Plak!Dengan cepat tangan Nina melayang ke pipi Bianca. Cukup membuatku terkejut bukan main. Melihat apa yang ada di hadapanku saat ini. Pasalnya resto masih ramai, hingga membuat kami menjadi tontonan banyak orang.Bianca memegang pipinya yang memerah, Matanya berkaca-kaca, dengan tatapan nyalang. Ia begitu marah pada Nina. Sedangkan Nina memandang Bianca dengan tatapan menghina.Aku tidak menyangka, Nina akan melakukan itu di depan orang banyak. Aku kembali melihat ke arah Bianca yang menggigit bibir bawahnya dengan erat, seperti sedang menahan gejolak amarah. Memang keterlaluan sekali, Nina!"Apa lihat-lihat! Memang kamu pantas ditampar! Mulutmu itu begitu lancang, dasar pelayan tak tahu diri!" hardik Nina dengan berkacak pinggang. Membuatku semakin jengkel melihatnya.Belum sempat aku membuka mulut untuk menegur Nina. Ternyata, tangan Bianca sudah dengan cepat membalas perlakuan Nina padanya."Arrkhhh ... lepasin! Dasar pelayan tidak tahu diri!" Nina menjerit saat kedua tangan put
pov. Nina"Memalukan! Tingkah laku kamu ini, sungguh bikin aku malu! Dasar istri tak tahu bersyukur! Mau di taruh mana mukaku, Nina!" maki Mas Rio padaku. Sepanjang jalan, di dalam mobil, Mas Rio tak henti-hentinya memaki dan mengumpatku. Sungguh kasar sekali sikapnya padaku kali ini.Aku tahu dirinya sedang marah padaku, tetapi tak bisakah ia menurunkan nada bicaranya itu? Seperti Mas Arman yang tetap lembut saat sedang kesal pada Indah. Lagi-lagi Indah, kenapa aku selalu teringat dsn membandingkan diriku dengannya. Lagian apa hebatnya janda anak satu itu? "Kamu dengar ucapanku tidak, Nina?" sentak Mas Rio kembali. Suaranya kembali naik satu oktaf hingga membuatku terkejut. Kuping ini terasa langsung kebas mendengarnya. "Kok, kamu hanya memarahi aku, Mas? Seharusnya kamu marahin pelayan itu! Dia yang sudah berlaku kurang ajar padaku!" ujarku membela diri. Aku tak terima jika hanya aku yang disalahkan di sini. "Jika kamu langsung bayar, maka pelayan itu tidak akan berkata seperti i
Aku melangkah dengan gontai, menahan sesak di dada. Hatiku begitu sakit, Mas Rio dengan tega meninggalkanku di jalanan begitu saja. Benar-benar lelaki kejam!Semua ini terjadi, berawal dari pertemuanku dengan teman-temanku siang itu.Sebagai genk sosialita. Kami biasa mengadakan arisan setiap minggunya. Saat sedang mengadakan arisan, temanku Sinta yang sok kaya itu. Baru saja mengatakan jika suaminya baru saja membuka pabrik baru, dengan gaya sombongnya membuatku muak."Hay, jenk ... tahu gak sih, aku baru saja di belikan pabrik baru sama suamiku. Katanya sebagai kado ulang tahunku. So sweet banget gak, sih, suamiku itu," ujar Sinta dengan begitu bangganya memamerkan apa yang ia dapat saat itu. Baru kemaren ia memamerkan hadiah gelang emas yang memenuhi setengah lengannya padaku, sekarang pabrik. Memangnya sekaya apa sih ... suaminya itu?"Wah ... hebat suami kamu, ya, Sin. Selain tajir, juga romantis. Jadi iri dech, sama kamu!" puji Ambar. Aku heran wanita satu ini apa tidak masuk
Sudah hampir tiga jam aku berkeliling mencari sebuah alamat yang dengan susah payah aku dapatkan. Kepala ini sudah mulai nyut-nyutan merasakan panasnya terik matahari yang begitu membara di atas kepala. "Apa ini tempatnya?" tanyaku pada diri sendiri seakan tak percaya. Sambil menepikan mobilku. Aku mengedarkan pandangan mataku, menelisik satu-persatu rumah yang ada di lingkungan ini. Begitu kumuh dan sempit dan bau.Aku heran kenapa ada orang yang tahan tinggal di lingkungan yang lebih cocok disebut kandang hewan ketimbang rumah. Kulit halusku terasa gatal. Tanganku pun tak henti-hentinya mengibas-ngibas di depan muka untuk menghalau bau tak sedap yang masuk ke dalam penciumanku. Celakanya aku tak membawa tissue atau sapu tangan saat tiba di tempat ini tadi. Setelah bertanya pada bapak-bapak di ujung gang aku akhirnya tiba di depan sebuah kontrakan yang sangat kecil. Mobil aku tinggal di ujung gang sana. Karena gang ini begitu sempit. Bahkan satu mobil satu tidak dapat melewatinya.
Pov. Indah"Mas, hari ini habis dari resto, aku mau mampir dulu ke butik, ya? Aku mau memesan beberapa gaun untuk Naira. Karena sebentar lagi kan, ia ulang tahun," ucapku manis. Tanganku sibuk menari di atas jas Mas Arman, menyimpul dasi di lehernya agar menjadi rapi. Sejak menikah, pria tampan di hadapanku ini seolah kehilangan kemampuannya dalam memasang benda satu ini."Terserah kamu, sayang. Yang penting, nanti siang kamu harus ada di resto, kita makan bareng,""Aku kan perginya sore, Mas. Oh ... ya, kamu mau dimasakkan apa nanti siang?" Setelah memasang dasi Mas Arman dengan rapi, aku beranjak. Mengambil tasku yang ada di atas nakas."Mas mau cah kangkung, sama cumi saos tiram, dan gurame bakar!" jawabnya cepat. Aku tersenyum."Siap bos!" Aku menaikkan satu tanganku ke atas pelipis, bergaya seolah memberi hormat pada komandan militer. Mas Arman terkekeh dan merangkul tanganku, mengajakku keluar. Hari ini kami berangkat kerja tidak menggunakan satu mobil seperti biasa. Karena aku
"Tidak ada! Tidak ada yang aku rencanakan. Aku hanya ingin menebus kesalahanku di masa lalu, itu saja. Aku ingin dekat dengan putriku, walau bagaimanapun aku tetap ayah kandungnya. Walinya yang sah secara hukum dan agama!" jawab Mas Dito tegas.Aku tersentak, Mas Arman pun terdiam, tapi aku melihat kabut kesedihan di matanya. Mungkin perkataan Mas Dito tadi telah menyinggung hati kecilnya. Sebesar apapun cinta yang ia miliki untuk Naira, tidak akan bisa menggantikan posisi Mas Dito selaku ayah kandungnya.Aku semakin bingung harus menanggapi seperti apa, satu sisi suamiku yang tampak tidak suka. Tapi di sisi lain, ada Mas Dito yang ingin menemui putrinya. Apa aku berdosa jika memisahkan seorang ayah kandung dengan anaknya? Walau bagaimanapun, Naira adalah perempuan, Mas Dito adalah walinya yang sah. Nasab itu tak dapat aku pungkiri. Walaupun aku menolak keinginan Mas Dito untuk ia bertemu putrinya, bagaimana suatu saat ia membalasku? Saat
Setelah pertengkaran yang terjadi, aku memutuskan ke rumah Mama. Aku butuh tempat untuk menyendiri. Melepaskan beban yang ada di hati ini. Berada di rumah Mama adalah hal yang paling baik. Aku bukanlah tipe pria yang melampiaskan masalah dengan minum-minuman keras, atau pergi kesebuah tempat yang di penuhi wanita murahan.Mungkin dengan tidur dan sholat dapat membuat hati dan otakku tenang."Loh, Arman. Kapan kamu datang, Nak? Indah Mana?" tanya Mama. Mungkin ia heran, selama aku menikah, aku selalu datang kerumah ini bersama menantu dan cucunya itu. Tapi hari ini berbeda, aku hanya datang sendiri."Indah masih di resto, Ma. Kebetulan Resto sedang ramai," jawabku bohong. Tak apalah ... aku bohong kali ini pada Mama. Lagi pula, tak mungkin aku umbar masalah rumah tanggaku. Walau itu terhadap orang tuaku sendiri."Benarkah? Apa kamu ada masalah dengan Istrimu, Nak?" tanya Mama tepat sasaran. Mem
Setelah mengantar makan siang ke kantor Mas Arman. Aku mengendarai mobilku, langsung pulang ke rumah. Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, badanku pun terasa letih. Mungkin karena kurang tidur serta banyak pikiran selama beberapa hari kami bertengkar. Jujur aku sedikit terbebani dengan sikap suamiku yang sedikit cuek padaku akhir-akhir ini. Aku tahu itu bentuk amarah Mas Arman terhadapku dan aku pun mengakui kesalahan itu. Sebagai seorang istri tak seharusnya aku mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan dirinya walaupun itu menyangkut Naira. Mas Arman memang Ayah sambung Naira tetapi kasih sayang yang ia berikan pada putriku itu jauh lebih besar dibandingkan rasa sayang Mas Dito. Lampu merah yang menyala di depanku membuatku kesal. Bahkan dinginnya AC mobil tidak bisa mereda panasnya cuaca hari ini. Udara hari ini yang begitu panas, membuat kepala ini semakin senut-senut.Sambil menunggu lampu merah menyala, aku mengedarkan