Share

Desa Purbawati

Matahari sudah hilang dari pandangan dan langit terang sudah berganti menjadi gelap. Suara binatang malam terus bersahutan silih berganti meramaikan suasana sepi, dengan iringan bunyi yang dikeluarkan mulut para bangsa hewani itu.

Hanya sinar rembulan saja di malam itu yang menjadi sumber cahaya dan membantu penerangan pada setiap pasang mata penduduk bumi.

Begitu pun Tanu dan Ningrum. Dengan beralaskan tanah yang beratapkan injuk aren, sepertinya saat ini hanya mereka berdua saja yang berada di tengah hutan dan diam di gubuk tua tempat Tanu, menyepi. 

Menjelang purnama datang, Tanu memang selalu melakukan rutinitasnya. Tetua itu sangat gemar menahan haus dan lapar. Selain itu ia memang sudah tak menyukai keramaian.

Namun khusus di hari ini, ia memutuskan untuk sekedar minum saja. Semua itu dilakukannya untuk memberi rasa hormat pada Ningrum, yang menjadi tamunya saat ini.

"Sepertinya kau tak akan bisa lagi datang ke istana!" ungkap Tanu pada Ningrum memecah kesunyian.

"Hmp! mengapa demikian, Paman?" sahut Ningrum melirik Tanu.

"Sebab jika kamu ke istana, nyawamu dan Sadarga bisa terancam!" tutur Tanu yang berada di luar gubuk tuanya.

"Ya, sebenarnya aku juga memikirkan hal itu!" sahut Ningrum. Saat ini ia sedang memberikan air susunya dan membelakangi Tanu. Sejak lahir Sadarga memang sedikit rewel, tangisan anak itu seakan mengguncang gendang telinga siapa saja di dekatnya.

Setelah merasa kenyang dengan air susu ibu, nampaknya Sadarga kecil sudah tertidur pulas. Ningrum menyelimuti bayinya dengan beberapa kain yang tersedia di gubuk itu.

Memang tak ada perlengkapan lebih, jika bukan hanya sekedar perabotan sederhana. Tanu seakan meninggalkan kekayaannya dalam waktu beberapa lama. Padahal tetua itu memiliki tempat tinggal yang sangat nyaman dan luas.

Bahkan Tanu memiliki sebuah kawasan pribadi yang berupa pulau kecil di tengah lautan lepas. Bukan tanpa alasan pulau itu tak memiliki penghuni selain dirinya. Namun hanya orang tertentu saja yang bisa memasuki pulau itu.

Letak pulau tersebut berada di wilayah perbatasan Kerajaan Labodia dan Kerajaan Sahasika. 2 buah kerajaan besar yang terus berseteru berebut wilayah kekuasaan, dan hal itu seakan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi siapa saja yang hendak datang ke daerah perbatasan.

"Ningrum, sungguh malang nasibmu, Nak!" ucap Tanu, kemudian Ningrum datang menghampiri tetua itu dan duduk di sampingnya.

"Yah Paman, aku mengerti maksudmu. Tapi, semua ini bukanlah keinginanku, lalu bagaimana pendapatmu? Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ningrum dengan suara pelan, mungkin itu merupakan pertanda bahwa dirinya sedang dilanda kegalauan.

"Menurutku, saat ini seluruh pasukan kerajaan pasti sedang mencarimu dan Sadarga. Jadi lebih baik kita pergi saja ke tempatku, tapi ...." ucapan Tanu tiba-tiba terhenti, ia malah mengarahkan pandangan ke tempat bulan berada, sesekali ia mengedarkan pandangan seakan menyiris setiap bintang yang dilihatnya.

Cukup lama Ningrum menunggu kelanjutan ucapan Tanu, merasa sedikit heran ia segera memalingkan muka ke arah tetua itu. "Paman. Apa kau memikirkan sesuatu?" tanya wanita itu.

"Ya, saat ini tenaga dalamku seakan lenyap. Tapi itu hanya untuk sementara waktu. Ini merupakan efek buruk setelah menggunakan jurus pembuka dimensi hampa itu. Perlu waktu 12 tahun untuk memulihkan energi dalam tubuh. Setelah itu, tenaga dalamku bisa digunakan lagi sepenuhnya. Dan ... itu semua akan terjadi jika umurku masih panjang, haha!"

"Hemmp, iya yah. Begitu juga denganku! Lalu bagaimana caranya agar bisa sampai ke tempatmu?"

"Mungkin yang bisa kita lakukan saat ini, hanya mengulur waktu!"

"Sambil membawa Sadarga?"

"Ya, tentu saja. Semua itu harus kita lakukan. Sebab jika tertangkap pasukan kerajaan, maka tamatlah riwayat kita!"

Tanpa usul atau sekedar bertanya, Ningrum hanya diam mendengarkan perkataan Tanu, wanita itu menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda menyetujuinya.

"Baiklah jika hanya itu cara yang bisa ditempuh, aku akan pejamkan mata sebentar. Sebab kita akan mulai bergerak di malam ini!" pungkas Ningrum. Wanita itu segera masuk ke dalam gubuk tua, ia berniat mengusir lelah setelah seharian terjaga.

***

Tak terasa 11 tahun telah dilewati begitu saja.

Saat ini Sadarga sudah bisa menggunakan panca inderanya dengan baik. Hanya saja satu kaki anak itu tidak tumbuh dengan normal. Satu diantara kakinya memiliki ukuran lebih pendek dan itu membuat Sadarga berjalan tak seimbang.

Sejak bayi sampai saat ini, Ningrum dan Tanu terus mengobati anak itu dengan berbagai ramuan khusus. Terkadang mereka meminta bantuan para tabib untuk melakukan pembedahan di beberapa bagian tubuhnya. Semua itu dilakukan hanya untuk kesembuhan Sadarga.

Hidup ditengah masyarakat dengan berbagai cara, seolah-olah menyembunyikan identitasnya dari pihak kerajaan yang sampai saat ini masih mencarinya.

Desa Purbawati, merupakan tempat yang dipilih oleh Tanu dan Ningrum untuk menetap dan membesarkan Sadarga.

Meskipun masyarakat di desa ini awalnya kurang menerima kehadiran 3 orang itu. Namun niat baik Tanu dan Ningrum seakan tengah mengelabui semua orang supaya menerimanya. Dengan maksud lain meminta perlindungan dari kejaran pihak istana.

Saat ini, Ningrum seperti memiliki keluarga baru. Bagaimana tidak? Semua orang di desa itu begitu menghormatinya.

Dalam kurun waktu 11 tahun, setiap hari Tanu dan Ningrum berusaha membantu pekerjaan masyarakat desa. Dengan kekuatan yang masih tersisa yang terus berangsur seakan pulih kembali.

Dalam benak Ningrum dan Tanu, terpikir sebuah kesimpulan yang sama. Tenaga dalam yang digunakan untuk bekerja, ternyata dirasa lebih berguna jika dibandingkan hanya untuk bertarung saja.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fazaa291507
baik sih cerita nya bagus dan menarik bagiku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status