Saat matahari mulai bersinar, Tanaka tiba di dekat lapangan luas di hadapan gerbang pertama istana. Dia melihat para penduduk tengah berkumpul mengelilingi tiang gantungan. Matanya terbelalak saat melihat paman-pamannya itu sudah meregang nyawa di tiang gantungan.“Paman!” isak Tanaka tak percaya melihat paman-pamannya sudah meregang nyawa.Tanaka tampak lemah melihat mayat-mayat paman-pamannya itu. Dia terduduk lemah di bawah pohon itu.“Inilah akbibatnya bagi para pemberontak di negeri ini!” teriak Pejabat Istana di hadapan tiang gantungan itu. “Mereka telah melakukan aksi perampokan sudah lama! Siapapun yang berani seperti mereka! Mereka akan berakhir di tiang gantungan ini!”Para penduduk tampak riuh mendengarnya. Tanaka tampak geram. Air matanya mengalir. Dia mengepalkan kedua tangannya dengan dendam dan amarah. Saat Tanaka hendak berlari ke tengah kerumunan itu, tiba-tiba anak panah kecil mengenai lehernya. Tanaka mendadak rubuh ke atas tanah. Dia pingsan terkena racun dari anak
Pejabat istana datang menghadap Raja Tala. Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Para pengawal sedang berjaga di luar sana.“Ampun, Yang Mulia. Para perampok itu sudah berhasil kami bunuh. Dua mati di tengah hutan dan ketiganya telah berhasil dihukum gantung di hadapan rakyat sebagai pengingat bagi mereka jika ingin memberontak,” ucap Pejabat Istana itu penuh hormat.Raja Tala tertawa senang mendengarnya.“Bagus!” puji Raja Tala. “Saya berharap tidak akan ada lagi para perampok yang meresahkan di negeri ini.”“Hamba akan menyelesaikan semua tugas yang diberikan Yang Mulia dengan baik. Sesuai dengan sumpah yang hamba lakukan saat menjabat di istana ini,” ujar Pejabat Istana itu. “Jika hamba gagal melaksanakan perintah, hamba rela mati demi Yang Mulia.”“Saya akan memberikan hadiah sebagai keberhasilanmu atas tugasku.”“Ampun, Yang Mulia. Hamba tidak pantas menerima hadiah itu. Yang pantas menerimanya adalah Yang Mulia Putra Mahkota,” ujar Pejabat Istana itu.Raja Tala terbelalak mend
Jalu mengeluarkan sebuah kalung dalam kotak hitam lalu menyerahkannya pada Tanaka. Kalung dari emas bermata pedang yang terbuat dari batu permata merah. Tanaka heran.“Kenapa kau berikan kalung ini padaku?” tanya Tanaka.“Pakailah. Ini peninggalan dari leluhur kita,” ucap Jalu.Mendengar itu Tanaka langsung memakainya. Kalung itu adalah kalung yang dipakaikan Para Tetua di istana saat dia baru dilahirkan dulu. Kalung pertanda penerus tahta di kerajaan Warih. Saat Raja Tala memerintahkan untuk mengasingkan Tanaka kepada Jalu, Sang Raja lupa mengeluarkan kalung itu dari lehernya. Jalu pun diam-diam melepas kalung itu. Dia yakin suatu saat kalung itu akan berguna untuknya. Bagaimana pun perbuatan Sang Raja tidak dapat diterimanya. Namun pada saat itu dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti titahnya. Jika tidak, itu sama saja dia bunuh diri.“Kalung dari leluhur Nusantara?” tanya Tanaka penasaran.Jalu pun mengangguk. Dia terpaksa berbohong. Belum saatnya Tanaka untuk tahu semuanya
“Siapa kamu?! Apakah kamu mata-mata dari Putra Mahkota?” tanya Bimala.Tanaka pun langsung menggunakan jurus meringankan tubuhnya. Dengan cepat dia terbang ke atas pohon lalu melompati atas pohon satu ke atas pohon lainnya meninggalkan Bimala di sana.“Hey!” teriak Bimala.Kakek dan Neneknya berlari menghampirinya.“Ada apa, Bimala?” tanya Kakeknya heran.“Tadi aku melihat ada pemuda di sini. Sepertinya dia mengintip kita. Harusnya kita jangan dulu menutup kekuatan benda pusaka ini, Kek,” jawab Bimala.Kakek itu saling menatap dengan Nenek. Mereka tampak bingung.“Sekarang kita harus bagaimana? Apakah kita pindah saja dari sini dan mencari tempat lain untuk bersembunyi?” tanya Bimala.“Sekarang kau gunakan lagi saja kekuatan benda pusaka itu. Kita lihat saja, jika hari ini atau esok dia datang kembali, berarti lelaki itu memang utusan dari Putra Mahkota. Kalau dia tidak datang ke sini selama tujuh hari, berarti dia bukan siapa-siapa. Mungkin saja dia memang kebetulan berburu di dekat
Lelaki berjubah hitam berwajah gelap itu mendaratkan Tanaka di sebuah pulau. Tanaka terkejut melihat pulau itu dipenuhi bebatuan runcing menjulang ke langit itu. Dia berdiri di atas pasir putih itu. Dia menoleh pada Lelaki berjubah hitam itu dengan heran.“Di mana ini?” tanya Tanaka.Lelaki Berjubah Hitam berwajah gelap itu tertawa.“Kau berada di istana Yang Mulia Baluku,” jawab lelaki seram itu.“Baluku?” tanya Tanaka heran.Lelaki berjubah hitam itu tertawa.“Kau tidak tahu Baluku?”“Aku tidak tahu siapa Baluku. Apakah dia Tuan Gurumu yang akan mengajarkan ilmunya padaku?” tanya Tanaka dengan penasarannya.Lelaki berjubah hitam itu kembali tertawa. Dia tidak menjawab pertanyaan Tanka. Dia malah mengarahkan tangannya ke arah bebatuan runcing. Tiba-tiba sebuah batu bergeser hingga terlihat jelas sebuah rongga yang tampak gelap di dalamnya.“Masuklah, Tuan Guruku menunggumu di dalam sana,” pinta Lelaki berjubah hitam itu.Tanaka masih terheran-heran. Hawa dingin di tempat itu membuat
Hari sudah malam. Baluku berdiri di hadapan Tanaka di pinggir laut berbatu karang itu. Dia sudah siap mengikuti gerakan ilmu bela diri yang akan diajarkan gurunya itu.“Sekarang kau ikuti aku!” pinta Baluku. “Semua gerakan dasar yang aku kuasai berbeda dengan gerakan dasar yang kau pelajari sebelumnya.”Tanaka mengangguk.“Baik, Tuan Guru.”Tak lama kemudian Baluku tertawa. Tiba-tiba tubuhnya menjadi dua. Baluku yang asli hanya berdiri memperhatikan. Sementara tubuh bayangannya mulai melakukan gerakan dasar ilmu bela diri yang dikuasainya. Tanaka terkejut sembari mengikuti semua gerakan dasar yang dilakukan oleh tubuh bayangan Baluku.“Hebat sekali,” puji Tanaka. Baru ini dia melihat ada manusia menjadi dua.“Jaga konsentrasimu!” teriak Baluku.“Baik, Tuan Guru!” jawab Tanaka dengan gugup dan gemetar.Setelah Tanaka berhasil mengikuti semua gerakan dari bayangan tubuh Baluku. Penguasa Kegelapan itu meminta Tanaka melakukannya sendiri. Tanaka pun mencoba mengingat apa yang tadi diajark
Putra Mahkota berdiri di hadapan benda pusaka yang terbungkus kain putih itu. Benda pusaka itu diletakkan di atas meja batu. Prajurit Penjaga dan Pengawal lainnya tampak berdiri melingkari benda pusaka itu. Malam kian larut. Hembusan angin terasa menggigil di tubuh Putra Mahkota itu.“Wahai engkau Leluhur Penjagaku, tampakkanlah dirimu di hadapanku!” ucap Putra Mahkota itu.Tak lama kemudian, asap hitam keluar dari tubuh Putra Mahkota. Asap hitam itu membentuk lelaki berjubah hitam dengan wajah yang menyeramkan.“Hamba datang Yang Mulia,” ucap Leluhur Penjaga itu.Putra Mahkota menatap Leluhur Penjaga itu dengan lekat.“Bagaimana caranya agar benda pusaka ini menjadi milikku?” tanya Putra Mahkota penasaran.“Yang Mulia tinggal membuka kain pembungkusnya lalu pegang benda pusaka itu,” jawab Leluhur Penjaga itu.Putra Mahkota pun dengan tangan agak gemetar membuka kain penutup benda pusaka itu. Saat berhasil dibukanya, dia melihat sebuah pedang yang bercahaya. Perlahan dia meraih pedang
Tabib istana tengah membuat ramuan untuk Ratu Anin. Dia meracik rumuan yang seharusnya untuk kesehatan janin yang sedang dikandung Sang Ratu. Tak lama kemudian seorang pelayan mengintip cari celah-celah dinding bambu. Dia terbelalak ketika melihat Tabib menumbuk daun yang dikenal mematikan itu. Pelayan itu heran, untuk apa Tabib memasukkan daun mematikan ke dalam ramuannya.Saat Tabib selesai membuatkan ramuannya, dia keluar dari ruangan itu lalu pergi menuju kediaman Ratu Anin sambil membawa ramuan itu. Diam-diam pelayan mengikuti langkahnya. Tabib merasa ada yang mengikutinya. Dia berhenti melangkah. Saat menoleh, dia tidak melihat siapa-siapa. Rupanya pelayan itu bersembunyi di balik rimbun bebungaan.Tabib kembali melangkah menuju kediaman Ratu Anin. Dia harus melaksanakan perintah Raja Tala untuk menggugurkan kandungan Sang Ratu. Raja Tala tidak mau terlahir kembali bayi buruk rupa seperti dahulu. Dia tidak mau aibnya terbongkar karena meminta pertolongan Penguasa Kegelapan.Saat