Share

Mengais sisa patah hati

"Boleh. Sarapan dimana?" 

"Di kamarku."

Deg...

Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'?

Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'.

Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? 

Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. 

"Jayka?" Panggilnya lembut.

Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk.

"Kenapa?" 

Aku menggeleng.

"Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya.

"Minaki?" 

"Ya?" 

"Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" 

Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. 

"Kamu sangat mengagumkan Jayka."

Aku mengernyit heran. 

"Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." 

Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan dan belajar bagaimana memuaskan lahir batinnya. 

"Bisakah kamu mendorong kursi rodaku ke dapur?"

Sesampainya di dapur, Minaki memerintahkan seorang pembantu untuk mengantarkan sarapan kami ke kamarnya.

Begitu sampai di kamar Minaki, aku terperangah. Luas kamarnya berkali lipat luas kamar asramaku. Juga, ada poster boyband go internasional asal Korea yang terpigura dengan elegan. Suasananya juga sejuk dan nyaman.

Ranjang dan furniture yang ada nampak elegan dan berkelas. Dan semua barangnya tertata dengan rapi.

Minaki memutar roda kursi rodanya menuju meja rias lalu mengeluarkan sebuah map.

"Jayka, duduk lah di sini." Perintahnya halus.

Aku menurut lalu duduk di tepi ranjang yang terbalut sprei berwarna dusty pink. 

Andai Minaki normal, aku akan mengencaninya saat ini juga. 

"Kita kenalan dulu yuk?" 

Aku mengangguk. 

Minaki mengulurkan tangannya dan kujabat. "Aku Minaki Siraga. Aku terkena polio sejak usia enam tahun. Aku tidak punya banyak teman. Kamu?" 

"Aku...Jayka. Aku... seorang DJ. Aku----"

Minaki tersenyum tanpa melepas tanganku. "Kalau itu aku sudah tahu. Maksudku, latar belakangmu yang lain."

Aku ragu menjawabnya. 

"Wajahmu benar-benar berbeda. Kamu seperti bukan dari Jepang. Kulitmu coklat eksotis. Siapa dan dari mana kamu Jayka?" 

Aku diam tidak tahu apakah harus terbuka pada Minaki atau tidak. Pada Harumi saja aku tidak terbuka tentang jati diriku yang tidak bernasab karena itu adalah aib besar. Pun tidak jujur jika aku juga bekerja sebagai buruh gudang di pabrik makanan instan.

"Maaf." Minaki beringsut mundur lalu menunduk karena aku hanya diam.

Seharusnya aku menjalin keakraban dengan Minaki, bukan membuatnya terpuruk karena penolakan. 

Astaga!!! Aku bodoh sekali.

"Aku Jayka. Maksudku nama asliku Jaka. Aku dari Indonesia. Makanya kulitku coklat."

Minaki sedikit mendongak dengan senyum tipis yang terpaksa. Kedua matanya mengembun tanda hampir saja menangis. "Maaf Jayka." 

Serapuh inikah hati Minaki?

Hanya karena ekspresi wajahku yang kurang mendukung dia sudah terluka?

Apa dia sering mendapat penolakan? Atau perlakuan kurang baik dari lingkungan sekitar?

"Minaki?"

Minaki menggerakkan kursi rodanya ke belakang seperti ingin menjauhiku. Jika Minaki marah dan membatalkan acara ini maka aku kehilangan penghasilan tambahan untuk membeli tanah Bik Sun. 

Aku maju lalu meraih kursi rodanya. 

"Maaf Minaki." Aku berjongkok di depannya. 

Dia menatapku dengan sorot mata hancur lalu mengangguk. 

"Aku masih belajar. Maksudku beri waktu agar aku bisa beradaptasi dengan lingkungan baru ini. Kumohon jangan tersinggung." 

Ia tersenyum tipis lalu mendung di wajahnya perlahan menghilang. 

"Kamu... masih mau menjalani hubungan ini Jayka?" 

Demi Tuhan. Aku memiliki ibu angkat yang baik, lembut, dan selalu kupatuhi. Melihat Minaki seperti ini rasa iba dan simpatiku muncul. 

Ia seperti memendam luka yang dalam seorang diri. Dan itu kentara di raut wajahnya yang putih pucat.

Aku mengangguk. "Iya. Tapi beri aku waktu untuk mengenalmu. Ini semua hal yang baru bagiku. Latar belakangku jauh berbeda dengan pekerjaan ini."

Dia mengangguk lalu mengembalikan map yang tadi sempat diambil ke dalam laci. 

"Apa itu Minaki?" 

Dia menatapku. "Surat perjanjian hubungan kita." Ucapnya lirih.

Sesaat kemudian pelayan datang membawakan sarapan kami. Menatanya di meja makan kamar Minaki lalu undur diri. 

Minaki terlihat tidak baik-baik saja karena terluka dengan segala hal yang berbau 'penolakan'. Karena hatinya rapuh dan sensitif. 

"Ayo kita makan sama-sama Minaki."

Hanya sebuah ajakan kecil dariku sudah membuatnya luluh. Yang benar saja?

Yang jelas, untuk mendapatkan gaji besar dengan menemaninya adalah prioritasku. Aku harus membuatnya nyaman di awal pertemuan ini. 

"Kamu seorang penggemar K-Pop?" Aku menyuap sesumpit nasi dan lauk.

Minaki tersenyum. "Iya. Aku ingin melihat mereka konser secara live suatu saat nanti. Mereka sangat keren." Ucapnya dengan memandang poster boyband itu. 

"Aku juga keren." Godaku untuk mencairkan suasana.

Minaki terkekeh geli sekaligus malu.

Entah bagaimana lincahnya mulutku mengucapkan kata kata membual ini. Seakan aku terlatih menjadi surrogate intimate man.

"Apa kamu ingin melihat konser mereka Jayka?"

"Tentu saja."

"Dengan siapa?"

Aku melihat sorot penuh harapan di matanya. 

Apakah dia berharap akan melihat konser itu suatu saat denganku?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Juniarth
terimakasih
goodnovel comment avatar
🌹isqia🌹
kereennnn.. saye suka saye suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status