Someone you love has at least one secret. Kalimat itu menggema begitu saja di kepala Andara, seolah ada seseorang yang membisikkan di telinganya. 'Seseorang yang kamu cintai selalu punya setidaknya satu rahasia. Dan rahasiamu, Mas Nata… akhirnya terbongkar malam ini.' Rahasia bahwa ia tidak pernah mencintai Andara. Rahasia bahwa semua kebersamaan mereka hanyalah permainan belaka. Dan rahasia bahwa Ananta menyimpan dendam yang tidak pernah padam di hatinya. Sekarang yang tersisa hanyalah penyesalan bagi Andara. Andara telah melakukan kebodohan tidak hanya satu kali tapi berkali-kali. Bagaimana mungkin ia seblak-blakkan tadi mengakui perasaannya yang membuatnya menjadi semakin tidak punya harga diri di mata Ananta? Ananta benar, Andara memang terlalu naif. 'Nothing’s gonna hurt you, Baby.' Andara mengingat lagi kalimat yang pernah diu
Percayalah, bukan itu yang Andara harapkan keluar dari mulut Ananta. Dari cara lelaki itu mengucapkannya seolah Andara yang memaksa.Yang Andara harapkan adalah mereka melalui hari-hari berat ini bersama. Bahwa Ananta akan memeluknya, mengecup lembut keningnya, dan berkata bahwa mereka masih bisa saling sandar meski dunia sudah merenggut separuh jiwa mereka.Tapi yang didapat justru sebaliknya. Kata-kata dingin. Tatapan yang sulit dibaca. Dan genggaman tangan yang terasa lebih seperti basa-basi.*Andara terduduk lemas melipat baju-baju anaknya yang ia keluarkan dari lemari. Sudah tiga hari ini Andara merayakan kesedihannya dengan berlama-lama di kamar Zivana. Mengusap tempat tidur bayi sambil membayangkan putrinya berbaring di sana, lalu ia dan Ananta berdiri di sisinya, memandangi sang putri sambil berpegangan tangan dengan senyum bahagia di bibir masing-masing. Membuka dan melipat lagi pakaiannya sambil berkhayal sang putri mengenakannya. Sampai mengunjungi pusaranya setiap hari.S
Andara terbangun dengan kepala berat, mata sembab, dan perasaan yang tidak baik-baik saja. Semalam, setelah pingsan ia mendapati dirinya di kamar rumah sakit lalu pingsan lagi setelah menyadari yang terjadi.Wajah Shankara adalah orang pertama yang dilihatnya. Kakaknya itu duduk di kursi di sisi tempat tidur Andara. Wajahnya terlihat lelah bercampur dengan khawatir. Mengetahui Andara sudah bangun, Shankara menggenggam tangannya."Dia udah nggak ada, Bang. Dia udah pergi," ujar Andara lirih. Bersama dengan itu matanya kembali menganak sungai yang menetes pelan-pelan."Udah ya, Ra. Dia udah di tempat terbaik. Kalau kamu terus nangisin dia dan sedih kayak gini, dia nggak akan tenang. Abang minta tolong ikhlasin semua yang terjadi. Ini semua sudah menjadi takdir Tuhan. Kita harus ikhlas, Dek.""Mas Nata pasti marah. Aku udah janji akan jaga diri dan anak kami baik-baik, tapi aku gagal." Andara terisak lirih."Dia nggak akan marah. Dia nggak berhak untuk marah," tampik Shankara. "Kamu uda
Andara tidak tahu sudah berapa lama ia duduk bersandar di ranjang, memeluk erat tubuh mungil yang kini dingin di dadanya. Dunia di sekelilingnya terasa redup. Seakan semua warna menjadi pudar dan hanya menyisakan kegelapan. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang kacau dan napasnya yang pendek-pendek. Suara-suara samar mulai menembus kabut kesadarannya. Ada yang mengetuk pintu, memanggil namanya, lalu terdengar langkah kaki tergesa-gesa. “Bu Andara! Astaga, Bu!” teriak seseorang. Seperti suara Bu Retno, tapi ia tidak yakin. Bu Retno tampak begitu syok melihat tempat tidur yang kacau, basah dan dipenuhi darah. "Ibu udah lahiran?" Keterkejutannya bertambah saat menyadari siapa yang Andara peluk. "Maaf, Bu, saya nggak tahu. Saya menyesal udah ninggalin Ibu sendiri," ujar perempuan itu merasa bersalah. "Saya panggil dokter dulu ya, Bu. Tapi sini
"Nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan marah sama Papa ya. Papa nggak salah. Mama cuma lagi cemburu," lirih suara Andara sambil tak henti mengusap-usap perutnya yang bergejolak.Namun anak itu tetap tidak bisa diam. Dia terus bergerak seakan ingin keluar dari tempat yang selama ini memberinya kehangatan.Keadaan Andara semakin lemah. Rasa mulas yang tadi hanya sesekali kini datang dengan frekuensi yang semakin intens dan semakin kuat. Setiap gelombang sakit itu membuat perutnya mengeras seperti batu, lalu mereda sebentar sebelum kembali menyerang.Napasnya memburu. Ia memegang perutnya erat-erat, mencoba memberi dukungan pada sang buah hati di dalam sana.“Bertahan ya, Sayang… jangan sekarang. Tunggu Papa pulang dulu. Satu hari lagi aja...,” ucapnya lirih. Air matanya mengalir deras menuruni kedua sisi pipinya.Namun, rasa nyeri itu tidak mau diajak berkompromi. Di sela-sela rasa sakit, ia merasa ada sesuatu yang mendorong kuat dari dalam. Instingnya mengatakan ini bukan lagi m
Sepeninggal Ananta, hari Andara kembali terasa sunyi. Ia mencoba menyibukkan diri untuk mengalihkan pikirannya.Ia memutuskan untuk melakukan senam hamil di rumah. Memakai matras tipis, Andara melakukan gerakan ringan prenatal yoga. Dimulai dari meregangkan lengan, memutar bahu, dan menarik napas panjang, menenangkan tubuh sekaligus pikiran. Sesekali ia menutup mata, membayangkan Ananta sedang tersenyum di sisinya.Tangan lelaki itu menuntunnya melakukan gerakan yang benar, dan suara lembutnya memberi semangat.Ah, pikirannya memang tidak bisa jauh-jauh dari lelaki itu.Biasanya di sela kesibukannya Ananta menyempatkan diri untuk mengantar dan menemani Andara ke prenatal fitness class. Tapi kini Andara hanya sendiri.Setelah selesai, Andara masuk ke kamar. Ia menatap refleksi dirinya di depan kaca. "Kangen banget sama kamu, Mas. Padahal baru beberapa jam kamu pergi." Ia menggumam sambil mengusap perutnya yang terbungkus baju kaus putih milik Ananta.Lagi-lagi Andara mengenakan baju le