Gallen melangkah gontai memasuki rumah. Ia melewati Grizelle yang duduk santai di ruang tengah begitu saja.Namun, ketika sudut matanya menangkap bayang Grizelle saat hendak menaiki tangga, ia berbalik.Tanpa malu-malu ia merebahkan diri dan meletakkan kepala di pangkuan Grizelle yang duduk berjuntai di atas sofa.Grizelle mengelus rambut Gallen yang jatuh ke kening."Kamu dari mana saja? Aku sangat khawatir. Teleponmu tidak aktif."Gallen merogoh saku, mengeluarkan ponsel. "Ck! Baterainya habis.""Sini! Kubantu mengisikan dayanya.""Nanti saja! Aku masih mau seperti ini." Gallen menaruh ponsel di atas meja, lalu melingkarkan lengan pada pinggang Grizelle.Saat hatinya sedang galau dan pikiran kacau, berbaring di pangkuan Grizelle bikin nyaman.Wangi vanila berpadu dengan aroma alami tubuh Grizelle menghadirkan perasaan tenang di hati Gallen.Setelah cukup lama menikmati kehangatan pangkuan Grizelle, Gallen bangkit. Mengecup kening Grizelle."Terima kasih. Bersamamu, aku selalu merasa
"Nyonya Bellona Hopkins?!" seru Gallen, kaget. "Tidak. Anda datang pada waktu yang tepat. Mari bergabung bersama keluargaku!""Iya, Nyonya. Ayo duduk sini!" Kimi menjemput Bellona."Terima kasih!" Bellona merasa terharu dengan sambutan Gallen dan keluarganya. "Sebenarnya, aku ke sini ingin minta maaf pada Gallen atas namaku dan juga Atha. Aku terlalu serakah dan mementingkan anakku.""Seorang ibu selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Itu bisa dimaklumi, Nyonya," sahut Gallen. "Kami juga minta maaf karena telah melaporkan Anda dengan beberapa tindak kejahatan yang tidak Anda lakukan."Wajah Gallen kecut, merasa bersalah."Itu bukan kesalahanmu sepenuhnya. Wanita berhati iblis itu yang sangat pandai menipu orang." Muka Bellona menggelap. "Kalau aku tahu Bibi Rose menggunakan wajahku untuk berbuat jahat, aku pasti telah lebih dulu menyeretnya ke penjara. Dia benar-benar licik!""Dia pasti mempelajari keterampilan make-up saat berada di Korea Selatan," timpal Kimi."Betul. Itu ar
“Hahaha ….” Suara tawa pecah membahana. Memenuhi seluruh ballroom sebuah hotel ternama. Semua mata tertuju pada film yang sedang diputar. “Konyol sekali!” seru Joe sambil memegangi perut. “Laura, bukankah kau bilang kekasihmu lulusan S3 sebuah kampus terkenal di luar negeri?” Mata lelaki itu tertuju pada seorang gadis berambut hitam panjang. Dia tegak di sisi kanan. Menatap tak berkedip pada film yang masih berputar. Wajahnya menegang dan berubah kelam. “Coba lihat baik-baik! Diakah lelaki yang kau maksud itu?” Joe menatap tak berkedip pada gambar hidup yang terus bergerak. “Astaga! Aku tak percaya seorang lulusan luar negeri hanya mampu bekerja pada bengkel kecil!” Saat itu, tayangan film menampilkan sosok seorang lelaki gagah dengan wajah penuh oli sedang memperbaiki sebuah mobil tua. “Iya, S3 … SD, SMP, SMA … hahaha ….” Bram menimpali dengan tawa mengejek yang lebih kencang. Berdiri terpaku di sisi kanan Laura, Gall
Gallen berhasil menyusul langkah kaki Laura dan mencekal lengannya. Dia butuh penjelasan kenapa Laura memutuskan hubungan kasih mereka hanya karena sebuah film pendek yang mengekspos sebagian kecil kebenaran tentang dirinya. “Singkirkan tangan kotormu itu dariku!” Laura meledak. Ekspresi jijik tergambar jelas pada wajahnya. “Tidak, sebelum kau menjelaskan kenapa hubungan kita harus berakhir.” “Hahaha ….” Ledakan tawa kembali terdengar, diiringi langkah kaki yang kian mendekat. “Lihat lelaki bodoh itu! Dia masih belum sadar juga!” Bram menampilkan seringai mengejek di wajahnya. Gallen mengabaikan kata-kata Bram. Tatapannya lekat pada Laura. Mereka sudah menjalin hubungan lebih dari tujuh tahun. Walaupun sebagian besar dari jalinan cinta itu mereka jalani secara jarak jauh, tetap saja mereka tidak bisa mengkhirinya begitu saja. “Aku tidak sudi menjadi kekasih seorang penipu!” Suara Laura bergetar karena marah. Dia benar-benar kec
Berpikir bahwa kehadirannya tak lagi bermakna di hotel itu, Gallen melarikan motor bututnya dari pelataran parkir. Pikiran kacau karena hatinya tercabik dengan luka yang tak berdarah membuat laju kendaraannya kehilangan tenaga. Motor bebek butut itu merupakan warisan ayahnya. Setiap kali dia mengendarainya, orang-orang selalu meledeknya, tetapi mereka tidak tahu kalau dia telah memodifikasi mesin motor tua itu. Dalam kondisi terdesak, Gallen dapat memacu motor butut tersebut menyamai motor dengan kapasitas bahan bakar di atas 1.000 cc. Sialnya, hari ini yang terjadi justru sebaliknya. Motor itu berlari seperti kura-kura bila disandingkan dengan kelinci. Sepanjang jalan kepala Gallen dipenuhi dengan adegan Laura mencampakkannya. Dia tidak pernah tahu kalau patah hati bakal sesakit itu. Rasanya dia kehilangan separuh jiwa dan semangat hidupnya. Di tengah pikiran yang sedang kalut, Gallen menjengkit. Sebuah mobil berwarna merah metalik melaju oleng dari arah ber
“Papa?” Ara terperangah saat mengenali lelaki yang baru saja menyabotase perkenalannya dengan Gallen. Dia terlonjak tegak, begitu pula dengan Gallen. Siapa yang mengira Guntur Priambudi akan menemukannya di sini. Gallen mengernyit sepintas lalu lantaran tak mengharapkan kemunculan keluarga Ara yang tiba-tiba. Sebelum Gallen sepenuhnya mampu menguasai rasa terkejutnya, Ara sudah diseret menjauh, meninggalkan meja. Dua lelaki berbadan kekar membekuk Gallen. Kekagetan membuatnya lengah. Dia hanya bisa mengikuti ke mana dua orang itu membawanya. “Lepaskan dia, Pa!” cicit Ara, memandang Gallen dengan perasaan bersalah. “Masuk!” Guntur mendorong Ara ke dalam mobil. Di mobil lainnya, Gallen pun menerima perlakuan yang sama. Hidungnya nyaris mencium permukaan jok ketika dia tersungkur. Sebelum Gallen sempat memperbaiki posisi tubuhnya, sesuatu menusuk lehernya. Rasanya seperti digigit semut merah. Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap. Gallen kehilangan kesadaran
Saat Gallen merasa dirinya di ambang napas terakhir, dia membayangkan senyuman hangat ibunya. Selanjutnya, semua terlihat gelap. Gallen kehilangan kesadarannya. Menyadari tubuh Gallen tak lagi bergerak, Codet dan anak buahnya serentak menghentikan serangan mereka. Salah satu anak buahnya berjongkok. Mendekatkan jari pada di bawah lubang hidung Gallen. “Dia masih hidup, Bos!” Codet mengibaskan tangan. “Tugas kita hanya memberinya pelajaran, bukan menghabisinya.” “Tapi, Bos—” “Apa kau lupa? Kali ini kita hanya diminta untuk melakukan tindak kekerasan, bukan pembunuhan!” “Bagaimana kalau dia melaporkan kita setelah dia sadar?” tanya anak buahnya yang lain. “Dia bahkan mungkin tidak mengenali dirinya sendiri saat bangun nanti. Apa kau pikir dia akan mengingat kita?” Sebenarnya Codet sedikit kesal dengan keceriwisan dua anak buahnya itu. Akan tetapi, mengingat keduanya baru saja bergabung beberapa hari yang lalu, Codet berus
Silvana menempelkan kuping ke daun pintu, mencoba menangkap suara dan gerakan dari dalam kamar Ara. “Dobrak pintunya, Pa!” Silvana tak mampu lagi menahan kekhawatirannya. Seperti telah dihipnotis, Guntur mengambil ancang-ancang. “Mundur!” Silvana menjauh dari pintu. Mulutnya komat-kamit, melafal doa semoga putrinya tidak melakukan hal-hal gila yang dapat membahayakan nyawa. Entah berapa kali Guntur menendang pintu sekuat tenaga. Kakinya terasa sakit. Akan tetapi, memikirkan keselamatan putrinya di dalam sana, Guntur mengabaikan semua rasa sakit yang dideritanya. Begitu pintu terbuka, Guntur merangsek masuk dan berlari ke jendela. Ara berdiri mematung di sana. Pandangannya jauh menjangkau cakrawala. Guntur membetot tangan Ara. “Jangan gila, Ara! Nyawamu lebih berharga daripada bajingan tak tahu malu itu!” Ara memandang papanya dengan sorot mata jengkel. “Siapa yang Papa sebut bajingan?” “Siapa lagi kalau bukan lelaki yan