Andara tidak tahu sudah berapa lama ia duduk bersandar di ranjang, memeluk erat tubuh mungil yang kini dingin di dadanya. Dunia di sekelilingnya terasa redup. Seakan semua warna menjadi pudar dan hanya menyisakan kegelapan. Ia hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang kacau dan napasnya yang pendek-pendek. Suara-suara samar mulai menembus kabut kesadarannya. Ada yang mengetuk pintu, memanggil namanya, lalu terdengar langkah kaki tergesa-gesa. “Bu Andara! Astaga, Bu!” teriak seseorang. Seperti suara Bu Retno, tapi ia tidak yakin. Bu Retno tampak begitu syok melihat tempat tidur yang kacau, basah dan dipenuhi darah. "Ibu udah lahiran?" Keterkejutannya bertambah saat menyadari siapa yang Andara peluk. "Maaf, Bu, saya nggak tahu. Saya menyesal udah ninggalin Ibu sendiri," ujar perempuan itu merasa bersalah. "Saya panggil dokter dulu ya, Bu. Tapi sini
"Nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa. Jangan marah sama Papa ya. Papa nggak salah. Mama cuma lagi cemburu," lirih suara Andara sambil tak henti mengusap-usap perutnya yang bergejolak.Namun anak itu tetap tidak bisa diam. Dia terus bergerak seakan ingin keluar dari tempat yang selama ini memberinya kehangatan.Keadaan Andara semakin lemah. Rasa mulas yang tadi hanya sesekali kini datang dengan frekuensi yang semakin intens dan semakin kuat. Setiap gelombang sakit itu membuat perutnya mengeras seperti batu, lalu mereda sebentar sebelum kembali menyerang.Napasnya memburu. Ia memegang perutnya erat-erat, mencoba memberi dukungan pada sang buah hati di dalam sana.“Bertahan ya, Sayang… jangan sekarang. Tunggu Papa pulang dulu. Satu hari lagi aja...,” ucapnya lirih. Air matanya mengalir deras menuruni kedua sisi pipinya.Namun, rasa nyeri itu tidak mau diajak berkompromi. Di sela-sela rasa sakit, ia merasa ada sesuatu yang mendorong kuat dari dalam. Instingnya mengatakan ini bukan lagi m
Sepeninggal Ananta, hari Andara kembali terasa sunyi. Ia mencoba menyibukkan diri untuk mengalihkan pikirannya.Ia memutuskan untuk melakukan senam hamil di rumah. Memakai matras tipis, Andara melakukan gerakan ringan prenatal yoga. Dimulai dari meregangkan lengan, memutar bahu, dan menarik napas panjang, menenangkan tubuh sekaligus pikiran. Sesekali ia menutup mata, membayangkan Ananta sedang tersenyum di sisinya.Tangan lelaki itu menuntunnya melakukan gerakan yang benar, dan suara lembutnya memberi semangat.Ah, pikirannya memang tidak bisa jauh-jauh dari lelaki itu.Biasanya di sela kesibukannya Ananta menyempatkan diri untuk mengantar dan menemani Andara ke prenatal fitness class. Tapi kini Andara hanya sendiri.Setelah selesai, Andara masuk ke kamar. Ia menatap refleksi dirinya di depan kaca. "Kangen banget sama kamu, Mas. Padahal baru beberapa jam kamu pergi." Ia menggumam sambil mengusap perutnya yang terbungkus baju kaus putih milik Ananta.Lagi-lagi Andara mengenakan baju le
Andara menatap koper hitam Ananta yang berdiri tegak di depan lemari. Barusan lelaki itu mengemas pakaiannya di sana. Andara ingin membantu tapi Ananta melarang dan menyuruhnya beristirahat. Sejujurnya Andara masih berberat hati melepas kepergiannya. Tapi apa boleh buat. Ia sudah berjanji tempo hari. "Mas, semuanya udah dimasukin ke koper? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya Andara begitu Ananta keluar dari kamar mandi. Ananta mengangguk sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Vitamin kamu?" "Udah juga." Ananta lalu naik ke tempat tidur, duduk di dekat Andara yang berbaring. "Aku udah ngomong sama Bu Retno. Selama aku pergi dia yang nemenin kamu di sini. Kamu juga ya, kalau ada apa-apa atau butuh sesuatu langsung bilang ke dia. Nggak usah sungkan." "Iya, Mas." "Sebelum pergi aku mau kasih sesuatu." Ananta turun dari tempat tidur
Pertanyaan tersebut meluncur dari mulut Andara yang terdorong atas rasa insecure-nya."Kenapa nanyanya gitu?" kata Ananta merespons, tangannya tetap memijit kaki Andara."Aku cuma takut kehilangan kamu, Mas. Sekarang Kak Calista udah nggak terikat hubungan dengan siapa pun. Dia perempuan bebas. Dan kalian pernah punya sejarah," jelas Andara mengungkapkan yang dirasakannya.Ananta menghentikan pijitannya di kaki Andara. Dielusnya punggung istrinya itu dengan lembut. "Jadi kamu pikir aku ini tipe orang yang balik ke mantan cuma karena statusnya udah single lagi?”Andara tidak membalas. Bibirnya terkunci rapat. Membiarkan suaminya melanjutkan.“Aku sama Calista itu cuma masa lalu. Dan masa lalu nggak bisa ngasih aku apa yang aku punya sekarang, yaitu kamu dan anak kita yang sebentar lagi bakalan lahir.” Suara Ananta terdengar tegas dan juga mengandung kehangatan yang berusaha menenangkan istrinya.Andara menghela napas, berusaha meyakinkan dirinya bahwa kata-kata itu bukan sekadar penghi
Sudah bisa ditebak bagaimana reaksi ketiganya setelah mendengar ucapan Shankara yang tidak pernah disangka-sangka.Saking terkejutnya Andara sampai ternganga. Namun dengan cepat menutup dengan telapak tangan. Ia tidak menyangka Shankara akan merusak momen pertama anak mereka berada di rumah dengan kata-kata perceraian."Bang, apa yang Abang ucapkan?" Andara menegur sang kakak, berharap semua ini adalah guyonan walau nggak ada lucu-lucunya.Namun Shankara hanya menatapnya tanpa memberi penjelasan apa-apa. Calista mematung. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut suaminya. "Serius kamu menceraikan aku, Ka?" Itu yang kemudian perempuan itu ucapkan."Iya." Suara Shankara terdengar mantap tanpa ada keraguan.“Thalia baru pulang, dan kamu pilih momen ini buat ngancurin semuanya?” Suara Calista terdengar tinggi, napasnya tersengal. Tapi tidak seorang pun tahu isi hatinya."Ini momen yang paling tepat. Aku nggak bisa menunggu dan membelenggu ka