Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.
Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.
Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahun ke belakang merupakan masa-masa paling sunyi di rumahnya. Ayahnya sering sekali pergi dinas berhari-hari, meninggalkan Tia sendiri. Rumah yang semakin sunyi itu berbanding terbalik dengan pikiran Tia yang makin ramai, rumit, dan sangat berantakan. Setahun belakangan Tia merasa sangat kesepian sampai dirinya sendiri yang tidak bisa menerima presensi orang lain selain Juna di hidupnya. Kehadiran orang lain hanya membuatnya muak. Ia sudah terbiasa sendirian, tidak mau lagi mencari kehangatan di tiap malam dengan orang asing (insiden yang terakhir kali tidak mau diingat oleh Tia).
Tia tersadar dari lamunannya saat ponselnya berdering kembali. Tanpa berpikir, Tia langsung menerima panggilan tersebut.
Memilih untuk menunggu orang di seberang sana untuk memulai percakapan, ia duduk lebih tegap dan kembali mengeringkan rambutnya.
“Halo?” sapa seseorang itu, agak ragu-ragu.
Tia mendengus kecil sambil tersenyum sebelum menjawab, “Halo, kak,” sapanya balik. Suara di seberang sana agak ramai, sepertinya Arka sudah berada di tempat acara diadakan.
“Kamu dimana?” tanya Arka, kali ini terdengar lebih jelas dan tegas dibanding sebelumnya.
Berjalan santai menuju tempat menjemur handuk, Tia menjawab “Tempat temen,” singkat dan menyisiri rambutnya dengan tangan kirinya.
“Pak Reza udah sampai barusan,” ujarnya, terdengar suara ramai di belakangnya memudar, sepertinya Arka menjauh dari keramaian.
Tia tersenyum kecil, memilih untuk memakai topengnya sekarang. “Iya kak, tadi papa berangkat sendiri. Aku lagi sama temen jadi nggak mau ikut,” ujarnya berbohong. Ia sekarang lancar mengeluarkan kebohongan dari mulutnya, hasil dari latihannya bertahun-tahun.
Di seberang sana Arka terdiam, membuat Tia melepaskan ponsel dari telinganya sebentar, memastikan bahwa panggilannya masih tersambung. “Halo? Kak?” panggilnya.
Ia hanya mendengar suara tidak jelas dari seberang, sebelum suara pintu yang terbuka dan tertutup terdengar, dilanjut dengan suara Arka yang sedikit terengah.
“Kamu dimana?” tanyanya, mengulang pertanyaannya awal panggilan tadi.
“Rumah temen, kan aku bilang tadi lagi sama temen,” jawab Tia, menghiraukan suara kecil di otaknya yang sangat penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Arka.
“Temenin saya makan malam, mau?” tanya Arka di seberang sana, suaranya menenangkan seperti biasanya, dan secara instan membuat bahu Tia melemas, tidak lagi tegang saat berbohong tadi. Ia pun tidak menyadari bagaimana bahunya sedikit mengangkat, defensif. Padahal Arka juga tidak bisa melihatnya saat ini.
“Kan kakak ada makan malam sama perusahaan?” jawabnya, suaranya penuh dengan kebingungan.
“Saya mau makan sama kamu, boleh?” Arka balik bertanya.
Saat itu, Juna muncul dan berbicara tanpa suara, “Terima ajakannya!” dengan bersemangat. Pasti anak ini sedari tadi mendengarnya berbicara di telepon. Juna duduk di sampingnya, tangannya masih mengeringkan rambutnya yang masih basah.
“Tia?” panggil Arka dari seberang sana. Tia melepaskan pandangannya dari Juna dan menatap kakinya.
“Ketemu di tempat makan langsung, ya, kak?” oke, keputusan yang cukup sulit untuk Tia tapi seperti kata Juna, Tia hanya akan menjadi orang jahat jika ia menolak kebaikan yang ditawarkan oleh Arka.
“Saya bisa jemput kamu dulu. Coba kamu share location ke saya aja,” tawar Arka, sepertinya mobilnya kini sudah melaju.
Tia menggeleng cepat, sebelum tersadar bahwa Arka tidak bisa melihatnya. “Nggak usah, kak. Aku berangkat sendiri aja nggak apa.” tolaknya cepat.
Hening sesaat sebelum Tia mendengar sebuah helaan napas pelan, “Oke. Saya share location tempat makannya, ya?” dan apakah ada sedikit kekecewaan dari suaranya? Entah, Tia juga tidak terlalu yakin.
Setelah ia menjawab “Oke kak. See you.” dan mengakhiri panggilannya, ia memalingkan wajah ke Juna yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Tia yang melihatnya pun tersenyum juga, makin lama makin lebar sebelum ia tertawa lepas, tubuhnya ia rebahkan ke kasur Juna. Lelaki itu mengikuti Tia berbaring di sebelahnya, ikut tertawa. Bangga akan langkah yang diambil Tia.
---
Tia melangkahkan kakinya dengan cepat begitu keluar dari bis yang dinaikinya. Barusan Arka mengirimnya pesan singkat memberitahu Tia bahwa ia sudah sampai di tempat makan yang Arka inginkan. Yang tidak terpikirkan oleh Tia adalah, tempat makan yang Arka tuju adalah warung nasi goreng di depan kompleknya.
Kembali mengecek jam di ponselnya, Tia mempercepat lagi langkahnya. Ia sudah membuat Arka menunggu selama 15 menit. Melewati gerbang komplek rumahnya, Tia menyempatkan menyapa singkat satpam yang sedang berjaga. Tenda yang menjual nasi goreng itu terletak tidak jauh dari sana, hanya berjarak 100m dari gerbang komplek perumahannya.
Ia bisa melihat mobil hitam Arka terparkir rapih di samping tenda nasi goreng tersebut, dan Tia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya. Ia lap dahinya yang berkeringat dan mengambil napas panjang, menghembuskannya perlahan dan saat ia sudah merasa bahwa napasnya sudah tidak lagi seperti baru saja berlari marathon, ia masuk ke tenda tersebut. Arka sedang mengobrol singkat dengan bapak penjual nasi goreng dengan tangan kirinya yang mengangkat gelas teh panas dan menyesapnya.
Suara tarikan kursi plastik di sebelah Arka membuat si lelaki menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Tia sekarang sedang duduk manis. Tia masih merasa agak canggung, ia menyibukkan diri menuangkan teh tawar panas dari teko yang disediakan ke gelas kecil. Sebenarnya Tia merasa lega ketika tahu bahwa Arka mengajaknya makan malam disini. Karena, pakaian yang dipakai Tia hari ini akan hanya membuat mereka berdua malu jika Arka mengajaknya fine dining.
Jika Arka terlihat menawan dengan kemeja hitam yang lengannya digulung setengah dan bawahan celana formal, Tia terlihat seperti orang yang keluar dari rumah tanpa bersiap-siap sama sekali. Ia hanya mengenakan hoodie abu-abu milik Juna (yang kebesaran dipakai olehnya) dan celana training terkecil yang Juna miliki (ia harus melipatnya di bagian bawah). Ia merutuk dirinya dan kebiasaannya untuk menginap di rumah Juna tanpa persiapan.
“Mau pesen apa? Tadi saya udah pesen nasi goreng seafood buat saya,” adalah sapaan pertama Arka malam ini. Tia akhirnya menoleh dan mendapati Arka yang terlihat seperti sedang memperhatikannya sejak tadi.
Ia mengalihkan pandangannya dan berbicara pada si bapak penjual nasi goreng, “Pak mau nasi goreng sosisnya satu ya, pedes.”
“Baju kamu gede banget, salah pilih ukuran?” tanya Arka, ia meraih tangan kanan Tia untuk menggulung bagian lengannya karena telapak tangan Tia tersembunyi di dalam hoodie. Tia membeku sesaat, sebelum melepaskan napas yang ternyata ia tahan saat Arka meraih tangannya.
“Ini baju temen, kak. Tadi malem aku tidur di dia, dan nggak bawa baju ganti,” jelasnya sambil mengarahkan tangan kirinya juga ke Arka.
Gerakan tangan Arka terhenti untuk beberapa detik, dirinya seperti mematung. Saat lelaki itu sudah tersadar, ia mengangkat kepalanya dan memperhatikan pakaian yang dipakai oleh Tia. “Laki-laki?” tanyanya sambil mengangkat satu alisnya.
Tia mengendikkan bahunya acuh, “Laki-laki,” jawabnya.
Arka menggumam “Oh..” pelan dan melepaskan tangannya dari Tia, kembali duduk menghadap si bapak nasi goreng yang sedang menghidangkan kedua pesanan mereka.
Tia menyendokkan makannya dalam diam, ia bingung ingin membicarakan topik apa dengan Arka saat lelaki itu hanya makan tanpa membuka obrolan apapun. Tidak biasanya lelaki ini diam saja, maksudnya, ketika mereka sedang bersama, biasanya ia menjadi pendengar dan Arka yang banyak bicara mengenai hal apapun.
Kesunyian yang canggung itu dipecahkan oleh suara dering ponsel Tia yang membuatnya berjengit kaget. Ia mengeluarkan ponsel tersebut dari saku hoodie-nya dan langsung mengangkat panggilan dari Juna.
“Halo, Jun?” sapanya dengan mulut penuh berisi nasi goreng.
“Dih najis, telen dulu kek itu makanan,” hardik Juna dari seberang sana. Pasti Juna mengatakannya dengan wajah jijik. Tia terkekeh mendengarnya dan mengunyah nasi goreng di dalam mulutnya, menelannya, baru bicara kembali dengan Juna.
“Apaaa Junaaa?” ucapnya sambil tertawa kecil. Ia menegak teh tawar di hadapannya.
“Dah nyampe lo?” tanya Juna, di belakangnya terdengar suara samar orang yang sedang mengobrol. Pasti Juna sedang ada di kafenya setelah dari pagi terkurung di apartemennya bersama Tia.
“Udah,” jawab Tia singkat.
“Inget, jangan dorong mas Arka ya. Awas aja lo kalo nolak mas Arka, nanti gue yang tikung.” Ancam Juna membuat Tia meringis.
“Iya, bawel! Dah ah gue makan dulu, dah!” lalu sambungan ia putus.
Tia menoleh ketika merasa Arka melamun ke arahnya.
“Kenapa, kak?” tanyanya bingung. Masalahnya wajah Arka terlihat nelangsa, dan pandangannya sedikit kosong. Sendoknya masih dipegang di tangan kirinya, terangkat setengah jalan menuju mulutnya.
Arka kembali fokus ke nasi gorengnya, dan menyuap si nasi. “Pacar kamu, ya?” tanya Arka. Sesaat kemudian ia melipat mulutnya ke dalam, matanya bergerak gelisah, sepertinya yang barusan keluar dari mulutnya tanpa persetujuan otaknya.
Menunjukkan raut wajah bingung, Tia menjawab “Bukan?” singkat.
Kepala Arka kembali menoleh ke arah Tia dengan cepat. “Oh ya?” tanyanya memastikan. Kali ini matanya lebih bersemangat dibanding tadi, intonasi suaranya pun tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya.
Tia hanya mengangguk, ia bingung, dari mananya Arka bisa beranggapan seperti itu? Percakapan di panggilan barusan dengan Juna saja tidak ada manis-manisnya.
Mereka melanjutkan lagi makannya setelah itu, masih dalam diam, tapi mereka berdua sama-sama yakin bahwa kesunyian kali ini tidak lagi diselimuti dengan kecanggungan.
---
Setelah makan malam tadi, Arka mengeluhkan perutnya yang terlalu kenyang dan mengajak Tia untuk berjalan-jalan singkat sampai ke taman dalam kompleks perumahan Tia. Tia setuju-setuju saja, toh tadi dia juga makan lumayan banyak, walaupun belum bisa menghabiskan satu porsi seperti Arka. Bukan, bukan hanya satu porsi karena ternyata Arka pesan porsi jumbo. Tia ingin memberikan tepuk tangan pada Arka yang bisa mempertahankan postur tubuhnya walaupun porsi makannya amat banyak.
Semilir angin menyapa kulit mereka, beruntung Tia mengenakan hoodie Juna karena angin malam ini lumayan dingin. Ia melirik Arka yang berjalan disampingnya tanpa jaket atau jas, dan kemejanya juga masih digulung seperti tadi.
“Nggak dingin, kak?” Tia tidak tahan untuk tidak bertanya.
Arka menoleh, wajahnya langsung khawatir. “Kamu kedinginan?” tanyanya langsung.
“Hah? Aku sih nggak, hoodie-nya Juna anget kok. Jas kakak dimana?” jawabnya sambil menutupi telapak tangannya dengan hoodie kebesaran milik Juna.
Helaan napas terdengar dari si lelaki yang mengacak pelan rambutnya.
“Saya mau nawarin kamu pake jas saya, tapi jaket temenmu itu pasti lebih anget daripada jas saya,” ucapnya, memberi penekanan pada kata temenmu dan Tia langsung paham maksud dari Arka yang terlihat gelisah tadi setelah mereka keluar dari tenda nasi goreng.
Tia melirik tangan kiri Arka dan meraih lengannya, setengah memeluk. Sebetulnya Tia gengsi setengah mati berinisiasi seperti ini, tetapi ia memaksakan diri saat mendengar penjelasan Arka. Lelaki itu pasti gemas melihat Tia yang sudah dua kali ini bertemu dengannya mengenakan baju lelaki lain. Jika yang sebelumnya bisa ia buang dengan enteng, yang kali ini tidak bisa karena selain hoodie ini memang lebih hangat dibanding jasnya, tapi ini juga milik Juna, teman Tia.
Tubuh Tia terhuyung ke belakang ketika Arka berhenti mendadak. Ia tertahan oleh lengannya yang setengah memeluk lengan Arka. Wajah Arka terlihat terkejut, dan juga sedikit memerah. Oh.
“Ayo, kak?” panggilnya agar Arka kembali berjalan. “Aku pikir kak Arka bakal kedinginan karena nggak pake jaket apapun, boleh, kan?” tanyanya sambil menarik Arka perlahan, membawanya berjalan kembali bersama.
“Harusnya nggak gini..” gumam Arka pelan ke dirinya sendiri. Tia pura-pura tidak mendengarnya, dan tersenyum sendiri mengingat kembali ekspresi kaget Arka barusan. Menghiraukan detak jantungnya yang sekarang lebih cepat dari biasanya.
Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih pre-school sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga
“Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.
Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.
“Juna, jadi pacar gue yuk?” bisik Tia serius. “Nyebut, anjing.” Jawabannya datang tidak lebih dari satu detik. “Juna seriusan!” bisiknya lagi. Tia mengekor Juna ke bagian dapur untuk menaruh notes pesanan baru. Berbalik badan menghadap Tia yang kini memasang wajah khawatir? Takut? Grogi? Juna menyejajarkan wajahnya dengan Tia, ia ikut memasang wajah serius. “Mending gue pacarin mas Arka lo itu,” bisiknya. “AW!” pukulan Tia datang lagi, kali ini keras sekali karena suara PLAK terdengar mungkin sampai tempat duduk para pelanggan. Wajah Tia memerah lebih kentara dari pada sebelumnya. Juna bersumpah ia bisa melihat asap keluar dari hidung dan telinga perempuan itu. “Dia bukan mas Arka GUE,” desisnya kesal. Terdiam sebentar, Juna paham kalau hal ini cukup sensitif untuk Tia. Ia memang pernah meminta Tia untuk membuka hatinya agar Arka bisa masuk, tetapi apa yang terjadi kemarin kemungkinan besar membuat segala kesempatan untuk Arka
Langkah kaki Arka terasa sedikit lebih enteng hari ini. Tadi sore, ia sedang penat sekali dengan urusan kantornya. Ditambah kejadian kemarin dimana ia bertemu Tia di tengah jalan dalam keadaan yang tidak dapat dibilang baik-baik saja. Sebetulnya tadi ia hanya berniat mengambil uang tunai di salah satu minimarket, lalu ia melihat sebuah kedai kopi yang terlihat cukup ramai. Tanpa ia sadari, ia sudah meninggalkan mobilnya di parkiran minimarket itu dan memasuki kedai kopi yang tadi menarik perhatiannya. Tidak terbesit di dalam pikirannya bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya. Ia khawatir sekali dengan keadaan Tia kemarin, tetapi pemandangan yang terpajang seperti mengejek kekhawatirannya. Disana, Tia terlihat mesra dengan seorang lelaki tampan dan berpostur tubuh tidak jauh dengannya. Kulitnya lebih terang dan seketika Arka merasa tidak percaya diri dengan kulitnya yang lebih gelap. Dari bahasa tubuh Tia, Arka bisa
“Mas Arka, sori banget saya tau mas lagi sibuk, tapi ada klien yang pengen banget ditemenin makan siang sama mas..” bisik Dinar, salah satu staff marketing di perusahaan mereka. Gerakan jarinya di atas keyboard berhenti sesaat untuk memberikan atensinya pada Dinar. Ia melirik jam dinding yang tergantung di belakang Dinar dan kembali melirik ke pekerjaannya yang baru setengah jalan. Pak Reza memberikannya waktu hingga sore ini untuk menyelesaikannya. “Klien yang mana?” tanyanya, jarinya masih sempat untuk mengetikkan pekerjaannya dengan mata yang kembali fokus pada layar. Sedangkan telinganya ia fokuskan untuk mendengar jawaban dari Dinar. “Itu mas, yang tempo hari sempet ngobrol sama mas sebelum pak Reza dateng,” jawabnya. Jam makan siang sudah terlewat 10 menit. Perutnya lapar, tapi niat awalnya adalah ia akan menukar jam makan siangnya nanti ketika pekerjaan ini sudah selesai. Tapi maintaining klien juga sama pentingnya. Ia menimbang sebentar, di s
“Nggak, maksud saya bukan gitu, Ka,” ujar pak Reza sedikit panik. Arka tercekat, wajah sekretarisnya itu berubah pucat dalam hitungan detik.Di dalam kepala Arka, otaknya seperti berhenti sementara. Ucapan pak Reza barusan, dan cuti mendadak yang diambil oleh pak Reza dua hari belakangan ini menunjuk ke banyak pemikiran negatif dalam otaknya.“Tia masih ada di dunia ini, tapi lagi nggak disini gitu lho, Ka,” jelas pak Reza terburu-buru.Napas Arka yang ia tak sadari sedari tadi ditahan, kini dikeluarkan pelan dalam hembusan panjang. Matanya menutup dan ia bisa bersandar kembali di sofa empuk itu.Setidaknya, Tia-nya itu tidak meninggalkannya selamanya. Setidaknya, Tia-nya itu masih dalam keadaan sehat.Tetapi semua ketenangan itu pergi dalam sekejap, menyadari bahwa Tia-nya pergi tanpa mengabarinya. Ia terkekeh pelan. Tia-nya? Berani sekali ia menganggap perempuan itu sebagai miliknya. Disaat eksistensinya di dunia