Rangga: Ratu adalah teman sekaligus cewek teraneh yang pernah gue kenal. Dia hamil karena kesalahan kita, tapi anehnya dia nggak mau dinikahin. Dia pemegang prinsip nggak menikah dan childfree. Tapi gara-gara gue hidupnya sekarang jadi berantakan.
Ratu: ya, males aja nikah apalagi punya anak. Rasanya dua kata itu nggak pernah terbayang dalam hidup gue. Apalagi kalau nikahnya sama si Rangga--si playboy cap kampak yang misquen. Ogah amat! ****/ Rangga tersentak dari duduknya, ketika tiba-tiba seorang gadis datang melemparkan benda kecil persegi panjang bergaris dua di depan wajahnya. “Apa ini?” tanya dia tak mengerti maksud Ratu. “Nggak mungkin lo nggak tau itu benda apa!” katanya. Rangga melihat baik-baik benda tersebut yang di tengah-tengahnya terdapat dua garis. “Lo hamil?!” kedua mata pria itu membelalak setelah menyadarinya. “Menurut lo?” Gadis itu bersekap dan berdecak. “Sialan! Gara-gara lo gue jadi begini.” “Lo jangan nyalahin gue doang, ya. Lo sendiri juga ngapain mau-mau aja waktu gue ajakin gituan!” “Iya terus ini gimana?” Terdiam. Rangga terdiam selama beberapa lama, sampai akhirnya dia pun berujar. “Gue ... gue bukannya nggak mau tanggung jawab, tapi jujur gue belum siap jadi seorang ayah. Lagipula, apa kata nyokap sama bokap kita nanti? Mereka bisa marah besar kalau sampai tau hal ini.” “Ck! Lagian siapa juga yang mau kawin sama elo? Gue emang udah rencana nggak akan nikah seumur hidup. Gue juga mau child free! Tapi gara-gara elo, semua jadi berantakan!” balas sang gadis yang punya trauma dengan yang namanya pernikahan. “Apa gue gu gurin aja ya, anak ini?” lanjutnya membuat Rangga melotot seketika. “Jangan gila!” sambarnya, “kita udah ngelakuin dosa besar, masa mau ditambah lagi dengan melakukan hal itu?” “Ah, terserah, deh. Yang penting gue nggak mau nikah, titik!” Cewek yang bernama Ratu itu berlalu pergi. Rangga memang cowok berandalan. Tapi mendengar sendiri seseorang akan melakukan aborsi—terlebih itu anaknya sendiri, tentu saja dia tak mungkin bisa mendengarnya. *** “Tu! Ratu!” Rangga berlari mengejar Ratu saat jam pulang kantor berakhir. Namun, Ratu tetap ngodor berjalan tanpa memedulikannya. Sebenarnya, Rangga sudah mengirimkan pesan sejak semalam. Bahkan menelepon. Tapi jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Tampaknya—Ratu masih sangat marah padanya. “Ratu!” berkali-kali Rangga memanggil, tetapi Ratu benar-benar tidak peduli. Gadis itu justru mempercepat langkahnya sampai kini dia menyetop taksi yang membawanya pergi. Rangga meremas rambutnya dengan frustrasi. “Aargh! Sial!” teriaknya sambil menendang kosong ke arah trotoar. “Gue harus gimana?” Perasaan bersalah menghantui Rangga. Membuatnya tak bisa tertidur sepanjang malam. Padahal hanya sekali mereka melakukannya. Dia benar-benar tak menyangka bahwa kecebongnya berhasil menjadi bayi. Tumbuh di rahim Ratu dan tentu saja akan mengubah hidupnya setelah ini. Kejadiannya adalah satu setengah bulan lalu di Puncak Bogor, ketika kantor mereka sedang melakukan Family Gathering. Rangga, entah lupa atau malas, dia tak kembali ke kamarnya sendiri sampai larut malam. Padahal, Rangga sudah mendapat bagiannya sendiri. Dia yang sudah lelah dengan kegiatannya siang tadi pun ketiduran di kamar yang Ratu tempati. Dalam keadaan setengah sadar, dia merasa nyaman dan tidak ingin berpindah tempat tidur. Hingga menjelang paginya, mereka malah kebablasan bersenang-senang tanpa menyadari konsekuensi dari tindakan mereka. Awalnya mereka iseng, penasaran dan tentunya tak berpikir sampai sejauh itu. Tidak menyangka akan begini akhirnya—sebuah kejadian yang mengubah segalanya di antara mereka. Baik Ratu maupun Rangga, keduanya tak pernah menganggap mereka orang lain. Di situlah akar masalahnya hingga terjadilah suatu hal yang seharusnya mereka hindari. “Ngga, lo kalau mau tidur sini gue nggak larang ya, tapi tolong nggak usah banyak gerak kaya belatung gini! Gue jadi nggak bisa tidur lagi tau, nggak?!” ujar Ratu malam itu, kesal karena Rangga tak bisa diam dan terus berguling hingga Ratu merasa terganggu. “Ck. Gue anu njirr!” balas Rangga membuat Ratu yang membelakanginya kini menoleh dengan ekspresi bingung. “Anu apa? Lo tuh, kalau ngomong yang jelas, donk!” “Ya, biasa. Kebiasaan cowok kalau pagi. Ada yang bangun sebelum dia,“ jawab Rangga dengan santainya. “Lo kalau ngomong yang bener ya, ini di sebelah lo cewek. Cewek tulen! Bukan jadi-jadian. Nggak malu apa?” Ratu sewot. “Nggak usah sok polos, deh! Kayak nggak pernah aja!” ejek Rangga. Spontan Ratu melotot. “Maksud lo?!” “Lo hampir tiap hari lho, keluar makan siang berdua sama Ibra.” “Cuma makan ya, bukan pacaran! Gue nggak kayak lo yang kalau deket sama cewek langsung diajak mojok di semak-semak!” “Kejauhan mikirnya, kejauhaaannn!!!” sahut Rangga segera. “Emangnya cuma elo ya, yang boleh membully gue, sementara gue enggak? Tolong dikondisikan ya, birazinya!” Krik.... Krik... Krikkk.... Hening menyelimuti suasana antara mereka setelah perdebatan kecil tersebut. Tidak ada sahutan lagi dari Rangga hingga membuat Ratu kemudian penasaran dan membalikkan tubuhnya lagi untuk menghadap pria itu--yang ternyata tengah melamun menatapi punggungnya dengan tatapan kosong namun penuh arti. “Kok diem? Lo nggak lagi kesambet kan?” tanya Ratu curiga. “Sembarangan aja!” sahut Rangga cepat untuk menutupi rasa malunya. Sebelum beberapa saat kemudian dia kembali berkata dengan nada lebih serius, “Nyobain boleh kali ya, Ra?” “Nyobain apa? Ini masih di topik yang tadi?” balas Ratu segera, rasa ingin tahunya yang semakin besar. “Iya, gue lagi pengen banget sumpah. Sesekali lah, kita seneng-seneng,” jawab Rangga sambil tersenyum nakal. Keduanya saling menatap selama beberapa lama dalam keheningan yang aneh namun nyaman. Sebelum sesaat berubah menjadi.... Momen itu terasa seperti sebuah titik balik ketegangan antara keduanya mulai terasa berbeda. Ada sesuatu di antara mereka yang belum terucapkan. Sebuah rasa yang mungkin telah lama terpendam namun kini mulai muncul ke permukaan. Rangga merasakan denyut jantungnya semakin cepat. Ratu tampaknya juga merasakan hal serupa. Dalam keheningan itu, semua kata-kata terasa tidak berarti dibandingkan dengan tatapan mata mereka yang saling bertautan. Sebuah koneksi yang sulit untuk dijelaskan namun sangat nyata bagi keduanya.“Bu, udah nyampe mana?” “Ini udah di depan,” jawab ibunya terdengar mempercepat langkah. “Ratu ada keluar air. Air apa itu, Bu?” “Air apa? Air ketuban?” jawab ibunya segera. “Ketuban katanya, Ra?” Rangga menatap istrinya yang sekarang sedang nampak kesakitan sembari mengatur napasnya. Rangga memasukkan ponselnya ke dalam kantong, begitu melihat ibunya memasuki kamar. “Nak?” panggil wanita itu pada sang menantu yang masih duduk lemas di atas klosetnya. Suaranya memang terdengar tenang seperti biasa. Tapi raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa beliau juga sama paniknya seperti Rangga. “Mules banget, Bu, sampai mual. Tapi kadang muncul kadang ilang,” tutur gadis itu. “Iya itu namanya kontraksi. Ngga, ayo bantu pindahkan istrimu.” Keduanya membantu Ratu keluar dari dalam kamar mandi. “Tapi aku mau mual lagi,” keluhnya memi
Akhir bulan yang sibuk. Begitu yang kerap kali dialami oleh para budak korporat menjelang penutupan bulan. Sebab selain banyaknya proyek yang mendekati deadline, mendadak banyak jadwal rapat yang padat. Koordinasi dengan tim menjadi lebih intensif, semua orang berusaha bekerja sama menyelesaikan tugas-tugas yang tertunda. Di tengah kesibukan itu, ada hal-hal yang sering kali terabaikan di rumah. Salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah Ratu, yang kini sedang menjalani kehamilan di trimester ketiga. Perubahan fisik dan emosional yang dialaminya membuatnya lebih sensitif dan lebih banyak menuntut perhatian. Hari ini saja, sudah tiga kali Ratu menelepon. Belakangan, sifat manjanya bertambah, dan keinginannya yang terkadang aneh-aneh membuat Rangga tertegun. Senjatanya adalah anak yang ada di dalam kandungannya itu. Katanya, ini bukan kemauannya, melainkan kemauan
Masih berada di pusat perbelanjaan yang ada di daerah Jakarta bagian timur.Ratu menunggu dengan gelisah suaminya yang katanya tengah menjemput, namun tak kunjung sampai.Ratu takut kalau-kalau Ibrahim keburu turun dan mendapatinya ternyata berada di sini, bukan di toilet seperti yang dia katakan. Ia malas saja berurusan dengan pria itu apalagi terlibat obrolan atau basa-basi dengannya.“Udah nyampe mana, Ngga?” Ratu menelepon.Dan untungnya, Rangga menjawab, “Udah di dekat lobby, nih.”Alhamdulillah....“Ok, aku keluar sekarang!” Ratu melangkah cepat ke arah lobby dan berharap bisa segera bertemu Rangga.Hingga tak lama kemudian, dia melihat sosok pria mengenakan motor matic dengan helm hitam mendekatinya.“Papa masih di atas, tinggal aja lah, ya,” ujar Ratu setelah mereka tak lagi berjarak.“Ini, nih, akibat kalau seorang istri pergi tanpa izin suami,” cibir Rangga.“Emang aku perginya sama s
Perasaan Rangga campur aduk saat memasuki ruangan Ibu Rika. Dia tahu Ibu Rika cukup ramah dan mudah diajak bicara—tidak seperti HRD-HRD lainnya yang pernah dia dengar, tapi Ibu Rika juga bisa sangat tegas dan kritis sewaktu-waktu. Jadi, saat Rangga harus menghadapinya ketika sedang ada sederet masalah serius di dalam timnya, rasa takut itu tetap muncul.“Permisi, Bu.”“Masuk, Ngga!” serunya dari dalam.Hingga ketika Rangga membuka pintu, senyuman ceria wanita yang duduk di balik meja besar itu langsung menyambutnya. “Selamat siang calon papa baru!” ujarnya membuat Rangga bisa merasa sedikit lebih lega.Karena berarti, panggilannya ini bukan sebuah masalah yang serius.“Ah, iya, terima kasih, Bu.” Rangga duduk di kursi yang disediakan.“Viral ya, kemarin?” tanya Bu Rika.Rangga sempat nge-lag sesaat sebelum kemudian dia mengerti, ke mana arah pembicaraan wanita itu, yang tentu saja mengenai viralnya dirinya saat ngojol dan berkasus dengan seorang perempuan gila.“Hah? Oh, i-iya, Bu.”“
Seperti yang telah direncanakan kemarin, hari ini—tepatnya sore setelah Rangga pulang dari kantornya, pria itu menjemput istrinya untuk melakukan pemeriksaan USG.“Pakai mobil aja, Mas. Jangan pakai motor,” ujar papa mertuanya begitu dia tiba di depan rumah.Sementara Ratu sendiri sudah siap berangkat dan menunggunya di depan sana. Tapi roman-romannya dia kecewa setelah mendengar saran yang lebih terdengar seperti perintah dari papanya itu. Dilihat dari wajahnya yang kini cemberut.“Padahal aku pengennya pakai motor.”Nah, kan!Terdengar suara protesnya.“Polusi,” Papanya membalas.Rangga pun tidak punya kesempatan untuk membantah, karena saat ini lelaki itu melempar kunci mobilnya kepadanya.Ya, sudahlah. Toh, lebih aman seperti ini. Lagipula, manut dengan orang tua kan lebih enak.Namun di dalam mobil, sepertinya Rangga harus sabar-sabar mendengar gadis itu menggerutu.Katanya dia punya keinginan untuk langsung jalan-jalan malam ini sepulang mereka dari RS. Naik motor seperti muda-m
“Di suspend?”ulang Ibu Ratih, saat Rangga menuturkan alasan ketidakhadirannya ke kantor hariini. Sebab alih-alih bekerja, ia malah pergi ke Kemang guna untuk melakukan banding.“Di suspend itu dipecat kah?” lanjut beliau, menggunakan istilah yang paling dia mengerti.“Nggak, Bu. Suspend itu bukan putus mitra, tapi dibekukanakunnya. Jadi aku belum bisa jadi kurir atau driver lagi untuk sementara,” jelas Rangga tenang. Berusaha meredakan kekhawatiran ibunya.“Penyebabnya?” kata beliau lagi agar Rangga bisa menjelaskannya lebih lanjut.“Gini...” Rangga mulai menjelaskan semuanya dengan rinci, menggambarkan situasi semalam yang membuatnya terjebak ke dalam masalah ini.Barulah setelah selesai, Ibu Ratih menyimpulkan. “Padahal salahnya bukan di kamu ya, Ngga.”“Itulah. Yang kuheran. Padahal emang orangnya aja yang agak-agak.” ,“Udah gitu dengan pedenya di upload ke sosmed lagi,” sahut Ratu.“Banyak yang nonton, Nak?