Aku mengajak Matshusima pergi ke Fukuoka, salah satu kota besar yang ada di Jepang. Bersebelahan dengan prefektur Miyazaki, tempatku bekerja sebagai TKI. Kebetulan sekarang hari minggu, pabrik sedang libur. Ini kesempatan bagiku untuk segera mengirim uang 120.000 Yen itu pada bapak di Indonesia. Di Fukuoka, ada sebuah bank yang menawarkan jasa penukaran mata uang dan melayani pengiriman uang ke luar negeri. Berhubung nominal yang harus kutransfer sangat banyak, jadi aku mengunjungi bank ini. Namanya Travelout Japan. Jarak Kiyotake menuju Fukuoka yang lumayan jauh, jadi kami menaiki bis tujuan Stasiun Besar Shin-Yatsushiro yang menghubungkan prefektur Miyazaki dan Fukuoka. Lalu menaiki Kyusu Shinkansen Sakura 550 Sakura Shin-Osaka. Total lama perjalanan darat menggunakan transportasi umum mencapai 4,5 jam. Sebenarnya Matshusima enggan kuajak ke Fukuoka, mengingat semalam dia baru saja berolahraga malam dengan gadis belianya hingga menjelang pagi. Matshusima sinting! Aku tetap
Aku turun dari bis lalu menuju lobby hotel dengan mengeratkan jaket tebal yang membalut tubuh gagahku. Suhu sedang sangat dingin malam ini karena berada di angka 8 derajat. Itu artinya musim gugur akan segera berakhir dan berpindah ke musim dingin. Sama seperti perjalanan hidupku, yang sebentar lagi akan memasuki babak baru dengan profesi sampingan baru pula. Hotel yang dipesan Minaki adalah hotel berbintang empat dengan lapis kenyamanan dan keamanan yang terjaga. "Silahkan, tuan. Mari ikuti saya." Aku mengikuti petugas hotel. Setelah aku masuk lift sendirian, penjaga menekan angka lantai tujuanku dan mengangguk sopan. "Selamat menikmati malam terbaik anda di hotel kami." Aku sedikit ambigu dengan ucapannya. "Malam terbaik?" Aku mengangkat kedua alis lalu menggeleng. "Dia pikir aku mau begituan?" Setelah pintu lift terbuka, aku melangkah menuju kamar 2502 yang berada di dekat lift. Mengetuk pintunya perlahan, lalu menampilkan Minaki yang lain dari biasanya. Duduk di atas
Banyak yang berucap janji setia namun akhirnya dikhianati, sama sepertiku yang mengkhianati Harumi demi uang Minaki. Lalu mengenai pertanyaan Minaki barusan, aku tidak bisa menjawabnya lagi. Hanya pelukan erat yang bisa kuberikan saat Minaki masih menangis meratapi kesedihannya. Tubuh kurusnya yang berada dalam pelukanku ini cukup memberitahu bahwa sang pemilik raga terlalu larut dalam kesedihan. Hingga tubuhnya kering kurang berisi. Bisa jadi Minaki mengalami stres yang tidak berkesudahan. "Semua orang juga bilang begitu Jayka. Tapi nyatanya itu tidak akan merubah masa depanku jadi lebih baik." Isaknya dalam. "Aku tidak bisa membanggakan siapapun dengan keterbatasan ini. Malah aku membebani keluarga." Imbuhnya. "Itu tidak benar Minaki. Kalau kamu adalah beban mana mungkin orang tuamu datang padaku dengan bersimbah air mata? Membujukku untuk menjadi partnermu." Ia menggeleng lalu tangisnya berubah menjadi isakan. Syukurlah itu artinya Minaki mulai bisa dikendalikan. Buku meng
Aku masih mendekap tubuh ringkih Minaki yang tertidur dengan bersandar di dadaku. Sudah satu jam ia tertidur dengan nyenyak. Wajahnya terlihat begitu damai. Namun aku mulai bergerak tidak nyaman saat kakiku terasa kesemutan. Mau tidak mau aku memindahkan tubuh Minaki perlahan lalu kubaringkan di atas ranjang atau kakiku akan mati rasa. Setelah berhasil memindahkannya dengan baik, aku meregangkan tubuh perlahan tanpa bersuara. Memijat kaki agar kesemutan ini mereda. "Melelahkan sekali mengurusi perempuan baper seperti Minaki. Pakai drama ngantuk segala." Tiba tiba saja jiwa sinisku terhadap Minaki keluar karena tidak sengaja melihat kedua kakinya yang mengecil. "Ck....ganggu pemandangan." Aku beranjak menarik selimut dan menutup kakinya asal. Kuambil ponsel yang bergetar di dalam saku. Begitu melihat nama pengirim pesan itu senyumku mengembang. 'Harumi.' Sambil duduk santai di sofa, aku membalas pesan romantis untuk kekasihku itu. Harumi Cintaku Besok
Setelah keluar dari gerbang pabrik, aku berlari menuju bis yang hampir berjalan. Mengetuk keras pintunya agar dibukakan kembali. Aku menunduk dan mengucapkan terima kasih pada sopir baik hati itu. Pabrik agak ramai karena pesanan meningkat. Walhasil aku pulang setengah jam lebih lama. Tapi itu sama saja dengan menabuh genderang perang dengan Matsushima. Karena aku akan terlambat sampai di club. Jika aku terlambat maka pengunjung akan terlantar tanpa musik RnB andalan Yokoha Club. Matsushima tidak mau itu terjadi karena club itu adalah tanggung jawab besarnya. Juga mata pencaharian satu satunya. Secepat kilat aku mandi dan memakai baju terbaik. Memasukkan make up maskulinku ke dalam tas dan pergi lagi menuju Yokoha Club menggunakan bis. Aku menepuk jidat karena terlambat lima belas menit. Dengan nafas ngos-ngosan aku segera menekan tombol absen. "Sial!! Aku telat." Aku segera menaiki panggung, menghidupkan DJ Player dan mengatur segala sesuatunya. Lalu mengeluarkan flashdisk
Aku tengah menyantap okonomiyaki lezat dengan teman asramaku, Rinto. Asrama ini terdiri dari banyak kamar. Satu kamarnya diisi dua orang TKI, kebetulan aku dan Rinto satu kamar. Rinto cukup mengenal kepribadianku. Dia tahu asal muasal siapa diriku sebenarnya, apa tujuanku merantau hingga ke Jepang, hingga pekerjaan sampinganku sebagai DJ di Yokoha Club. Rinto kerap kumintai pertimbangan mengenai racikan lagu RnB buatanku. Dia juga banyak memberi masukan jika hasil karyaku kurang memuaskan. Maklum, dia handal memetik senar dawai yang ada di kamar. Tak pelak jiwa senimannya tergugah ketika aku memutuskan menjadi DJ. "Pelan-pelan Rin. Nggak ada yang ambil makanan kamu." Rinto tersedak karena terlalu bersemangat melahap okonomiyaki pemberianku. Aku kerap mentraktirnya makan malam sebagai ucapan terima kasih atas saran aransemen yang ia sumbangkan untuk setiap perfomance-ku. "Aku lapar banget Jak." Ucapnya dengan mulut penuh. Aku menggeleng. "Makan tuh dinikmatin Rin, bukan kayak di
Sopir membukakan pintu untuk kami lalu Nyonya Tatsuo duduk di belakang dan aku duduk di bangku depan. Sebelumnya aku melihat balkon kamarku dari bawah. Syukurlah Rinto tidak muncul untuk mengintip. Setidaknya rasa was was ini tidak berlanjut ke hal yang lebih rumit. Meyakinkan Rinto agar tutup mulut bukan hal yang mudah. Sepanjang perjalanan, kami tidak mengobrol apapun. Suasana di dalam mobil sangat canggung dan hening. Lagi-lagi aku teringat dengan 120.000 Yen itu. Aku tidak bisa mengembalikan uang itu sekarang jika Nyonya Tatsuo memintanya sekarang. 'Ya Tuhan, ada apa ini?' Kami sampai di sebuah rumah makan Tonkatsu yang ada di Hongokitakata, dekat Sungai Yamaguchi. Menyajikan menu Ayam Nanban manis dengan saur tar tar yang lezat. Semangkuknya dihargai 400 Yen, atau setara 50 ribu rupiah. "Silahkan dimakan Jayka." Aku yang sudah makan malam pun menatap makanan itu kurang berselera. Tapi demi menghormati Nyonya Tatsuo akhirnya aku memakannya perlahan. Semoga saja perutku masi
"Dari mana aja Jak?" Tanya Rinto setelah aku menggantung jaket di belakang pintu. "Ehm....itu...tadi ada Matsushima." Rinto menaikkan kedua aslinya. "Bukannya yang datang Harumi? Kok jadi Matsushima?" Aiiiissh.... Bagaimana bisa aku melupakan naskah dramaku di awal tadi. Bodoh!!! "Ah... masak aku bilang ada Harumi sih? Enggak kok Rin. Salah denger kali kamu." Kilahku. "Masak sih." Rinto menggaruk tengkuknya. "Perasaan kamu bilang mau keluar sama Harumi kok Jak." Aku buru-buru mengakhiri pembicaraan rawan ini. "Aku tadi sama Matsushima ngobrol panjang lebar. Dia mau buka bisnis baru." Aku sempat mengenalkan Rinto pada Matshusima ketika ia kuajak ke Yokoha Club. "Usaha apaan?" "Ehm.... kuliner." Ide ini tercetus sembarang. Lagi-lagi aku berbohong demi menutupi kebohongan yang telah lalu. "Tidur Rin, udah malam." Putusku agar Rinto tidak makin bertanya-tanya. Aku segera memasukkan diri ke dalam futon hangat dengan memakai kaos kaki tebal khusus tidur. Karena musim dingin