Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.
Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang."Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan.Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku."Aku hanya mengingat kejadian semalaKata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
"Tidak! Aku tidak mau dimadu, Mas!" teriakku lantang pada lelaki yang bergelar suami itu. Kutekan dada ini yang terasa begitu sakit, sambil mengendong buah hati kami yang baru berumur satu bulan. Dengan air mata yang jatuh bergulir dengan sendirinya.Yah ... baru satu bulan yang lalu aku merasakan dinginnya meja operasi, bertaruh nyawa untuk menghadirkan buah cinta yang hampir selama satu tahun kami dambakan. Namun kenyataanya ... apa yang kudapatkan? Bukannya ucapan terima kasih yang kudapat, melainkan rasa sakit hati. Aku tatap perempuan yang berdiri di luar kamarku itu dengan rasa benci. Perempuan itu ... perempuan yang Mas Dito perkenalkan sebagai calon istri keduanya."Keputusanku sudah bulat, Indah! Aku akan menikah dengan Retno," ujar Mas Dito tegas. Membuat batin ini semakin meringis sakit."Kamu tega sama aku, Mas? Aku baru saja melahirkan anak kita, bahkan luka bekas operasiku saja belum mengering, tapi kamu ... kamu sudah membawa perempuan lain ke rumah ini sebagai maduku!
"Apa-apaan ini?" tiba-tiba terdengar suara Ibu. Membuat aku dan Mas Dito terkejut, aku menoleh ke arah malaikat pelindungku itu. Entah sejak kapan, wanita yang telah melahirkanku itu, sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut. Apa Ibu sudah mendengar semuanya?"Oh ... Ibu sudah pulang dari pasar? Bagus kalau gitu, jadi ... Ibu bisa jadi saksi di sini!" ujar Mas Dito seakan tak berdosa. Entah terbuat dari apa hati pria yang kupilih sebagai imamku ini."Saksi? Saksi bahwa kamu telah menceraikan putriku? Tega sekali kamu Dito! Apa kesalahan Indah, sehingga kamu menceraikannya? Apalagi disaat bayi kalian baru saja lahir?" tanya Ibu dengan suara lantang dan keras.Deghh!Aku sedikit terkejut mendengar suara Ibu yang begitu lantang. Selama menjadi anaknya, baru kali ini aku mendengar Ibu berbicara dengan nada tinggi seperti itu."Putri Ibu itu tidak becus menjadi seorang Istri! Dia tidak bisa memberikan aku anak laki-laki. Dan sekarang ia justru tidak dapat mengandung lagi, jadi a
Sudah seminggu waktu berlalu sejak pertengkaranku dan mas Dito. Tidak ada sekalipun ia menghubungiku, walau hanya untuk sekedar bertanya tentang putrinya ini. Walau kami sudah bukan suami istri lagi, tapi anak ini tetaplah anaknya, apa sebagai seorang Ayah, tidak adakah rindunya sedikitpun pada Putri kecilnya ini?Akan tetapi, apa yang bisa aku harapkan dari lelaki yang tak punya hati sepertinya. Setelah menyusui putriku hingga ia terlelap, aku memilih duduk di teras, menghirup udara untuk menata hatiku yang masih hancur remuk ini. Sedangkan Ibu pergi ke rumah tetangga, membantu masak untuk pengajian malam jum'at nanti. Hal itu biasa diadakan di kampungku ini. Para Ibu-Ibu bergantian membantu masak di rumah yang mendapat jatah giliran, membuat acara doa wirid untuk bapak-bapak yang diselenggarakan pada malam harinya.Saat sedang memikirkan kelanjutan hidupku dan putriku saat ini, tiba-tiba sebuah motor masuk kedalam pekarangan rumah ini. Aku mengerutkan kening melihat kedatangan per