Surrogate sexual partner, atau istilahnya pasangan pengganti adalah jasa pelayanan 'teman kencan' yang sedang tren di Jepang.
Disana, ada lembaga yang menyediakan seorang traineer atau pelatih profesional yang bertugas menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasien yang merasa 'lack in relationship'. Sudah bukan rahasia umum jika orang yang mengalami trauma susah mencari pasangan hidup lalu menarik diri.
Juga, lembaga itu menyediakan ruang bagi mereka yang terlahir dengan keterbatasan fisik tapi memiliki organ reproduksi yang normal namun tidak tahu bagaimana menyalurkan gairah itu. Dan sudah menjadi tugas para traineer untuk membantu mereka mendapat kepuasan batin yang tidak mungkin bisa dipenuhi seorang diri.
Herannya, mengapa Tuan dan Nyonya Tatsuo tidak menghubungi lembaga itu? Mereka malah memilihku yang tidak berpengalaman dalam hal seperti itu, apalagi membangun kedekatan intim dengan putri mereka.
Aku tidak memiliki ilmu seperti itu sama sekali. Aku hanya pernah membaca artikel mengenai surrogate partner tapi tidak menyangka kini ditawari sungguhan tanpa persiapan.
Membantu klien mencapai kenikmatan dengan beragam cara. Juga membantu mereka membangun semangat dan kepercayaan diri di tengah keterbatasan fisik yang diderita.
Dari mana aku bisa memahami ilmu psikologi seperti itu? Sedang Tuan dan Nyonya Tatsuo berkata jika mereka melamarku menjadi surrogate partner atas permintaan putri mereka.
Katanya, dia 'menyukaiku'. Mungkin ia menyukaiku dalam konteks profesionalisme, menyukai karya dan penampilan panggungku di Yokoha Club. Dia memiliki banyak videoku saat performance di club melalui temannya.
Heranku, dengan entengnya kedua orang tua gadis itu benar-benar 'melamarku' untuk bekerja pada putri mereka. Memuaskannya kah? Atau bagaimana?
"Aku masih bingung dengan keinginan mereka. Apa para terapis surrogate sudah full job?" Gumamku sendiri lalu meneguk sekaleng bir.
Takeshi, bartender Yokoha Club terkekeh. "Oh DJ Jayka, kamu berhasil melelehkan hati seorang gadis yang malang."
Aku melempar wajahnya dengan tisyu.
"Kamu memiliki paras yang berbeda dari orang asli Jepang. Apa lagi berprofesi sebagai DJ yang terdengar begitu keren. Kamu punya fotonya?"
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Besok aku dijemput untuk bertemu di rumahnya. Itu menjadi pertemuan pertama kami."
"Woooow... Aku tebak dia pasti anak orang kaya Jay."
Aku menggeleng tidak tahu.
"Kamu bisa mundur jika tidak berkenan. Lagi pula tidak ada perjanjian kan?!"
Aku mengangguk.
"Anggap saja senang-senang Jayka. Tapi dengan alien." Ucapnya dengan tawa mge;il
Aku memandangnya datar. "Sialan!"
"Dengarkan aku Jayka, jika dia dari keluarga kaya, segera ambil uangnya diawal dengan memberi janji manis."
"Kedengarannya jahat sekali. Aku seperti penipu."
"Penipu yang memberi kehangatan." Kekehnya kemudian.
"Aku bukan gigolo Takeshi."
Dia terkekeh. "Menuju kesana."
Tapi aku tidak punya pilihan, ini demi kebahagiaan keluargaku di kampung halaman.
🌻🌻🌻🌻🌻
Penampilanku begitu luar biasa berbeda pagi ini. Pakaian super rapi, wangi, klemis, dan menawan. Hingga beberapa teman asrama tertegun dengan perubahanku pagi ini.
Kujawab saja jika akan berkencan dengan Harumi.
Berbicara tentang Harumi, aku menyembunyikan hal ini darinya. Kalau dia tahu pasti akan marah dan meminta putus.
Tidak!
Aku mencintai Harumi dan tidak akan melepaskannya. Tapi aku tidak ada pilihan lain demi membahagiakan keluarga.
Semoga ini hanya berlangsung beberapa bulan saja. Setelah nominal yang kumau telah tercapai, aku akan meninggalkan pekerjaan ini dan kembali menjadi DJ.
Mobil jemputan keluarga Tuan Tatsuo sudah menunggu di bawah. Aku melangkah keluar dan disambut sopir yang sudah siap membukakan pintu mobil untukku.
|Tebakanku, mereka keluarga kaya raya.
Mobil sedan hitam nyaman itu membelah padatnya kota Miyazaki lalu membawaku ke sebuah rumah mewah yang ada di salah satu cluster terbaik. Rumah berlantai dua dengan gaya Eropa meyapa kedua mataku. Ini sangat megah dan indah.
Nyonya Tatsuo lah yang membukakan pintu rumah lalu mempersilahkanku duduk di kursi nyaman dan empuk ini.
Interior dan eksterior rumahnya sanggup membuatku air liurku menetes. Tidak salah jika aku menerima tawaran keluarga ini dan tidak mempercayai ejekan Matsushima.
"Jayka."
Aku menoleh ke sumber suara.
Sejenak aku tertegun dengan kehadiran seorang perempuan yang didorong bersama kursi kursi roda. Dia masih muda, tidak jelek, manis, walau masih lebih cantik Harumi.
Kakinya....kecil kedua-aduanya.
Rambutnya sebahu dengan make up tipis dan pakaian sopan dan elegan.
"Jayka, ini putriku. Minaki Siraga."
Gadis itu tersenyum bahagia denagan pancaran mata seperti Harumi yang begitu mengidolakan aku.
Aku terperangah sesaat lalu memberi hormat dan tersenyum tipis. "Senang bertemu dengan anda, Nona Minaki."
Nyonya Tatsuo membawa kursi roda Minaki mendekat padaku.
"Aku tinggal dulu ya? Tolong temani Minaki." Nyonya Tatsuo berpamitan.
Aku dan Minaki berpandangan sekian detik lalu sama sama menunduk.
Tugas pertamaku adalah mengajaknya mengobrol untuk membangun keakraban.
"Maaf, aku harus memanggilmu apa?"
Minaki menatapku malu malu. "Minaki saja Jayka."
Aku mengangguk dengan perasaan tidak karuan. Ini adalah pengalaman pertama bagiku membangun kedekatan dengan orang disabilitas.
"Apa kamu sudah makan Jayka?"
Aku menggeleng. Sebab si sopir menjemputku pagi sekali.
"Mau sarapan denganku?"
Aku yang masih kaku pun teringat kembali dengan tugasku untuk membangun keakraban.
"Boleh. Sarapan dimana?"
"Di kamarku."
Deg....
Apa Minaki sudah tidak sabar?
"Boleh. Sarapan dimana?" "Di kamarku." Deg... Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'? Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'. Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. "Jayka?" Panggilnya lembut. Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk. "Kenapa?" Aku menggeleng. "Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya. "Minaki?" "Ya?" "Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. "Kamu sangat mengagumkan Jayka." Aku mengernyit heran. "Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan d
"Dengan siapa?" Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku? Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani. "Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya." Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu. "Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran. Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang. "Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka." Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta. "Satu pun? Ka
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya." "A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini. Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata. "Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?" Minaki mengangguk. "Janji." "Janji akan benar-benar membantuku?" Ia mengangguk lagi. Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya. "Kamu siap mendengar ceritaku?" "Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya." Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar. Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya. Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang. Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
Pagi harinya aku bersiap siap menuju pabrik bersama teman-teman TKI. Pikiranku masih membayangkan ajakan Minaki bertemu di hotel nanti malam. Kira-kira apa yang ingin dia lakukan? Apa nanti malam ia akan membawa alat pemuas itu? Apa dia akan menyuruhku membuka kancing bajunya satu demi satu? Lalu menanggalkannya dan menampilkan kaki cacatnya? Apa dia akan menyuruhku menyentuhnya? Membangkitkan gairahnya? Ya Tuhan, otakku tidak waras! Aku tidak masalah dengan isi kontrak pemuas itu, selama tidak memberatkan dan lebih banyak memberi keuntungan bagiku. Toh hubungan seperti ini lebih banyak menguntungkan laki-laki. Ahh.... Iya, Minaki sudah menjadi korban karena bersedia menyerahkan 120.000 Yen padaku di awal kontrak dengan catatan aku tidak menipunya. Tidak berselang lama ada telfon masuk dari kekasihku, Harumi. Aku harus membuat strategi agar dia tidak sampai mengetahui rahasia besar ini. Aku harus membuat alasan yang tepat agar dia percaya dengan semua aktifitasku. "Sayang
"Aku dilamar. Menjadi...surrogate sexual partner." "Apa?!!" Matshushima membuang sampahnya asal lalu duduk di sebelah dan menatapku lekat. "Apa kamu sangat kekurangan uang sekali sampai melakukan hal ini? Katakan Jayka?" Aku mengangguk. "Astaga Jay! Ada apa denganmu? Itu....itu menjijikkan sekali. Memberi kepuasan orang-orang bertubuh tidak sempurna. Apa gaji menjadi TKI dan DJ jika digabungkan tidak cukup banyak?" "Aku butuh lebih banyak." Matshushima menggeleng. "Kalau kamu tahu realita di lapangan, kamu tidak akan menerimanya. Bersama perempuan aneh.... lalu bercinta. Dimana otak warasmu Jay?" Dia menunjuk pelipisku. "Kami tidak bercinta, hanya memuaskan dia saja. Dan kedatanganku kemari untuk mendengar pendapatmu Shima, bukan mendapat penghakiman." Matshushima menyandarkan tubuhnya di sofa dengan menghela nafas kasar. "Apa yang ingin kamu dengar selain penghakiman?" "Aku membutuhkan uang banyak untuk membeli tanah di Indonesia. Aku ingin membanggakan keluargaku disana.
Kehadiran Harumi di club berada di luar perkiraan. Dia hanya berkata akan keluar bersenang-senang dengan para sahabatnya tapi tidak menyangka mereka akan menghabiskan waktu itu disini, di Yokoha Club. Aku kebingungan mencari jalan keluar dari dalam club. Apalagi Harumi sangat mengenal postur tubuhku meski kututupi menggunakan hoodie. Lalu aku kembali ke ruangan Matsushima dengan terburu-buru. "Kamu harus menolongku!" "Ada apa?" Tanyanya polos sambil merapikan sofanya. "Harumi di dalam club. Aku tidak bisa melewatinya begitu saja Shima!" Matsushima tertawa sambil memegangi perutnya. "Kamu mau aku melakukan apa? Kamu takut ketahuan ya?" "Diamlah!! Aku harus lewat mana?!" Tanyaku geram. "Minaki sudah menunggu." Dia masih tertawa. "Tenang kawan. Tenang. Selirmu sudah tidak tahan ya?" Aku gusar memikirkan cara keluar. "Tenang katamu!?" "Jangan lupa komisi untukku yang sudah berbaik hati membantumu Jay." Matsushima berjalan keluar ruangan lalu tiba tiba.... Hlap! Suasana clu
Sudah ada lima menit lamanya Minaki memelukku erat. Tangisnya juga sudah mereda. Angin malam yang berhembus melewati balkon kamar 1212, membuat rambut rapi Minaki sedikit terburai. Dan aroma wanginya terbang memasuki indera penciumanku. Rambut Minaki kurapikan seadanya dengan lembut. Seperti sentuhan kasih sayang seorang kakak laki-laki pada adik perempuannya. Perlahan Minaki merenggangkan pelukan namun tubuhnya tetap menempel di dadaku. Wajahnya mendongak menatapku. "Apa?" Dia tersenyum malu lalu menggeleng. Apakah aku boleh menyebutnya aneh? "Kamu kenapa senyam senyum? Apa ada yang lucu dengan wajahku?" Obrolan itu mengalir begitu saja dari mulutku. Aku harus pintar mengolah suasana dan kondisi saat kami bersama. Atau lebih tepatnya saat Minaki butuh diperhatikan. "Kemarin kamu bilang butuh waktu untuk beradaptasi dengan hubungan ini. Aku senang kamu beradaptasi dengan cepat Jayka." "Aku sangat mengidolakanmu dan sering memutar videomu saat mengerjakan tugas kuliah.