoran langganan ibu,” ujar Harris bangga, ia tersenyum ke arah ibunya.“Istrimu tidak masak sendiri untuk
“Ya salah, Mas. Salah besar! Kita ‘kan belum menikah,” ucap Anin dengan nada tinggi, ia tampak panik.“Ya sudah kalau begitu, ayo kita menikah,” ajak Harris. Anin menghela nafas panjang, ia membuang wajahnya ke arah lain. Sekarang Harris terang-terangan mengajaknya menikah. Harris yang memperhatikan wajah bingung perempuan yang ada di hadapannya itu, tertawa pelan. Ia berniat mengakhiri leluconnya.“Aku bercanda, Sayang. Sebenarnya aku ke mari untuk memberimu selimut, barangkali kamu dan Bhima membutuhkannya,” ujar Harris seraya meletakkan selimut itu di ranjang.“Kamu bikin aku jantungan saja, Mas,” omel Anin, ia bisa bernafas lega sekarang. Perempuan itu lalu mengucapkan terima kasih kepada Harris yang terus menunjukkan perhatian padanya.“Kalau begitu aku keluar dulu ya, kalau kamu butuh sesuatu telpon aku saja.”
“Apa kabar baik dan apa kabar buruknya, Dokter?”“Kabar baiknya adalah kondisi Bhama sempat menurun sudah berhasil stabil kembali. Sedangkan kabar buruknya adalah jika keadaan Bhama seperti in terusi maka kami harus mengambil tindakan lainnya.”“Lakukan saja dokter, lakukan saja yang terbaik untuk anak kami,” ujar Harris mewakili Anin yang tak bisa berkata-kata lagi. Hati perempuan itu kembali hancur untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa duduk sembari memeluk Bhima.“Sayang,” panggil Harris, lelaki itu berjongkok di depan Anin. “Keadaan Bhama sudah stabil, kita doakan semoga smakin hari semakin membaik ya.”“Kenapa tidak aku saja Mas yang sakit? Kenapa harus anakku? Kenapa harus Bhama?” pekik Anin membuat Bhima yang dalam dekapannya menangis. Harris cepat-cepat menggendong Bhima, ia memberikan waktu untuk Anin menumpahkan perasaa