Home / Pendekar / Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua / Bab 4: Malam Berdarah di Desa Tepi Hutan

Share

Bab 4: Malam Berdarah di Desa Tepi Hutan

Author: FAISAL FANANI
last update Last Updated: 2024-09-03 01:05:00

Malam itu, suasana di desa tempat Gema, Jaka, dan Roro berada tampak tenang. Hanya suara desiran angin dan suara dedaunan yang bergesekan di bawah sinar bulan yang menemani malam. Gema tertidur lelap, dengan hati yang masih terluka namun sedikit tenang dalam kehangatan rumah Roro.

Namun, di balik ketenangan malam itu, bahaya besar mengintai. Pasukan dari Benua Barat, dengan jumlah yang mencapai 10.000 orang, bergerak dengan cepat dan tanpa suara menuju desa. Mereka datang dengan satu tujuan: menghancurkan desa dan membunuh siapa pun yang ada di sana.

Di tengah desa, Jaka Tandingan dan Roro duduk di dekat perapian, masih terjaga. Mereka berbicara dengan suara pelan, membahas rencana untuk esok hari. Tapi suasana malam yang tenang tiba-tiba berubah ketika Jaka merasakan sesuatu yang tidak beres.

“Roro, kau dengar itu?” bisik Jaka, matanya menyipit, mencoba mendengarkan dengan lebih jelas.

Roro, yang juga merasakan hal yang sama, segera berdiri. “Ada sesuatu yang datang... tapi... suara ini... terlalu banyak...”

Kata-katanya terputus ketika mereka mulai mendengar suara langkah kaki yang berat, ribuan langkah yang mendekat dari segala arah. Tanah bergetar di bawah tekanan pasukan besar yang bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang tak tertahankan.

“Mereka datang! Cepat, bangunkan Gema!” Jaka memerintahkan dengan suara penuh urgensi.

Roro segera berlari ke kamar di mana Gema tidur, mengguncang tubuh bocah itu dengan cepat. “Gema, bangun! Kita harus pergi sekarang!”

Gema membuka matanya dengan bingung, masih setengah tertidur. “Apa yang terjadi, Roro? Apa yang salah?”

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Gema. Kita harus keluar dari sini sekarang!” Roro menarik tangan Gema, membawanya keluar dari tempat tidur.

Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu, suara jeritan pertama terdengar dari luar. Jeritan yang memecah keheningan malam dan diikuti oleh suara benturan senjata serta jeritan orang-orang yang ketakutan.

Jaka, yang berada di depan pintu, memegang pedangnya dengan erat. “Roro, bawa Gema ke tempat aman! Aku akan mencoba menahan mereka!”

Roro mengangguk cepat, lalu menggandeng Gema, berlari keluar melalui pintu belakang. Namun, di luar, pemandangan yang menyambut mereka jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.

Pasukan Barat, bersenjata lengkap dengan pedang, tombak, dan panah, menyerbu desa dari semua sisi. Api mulai menyebar, membakar rumah-rumah kayu yang lemah, sementara pasukan itu membantai siapa pun yang mereka temui tanpa belas kasihan.

Darah mengalir di jalanan seperti sungai merah yang mengerikan, dan teriakan orang-orang yang terluka dan sekarat memenuhi udara malam yang dingin.

“Roro, ke mana kita harus pergi?” tanya Gema dengan suara gemetar, matanya membesar melihat pemandangan yang mengerikan di sekelilingnya.

“Kita harus menemukan jalan keluar dari desa ini,” Roro menjawab tegas, meski hatinya juga penuh ketakutan. “Ikuti aku, Gema. Jangan lepaskan tanganku!”

Mereka berlari di antara rumah-rumah yang terbakar, menghindari panah yang beterbangan di atas kepala mereka. Di setiap sudut, mayat-mayat berserakan, dan darah menodai tanah di mana-mana. Suara dentingan pedang dan jeritan terus menghantui setiap langkah mereka.

Gema hampir tidak bisa bernapas, kepalanya pusing oleh semua yang dia lihat dan dengar. “Kenapa ini terjadi, Roro? Kenapa mereka membunuh semua orang?”

“Ini adalah perang, Gema. Perang yang tidak mengenal belas kasihan,” jawab Roro, meski dia juga tidak bisa menahan rasa ngeri yang merayap di hatinya. “Kita harus terus bergerak jika ingin selamat.”

Namun, langkah mereka tiba-tiba terhenti ketika sekelompok prajurit dari Barat muncul di depan mereka, menghalangi jalan keluar. Mata mereka merah penuh kebencian, dan senyum kejam terlukis di wajah mereka saat mereka mendekat dengan senjata terhunus.

“Tidak ada yang bisa lari dari sini hidup-hidup!” seru salah satu prajurit, mengacungkan pedangnya ke arah Roro dan Gema.

Roro berdiri di depan Gema, melindunginya dengan tubuhnya sendiri. “Kau harus lari, Gema. Aku akan menahan mereka!”

“Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu, Roro!” Gema memprotes, suaranya pecah oleh rasa takut dan kebingungan.

Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, salah satu prajurit melompat ke arah mereka dengan pedang terhunus, siap untuk menyerang. Tapi sebelum pedang itu bisa mengenai Roro, Jaka Tandingan muncul dari kegelapan, menghentikan serangan dengan pedangnya sendiri.

“Lari sekarang!” teriak Jaka, sambil mendorong prajurit itu mundur dengan kekuatan yang luar biasa.

Roro menarik Gema, memaksanya untuk berlari secepat mungkin. Mereka berdua berlari melewati reruntuhan desa, meninggalkan Jaka yang bertarung mati-matian untuk melindungi mereka.

Namun, meski mereka berusaha sekuat tenaga, pasukan musuh semakin banyak berdatangan, dan Gema merasakan dirinya semakin terjebak dalam lingkaran kematian yang tak berujung ini. Di setiap sisi, ada orang-orang yang jatuh, darah yang mengalir, dan nyawa yang melayang tanpa arti.

“Aku tidak bisa...” Gema mulai merasa putus asa, kakinya hampir tidak bisa bergerak lagi.

“Jangan berhenti, Gema! Kau harus bertahan!” Roro terus menariknya, meski dia sendiri hampir kehabisan tenaga.

Namun, di tengah kekacauan itu, sebuah jalan keluar tampak di depan mereka—sebuah celah kecil di antara dua rumah yang hancur, yang mungkin bisa membawa mereka keluar dari neraka ini.

“Di sana, Gema! Cepat!” Roro memimpin, berharap bahwa mereka bisa keluar hidup-hidup dari desa yang kini telah berubah menjadi kuburan massal ini.

Tapi ketika mereka hampir mencapai celah itu, suara keras terdengar dari belakang. Gema menoleh, dan apa yang dia lihat membuat darahnya membeku.

Jaka Tandingan, yang telah bertarung mati-matian, dikepung oleh puluhan prajurit. Meski dia berhasil menahan serangan mereka, jumlah musuh terlalu banyak. Mereka menyerang Jaka dari segala arah, dan meskipun Jaka berjuang dengan sekuat tenaga, dia mulai kewalahan.

“Jaka!” Gema berteriak, berusaha berlari kembali, namun Roro menahannya.

“Kita tidak bisa kembali, Gema! Kita harus pergi sekarang!” Roro bersikeras, matanya penuh dengan air mata yang dia tahan.

Namun, Gema tidak bisa membiarkan Jaka berjuang sendirian. “Aku tidak bisa meninggalkannya, Roro! Dia telah menyelamatkan kita!”

Sebelum Roro bisa berkata lebih jauh, suara teriakan Jaka terdengar. Dia dipukul jatuh ke tanah, dan prajurit-prajurit itu mengerumuninya seperti sekawanan serigala yang haus darah.

Roro menarik Gema dengan lebih kuat. “Kau tidak bisa melakukan apa-apa, Gema! Kita harus pergi sekarang!”

Dengan air mata yang mengalir deras di pipinya, Gema akhirnya membiarkan Roro menariknya keluar dari desa. Mereka melewati celah itu dan berlari ke dalam hutan, meninggalkan desa yang telah hancur dan teriakan-teriakan yang menghantui mereka.

Malam itu, di bawah langit yang penuh awan gelap dan tanah yang berlumuran darah, Gema Pratama kehilangan lagi orang-orang yang berharga baginya. Jaka Tandingan yang berusaha melindunginya, dan desa yang pernah memberinya harapan, semuanya lenyap dalam sekejap.

Namun, meskipun dunia di sekitarnya terus-menerus dihancurkan, Gema tahu bahwa dia tidak bisa berhenti. Air matanya mungkin tak akan pernah berhenti mengalir, tapi dia harus terus melangkah. Perjalanan ini belum berakhir, dan meski jalannya penuh darah dan kematian, dia harus terus berjalan.

Dan di sisinya, Roro tetap berlari, memimpin Gema melalui kegelapan hutan, mencari tempat di mana mereka bisa berlindung dari dunia yang telah berubah menjadi neraka.

Mereka berdua tahu bahwa ini baru permulaan, dan malam berdarah ini akan terus menghantui mereka, tetapi di dalam hati mereka, ada tekad yang tak tergoyahkan untuk bertahan hidup dan melanjutkan perjalanan yang berat ini.

Malam itu, Gema Pratama mulai menyadari bahwa perang ini bukan hanya tentang dua benua yang saling bertarung, tetapi tentang dirinya yang harus bertahan hidup di tengah dunia yang terus mencoba menghancurkannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 150: Hutan Mistik Es

    Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 149: Menuju Pegunungan Utara

    Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 148: Melintasi Badai Salju 

    Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 147: Persiapan dan Perpisahan Terakhir

    Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 146: Raden Jayabaya dan Artefak Kuno

    Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak

  • Legenda Dewa Nusantara: Perang Dua Benua   Bab 145: Sambutan Hangat Kembali ke Desa

    Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status