Zahari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak mengenal Gallen. Bagaimana mungkin dia bisa menghubungi keluarganya? Akan tetapi, dia tidak berani untuk memberitahu perawat galak itu tentang kenyataan yang sebenarnya.
Melihat Zahari diam saja, perawat itu berlalu dengan raut muka terlihat kesal. Hal yang dibencinya saat bertugas di ruang IGD adalah melayani pasien dari kalangan ekonomi kelas bawah. Kehadiran mereka hanya menyebabkan rumah sakit menderita kerugian.
Sudah tak terhitung berapa banyak pasien yang kabur setelah mendapatkan tindakan dokter dan perawatan tanpa membayar. Benar-benar menjengkelkan! Berkaca dari pengalaman buruk tersebut, perawat itu memilih untuk tidak melaksanakan tugasnya dan pergi begitu saja.
“Om harus menolong dia dulu sebelum pergi.”
Bimo menarik tepi baju perawat itu. Dia memasang wajah memohon dengan bibir yang bergetar lantaran kedinginan.
“Singkirkan tangan kotormu itu dari tubuhku!”
Perawat itu melotot. Ekspresi jijik tercetak jelas pada roman mukanya ketika dia menyapu penampilan Bimo dengan tatapan marah.
“Om harus janji menyelamatkan orang itu dulu!”
“Hei, bocah! Kau tidak punya hak untuk mengaturku!” Perawat itu mendorong Bimo hingga terjengkang di lantai. “Sudah kubilang, urus dulu administrasinya kalau ingin mendapat perawatan di sini!”
Zahari bergegas membantu Bimo untuk berdiri. Darahnya mendidih melihat perlakuan kasar perawat itu kepada cucu kesayangannya. Akan tetapi, dia tidak berani untuk menunjukkan emosinya. Dia hanya seorang pemulung. Jika dia bersikeras untuk melawan, semua itu hanya akan memperburuk keadaan dan mempersulit dirinya.
“Keamanan! Usir orang-orang ini!”
Mendengar teriakan perawat tersebut, dua petugas keamanan berlari menghampiri Zahari dan Bimo. Mereka menyeret paksa kakek dan cucu itu.
“Kalian jahat!” Bimo terus meronta sambil meneriakkan dua kata itu.
“Berhenti!”
Suara tegas seorang wanita muda menghentikan langkah dua petugas keamanan selangkah sebelum mencapai pintu.
“Selamat sore, Dokter Hellen!”
Dua petugas keamanan itu sedikit membungkuk ketika memberi salam pada Hellen.
“Apa yang terjadi di sini?” Hellen bertanya tanpa membalas salam mereka. Matanya menyipit saat melirik Zahari dan Bimo.
Dua petugas kemanan itu saling lempar pandang dan menundukkan kepala. Namun, sudut mata mereka mengarah pada perawat lelaki yang tadi memberi perintah.
Hellen mengikuti arah pandangan mereka. “Ardy? Kapan kau akan berhenti membuat keributan? Ini rumah sakit, bukan klub malam.”
Ardy mendengkus. Menatap tidak senang pada Hellen. “Kalau kau ingin terus menjadi malaikat pelindung bagi orang-orang tidak mampu itu, lakukan saja! Aku tidak peduli apakah kau akan jatuh miskin seperti mereka, tapi … jangan paksa aku untuk ikut melakukan hal sebodoh itu.”
Hellen membuang napas dan menggeleng lemah tatkala Ardy berbalik dan naik ke lantai dua.
Lelaki itu tidak pernah menghormati siapa pun di rumah sakit tersebut. Dia selalu bertindak sesuka hati hanya karena dia memiliki seseorang yang selalu mendukungnya.
“Bu Dokter, tolong selamatkan Om itu. Aku tidak ingin dia mati.”
Bimo meraih tangan Hellen. Memohon belas kasihnya untuk menyelamatkan Gallen. Lelaki itu memang hanya orang asing baginya, tetapi entah mengapa dia tidak ingin Gallen mati. Sedari kecil dia tidak pernah mengenal orang tuanya. Dia hanya mengenal kakeknya.
Jadi, hati kecilnya berharap dengan menyelamatkan lelaki asing itu, dia akan mendapatkan kasih sayang darinya. Walau tak sebanding dengan cinta kasih ayah kandung, setidaknya perbedaan generasi di antara mereka benar-benar layaknya seorang ayah dan anak.
Hellen merasa tersentuh melihat air muka permohonan yang membias di wajah Bimo. Dia tersenyum dan berkata, “Tentu. Kau tidak perlu khawatir. Dia akan baik-baik saja. Aku akan memeriksanya untukmu.”
“Terima kasih, Bu Dokter!” Mata redup Bimo berbinar cerah.
“Ayo kita pulang dulu,” ajak Zahari, menggamit lengan Bimo. “Nanti kita ke sini lagi.”
Bimo mengangguk. Senyum lebar menghias wajah pucatnya.
***
Satu jam kemudian, di sebuah rumah tua, ponsel Falisha berdering nyaring. Falisha meraih benda pipih itu dengan gerakan malas. Dia baru saja pulang dari kampus. Tubuhnya sangat lelah. Seharusnya dia bisa pulang lebih awal kalau saja dosen yang mengajar mata kuliah terakhir tidak memundurkan jadwalnya. Suara Falisha terdengar lesu saat dia mengucap salam. Namun, beberapa detik kemudian dia terlonjak bangkit. “Apa? Rumah sakit? Ya. Aku segera ke sana.” Falisha melupakan rasa lelahnya dalam sekejap. Buru-buru dia mengganti pakaian basahnya, lalu berlari keluar. “Mau ke mana, Faly? Bukankah sekarang saatnya makan malam?” Teguran Ghifari mengerem langkah Falisha. Tangannya batal membuka pintu. “Maaf, Ayah. A–aku harus ke rumah sakit sekarang.” Falisha menjatuhkan pandangan ke lantai, tak berani menantang bola mata ayahnya. Dia takut lelaki itu akan membaca kecemasannya. “Rumah sakit? Apa kau merasa tidak sehat?” Ghif
“Semakin cepat Bapak menandatangani surat itu, semakin baik bagi kondisi kesehatan anak Bapak.” Teguran Hellen mengembalikan kesadaran Ghifari. Dia tidak punya pilihan selain menyetujui tindakan operasi untuk Gallen. Dia ingin Gallen tetap hidup, walaupun dia harus menjual organ tubuhnya untuk melunasi biaya pengobatan Gallen. Tanpa menunda lagi, Ghifari membubuhkan tanda tangannya pada lembaran kertas yang disodorkan perawat. Satu jam sudah waktu berlalu setelah Gallen selesai menjalani operasi. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Falisha duduk di samping ranjang Gallen dengan perasaan gelisah. Berapa lama dia harus menunggu kakaknya itu sadar? Ghifari mengelus kepala Falisha. “Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Percayalah, kakakmu akan baik-baik saja.” “Tapi, Ayah … dia sudah sangat lama tertidur. Bagaimana kalau—” “Hentikan omong kosong itu! Dia lelaki yang kuat. Pulanglah! Dia pasti lapar saat terbangun nanti.” G
Sebelum Gallen mampu mencerna rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir kakek gurunya itu, sebuah tendangan berkekuatan penuh mendarat di perutnya. Gallen terlontar ke udara dan terbang jauh dengan jeritan melengking tinggi. Dia tak menyangka kakek gurunya akan tega melakukan hal sekejam itu kepadanya. Tendangan pada perutnya mengalirkan hawa yang menyebabkan seluruh uratnya menggeliat. Organ dalam tubuhnya seakan berlari ke sana kemari, tak tentu arah. Entah berapa jauh lagi dia melayang, melintasi bumantara. Sementara di atas ranjang rumah sakit, tubuh Gallen terguncang. Perutnya terangkat dari permukaan tempat tidur. “Kakak!” Falisha yang jatuh tertidur berteriak syok mendapati gerakan Gallen yang tiba-tiba. Wajah piasnya semakin pucat laksana selembar kertas basah. “Dokter! Tolong!” Falisha memekik panik. Saking cemasnya, dia berlari keluar untuk mencari pertolongan. Dia lupa bahwa dia hanya perlu menekan bel di sisi kepa
“Ah, eh … ya. Aku baik-baik saja.” Gallen gelagapan setelah mengumpulkan kembali segenap kesadarannya. Senyuman canggung menghias wajah pucatnya. Hellen memaksakan sudut bibirnya menjungkit naik, membentuk senyuman ramah, khas seorang dokter. “Apa yang Anda rasakan?” Gallen menggerakkan jari-jari tangan dan kakinya. Semua terasa normal. “Hanya sedikit pegal.” Hellen pindah ke sisi Gallen. “Itu wajar. Anda tidak sadarkan diri selama tiga minggu,” beritahunya sambil menempelkan stetoskop pada dada Gallen. ‘Selama itu?’ Melihat Hellen sedang berkonsentrasi mendengar detak jantungnya, Gallen menyimpan pertanyaan itu untuk diri sendiri. Ia tak menyangka serangan para preman bayaran itu bisa melumpuhkan dirinya untuk waktu yang cukup lama. “Jika tidak ada keluhan, Anda bisa pulang sore ini.” “Apa itu artinya kakak saya sungguh baik-baik saja, Dok?” Wajah Falisha berbinar cerah. Dia tidak mampu menyemb
Tiga orang anak buah Codet bergerak cepat melaksanakan perintah sang bos. “Ja–jangan, Bos .…” Ghifari merengek tak berdaya ketika kaki tangan Codet keluar dari kamar tidurnya. Salah satu dari mereka mengancakkan dokumen penting kepemilikan rumah dengan seringai penuh kemenangan sekaligus mengejek. Codet merampas dokumen di tangan anak buahnya dan membolak-balik berkas itu sekilas. “Bagus! Bos Besar pasti senang menerima ini,” kekehnya, merasa bangga atas kinerja gerak cepat anak buahnya. Perhatiannya berbalik kepada Ghifari. “Dasar bodoh! Kalau kau menyerahkan dokumen ini dari awal, aku tidak perlu menyiksamu.” Codet mengangkat kakinya dari dada Ghifari setelah memberikan tekanan memutar, membuat Ghifari semakin meringis. Begitu badannya bebas dari injakan penagih utang itu, Ghifari bergegas memburu Codet. Kedua tangannya melingkar pada betis Codet. Menahan langkah lelaki itu agar tidak pergi dari rumahnya. “Tolong, jan
Codet menendang Ghifari. “Bangun! Kau membuat warna sepatuku menjadi pudar.” Tak ingin membuang kesempatan, Ghifari buru-buru bangkit. Dia membungkuk di hadapan Codet. “Aku akan selalu mengingat kebaikan Anda, Bos!” “Sudah seharusnya begitu, bukan?” Codet kembali mengalihkan perhatiannya pada Falisha. “Sesuai janjimu, kau akan melakukan apa pun untukku, bukan?” Falisha melirik ayahnya. Darah masih mengalir di sudut bibir Ghifari. Hati Falisha terenyuh menyaksikan penderitaan ayahnya. Lalu, dia mengangguk. “Bagus! Kalau begitu, mulai malam ini kau harus menemaniku,” kata Codet. Matanya berkilat. “Kau hanya boleh pulang setelah ayahmu melunasi semua utangnya.” Mendengar permintaan konyol Codet, mulut Falisha ternganga. Walaupun dia sudah bisa memprediksi kemungkinan adanya keinginan kotor yang melintas di benak Codet, tetap saja dia kaget sekaligus marah. “Dalam mimpimu!” Senyum di wajah Codet menghilang. Falisha
Falisha membuka dompet. Tidak banyak uang yang tersisa. Sekadar cukup untuk membayar ongkos taksi.Melirik pada ayahnya yang setengah pingsan, Falisha tidak punya pilihan selain memesan taksi online. Ayahnya harus segera mendapat perawatan.Kurang dari setengah jam, Falisha dan Ghifari tiba di rumah sakit. Kali ini nasib mereka sangat mujur karena langsung bertemu dengan Dokter Hellen.“Apa yang terjadi?” tanya Hellen, mengamati ekspresi kesakitan pada wajah Ghifari. Keningnya mengerut.“Kecelakaan. Tolong selamatkan ayah saya, Dok!”Falisha enggan mengungkap kebenaran di balik cedera yang dialami Ghifari. Tak disangkal bahwa Hellen adalah wanita yang baik. Bagaimanapun, tetap ada hal-hal yang hanya pantas untuk disimpan sendiri.Berpikir bahwa kejujurannya mungkin bisa mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi keselamatan Ghifari, tentu saja berbohong menjadi pilihan terbaik saat itu.Selama melakuka
Berdiri di pelataran parkir rumah sakit, Gallen merogoh kantong. Mengeluarkan ponsel model lama yang telah menemaninya selama bertahun-tahun. Jarinya bergerak lincah men-scroll daftar kontak, lalu tersenyum tipis setelah menemukan nama Kenzie. “Kenzie, aku butuh bantuanmu,” sembur Gallen tanpa basa-basi begitu panggilannya terhubung. “Akhirnya … kupikir aku akan menganggur untuk waktu yang sangat lama.” Suara Kenzie terdengar bersemangat. “Katakan! Apa yang dapat kulakukan untukmu?” “Apa kau tahu tentang tato elang yang siap menyambar mangsa?” “Di mana kau melihatnya?” Gallen menghempaskan napas jengkel. “Aku tidak memintamu untuk bertanya balik!” “Maaf, tapi aku perlu memastikannya. Kau tentu tidak ingin mendapatkan informasi yang salah, bukan?” Kenzie memang sosok pekerja yang sangat teliti. Dia tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan sesuatu. Tak peduli seberapa sempit waktu yang diberikan Gallen kepadanya untuk menyelesaikan