Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.
Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.
Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantuan untuk memilih baju yang akan dikenakannya untuk kencannya nanti.
Tidak habis pikir Tia terhadap Juna, temannya itu belum lama patah hati, tetapi sekarang ia bahkan sudah mempersiapkan baju baru untuk berkencan dengan entah siapa. Juna belum mau mengenalkan teman kencannya kali ini dengan Tia, dan Tia tidak masalah dengan itu. Justru Tia suka merasa tidak enak dengan Juna karena 90% dari kegagalan kisah cintanya diakibatkan oleh dirinya.
Setelah selesai mendapatkan baju yang sesuai dengan keinginan Juna, mereka pulang ke apartemen Juna yang berlokasi tidak terlalu jauh dari kafenya. Apartemen ini ditinggali Juna seorang diri, keluarganya tidak tinggal di kota yang sama dengannya. Ayah dan ibunya memilih untuk tinggal di pinggiran kota dengan suasana yang jauh lebih tenang dari hiruk pikuk kota tempat Juna memilih untuk menjalankan hidupnya. Setidaknya Juna merasa aman karena adik laki-lakinya turut tinggal di rumah mereka di pinggir kota untuk memastikan bahwa orang tua mereka hidup dengan aman dan nyaman.
Tia sangat berterima kasih karena Juna masih ada disampingnya hingga saat ini. Entah bagaimana nasib Tia jika Juna tinggal di kota yang berjarak beratus-ratus kilometer jauhnya dari sini. Setidaknya Tia tidak sendirian, akan selalu ada Juna yang membuat dirinya kembali waras jika pikirannya berkabut.
Saat mendengar suara ponsel berdenting, Tia melongokkan kepalanya ke nakas yang berada di sebelah Juna. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan ponsel siapa yang barusan menyala layarnya. Tia merebahkan badannya kembali saat mengetahui bahwa ponselnya yang barusan berdenting. Nanti dulu, Tia masih belum mau bangun dari kasur.
Sapuan halus yang Tia rasakan di surainya membuatnya mendongak melihat ke arah Juna. Lelaki itu masih memejamkan matanya, keningnya mengernyit karena cahaya dari jendela yang menerobos masuk melalui celah blinds kamarnya. Tia mengarahkan jemarinya ke arah dahinya, menghilangkan kerutan di dahi Juna dan membuat matanya terbuka perlahan.
“Pagi,” sapanya dengan suara serak, bibirnya tersenyum tipis sebelum matanya kembali menutup.
“Siang juga, bapak,” balas Tia usil, terkekeh pelan setelahnya saat melihat Juna mengerucutkan bibirnya. Sahabatnya ini kalau di kafe dipanggil dengan sebutan Bapak Juna oleh karyawan-karyawannya, dan Tia selalu memastikan untuk meledeknya kapanpun ia bisa.
Juna membalas ejekan Tia dengan memeluknya seerat mungkin, membuat Tia berteriak protes dan menggeliat agar terlepas dari pelukan yang membuatnya sulit bernapas. “Gila lo Jun!” ucapnya dengan terengah setelah berhasil lepas dari pelukan maut Juna dan duduk menjauh ke pinggir kasur.
Lelaki itu hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya. Wow, sangat berwibawa sekali teman kita satu ini.
Tia memutar bola matanya malas, tidak ingin lanjut berdebat saat mereka baru saja bangun tidur. Ia akhirnya memilih untuk beranjak ke dapur, mencari gelasnya sendiri (tentu saja Tia memiliki banyak barang pribadi disini karena Tia sering menginap di rumah Juna), dan mengisinya penuh dengan air putih. Ia duduk di salah satu kursi (hanya ada 2) di meja makan Juna dan menegak habis air minumnya.
Setelah puas menghilangkan dahaganya, Tia kembali menginvasi dapur Juna. Kali ini kulkas menjadi targetnya sebelumnya. Tia membuka pintu freezer dan tersenyum lebar ketika menemukan es krim favoritnya masih utuh di dalam. Seingatnya, ia sudah menyimpannya disini sekitar 2 minggu lalu. Tumben sekali temannya tidak menghabiskan es krim itu.
“Itu gue baru beli, yang lo beli udah gue makan dari kapan tau,” ujar Juna yang berjalan gontai ke arah kursi satunya. Tia menoleh kearahnya dan mengambil 2 sendok kecil dari dalam laci, lalu menghampiri Juna.
Ia menyerahkan satu sendok ke Juna, dan membuka tutup es krim tersebut sebelum menaruhnya diantara mereka berdua. Sesendok es krim masuk ke mulutnya, dan ia menggerakkan kakinya, merasa senang. Sarapan yang sempurna siang ini.
Juna juga ikut menyuap es krim dan mereka makan dengan diam sampai Juna membuka suara, “Terus lo mau gimanain si mas Arka ini?” tanyanya dengan mulut penuh es krim.
Tia menelan es krimnya sebelum menjawab pertanyaannya. “Tumben banget lo ada sopan-sopannya manggil orang pake ‘mas’?” Bukan Tia namanya kalau tidak berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Respect gue sama dia, dari cerita lo dia anaknya kayak yang sopan gitu kan? Dan bukan pura-pura sopan, kalau dia cuma pake topeng di depan lo, lo pasti bakal sadar. Nggak mungkin lo diem aja dipepet sama orang macem itu,” jelasnya yang membuat Tia mau tak mau juga memikirkan jawaban Juna. Selama ini Tia selalu membatasi diri dari orang-orang yang mendekatinya karena ia paham betul mereka memiliki niat yang tidak bisa dibilang mulia terhadap Tia. Bahkan rekan-rekan kerja ayahnya maupun putra-putranya, selalu ia arahkan untuk tetap berkomunikasi lewat ayahnya saja dan tidak perlu repot-repot mengakrabkan diri dengannya.
Bisa dibilang, nomor Arka adalah satu-satunya kontak rekan kerja ayahnya yang ia simpan dengan nama akrab, “Kak Arka”, bukan “Bapak Arka” sebagaimana ia menyimpan kontak semua rekan ayahnya, seformal mungkin. Untuk menggambar garis batas antara urusan pribadi dan urusan kantor ayahnya.
“Menurut lo gimana, Jun?” tanyanya lagi. Sungguh, Tia tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Arka. Tia tahu bahwa Arka memang orang yang dari sananya perhatian dan pengertian, tetapi Tia pun dapat membaca air muka seseorang. Wajah Arka jelas sekali menunjukkan bahwa ia tertarik terhadapnya. Setidaknya selama ini penilaian Tia selalu benar, kalau salah, malu sekali dirinya berpikiran terlalu jauh.
“Entah? Mau gue bilang biar lo terima perlakuan baiknya, gue juga paham lo pasti ngerasa nggak enak nerima perlakuan dia tanpa ada balasan. Gimana, ya? Maksud gue, nggak papa kalau lo belum bisa bersikap ke dia sebaik dia ke lo, tapi paling nggak, jangan tolak kebaikan dia ya? Dia lagi berusaha,” jawabnya sambil menjilati sendoknya dari sisa es krim terakhir. Jorok.
Tia berdecak kesal, omongan Juna yang barusan tidak cocok dengan sikapnya yang slengean. Ia pun bangun dan membuang tempat es krim yang sudah habis, lalu mengambil sendok mereka berdua untuk ia cuci. Juna sudah berpindah ke sofa kecil di depan televisinya, dan ponsel di tangannya. Bersiap untuk memesan makanan untuk mereka berdua. Tia hanya duduk di sebelahnya, dan memilih tontonan mereka siang itu.
---
Langit di luar jendela kamar Juna sudah berubah menjadi jingga saat Tia membuka lebar jendela dan memperhatikan butiran halus debu yang seolah menari di bawah cahaya jingga tersebut, menerobos ke dalam kamar Juna yang ikut berwarna jingga juga. Ia duduk di pinggir kasur, memejamkan matanya dan membiarkan handuk basah jatuh ke pundaknya.
Waktu tenangnya terganggu saat ponselnya berdering di nakas. Oh, ia belum menyentuh ponselnya dari tadi bangun tidur. Tia berjalan gontai mengambil ponselnya, dan mendapati Arka yang menelponnya. Panggilan keburu berakhir ketika Tia masih menimbang untuk menerima panggilannya atau tidak. Saat si layar menyala menampilkan lockscreen-nya, Tia melihat pesan yang dikirim dari 2 orang.
Ia membuka pesan pertama yang dikirim dari pagi tadi, si bibi yang mengirimnya.
Tia lagi dimana, nak? Ini papa udah datang dari malem, mau sarapan bareng nggak?
Tia termenung, ia melewatkan kesempatan sarapan dengan ayahnya. Suara erangan tertahan terdengar dari kamar tersebut dan si pelaku yang sedang mengusap wajahnya kasar. Tia menyesal tidak menaruh ponselnya di samping kepalanya agar pesan dari bibi bisa ia baca tadi pagi.
Sudahlah. Menutup kolom pesan dari bibi, ia lalu membuka pesan yang dikirim dari Arka. Iya, siapa lagi yang akhir-akhir ini sering mengiriminya pesan selain lelaki itu?
Tia nanti malam ikut, kan?
Pesan dari jam 1 siang tadi. Tia mengernyit, apakah ia ada janji dengan Arka? Seingatnya tidak ada. Lalu ia membuka pesan yang baru saja dikirim Arka beberapa menit lalu.
Dinner malam ini temen-temen bawa keluarganya. Kamu dateng kan sama pak Reza?
Apa ini?
Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahu
Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih pre-school sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga
“Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.
Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.
“Juna, jadi pacar gue yuk?” bisik Tia serius. “Nyebut, anjing.” Jawabannya datang tidak lebih dari satu detik. “Juna seriusan!” bisiknya lagi. Tia mengekor Juna ke bagian dapur untuk menaruh notes pesanan baru. Berbalik badan menghadap Tia yang kini memasang wajah khawatir? Takut? Grogi? Juna menyejajarkan wajahnya dengan Tia, ia ikut memasang wajah serius. “Mending gue pacarin mas Arka lo itu,” bisiknya. “AW!” pukulan Tia datang lagi, kali ini keras sekali karena suara PLAK terdengar mungkin sampai tempat duduk para pelanggan. Wajah Tia memerah lebih kentara dari pada sebelumnya. Juna bersumpah ia bisa melihat asap keluar dari hidung dan telinga perempuan itu. “Dia bukan mas Arka GUE,” desisnya kesal. Terdiam sebentar, Juna paham kalau hal ini cukup sensitif untuk Tia. Ia memang pernah meminta Tia untuk membuka hatinya agar Arka bisa masuk, tetapi apa yang terjadi kemarin kemungkinan besar membuat segala kesempatan untuk Arka
Langkah kaki Arka terasa sedikit lebih enteng hari ini. Tadi sore, ia sedang penat sekali dengan urusan kantornya. Ditambah kejadian kemarin dimana ia bertemu Tia di tengah jalan dalam keadaan yang tidak dapat dibilang baik-baik saja. Sebetulnya tadi ia hanya berniat mengambil uang tunai di salah satu minimarket, lalu ia melihat sebuah kedai kopi yang terlihat cukup ramai. Tanpa ia sadari, ia sudah meninggalkan mobilnya di parkiran minimarket itu dan memasuki kedai kopi yang tadi menarik perhatiannya. Tidak terbesit di dalam pikirannya bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya. Ia khawatir sekali dengan keadaan Tia kemarin, tetapi pemandangan yang terpajang seperti mengejek kekhawatirannya. Disana, Tia terlihat mesra dengan seorang lelaki tampan dan berpostur tubuh tidak jauh dengannya. Kulitnya lebih terang dan seketika Arka merasa tidak percaya diri dengan kulitnya yang lebih gelap. Dari bahasa tubuh Tia, Arka bisa
“Mas Arka, sori banget saya tau mas lagi sibuk, tapi ada klien yang pengen banget ditemenin makan siang sama mas..” bisik Dinar, salah satu staff marketing di perusahaan mereka. Gerakan jarinya di atas keyboard berhenti sesaat untuk memberikan atensinya pada Dinar. Ia melirik jam dinding yang tergantung di belakang Dinar dan kembali melirik ke pekerjaannya yang baru setengah jalan. Pak Reza memberikannya waktu hingga sore ini untuk menyelesaikannya. “Klien yang mana?” tanyanya, jarinya masih sempat untuk mengetikkan pekerjaannya dengan mata yang kembali fokus pada layar. Sedangkan telinganya ia fokuskan untuk mendengar jawaban dari Dinar. “Itu mas, yang tempo hari sempet ngobrol sama mas sebelum pak Reza dateng,” jawabnya. Jam makan siang sudah terlewat 10 menit. Perutnya lapar, tapi niat awalnya adalah ia akan menukar jam makan siangnya nanti ketika pekerjaan ini sudah selesai. Tapi maintaining klien juga sama pentingnya. Ia menimbang sebentar, di s