Share

Bab 9

Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya.

Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit.

“Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.”

Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar.

“Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?”

Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu.

“Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.”

Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya.

“Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?”

Ghifari memperhatikan sekujur tubuh Falisha dengan saksama. Wajah putrinya itu memang terlihat agak pucat.

Jari-jari Falisha refleks saling bertaut. Tatapan intens ayahnya membuat kuduknya seperti baru saja disiram dengan seember air es. Dia tidak pandai berbohong. Di sisi lain, dia juga tidak ingin membuat ayahnya khawatir bila dia berkata terus terang.

“Kau menyembunyikan sesuatu dari ayahmu ini?”

Pertanyaan Ghifari laksana gelegar halilintar menghantam gendang telinga Falisha. Dia sangat berharap ayahnya tidak bertanya lebih jauh. Sialnya, langit enggan mengabulkan keinginan hatinya itu.

“A–aku tidak bermaksud begitu, Ayah.”

“Lalu?”

Sekujur tubuh Falisha kini bagai diceburkan ke dalam bak berisi air dingin dengan bongkahan es batu mengambang di mana-mana.

“I–itu, a–aku baru saja menerima telepon dari rumah sakit. Ka—”

“Ya Tuhan! Apa itu Gallen? Ayo kita pergi sekarang!”

Penjelasan Falisha terpotong oleh sikap impulsif ayahnya. Lelaki paruh baya itu tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Ayo! Apa kau akan terus mematung di sana?”

Falisha tersentak mendengar teguran ayahnya, lalu bergegas mengayun langkah menyusul Ghifari.

Setibanya di rumah sakit, Falisha dan ayahnya bergegas menghadap petugas resepsionis, menanyakan di mana ruangan Gallen. Selanjutnya, mereka melesat ke ruang rawat inap Gallen.

Suara gelegar pintu dibuka dengan kasar mengagetkan Hellen dan perawat yang mendampinginya. Mereka menoleh ke pintu dengan kening berkerut.

“Bagaimana kondisi kakak saya, Dok?”

Pertanyaan Falisha sudah cukup bagi Hellen untuk mengetahui siapa dua orang yang baru saja menyelonong masuk ke ruangan tersebut. Raut muka terkejutnya berangsur-angsur tenang.

“Dia perlu dioperasi secepatnya.”

“O–operasi? A–apa yang terjadi dengan anak saya, Dok?”

Ghifari yang semula diam dan tetap berusaha tampak tenang kali ini tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

Gallen bukan anak yang suka membuat masalah. Kenapa sekujur tubuhnya penuh luka dan lebam? Siapa yang sampai hati menganiaya anak lelakinya itu? Gallen baru saja pulang ke Indonesia seminggu yang lalu. Dia belum banyak bersosialisasi. Sehari-hari dia lebih suka menghabiskan waktu dengan membantunya bekerja di bengkel.

“Ada penyumbatan pada pembuluh darah otaknya, tapi … Bapak tidak perlu khawatir. Dia akan baik-baik saja setelah dioperasi.”

Hellen tidak yakin seratus persen akan kondisi Gallen tanpa efek samping setelah menjalani operasi. Akan tetapi, dia tidak ingin Ghifari terlalu cemas. Bagaimanapun, yang terpenting sekarang adalah mendapatkan persetujuan keluarga pasien untuk tindakan yang akan diambilnya. Hanya dengan begitu kemungkinan hidup Gallen akan lebih besar.

“Sebelumnya Bapak perlu menandatangani surat-surat ini.”

Seorang perawat menyodorkan administrasi tentang persetujuan operasi kepada Ghifari.

“Apa ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak saya, Dok?”

Pena di tangan Ghifari menggantung di udara. Jika dia menandatangani surat itu, tidak ada jalan baginya untuk kembali. Dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar operasi Gallen?

Seakan memahami kabut tebal yang menutupi wajah ceria Ghifari, Hellen tersenyum ramah. “Jika besarnya biaya operasi yang membuat Bapak ragu, aku berani katakan bahwa aku akan membantu membayarnya secara pribadi.”

Hati Ghifari dan Falisha tersentuh dengan kebaikan Hellen. Namun demikian, mereka tidak boleh memanfaatkan kebaikan dan kemurahan hati orang lain secara penuh. Gallen adalah keluarga mereka. Sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk memenuhi semua kebutuhan Gallen. Masalahnya, mereka benar-benar tidak punya uang dalam jumlah besar.

***

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Zannah Alisha
saya sudah baca lebih dari bab 9 kenapa diulang balik dan perlu koin untuk melanjutkan terus.
goodnovel comment avatar
Zannah Alisha
sda di baca bab nya mengapa di sekat dan di ulang balik.
goodnovel comment avatar
Muhammad Ruzaini
Bosan..cerita yg paling bosan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status