Share

Desa Purbawati

Author: Fariha
last update Last Updated: 2021-08-01 12:40:03

Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu.

Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi.

Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. 

Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian.

Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini.

"Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu pada Ningrum memecah kesunyian.

"Hmp! mengapa demikian, Paman?" sahut Ningrum melirik Tanu.

"Sebab jika kamu ke istana, nyawamu dan Sadarga bisa terancam!" tutur Tanu yang berada di luar gubuk tuanya.

"Ya, sebenarnya aku juga memikirkan hal itu!" sahut Ningrum. Saat ini ia sedang memberikan air susunya dan membelakangi Tanu. Sejak lahir Sadarga memang sedikit rewel, tangisan anak itu seakan mengguncang gendang telinga siapa saja di dekatnya.

Setelah merasa kenyang dengan air susu ibu, nampaknya Sadarga kecil sudah tertidur pulas. Ningrum menyelimuti bayinya dengan beberapa kain yang tersedia di gubuk itu.

Memang tak ada perlengkapan lebih, jika bukan hanya sekedar perabotan sederhana. Tanu seakan meninggalkan kekayaannya dalam waktu beberapa lama. Padahal tetua itu memiliki tempat tinggal yang sangat nyaman dan luas.

Bahkan Tanu memiliki sebuah kawasan pribadi yang berupa pulau kecil di tengah lautan lepas. Bukan tanpa alasan pulau itu tak memiliki penghuni selain dirinya. Namun hanya orang tertentu saja yang bisa memasuki pulau itu.

Letak pulau tersebut berada di wilayah perbatasan Kerajaan Labodia dan Kerajaan Sahasika. 2 buah kerajaan besar yang terus berseteru berebut wilayah kekuasaan, dan hal itu seakan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siapa saja yang hendak datang ke daerah perbatasan.

"Ningrum, sungguh malang nasibmu, Nak!" ucap Tanu, kemudian Ningrum datang menghampiri tetua itu dan duduk di sampingnya.

"Yah Paman, aku mengerti maksudmu. Tapi, semua ini bukanlah keinginanku, lalu bagaimana pendapatmu? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ningrum dengan suara pelan, mungkin itu merupakan pertanda bahwa dirinya sedang dilanda kegalauan.

"Menurutku, saat ini seluruh pasukan kerajaan pasti sedang mencarimu dan Sadarga. Jadi lebih baik kita pergi saja ke tempatku, tapi ...." ucapan Tanu tiba-tiba terhenti, ia malah mengarahkan pandangan ke tempat bulan berada, sesekali ia mengedarkan pandangan seakan menyiris setiap bintang yang dilihatnya.

Cukup lama Ningrum menunggu kelanjutan ucapan Tanu, merasa sedikit heran ia segera memalingkan muka ke arah tetua itu. "Paman. Apa kau memikirkan sesuatu?" tanya wanita itu.

"Ya, saat ini tenaga dalamku seakan lenyap. Tapi itu hanya untuk sementara waktu. Ini merupakan efek buruk setelah menggunakan jurus pembuka dimensi hampa itu. Perlu waktu 12 tahun untuk memulihkan energi dalam tubuh. Setelah itu, tenaga dalamku bisa digunakan lagi sepenuhnya. Dan ... itu semua akan terjadi jika umurku masih panjang, haha!"

"Hemmp, iya yah. Begitu juga denganku! Lalu bagaimana caranya agar bisa sampai ke tempatmu?"

"Mungkin yang bisa kita lakukan saat ini, hanya mengulur waktu!"

"Sambil membawa Sadarga?"

"Ya, tentu saja. Semua itu harus kita lakukan. Sebab jika tertangkap pasukan kerajaan, maka tamatlah riwayat kita!"

Tanpa usul atau sekedar bertanya, Ningrum hanya diam mendengarkan perkataan Tanu, wanita itu menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda menyetujuinya.

"Baiklah jika hanya itu cara yang bisa ditempuh, aku akan pejamkan mata sebentar. Sebab kita akan mulai bergerak di malam ini!" pungkas Ningrum. Wanita itu segera masuk ke dalam gubuk tua, ia berniat mengusir lelah setelah seharian terjaga.

***

Tak terasa 11 tahun telah dilewati begitu saja.

Saat ini Sadarga sudah bisa menggunakan panca inderanya dengan baik. Hanya saja satu kaki anak itu tidak tumbuh dengan normal. Satu diantara kakinya memiliki ukuran lebih pendek dan itu membuat Sadarga berjalan tak seimbang.

Sejak bayi sampai saat ini, Ningrum dan Tanu terus mengobati anak itu dengan berbagai ramuan khusus. Terkadang mereka meminta bantuan para tabib untuk melakukan pembedahan di beberapa bagian tubuhnya. Semua itu dilakukan hanya untuk kesembuhan Sadarga.

Hidup ditengah masyarakat dengan berbagai cara, seolah-olah menyembunyikan identitasnya dari pihak kerajaan yang sampai saat ini masih mencarinya.

Desa Purbawati, merupakan tempat yang dipilih oleh Tanu dan Ningrum untuk menetap dan membesarkan Sadarga.

Meskipun masyarakat di desa ini awalnya kurang menerima kehadiran 3 orang itu. Namun niat baik Tanu dan Ningrum seakan tengah mengelabui semua orang supaya menerimanya. Dengan maksud lain meminta perlindungan dari kejaran pihak istana.

Saat ini, Ningrum seperti memiliki keluarga baru. Bagaimana tidak? Semua orang di desa itu begitu menghormatinya.

Dalam kurun waktu 11 tahun, setiap hari Tanu dan Ningrum berusaha membantu pekerjaan masyarakat desa. Dengan kekuatan yang masih tersisa yang terus berangsur seakan pulih kembali.

Dalam benak Ningrum dan Tanu, terpikir sebuah kesimpulan yang sama. Tenaga dalam yang digunakan untuk bekerja, ternyata dirasa lebih berguna jika dibandingkan hanya untuk bertarung saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fazaa291507
baik sih cerita nya bagus dan menarik bagiku
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Legenda Bumi Langit   Raja Bintang

    "Hei, coba lihat! Bukankah dia utusan dari bumi?""Mungkin saja begitu.""Tapi, aku rasa ada yang tak biasa dengan bumi kali ini. Mengapa saat ini bumi mengutus seorang yang terlihat lemah seperti itu.""Ya, benar juga. Jika demikian maka karisma bumi seakan menjadi pudar.""Hahaha."Dari jarak yang lumayan jauh, terdengar percakapan beberapa orang yang sedang menggunjing. Sepertinya Sadarga belum peka terhadap percakapan tersebut. Karena sebenarnya yang sedang menjadi bahan pembicaraan adalah dirinya, sebagai utusan dari bumi."Apa yang harus aku lakukan? Mengapa tiba-tiba tempat ini menjadi ramai?" gumam Sadarga dalam batinnya. Pandangan lelaki itu terus menyisir setiap penjuru yang mampu dijangkaunya.Suasana di dataran lapang ini begitu riuh, kesunyian seakan lenyap dibuatnya. Bagaikan pesisir pantai yang jernih dan tiba-tiba dipenuhi buih yang teramat banyak. Hiruk pikuk para utusan dari berbagai penjuru alam semesta datang

  • Legenda Bumi Langit   Pertemuan Para Utusan

    Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya selesai juga. Sampailah di sebuah permukaan datar penuh debu dan pasir.Jika menengadahkan kepala ke langit, Sadarga bisa melihat puluhan bola berukuran besar. Terkadang Sadarga menyaksikan Kilauan cahaya di bola itu, tapi sisi lainnya berwarna gelap."Paman, jika boleh tahu siapa namamu?" tanya Sadarga sembari mengarahkan pandangan ke atas langit. Lelaki ini memang terbiasa menggunakan sebutan Paman, kepada siapapun yang dianggapnya lebih tua."Hmp, maafkan aku... karena hampir saja lupa memberitahunya. Perkenalkan namaku Brama Rangga Dewata. Tapi terserahmu saja, kau bisa panggil sesukamu," sahut Brama dengan senyuman ramahnya. Simpulan bibir pria itu seperti menyiratkan sifat aslinya."Wah, namamu bagus sekali dan sangat panjang Paman. Mungkin aku akan memanggilmu menggunakan nama depannya saja.""Baiklah nak, terima kasih atas pujiannya. Perlu kamu ketahui kita ini hampir sampai. Jangan s

  • Legenda Bumi Langit   Kehampaan

    Sesuatu yang dilihat oleh Sadarga, sungguh membuatnya ingin muntah.Bagaimana tidak?Sebab saat ini terlihat dua orang lelaki dan tiga wanita yang sudah tak berpakaian. Lima orang itu masih memiliki wajah utuh, tapi dari leher hingga bagian kaki sudah tak nampak lazim.Bukan tanpa alasan keadaan lima orang itu menjadi sedemikian rupa. Hal tersebut ternyata diakibatkan ulah dari orang-orang yang mengerumuninya.Ya, lima orang bernasib buruk itu telah menjadi korban keganasan penyembah Pisaca.Karena tak tahan melihat tingkah orang-orang di sekelilingnya, dengan lantang Sadarga berteriak sekeras mungkin."Aaaaaaa!"Tak lama setelah teriakan menggema di ruang istana, pandangan pun berubah menjadi gelap. Sadarga hanya bisa melihat bintik cahaya bermacam warna, bagaikan pemandangan langit malam saat dilihat di atas gunung.Begitu terkejut Sadarga, setelah ia menyadari bahwa dirinya sudah berpindah tempat cepat sekali. Bu

  • Legenda Bumi Langit   Di Istana Labodia

    "Tunggu! Ibu mau kemana?" teriak Sadarga setelah melihat Ningrum tiba-tiba pergi dengan cepat.Walaupun Sadarga berteriak sekerasnya dan tengah melakukan berulang kali.Sayang sekali!Ningrum terlihat acuh tak memberikan tanggapan.Begitu tergesa-gesa kepergian Ningrum. Entah apa yang membuatnya melakukan itu? Yang jelas saat ini Sadarga hanya seorang diri saja melayang menunggangi batu di lingkungan istana kerajaan.Ingin rasanya mengikuti sang ibu yang telah pergi meninggalkannya, tapi apa daya Sadarga? Batu yang ia tunggangi tak bisa bergerak sesuai keinginannya. Bahkan batu tersebut malah turun dari atas ketinggian, seakan meminta Sadarga tak menginjakan lagi kaki di atas permukaannya."Aaaaa!"Benar saja.Begitu terkejut Sadarga. Pria itu dibuat kaget oleh batu yang ditumpanginya. Tiba-tiba bongkahan batu itu melakukan putaran cepat, seakan memaksa Sadarga turun.Dari kejadian itu, menyebabkan Sada

  • Legenda Bumi Langit   Lepasnya Sukma

    Sampai saat ini, Utar terus melanjutkan perjalanannya hingga mencapai perut goa. Di kedalaman tersebut suara hujan deras sudah tak terdengar lagi.Bebatuan tajam yang bisa dirasakan alas kaki pun, sudah tak ditemui lagi. Entah apa yang bisa dilihat jika sepercik cahaya menerangi kegelapan saat ini."Hei, apa kalian baik-baik saja?"Suara Utar yang terpantul dinding goa, terdengar menggema. Entah berapa orang yang masih bersamanya, hanya suara langkah dan hembusan nafas saja yang didengarnya. Tak ada seorangpun yang berbicara saat ini.Mungkin rasa lelah karena perjalanan, menjadikan diam terasa lebih baik dari pada berbicara atau sekedar menggerakkan anggota tubuh."Baiklah, aku rasa di sini tempatnya cukup aman. Jadi, jika kalian ingin beristirahat silahkan saja,"Lelah. Lelah sekali. Sadarga yang merasakan suasana di dalam goa itu seakan tak berdaya lagi. Begitupun semua orang yang bersamanya.Hanya Utar dan Raka yang masih te

  • Legenda Bumi Langit   Tempat Tersembunyi

    Setelah sampai di mulut goa, Sadarga merasakan keresahan dalam hatinya. Entah apa yang akan menimpanya kali ini. Namun itulah ungkapan dalam benaknya. Padahal sebelumnya Sadargalah orang paling ceria dan selalu menumbuhkan semangat bertahan hidup.Ya, semangat untuk tetap hidup.Karena sepanjang jalan menuju goa, angin kencang terus berhembus menumbangkan pepohonan hujan deras di iringi petir terus mengguyur membasahi tanah.Dari kejauhan terlihat laju tanah berjalan, terbawa arus air yang begitu kuat. Padahal itu hanyalah sebuah lumpur yang terbawa air dari hulu menuju hilir.Ada beberapa orang dari para pemuda desa Lanangjagat yang gugur melepaskan nyawanya akibat tak tahan lagi menahan gejolak amukan alam tersebut. Sungguh mengenaskan nasib mereka diterpa murka alam raya, yang datang secara tiba-tiba."Paman, sebaiknya kita mencari lagi tempat lain untuk berlindung," usul Sadarga pada Utar."Hei, bicara apa kau ini. Bukankah kamu yang men

  • Legenda Bumi Langit   Kembali gelisah

    Tak terasa tiga hari berlalu begitu saja. Semenjak peristiwa pertempuran Sadarga dan manusia berbulu, kini tak ditemukan lagi kekacauan yang mengganggu kehidupan di istana dan di berbagai wilayah lainnya.Suasana amanpun seakan dirasakan semua orang, termasuk para penduduk desa Lanangjagat yang kini berada di tempat pengungsian sementara.Di pagi hari yang sangat cerah, Sadarga terlihat berjalan dan membawa kayu bakar. Entah dari mana ia? Sebab Sadarga tak ditemani siapapun."Tuan, dari mana kayu bakar ini?" ucap Reni menyambut kedatangan Sadarga. Wanita ini merupakan seseorang yang menaruh simpati pada Sadarga.Ya, beberapa hari terakhir prasangka orang disekeliling Sadarga seakan terbagi. Ada yang menaruh simpati, ada juga yang berburuk sangka."Aku baru saja turun gunung, semalam aku tak bisa tidur. Jadi ku putuskan saja untuk mencari angin segar di malam hari."Sadarga terlihat berjalan terus tanpa melihat wajah Reni, pandangannya

  • Legenda Bumi Langit   Kembali

    "Ti-tidak. Aku hanya terkesima saja, melihat seranganmu yang begitu cepat. Sampai mengalahkan mahluk itu dengan mudah," kata Utar. Nampaknya ia tak bisa menyembunyikan isi hatinya. Sehingga segala perkataan batinnya diwujudkan dengan kata-kata yang keluar dari mulut.Bukan hanya itu, selain Utar masih banyak juga yang tak sanggup menahan isi hatinya. Begitu juga dengan Raka, si pria paling tangguh dari desa Lanangjagat.Kali ini Sadarga mendapatkan berbagai pujian yang mengangkat derajatnya. Berbeda dengan sebelumnya, disaat orang di sekeliling masih bertanya-tanya dan ragu dengan tingkah yang dilakukan Sadarga.Ya, terkadang Sadarga bertingkah diluar prasangka orang lain. Seperti perkataannya yang nyeleneh, tapi akhirnya orang lain dapat memahami maksud dari perkataan itu.Kemudian selama kebersamaannya dengan puluhan penduduk dari desa Lanangjagat, Sadarga sering kali memerintahkan hal yang tak masuk akal. Namun selang beberapa saat dari per

  • Legenda Bumi Langit   Pertempuran Sekejap

    Setelah Sadarga menggenggam pedang milik Utar, ia bingung harus melakukan apa? Sebab seumur hidupnya Sadarga belum pernah menggunakan benda tajam itu.Semua orang yang melihat Sadarga tentu saja keheranan. Dalam benak mereka bertanya, apakah Sadarga tidak bisa menggunakan pedang? Lalu untuk apa ia meminjamnya?Ya, benar sekali. Sadarga memang belum mempelajari jurus dan seni menggunakan pedang. Namun sesekali ia menemukan keterangan dalam kitab Azura. Pada kitab itu terdapat satu bab husus yang membahas tentang berbagai jurus pedang. Tapi apa gunanya? Karena Sadarga hanya membaca ilmu pedang itu, tanpa mencobanya.Menyadari jika dirinya sedang diperhatikan banyak orang, Sadarga langsung memejamkan mata. Pria itu mencoba mengingat semua tulisan pada kitab Azura, yang membahas tentang ilmu dan seni menggunakan pedang."Jurus pedang angin!" bisik Sadarga sembari memasang kuda-kuda menyerang.Sontak saja, Utar terkejut. Sebab ia melihat Sadarga layakny

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status