"Dengan siapa?"
Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku?
Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani.
"Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya."
Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu.
"Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran.
Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang.
"Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka."
Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta.
"Satu pun? Kamu tidak memiliki teman?"
"Hanya ada beberapa, itu pun teman kuliah yang saling bertegur sapa lewat grup."
Aku mengangguk paham.
"Berbeda denganmu Jayka. Kamu seorang DJ. Pasti banyak yang ingin menjadi temanmu."
Senyum sendu itu mencerminkan keirian hatinya.
Apa yang dikatakan Minaki benar. Temanku bertambah banyak sejak menjadi DJ. Banyak mata yang mengenali wajahku saat perform. Bahkan saking menariknya, Harumi yang hanya seorang fans pun tergila gila padaku. Dan kini sah menjadi kekasihku.
"Kamu memiliki banyak pengalaman dengan pergaulan yang menyenangkan Jayka. Aku iri dengan kehidupanmu yang berwarna warni itu."
Pergaulan menyenangkan yang dimaksud Minaki kini menjadi lingkungan yang memberi banyak efek dalam kehidupanku. Meski kebanyakan memberi efek negatif tapi aku menikmatinya, seakan sudah menjadi hal yang biasa.
Bahkan aku biasa berciuman di tengah tengah club dengan Harumi selesai memandu musik. Mengikuti budaya kekinian anak muda.
"Kamu pasti bisa memiliki teman baik Minaki."
"Caranya?"
"Cobalah memperkenalkan dirimu dengan dunia luar lewat sosial media misalnya. Banyak orang sepertimu yang berani tampil percaya diri."
Minaki menggeleng sendu.
Melihatnya serapuh ini mengingatkanku pada ibu di kampung halaman. Betapa rapuhnya hati ibu ketika mendengar cemoohan tetangga tentang kondisi perekonomian keluarga kami kala dulu.
Jika aku tidak membuat hati Minaki berbungah, maka tujuanku mendapatkan uang sebanyak banyaknya dari rekeningnya bisa terlewat begitu saja.
"Minaki, apa kamu mau mengenal dunia luar bersamaku?"
Entah rayuan gombal ini kenapa begitu mudah keluar dari mulutku?
"Justru aku ingin bertanya begitu, apa kamu mau menemaniku mengenal dunia luar Jayka?"
Aku mengangguk dengan senyum.
Wajah Minaki berseri. "Benarkah Jayka?"
Aku mengangguk.
Ia tersenyum bahagia sambil menekan dadanya. Matanya ikut berkaca kaca.
Aku tidak menyangka jika harapan sekecil itu begitu berarti baginya.
Minaki mengambil kembali map yang tadi dimasukkan ke dalam laci. Ia membuka dan menyodorkannya padaku.
Ada banyak huruf-huruf Jepang yang tidak kumengerti dan itu menyulitkanku untuk mengetahui isi sebenarnya.
"Minaki, bisakah....kamu mengubahnya ke dalam bahasa Inggris?"
Minaki terkejut lalu terkekeh. "Aku lupa kamu bukan orang asli Jepang."
Aku mengangguk.
Minaki menggerakkan roda kursinya menuju nakas samping ranjang. Mengambil laptop lalu menghidupkannya.
"Begini kah Jayka?"
Aku mengambil laptop itu dari pangkuannya lalu duduk di tepi ranjang.
"Aku memintamu datang kemari setiap hari minggu. Dan.... melayaniku." Ucapnya malu malu.
Dia seperti biasa melakukan transaksi ini. Apakah dia sedang bersembunyi di balik kerapuhannya?
"Kamu pernah melakukan ini selain denganku?"
Minaki menggeleng. "Ini pertama kalinya. Seorang teman menyarankannya padaku."
"Melayani yang bagaimana maksudmu?"
Minaki meremas tangannya sendiri. Ia nampak gugup.
"Minaki?"
Ia mendongak. "Aku...tidak pernah merasakan....apa itu....bercinta Jayka. Aku....virgin. Dan....aku punya hasrat. Sama seperti perempuan normal lainnya."
"Tapi.... aku tidak mungkin....menikah. Jadi....aku.... memintamu....melayaniku. Dan memberiku semangat hidup."
Minaki kembali menunduk. "Aku membayarmu 8500 Yen tiap jam."
Itu seharga 1juta rupiah dan aku dibayar tiap jam. Nominal 10 kali lipat dari gaji harianku menjadi TKI dan DJ.
"Melayani yang bagaimana?" Tanyaku gugup.
Minaki meraih kembali laptopnya. Memutarkan sebuah video penyandang disabilitas yang mendapat pelayanan serupa dari terapis handal. Bukan seorang amatir sepertiku.
Aku mengangguk paham dengan maksudnya meski ada perasaan jijik saat terapis surrogate partner membantu klien mencapai kepuasan menggunakan tangan.
"Hanya membantumu mendapatkan kepuasan?" Tanyaku memastikan.
Minaki mengangguk malu.
"Dengan alat?"
Ia mengangguk lagi.
Kini aku tahu bahwa kepuasan yang dimaksud Minaki bukan berhubungan badan denganku. Melainkan menciptakan fantasi saat bersamaku.
Aku salah menilai Minaki seperti perempuan malang haus kasih sayang. Bukan, dia bukan perempuan murahan.
"Aku tidak mendapatkan kepuasan ketika melakukannya sendiri Jayka."
"Lalu? Cara yang seperti apa yang harus kulakukan?"
"Kamu mau kan menyentuh dan memelukku seperti yang ada dalam kontrak?"
Minaki cantik, hanya saja kakinya yang cacat.
Aku menatapnya lekat, seakan akan mengajaknya bermain mata untuk menciptakan debaran di hatinya. Agar ia terbuai dengan sosokku dalam kehidupannya.
Jangankan memeluk dan menyentuhnya. Asalkan dia memberiku banyak uang, aku rela menggendongnya ala bridal style dalam dongeng cinta seorang pangeran dan putri.
"Kamu sangat ingin mendapat kesenangan itu? Bersamaku?"
Dia mengangguk antusias penuh harap.
Aku memajukan wajah, mendekati wajah putih cantiknya. Hingga Minaki tertegun.
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan