Share

Sunset glow

Penulis: Araitara
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-19 11:10:02

Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.

Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.

Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantuan untuk memilih baju yang akan dikenakannya untuk kencannya nanti.

Tidak habis pikir Tia terhadap Juna, temannya itu belum lama patah hati, tetapi sekarang ia bahkan sudah mempersiapkan baju baru untuk berkencan dengan entah siapa. Juna belum mau mengenalkan teman kencannya kali ini dengan Tia, dan Tia tidak masalah dengan itu. Justru Tia suka merasa tidak enak dengan Juna karena 90% dari kegagalan kisah cintanya diakibatkan oleh dirinya.

Setelah selesai mendapatkan baju yang sesuai dengan keinginan Juna, mereka pulang ke apartemen Juna yang berlokasi tidak terlalu jauh dari kafenya. Apartemen ini ditinggali Juna seorang diri, keluarganya tidak tinggal di kota yang sama dengannya. Ayah dan ibunya memilih untuk tinggal di pinggiran kota dengan suasana yang jauh lebih tenang dari hiruk pikuk kota tempat Juna memilih untuk menjalankan hidupnya. Setidaknya Juna merasa aman karena adik laki-lakinya turut tinggal di rumah mereka di pinggir kota untuk memastikan bahwa orang tua mereka hidup dengan aman dan nyaman.

Tia sangat berterima kasih karena Juna masih ada disampingnya hingga saat ini. Entah bagaimana nasib Tia jika Juna tinggal di kota yang berjarak beratus-ratus kilometer jauhnya dari sini. Setidaknya Tia tidak sendirian, akan selalu ada Juna yang membuat dirinya kembali waras jika pikirannya berkabut.

Saat mendengar suara ponsel berdenting, Tia melongokkan kepalanya ke nakas yang berada di sebelah Juna. Ia menyipitkan matanya untuk memastikan ponsel siapa yang barusan menyala layarnya. Tia merebahkan badannya kembali saat mengetahui bahwa ponselnya yang barusan berdenting. Nanti dulu, Tia masih belum mau bangun dari kasur.

Sapuan halus yang Tia rasakan di surainya membuatnya mendongak melihat ke arah Juna. Lelaki itu masih memejamkan matanya, keningnya mengernyit karena cahaya dari jendela yang menerobos masuk melalui celah blinds kamarnya. Tia mengarahkan jemarinya ke arah dahinya, menghilangkan kerutan di dahi Juna dan membuat matanya terbuka perlahan.

“Pagi,” sapanya dengan suara serak, bibirnya tersenyum tipis sebelum matanya kembali menutup.

“Siang juga, bapak,” balas Tia usil, terkekeh pelan setelahnya saat melihat Juna mengerucutkan bibirnya. Sahabatnya ini kalau di kafe dipanggil dengan sebutan Bapak Juna oleh karyawan-karyawannya, dan Tia selalu memastikan untuk meledeknya kapanpun ia bisa.

Juna membalas ejekan Tia dengan memeluknya seerat mungkin, membuat Tia berteriak protes dan menggeliat agar terlepas dari pelukan yang membuatnya sulit bernapas. “Gila lo Jun!” ucapnya dengan terengah setelah berhasil lepas dari pelukan maut Juna dan duduk menjauh ke pinggir kasur.

Lelaki itu hanya membalasnya dengan menjulurkan lidahnya. Wow, sangat berwibawa sekali teman kita satu ini.

Tia memutar bola matanya malas, tidak ingin lanjut berdebat saat mereka baru saja bangun tidur. Ia akhirnya memilih untuk beranjak ke dapur, mencari gelasnya sendiri (tentu saja Tia memiliki banyak barang pribadi disini karena Tia sering menginap di rumah Juna), dan mengisinya penuh dengan air putih. Ia duduk di salah satu kursi (hanya ada 2) di meja makan Juna dan menegak habis air minumnya.

Setelah puas menghilangkan dahaganya, Tia kembali menginvasi dapur Juna. Kali ini kulkas menjadi targetnya sebelumnya. Tia membuka pintu freezer dan tersenyum lebar ketika menemukan es krim favoritnya masih utuh di dalam. Seingatnya, ia sudah menyimpannya disini sekitar 2 minggu lalu. Tumben sekali temannya tidak menghabiskan es krim itu.

“Itu gue baru beli, yang lo beli udah gue makan dari kapan tau,” ujar Juna yang berjalan gontai ke arah kursi satunya. Tia menoleh kearahnya dan mengambil 2 sendok kecil dari dalam laci, lalu menghampiri Juna.

Ia menyerahkan satu sendok ke Juna, dan membuka tutup es krim tersebut sebelum menaruhnya diantara mereka berdua. Sesendok es krim masuk ke mulutnya, dan ia menggerakkan kakinya, merasa senang. Sarapan yang sempurna siang ini.

Juna juga ikut menyuap es krim dan mereka makan dengan diam sampai Juna membuka suara, “Terus lo mau gimanain si mas Arka ini?” tanyanya dengan mulut penuh es krim.

Tia menelan es krimnya sebelum menjawab pertanyaannya. “Tumben banget lo ada sopan-sopannya manggil orang pake ‘mas’?” Bukan Tia namanya kalau tidak berusaha mengalihkan pembicaraan.

Respect gue sama dia, dari cerita lo dia anaknya kayak yang sopan gitu kan? Dan bukan pura-pura sopan, kalau dia cuma pake topeng di depan lo, lo pasti bakal sadar. Nggak mungkin lo diem aja dipepet sama orang macem itu,” jelasnya yang membuat Tia mau tak mau juga memikirkan jawaban Juna. Selama ini Tia selalu membatasi diri dari orang-orang yang mendekatinya karena ia paham betul mereka memiliki niat yang tidak bisa dibilang mulia terhadap Tia. Bahkan rekan-rekan kerja ayahnya maupun putra-putranya, selalu ia arahkan untuk tetap berkomunikasi lewat ayahnya saja dan tidak perlu repot-repot mengakrabkan diri dengannya.

Bisa dibilang, nomor Arka adalah satu-satunya kontak rekan kerja ayahnya yang ia simpan dengan nama akrab, “Kak Arka”, bukan “Bapak Arka” sebagaimana ia menyimpan kontak semua rekan ayahnya, seformal mungkin. Untuk menggambar garis batas antara urusan pribadi dan urusan kantor ayahnya.

“Menurut lo gimana, Jun?” tanyanya lagi. Sungguh, Tia tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Arka. Tia tahu bahwa Arka memang orang yang dari sananya perhatian dan pengertian, tetapi Tia pun dapat membaca air muka seseorang. Wajah Arka jelas sekali menunjukkan bahwa ia tertarik terhadapnya. Setidaknya selama ini penilaian Tia selalu benar, kalau salah, malu sekali dirinya berpikiran terlalu jauh.

“Entah? Mau gue bilang biar lo terima perlakuan baiknya, gue juga paham lo pasti ngerasa nggak enak nerima perlakuan dia tanpa ada balasan. Gimana, ya? Maksud gue, nggak papa kalau lo belum bisa bersikap ke dia sebaik dia ke lo, tapi paling nggak, jangan tolak kebaikan dia ya? Dia lagi berusaha,” jawabnya sambil menjilati sendoknya dari sisa es krim terakhir. Jorok.

Tia berdecak kesal, omongan Juna yang barusan tidak cocok dengan sikapnya yang slengean. Ia pun bangun dan membuang tempat es krim yang sudah habis, lalu mengambil sendok mereka berdua untuk ia cuci. Juna sudah berpindah ke sofa kecil di depan televisinya, dan ponsel di tangannya. Bersiap untuk memesan makanan untuk mereka berdua. Tia hanya duduk di sebelahnya, dan memilih tontonan mereka siang itu.

---

Langit di luar jendela kamar Juna sudah berubah menjadi jingga saat Tia membuka lebar jendela dan memperhatikan butiran halus debu yang seolah menari di bawah cahaya jingga tersebut, menerobos ke dalam kamar Juna yang ikut berwarna jingga juga. Ia duduk di pinggir kasur, memejamkan matanya dan membiarkan handuk basah jatuh ke pundaknya.

Waktu tenangnya terganggu saat ponselnya berdering di nakas. Oh, ia belum menyentuh ponselnya dari tadi bangun tidur. Tia berjalan gontai mengambil ponselnya, dan mendapati Arka yang menelponnya. Panggilan keburu berakhir ketika Tia masih menimbang untuk menerima panggilannya atau tidak. Saat si layar menyala menampilkan lockscreen-nya, Tia melihat pesan yang dikirim dari 2 orang.

Ia membuka pesan pertama yang dikirim dari pagi tadi, si bibi yang mengirimnya.

Tia lagi dimana, nak? Ini papa udah datang dari malem, mau sarapan bareng nggak?

Tia termenung, ia melewatkan kesempatan sarapan dengan ayahnya. Suara erangan tertahan terdengar dari kamar tersebut dan si pelaku yang sedang mengusap wajahnya kasar. Tia menyesal tidak menaruh ponselnya di samping kepalanya agar pesan dari bibi bisa ia baca tadi pagi.

Sudahlah. Menutup kolom pesan dari bibi, ia lalu membuka pesan yang dikirim dari Arka. Iya, siapa lagi yang akhir-akhir ini sering mengiriminya pesan selain lelaki itu?

Tia nanti malam ikut, kan?

Pesan dari jam 1 siang tadi. Tia mengernyit, apakah ia ada janji dengan Arka? Seingatnya tidak ada. Lalu ia membuka pesan yang baru saja dikirim Arka beberapa menit lalu.

Dinner malam ini temen-temen bawa keluarganya. Kamu dateng kan sama pak Reza?

Apa ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lend Me Your Wings   Everyone can see his love

    Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” ­(ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak

  • Lend Me Your Wings   Everything's a mess

    Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala

  • Lend Me Your Wings   A day in a life of Arka

    Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d

  • Lend Me Your Wings   El

    Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be

  • Lend Me Your Wings   The storm

    “Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u

  • Lend Me Your Wings   Enjoy the calmness

    Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian

  • Lend Me Your Wings   Waiting for you

    Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian

  • Lend Me Your Wings   Freshening up

    Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam

  • Lend Me Your Wings   A new old country

    Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status