Bruk!!!
"Aduh!!" Lare Angon tak tahan untuk mengaduh kala punggungnya beradu dengan tanah. Sejenak ia diam terkapar. Berusaha berdamai dengan rasa sakit. Ada untungnya ia sering dipukuli Sewaka. Ia menjadi terbiasa dengan rasa sakit. Lare Angon membuka genggaman tangannya. Untungnya benda itu tak terjatuh. Sebuah tabung yang dilapisi kain hitam. Entah apa isinya. Lare Angon memilih untuk menyelipkannya ke pinggang. Ia bisa memeriksanya nanti. Lare Angon tak langsung berdiri. Sementara memilih duduk. Mencoba melihat kembali ke atas bukit. Ingin mengumpati orang di atas sana. Di satu sisi ia kagum pada bagaimana orang itu bisa mendorongnya tanpa menyentuh. Namun ia juga kesal kenapa orang itu tak menyuruhnya pergi saja, alih-alih melemparnya dengan kasar. Lebih dari semua itu, ia penasaran pada alasan orang tersebut tiba-tiba mendorongnya menjauh. Suasana sore yang temaram membuat Lare Angon harus memusatkan pandangan sepenuhnya. Tak begitu jelas, tetapi ia bisa melihat jika orang itu kini tak lagi sendiri. Ada orang lain yag mendatangi. Seorang dengan jubah putih terang. Tak cukup dekat untuk mendengar apa yang terjadi. Tetapi dari bahasa tubuh keduanya, Lare Angon tahu jika keduanya tengah bertengkar. Dada bocah itu menjadi berdebar kala melihat keduanya saling serang. Lelaki berbaju hijau terlihat terdesak dengan cepat. Lare Angon semakin penasaran. Baginya kemampuan orang berbaju hijau itu sudah mengagumkan. Tetapi orang yang baru datang tampak jauh lebih hebat lagi. Bocah itu hendak merangkak mendekat. Tetapi langkahnya mendadak terhenti. Ia melihat orang berbaju hijau itu terlempar oleh serangan baju putih. Saat yang bersamaan muncul orang berbaju hitam yang menghadang gerakan orang baju putih. Kedua tangan orang itu beradu dan sama-sama terdorong menjauh. Saat itu Lare Angon melihat jika orang yang berbaju hijau mengambil kesempatan untuk menyelinap pergi dan menghilang ke dalam hutan dengan cepat. Nyali Lare Angon menjadi ciut. Ia ingat pesan orang tersebut. Entah apa yang saat ini ia bawa, tetapi kemungkinan benda itulah yang sedang mereka perebutkan. Jika dua orang yang sedang bertarung tahu benda itu ada padanya, mereka pasti akan beralih mengejarnya. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang itu padanya. Lare Angon akhirnya urung mendekat. Memikirkan cara untuk menjauh. Sampai akhirnya ia menyadari ada suara gemericik air yang samar di sebelah kirinya. Lare Angon tak berani berdiri. Ia memilih merangkak di antara semak-semak untuk mendekati sumber bunyi itu. Hampir saja bersorak senang ketika menemukan sebuah aliran sungai. Ia ingat jika di sisi padang rumput tempatnya menggembala ada aliran sungai. Mengikuti sungai itu mungkin akan membawanya kembali ke sana. Jika pun itu adalah jalur sungai yang berbeda, setidaknya ia bisa menemukan pemukiman atau sawah di bawah sana. Lare Angon terus berjalan merunduk untuk beberapa waktu. Tak mau kehadirannya diketahui oleh orang-orang yang sedang bertarung di atas sana. Setelah dirasa cukup jauh, barulah ia berani berdiri dan berlari. Saat ini ia baru menyadari jika suasana hutan telah menjadi gelap dan suram. Pohon-pohon besar menjulang menciptakan bayangan merupa raksasa yang menyeramkan. Untungnya langit sangat cerah. Meski tak ada rembulan, cahaya bintang-bintang cukup menerangi bumi. Cerita tentang hewan buas dan siluman menakutkan yang menghuni tempat itu kembali melintas di benak Lare Angon. Ia mengurai cambuknya. Sempat tergoda untuk membunyikannya guna mengusir rasa takut. Tetapi urung saat ingat orang-orang itu akan menjadi mudah menemukannya. Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Ia merutuki langkah kakinya yang kecil. Seolah jarak menjadi begitu jauh. Sudah begitu lama ia berjalan, pemandangan di sekitarnya masih tak banyak berubah. Krasak! Jantung Lare Angon nyaris berhenti. Suara ranting yang terinjak membuatnya seketika terpaku. Matanya bersitatap dengan sepasang cahaya kekuningan yang muncul dari balik belukar. Cahaya yang rupanya berasal dari seekor ajag. Anjing hutan itu berjalan mendekat sambil menggeram. Tubuh Lare Angon gemetar. Ia sudah sering mendengar perihal makhluk buas itu, namun belum pernah melihatnya langsung. Cambuk yang sudah terurai sejak tadi ia genggam dengan erat. Itu adalah satu-satunya senjata yang ia miliki dan ia kuasai. Selama ini Lare Angon begitu yakin jika suara cambuknya telah menjauhkan hewan gembalaan dari binatang buas. Tetapi sekarang keyakinan itu sama sekali tak bersisa. Ajag semakin mendekat. Keringat dingin membasahi wajah Lare Angon. Rahangnya mengeras. Ia tak akan menyerah. Andai malam ini ia harus mati dimangsa hewan buas, ia akan mati dengan perlawanan. Tepat saat anjing hutan itu menyalak, Lare Angon memutar cambuknya. Cetarr!! Ia menyentakkan cambuk ke tanah. Selangkah di depan anjing hutan yang berjingkat terkejut. Ia berhasil membuat hewan itu sedikit menjauh. Lare Angon memanfaatkan kesempatan untuk meloncat dan berlari secepat mungkin. Ia tak lagi memperhatikan apa yang dilalui. Suara anjing hutan yang menyalak di belakangnya membuat larinya semakin kesetanan. Anjing hutan yang mengejarnya kini tak hanya satu. Suara hewan itu sudah mengundang gerombolannya yang lain. Lima ekor ajag kini membuntuti Lare Angon yang napasnya semakin pendek. Gedebug!! Tak melihat ada sebuah akar yang melintang ditambah kaki yang memang mulai goyah, Lare Angon jatuh tersandung hingga terjungkal bergulingan. Anjing-anjing menyalak kian garang. Mengitari bocah itu. Lare Angon meloncat bangkit. Rasa takutnya berubah menjadi amarah. Ia tak rela membiarkan ajag itu mengoyak tubuhnya begitu saja. Wutt!! Lare Angon memutar cambuk mengitari tubuhnya. Membuat anjing-anjing hutan menyalak semakin ramai. Sepertinya mereka juga turut menjadi marah karena putaran cambuk membuat mereka takut untuk mendekat. Lare Angon semakin bersemangat. Ia memutar cambuknya semakin cepat. Wutt!! Wutt!! Satu aliran hawa yang hangat mendadak muncul dari pinggangnya. Naik ke pusar lalu mengalir ke seluruh tubuh. Ia tak tahu hawa apa itu. Hanya saja hawa tersebut membuatnya merasa sedikit lebih segar dan kuat. Wuss!! Entah bagaimana sapuan cambuknya mampu menciptakan satu sambaran angin yang kuat. Membuat lima ekor ajag terpelanting hingga berhenti menyalak. Setelah itu bahkan mereka berlarian menjauh dengan ketakutan. Lare Angon menghela napas lega. Ia tak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi yang penting untuk saat ini anjing-anjing hutan telah pergi. Ia juga harus segera keluar dari hutan untuk menghindari bertemu hewan buas lainnya. Keberuntungan tak selalu datang dua kali. Lare Angon memandang sekeliling. Nyaris bersorak saat menyadari jika ternyata ia sudah sampai di tepian hutan. Di depan adalah padang penggembalaannya tadi. Namun rasa senangnya kembali surut ketika menyadari tak nampak hewan apa pun di sana. Kerbau-kerbau itu hilang entah kemana. Mungkin terlepas dan pergi sendiri-sendiri atau malah habis dimangsa hewan buas penghuni hutan tersebut. Ia memang tadi terlalu panik, pergi ke hutan untuk mencari si Lemu begitu saja. Lupa untuk mengikat kerbau-kerbau yang lain."Hitam putih, semua ada dalam pikiranmu. Kendalikan pikiranmu maka kau mengendalikan duniamu." Suara kembali bergema.Lare Angon memejamkan mata. Melenyapkan segala pikiran dan prasangka tentang apa yang baru ia lihat. Lalu perlahan mengerjap dan membuka mata kembali. Kini ia ada di dalam goa. Tempatnya berada sebelum samadi. Di depannya seorang lelaki tua duduk bersila. Ia mengenalnya sebagai Ki Dharmaja. Guru dari Sambu. Orang yang mengalihkan perhatian Ki Walang Sungsang dan Pangeran Rekatama. Entah sejak kapan Ki Dharmaja tiba.Lelaki tua itu perlahan membuka mata. Tersenyum pada Lare Angon yang mendadak menjadi gugup. Mengangguk dengan penuh hormat.Meski sudah sangat tua, mata Ki Dharmaja masih terlihat begitu jernih. Tubuhnya juga masih tegap. Hanya kulit keriput dan rambut memutih yang menjadi penanda usia."Lare Angon, tak aku sangka kau akan berhasil secepat ini. Kau telah berhasil memasuki alam pikiranmu sendiri. Lalu mengendalikannya. Jika kau g
"Kita mulai dengan berlatih mengosongkan pikiran." Kata Sambu. Kini keduanya sudah duduk bersila di atas batu. Saling berseberangan dan berhadap-hadapan."Saat aku pertama belajar, Guruku Ki Dharmaja mengatakan jika ilmu bisa diibaratkan sebagai benda dan kita adalah wadahnya. Agar bisa menampung benda itu sebanyak mungkin, maka kita harus mengosongkan wadah itu. Singkirkan apa pun pikiran yang bisa menghambat. Termasuk jika kita memiliki pemahaman pada ilmu lain sebelumnya. Lupakan semua. Lupakan apa yang membuatmu ada di sini. Buang ingatanmu untuk sementara. Kesedihan atau pun kesenangan. Kosongkan pikiranmu hingga benar-benar tak bersisa." Lanjut Sambu."Kenapa pikiran? Karena apa pun yang dilakukan dan dirasakan oleh tubuhmu sebetulnya dimulai dari pikiran. Kulitmu menyentuh api, namun pikiranlah yang menyuruhmu berteriak karena panas. Kendalikan pikiranmu, maka kau mengendalikan seluruh tubuhmu." Pungkas pemuda itu.Lare Angon mengangguk meski tak sepenuhnya menger
Sambu menoleh ke arah lubang tempat mereka datang. Lalu mengangguk-ngangguk. Lare Angon baru sadar jika Putut Pangestu tak mengikuti mereka."Sepertinya ia ingin menunjukkan niat baiknya dengan tak mengikuti kita sampai persembunyian ini. Tetapi dunia itu kejam. Kita tak pernah tahu apakah ia tulus atau ini hanya bagian dari tipu daya saja. Tetaplah waspada." Ucap Sambu.Lare Angon mengangguk. Lagipula setelah semua kekacauan yang terjadi, ia tak lagi begitu percaya pada Putut Pangestu."Duduklah! Aku yakin kau masih belum sepenuhnya mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa oran-orang itu tetap memburumu meski kau tak lagi membawa Kitab Mustika Jagad." Kembali Sambu berkata.Lare Angon lagi-lagi mengangguk. Di pinggir ruangan itu ada empat buah batu bulat menyerupai tempat duduk. Lare Angon meletakkan tubuhnya pada batu yang paling dekat.Sambu ikut duduk di seberangnya."Apa yang kau dengar sekilas tadi benar adanya. Gulungan yang sempat kau bawa adalah Kitab Mustika Jagad. Kitab it
"Tapak Geledek!" Putut Pangestu berseru terkejut. "Apa hubunganmu dengan Pendekar Tangan Halilintar?" Tanya lelaki itu kemudian. "Apakah itu penting?" Tanya Sambu. "Tentu saja penting! Aku harus tahu kau ada di golongan mana. Aku dengar jika Ki Dharmaja adalah orang yang lurus. Aku yakin ia tidak menginginkan Kitab Mustika Jagad untuk dirinya sendiri!" Ucap Putut Pangestu. "Memang tidak. Guru hanya memastikan kitab itu tak jatuh ke tangan orang yang bisa menghancurkan tatanan dunia itu. Karena kitab itu sudah jatuh ke tangan Lare Angon, maka kami akan melindunginya bagaimana pun caranya." Jawab Sambu. "Begitukah? Sebenarnya aku mendapat tugas yang sama. Gusti Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankan kitab tersebut. Kerajaan tak mau kekacauan besar terjadi jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang keliru. Jadi Pangeran Utara mengutusku untuk mengamankannya. Bertahun-tahun aku b
Lare Angon akhirnya mengikuti pemuda itu. Berlari menembus semak belukar. Sesekali berjalan melingkar. Sesekali penolong Lare Angon itu menaburkan semacam serbuk tipis yang berbau wangi.Namun langkah Lare Angin terhenti saat melihat pemuda tersebut meloncat ke atas pohon."Kenapa? Jangan katakan kau tak bisa menyusulku kemari! Kami sudah melihatmu melakukannya sebelum ini!" Kata pemuda itu.Lare Angon menggeleng. Ia ingat memang perkataan penolongnya benar. Ia sempat meloncat dari satu dahan ke dahan lain. Hanya saja ia tak ingat bagaimana bisa melakukannya. Seolah hanya mengikuti naluri saja. Ketika sekarang ia harus melakukannya dengan sengaja, maka ia menjadi kebingungan. Tak tahu dari mana harus mememulai.Pemuda di atas pohon menoleh ke belakang. Wajahnya sedikit tegang. Lalu meluncur turun."Berpegangan yang erat!" Ucapnya sambil meraih tubuh Lare Angon.Terkejut, tetapi bocah itu tak menolak. Entah kenapa ia merasa pemuda itu benar-benar tulus ingin menolongnya. Ada rasa aman
Kangsa dan Leksana berteriak tertahan. Asap hitam merambat dengan cepat melalui ujung senjata mereka. Leksana cukup beruntung. Senjatanya cukup panjang. Masih memiliki waktu untuk melepas senjata hingga asap itu tak merayapi tangan. Dengan terburu-buru ia meloncat menjauh.Kangsa tak seberuntung itu. Tombaknya yang pendek membuat ia tak memiliki kesempatan menngelak. Asap itu merayapi lengan. Meski sudah berusaha mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang kesetanan, sama sekali tak berpengaruh. Asap itu melilit tubuhnya. Lalu merayap ke arah lubang-lubang di tubuhnya.Mata Kangsa melotot. Antara marah dan putus asa. Lalu sesaat setelah asap hitam merasuki tubuhnya, ia mengejang. Lalu jatuh tersungkur tak bergerak lagi.Ki Dharmaja melangkah mundur. "Mau kemana kau, Dharmaja? Aku tak akan membiarkanmu melarikan diri lagi. Hari ini akan menjadi akhir hidupmu di tanganku!" Seru Ki Walang Sungsang yang tampaknya sudah membaca gelagat lawan.Ki Dharmaja tak menjawab. Terus melangkah mundu