Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya.
Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit.
“Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.”
Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar.
“Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?”
Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu.
“Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.”
Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya.
“Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?”
Ghifari memperhatikan sekujur tubuh Falisha dengan saksama. Wajah putrinya itu memang terlihat agak pucat.
Jari-jari Falisha refleks saling bertaut. Tatapan intens ayahnya membuat kuduknya seperti baru saja disiram dengan seember air es. Dia tidak pandai berbohong. Di sisi lain, dia juga tidak ingin membuat ayahnya khawatir bila dia berkata terus terang.
“Kau menyembunyikan sesuatu dari ayahmu ini?”
Pertanyaan Ghifari laksana gelegar halilintar menghantam gendang telinga Falisha. Dia sangat berharap ayahnya tidak bertanya lebih jauh. Sialnya, langit enggan mengabulkan keinginan hatinya itu.
“A–aku tidak bermaksud begitu, Ayah.”
“Lalu?”
Sekujur tubuh Falisha kini bagai diceburkan ke dalam bak berisi air dingin dengan bongkahan es batu mengambang di mana-mana.
“I–itu, a–aku baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Ka—”
“Ya Tuhan! Apa itu Gallen? Ayo kita pergi sekarang!”
Penjelasan Falisha terpotong oleh sikap impulsif ayahnya. Lelaki paruh baya itu tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.
“Ayo! Apa kau akan terus mematung di sana?”
Falisha tersentak mendengar teguran ayahnya, lalu bergegas mengayun langkah menyusul Ghifari.
Setibanya di rumah sakit, Falisha dan ayahnya bergegas menghadap petugas resepsionis, menanyakan di mana ruangan Gallen. Selanjutnya, mereka melesat ke ruang rawat inap Gallen.
Suara gelegar pintu dibuka dengan kasar mengagetkan Hellen dan perawat yang mendampinginya. Mereka menoleh ke pintu dengan kening berkerut.
“Bagaimana kondisi kakak saya, Dok?”
Pertanyaan Falisha sudah cukup bagi Hellen untuk mengetahui siapa dua orang yang baru saja menyelonong masuk ke ruangan tersebut. Raut muka terkejutnya berangsur-angsur tenang.
“Dia perlu dioperasi secepatnya.”
“O–operasi? A–apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”
Ghifari yang semula diam dan tetap berusaha tampak tenang kali ini tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
Gallen bukan anak yang suka membuat masalah. Kenapa sekujur tubuhnya penuh luka dan lebam? Siapa yang sampai hati menganiaya anak lelakinya itu? Gallen baru saja pulang ke Indonesia seminggu yang lalu. Dia belum banyak bersosialisasi. Sehari-hari dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membantunya bekerja di bengkel.
“Ada penyumbatan pada pembuluh darah otaknya, tapi … Bapak tidak perlu khawatir. Dia akan baik-baik saja setelah dioperasi.”
Hellen tidak yakin seratus persen akan kondisi Gallen tanpa efek samping setelah menjalani operasi. Akan tetapi, dia tidak ingin Ghifari terlalu cemas. Bagaimanapun, yang terpenting sekarang adalah mendapatkan persetujuan keluarga pasien untuk tindakan yang akan diambilnya. Hanya dengan begitu kemungkinan hidup Gallen akan lebih besar.
“Sebelumnya Bapak perlu menandatangani surat-surat ini.”
Seorang perawat menyodorkan administrasi tentang persetujuan operasi kepada Ghifari.
“Apa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak saya, Dok?”
Pena di tangan Ghifari menggantung di udara. Jika dia menandatangani surat itu, tidak ada jalan baginya untuk kembali. Dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar operasi Gallen?
Seakan memahami kabut tebal yang menutupi wajah ceria Ghifari, Hellen tersenyum ramah. “Jika besarnya biaya operasi yang membuat Bapak ragu, aku berani katakan bahwa aku akan membantu membayarnya secara pribadi.”
Hati Ghifari dan Falisha tersentuh dengan kebaikan Hellen. Namun demikian, mereka tidak boleh memanfaatkan kebaikan dan kemurahan hati orang lain secara penuh. Gallen adalah keluarga mereka. Sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk memenuhi semua kebutuhan Gallen. Masalahnya, mereka benar-benar tidak punya uang dalam jumlah besar.
***
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa
“Ah, eh … ya. Aku baik-baik saja.” Gallen gelagapan setelah mengumpulkan kembali segenap kesadarannya. Senyuman canggung menghias wajah pucatnya. Hellen memaksakan sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk senyuman ramah, khas seorang dokter. “Apa yang Anda rasakan?” Gallen menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya. Semua terasa normal. “Hanya sedikit pegal.” Hellen pindah ke sisi Gallen. “Itu wajar. Anda tidak sadarkan diri selama tiga minggu,” beritahunya sambil menempelkan stetoskop pada dada Gallen. ‘Selama itu?’ Melihat Hellen sedang berkonsentrasi mendengar detak jantungnya, Gallen menyimpan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ia tak menyangka serangan para preman bayaran itu bisa melumpuhkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. “Jika tidak ada keluhan, Anda bisa pulang sore ini.” “Apa itu artinya kakak saya sungguh baik-baik saja, Dok?” Wajah Falisha berbinar cerah. Dia tidak mampu menyemb
Tiga orang anak buah Codet bergerak cepat melaksanakan perintah sang bos. “Ja–jangan, Bos .…” Ghifari merengek tak berdaya ketika kaki tangan Codet keluar dari kamar tidurnya. Salah satu dari mereka mengancakkan dokumen penting kepemilikan rumah dengan seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek. Codet merampas dokumen di tangan anak buahnya dan membolak-balik berkas itu sekilas. “Bagus! Bos Besar pasti senang menerima ini,” kekehnya, merasa bangga atas kinerja gerak cepat anak buahnya. Perhatiannya berbalik kepada Ghifari. “Dasar bodoh! Kalau kau menyerahkan dokumen ini dari awal, aku tidak perlu menyiksamu.” Codet mengangkat kakinya dari dada Ghifari setelah memberikan tekanan memutar, membuat Ghifari semakin meringis. Begitu badannya bebas dari injakan penagih utang itu, Ghifari bergegas memburu Codet. Kedua tangannya melingkar pada betis Codet. Menahan langkah lelaki itu agar tidak pergi dari rumahnya. “Tolong, jan
Codet menendang Ghifari. “Bangun! Kau membuat warna sepatuku menjadi pudar.” Tak ingin membuang kesempatan, Ghifari buru-buru bangkit. Dia membungkuk di hadapan Codet. “Aku akan selalu mengingat kebaikan Anda, Bos!” “Sudah seharusnya begitu, bukan?” Codet kembali mengalihkan perhatiannya pada Falisha. “Sesuai janjimu, kau akan melakukan apa pun untukku, bukan?” Falisha melirik ayahnya. Darah masih mengalir di sudut bibir Ghifari. Hati Falisha terenyuh menyaksikan penderitaan ayahnya. Lalu, dia mengangguk. “Bagus! Kalau begitu, mulai malam ini kau harus menemaniku,” kata Codet. Matanya berkilat. “Kau hanya boleh pulang setelah ayahmu melunasi semua utangnya.” Mendengar permintaan konyol Codet, mulut Falisha ternganga. Walaupun dia sudah bisa memprediksi kemungkinan adanya keinginan kotor yang melintas di benak Codet, tetap saja dia kaget sekaligus marah. “Dalam mimpimu!” Senyum di wajah Codet menghilang. Falisha
Falisha membuka dompet. Tidak banyak uang yang tersisa. Sekadar cukup untuk membayar ongkos taksi.Melirik pada ayahnya yang setengah pingsan, Falisha tidak punya pilihan selain memesan taksi online. Ayahnya harus segera mendapat perawatan.Kurang dari setengah jam, Falisha dan Ghifari tiba di rumah sakit. Kali ini nasib mereka sangat mujur karena langsung bertemu dengan Dokter Hellen.“Apa yang terjadi?” tanya Hellen, mengamati ekspresi kesakitan pada wajah Ghifari. Keningnya mengerut.“Kecelakaan. Tolong selamatkan ayah saya, Dok!”Falisha enggan mengungkap kebenaran di balik cedera yang dialami Ghifari. Tak disangkal bahwa Hellen adalah wanita yang baik. Bagaimanapun, tetap ada hal-hal yang hanya pantas untuk disimpan sendiri.Berpikir bahwa kejujurannya mungkin bisa mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi keselamatan Ghifari, tentu saja berbohong menjadi pilihan terbaik saat itu.Selama melakuka
Berdiri di pelataran parkir rumah sakit, Gallen merogoh kantong. Mengeluarkan ponsel model lama yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Jarinya bergerak lincah men-scroll daftar kontak, lalu tersenyum tipis setelah menemukan nama Kenzie. “Kenzie, aku butuh bantuanmu,” sembur Gallen tanpa basa-basi begitu panggilannya terhubung. “Akhirnya … kupikir aku akan menganggur untuk waktu yang sangat lama.” Suara Kenzie terdengar bersemangat. “Katakan! Apa yang dapat kulakukan untukmu?” “Apa kau tahu tentang tato elang yang siap menyambar mangsa?” “Di mana kau melihatnya?” Gallen menghempaskan napas jengkel. “Aku tidak memintamu untuk bertanya balik!” “Maaf, tapi aku perlu memastikannya. Kau tentu tidak ingin mendapatkan informasi yang salah, bukan?” Kenzie memang sosok pekerja yang sangat teliti. Dia tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu. Tak peduli seberapa sempit waktu yang diberikan Gallen kepadanya untuk menyelesaikan
Deru mesin motor butut Gallen seketika hening. Tanpa membuka helm, diedarkannya pandangan berkeliling. Sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk seringai sinis. Lalu, dia turun dari motor.Codet cukup pintar menentukan lokasi, sebuah bangunan tua yang ditutupi oleh tanaman rambat. Beberapa retakan di dinding menjalar panjang.Gallen mengayun langkah tegap menuju bangunan terbengkalai tersebut. Tangan kanannya menenteng koper. Sementara tangan lainnya bersembunyi dalam saku celana.Berdiri di depan pintu masuk, mata Gallen berputar liar mengawasi sekitar. Itu bukan bangunan di mana dia disiksa dulu, melainkan sebuah rumah besar yang habis terbakar dan ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.“Aku sudah tiba,” beritahu Gallen melalui panggilan telepon.“Masuk!”Gallen menyibak tanaman rambat yang menjuntai, menutupi sebagian jalan masuk ke rumah tua itu. Melihat pintu di sisi kanan dipenuhi jaring laba-laba, Gallen ber