Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu.
Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi.
Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi.
Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian.
Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini.
"Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu pada Ningrum memecah kesunyian.
"Hmp! mengapa demikian, Paman?" sahut Ningrum melirik Tanu.
"Sebab jika kamu ke istana, nyawamu dan Sadarga bisa terancam!" tutur Tanu yang berada di luar gubuk tuanya.
"Ya, sebenarnya aku juga memikirkan hal itu!" sahut Ningrum. Saat ini ia sedang memberikan air susunya dan membelakangi Tanu. Sejak lahir Sadarga memang sedikit rewel, tangisan anak itu seakan mengguncang gendang telinga siapa saja di dekatnya.
Setelah merasa kenyang dengan air susu ibu, nampaknya Sadarga kecil sudah tertidur pulas. Ningrum menyelimuti bayinya dengan beberapa kain yang tersedia di gubuk itu.
Memang tak ada perlengkapan lebih, jika bukan hanya sekedar perabotan sederhana. Tanu seakan meninggalkan kekayaannya dalam waktu beberapa lama. Padahal tetua itu memiliki tempat tinggal yang sangat nyaman dan luas.
Bahkan Tanu memiliki sebuah kawasan pribadi yang berupa pulau kecil di tengah lautan lepas. Bukan tanpa alasan pulau itu tak memiliki penghuni selain dirinya. Namun hanya orang tertentu saja yang bisa memasuki pulau itu.
Letak pulau tersebut berada di wilayah perbatasan Kerajaan Labodia dan Kerajaan Sahasika. 2 buah kerajaan besar yang terus berseteru berebut wilayah kekuasaan, dan hal itu seakan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siapa saja yang hendak datang ke daerah perbatasan.
"Ningrum, sungguh malang nasibmu, Nak!" ucap Tanu, kemudian Ningrum datang menghampiri tetua itu dan duduk di sampingnya.
"Yah Paman, aku mengerti maksudmu. Tapi, semua ini bukanlah keinginanku, lalu bagaimana pendapatmu? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ningrum dengan suara pelan, mungkin itu merupakan pertanda bahwa dirinya sedang dilanda kegalauan.
"Menurutku, saat ini seluruh pasukan kerajaan pasti sedang mencarimu dan Sadarga. Jadi lebih baik kita pergi saja ke tempatku, tapi ...." ucapan Tanu tiba-tiba terhenti, ia malah mengarahkan pandangan ke tempat bulan berada, sesekali ia mengedarkan pandangan seakan menyiris setiap bintang yang dilihatnya.
Cukup lama Ningrum menunggu kelanjutan ucapan Tanu, merasa sedikit heran ia segera memalingkan muka ke arah tetua itu. "Paman. Apa kau memikirkan sesuatu?" tanya wanita itu.
"Ya, saat ini tenaga dalamku seakan lenyap. Tapi itu hanya untuk sementara waktu. Ini merupakan efek buruk setelah menggunakan jurus pembuka dimensi hampa itu. Perlu waktu 12 tahun untuk memulihkan energi dalam tubuh. Setelah itu, tenaga dalamku bisa digunakan lagi sepenuhnya. Dan ... itu semua akan terjadi jika umurku masih panjang, haha!"
"Hemmp, iya yah. Begitu juga denganku! Lalu bagaimana caranya agar bisa sampai ke tempatmu?"
"Mungkin yang bisa kita lakukan saat ini, hanya mengulur waktu!"
"Sambil membawa Sadarga?"
"Ya, tentu saja. Semua itu harus kita lakukan. Sebab jika tertangkap pasukan kerajaan, maka tamatlah riwayat kita!"
Tanpa usul atau sekedar bertanya, Ningrum hanya diam mendengarkan perkataan Tanu, wanita itu menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda menyetujuinya.
"Baiklah jika hanya itu cara yang bisa ditempuh, aku akan pejamkan mata sebentar. Sebab kita akan mulai bergerak di malam ini!" pungkas Ningrum. Wanita itu segera masuk ke dalam gubuk tua, ia berniat mengusir lelah setelah seharian terjaga.
***
Tak terasa 11 tahun telah dilewati begitu saja.Saat ini Sadarga sudah bisa menggunakan panca inderanya dengan baik. Hanya saja satu kaki anak itu tidak tumbuh dengan normal. Satu diantara kakinya memiliki ukuran lebih pendek dan itu membuat Sadarga berjalan tak seimbang.
Sejak bayi sampai saat ini, Ningrum dan Tanu terus mengobati anak itu dengan berbagai ramuan khusus. Terkadang mereka meminta bantuan para tabib untuk melakukan pembedahan di beberapa bagian tubuhnya. Semua itu dilakukan hanya untuk kesembuhan Sadarga.
Hidup ditengah masyarakat dengan berbagai cara, seolah-olah menyembunyikan identitasnya dari pihak kerajaan yang sampai saat ini masih mencarinya.
Desa Purbawati, merupakan tempat yang dipilih oleh Tanu dan Ningrum untuk menetap dan membesarkan Sadarga.
Meskipun masyarakat di desa ini awalnya kurang menerima kehadiran 3 orang itu. Namun niat baik Tanu dan Ningrum seakan tengah mengelabui semua orang supaya menerimanya. Dengan maksud lain meminta perlindungan dari kejaran pihak istana.
Saat ini, Ningrum seperti memiliki keluarga baru. Bagaimana tidak? Semua orang di desa itu begitu menghormatinya.
Dalam kurun waktu 11 tahun, setiap hari Tanu dan Ningrum berusaha membantu pekerjaan masyarakat desa. Dengan kekuatan yang masih tersisa yang terus berangsur seakan pulih kembali.
Dalam benak Ningrum dan Tanu, terpikir sebuah kesimpulan yang sama. Tenaga dalam yang digunakan untuk bekerja, ternyata dirasa lebih berguna jika dibandingkan hanya untuk bertarung saja.
Nun jauh disana, tepatnya di pusat istana kerajaan Labodia. Seluruh penghuni istana sedang merayakan pesta yang digelar setiap tahun sekali.Hampir semua penduduk tanah barat, terutama yang berdekatan dengan istana, datang berbondong-bondong.Walau pun hanya untuk sekedar menyaksikan beberapa pertunjukan hiburan, tapi antusias mereka lumayan besar. Mungkin itu disebabkan pertunjukan sedikit menarik karena dilakoni beberapa hewan buas dan sang pawang.Selain itu, pihak istana memberikan makanan dan hadiah bagi siapa pun yang berminat datang memenuhi undangan sang raja.Namun di sisi lain ada juga penduduk desa yang tak ingin memenuhi seruan raja itu. Entah apa yang sebenarnya tengah terjadi?Keadaan jiwa penduduk di sekitar istana kerajaan saat ini, seakan terusik."Tuan, sampai saat ini kita belum mendapatkan kabar mengenai anak dan wanita itu. Lalu apa yang akan tuan lakukan selanjutnya?" ucap Dado, basa-basi.Dado merupakan seorang
Saat puluhan tentara kerajaan tiba di Desa Purbawati. Mereka langsung menyebar dan menghampiri rumah para penduduk. Hal itu dianggapnya bisa menghemat waktu. Setiap rumah di datangi 2 tentara saja.'Inikah kesatria yang sering kakek ceritakan?' gumam Sadarga dalam batinnya. 2 pria dewasa saat ini tengah mendekatinya.Di setiap pelosok Negri, para kesatria seakan terlahir dengan sendirinya. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki ilmu bela diri, sesuai dengan tingkatannya masing-masing.Kemudian, para Kesatria itu terbagi menjadi 2 golongan. Sebagian bergolongan putih, sebagian lagi bergolongan hitam. Para Kesatria di golongan putih, pasti mempunyai watak kepribadian yang baik, mereka selalu bersedia melindungi sesamanya. Tapi, para Kesatria di golongan hitam mempunyai watak sebaliknya. Mereka lebih condong mempunyai watak jahat.Kesatria golongan hitam sering menggunakan kemampuannya untuk mencari keuntungan sendiri, terkadang mereka merampas hak
"Wahai para kesatria, kalau boleh tahu. Ada apakah gerangan kalian datang ke tempat ku yang kotor ini?" ucap Tanu yang masih mengelus pakaian Jirah para utusan istana. Nada ucapan kakek tua itu seperti seorang pujangga yang dilanda mabuk asmara.'Tingkah kakek semakin aneh saja!' gerutu Sadarga, nampaknya ia kesal melihat tingkah kakek angkatnya.Karena mendapat perlakuan aneh dari Tanu, pria sipit nampaknya kegelian sendiri. Ia sekan tak nyaman mendapat perlakuan Tanu yang mirip seorang lelaki sedang merayu wanita."Ka-kami hanya menuruti perintah raja, Kek!""Aduhai senangnya diriku ini, didatangi 2 utusan kerajaan yang begitu murah hati. Tapi ... sepertinya ada maksud lain yang mendorong kalian datang ke tempat ini, jika tak keberatan mohon sedia beritahukan pada kakek tua ini!" tutur Tanu. Sepertinya ia benar-benar sedang merayu.Jelas saja, tingkah Tanu semakin membuat Sadarga gemas. "Kakek! Apa kamu baik-baik saja?" celetuk Sadarga."Hem
"Baiklah, ku rasa ... pertemuan kita kali ini sudah cukup! Jika esok hari rombongan itu belum datang. Maka kewaspadaan, harus tetap di dipertahankan. Karena, bisa saja kedatangan mereka mendadak di esok lusa," pungkas Tanu, mengakhiri pembicaraannya di malam itu.Setelah melakukan pertemuan dengan beberapa pendekar desa, Tanu langsung kembali ke rumahnya.Ternyata perkiraan Tanu memang terjadi dan semua rombongan dari kerajaan itu, saat ini sudah berada di depan mata.***Buur!Duar!Tiba-tiba terdengar dentuman dari balik bukit Desa Purbawati.Tepat di kaki bukit itu terdapat sebuah wilayah padat penduduk. Sadarga yang mendengarnya sontak saja terkejut, begitupun dengan 2 tamu dari istana. Walaupun mereka hanya saling menatap, tapi hal itu seakan memberi isyarat pada mereka bahea hal tak lajim sedang terjadi."Kakek! Suara apa itu?" tanya Sadarga pada Tanu. Kakek tua itu terlihat masih tenang saja."Hmmp,
"Bagaimana sudah siap, Nak?" tanya Tanu pada Sadarga. Nampak jelas bocah di hadapannya tengah selesai mengemas barang-barang."Ia Kek! Aku rasa ini semua sudah cukup," saut Sadarga."Baiklah, mari kita pergi!" pungkas Tanu.Di saat Kakek tua itu mulai melangkahkan kakinya, Sadarga hanya diam termenung. Entah apa yang dia lakukan? Sepertinya memikirkan sesuatu."Kek! Sebenarnya kita mau kemana? tanya Sadarga.Mengapa baru kali ini bocah itu bertanya? Padahal untuk sekedar berkemas barang saja, ia memerlukan waktu yang cukup lama."Kita akan pergi beberapa waktu dari tempat ini dan akan kembali lagi setelah keadaan mulai membaik," tutur Tanu memberikan penjelasan pada Sadarga."Jika begitu, mengapa tak menunggu Ibu dulu?"Sejak dari awal berkemas, Sadarga hanya memikirkan kepulangan ibunya. Pasalnya, dari pagi buta ia belum bertemu dengan Ningrum."Bagaimana ini? Atau sebaiknya ku katakan saja pada bocah ini, a
"Nak, sepertinya tempat ini lumayan aman," ucap Tanu sembari menurunkan Sadarga yang masih dalam gendongannya. "Ia, Kek!" sahut Sadarga. "Sebaiknya kita istirahat sejenak di tempat ini ... karena perjalanan kita tak akan ada akhirnya!" ucap Tanu dengan nada semakin pelan. Kakek tua itu segera membaringkan tubuh pada tanah yang di pijaknya. "Hah, tak ada akhir?" tanya Sadarga penuh penasaran. Mungkin dari tadi bocah itu menunggu kepastian, kemana tujuan Tanu sebenarnya? "Oh, tidak! Maksudku kita tak tahu arah tujuan kita," celetuk Tanu yang menggaruk kepalanya walau tak gatal. Namun kepekaan Sadarga nampaknya lebih dewasa dari usianya. Bocah itu seakan menyadari bahwa Tanu sedang menyembunyikan sesuatu. "Ayolah Kek! Jangan anggap aku masih kecil. Sebenarnya aku selalu mencurigai ibu dan Kakek. Tapi aku menunggu waktu untuk menanyakan kecurigaan itu pada kalian," cela Sadarga dengan alis mata naik sebelah. Sorot mata Sada
Saat ini Tanu tengah tertidur dengan pulas, Sadarga yang terus berteriak tak kunjung mendapatkan tanggapan."Sial! Kenapa kakek diam saja? Apa dia sudah tidur?" bisik Sadarga pada dirinya.Akhirnya bocah itu bergegas dari tempatnya. Tanpa mengetahui tujuan yang pasti, langkah kakinya terasa sedikit hampa.Namun entah apa yang terjadi pada tubuh Sadarga? Bocah itu seakan berjalan tak kenal lelah. Saat ini ratusan depa telah ia lalui tanpa hambatan apapun. Bahkan dirinya tak sadar, bahwa saat ini tengah berada di hutan belantara.Suara hewan buas mulai terdengar mengganggu telinga Sadarga, hawa dingin berkabut tiba-tiba menyelimuti. Pandangan Sadarga pun seakan terganggu dengan kemunculan kabut putih itu.Kerrr!Aaak! Aaaak! Aaak!"A-apa itu?" gumam Sadarga dalam batinnya. Ia langsung mengedarkan pandangan menyisiri setiap sudut hutan yang masih terjangkau olehnya.Setelah riuh suara hewan bersahutan, tiba-tiba Sadarga melihat baya
Setelah Sadarga memejamkan mata, tiba-tiba dalam hitam pekat pandangannya berubah menjadi hijau menyala. Dalam benak bocah itu sempat bertanya-tanya, apakah ia sedang bermimpi atau hidup dalam kenyataan. Rasa penasarannya semakin menjadi, setelah ia menyaksikan pemandangan di sekitarnya seolah berubah menjadi taman bunga.Saat ini Sadarga berada di antara pagar bunga yang menyerupai labirin. Mungkin ia perlu ketelitian, supaya bisa mencari jalan keluar. Andai saja bocah itu keluar dari kurungan labirin, entah pemandangan apa yang ada di balik pagar bunga tersebut."Di-dimana ini?" gumam Sadarga. Bocah itu nampak kebingungan. Sadarga mengedarkan pandangan ke sana - ke mari, hendak mencari tahu dimana dirinya berada.Suasana tegang yang dialaminya seakan menjadi sedikit tenang. Bahkan tengah membuatnya lupa diri. Bagaikan seorang yang mabuk dan mengabaikan suasana di sekitarnya."Hai, Nak!" ucap seorang wanita yang berada di balik bunga pagar.