Share

Look at me

Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.

Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.

“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih ­pre-school ­sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga masih tinggal sama orangtua. Nggak tega ninggalin mereka buat hidup berdua aja, hehe,” Arka menjelaskan sambil menunjukkan foto dua anak kecil, satu kakak laki-laki yang sedang memeluk adik perempuannya dari belakang sambil memamerkan gigi kecilnya.

Tia tersenyum mendengar penjelasan Arka. Matanya saat bercerita berkilauan seperti bintang, terpantul cahaya lampu taman. Dari suaranya terdengar jelas bahwa ia menyayangi keluarganya dengan amat sangat. Keluarganya terdengar seperti sama hangatnya dengan Arka, dan terlihat sangat terbuka terhadap hal menunjukkan kasih sayang pada satu dan yang lainnya.

“Eh, maaf. Saya kebanyakan ngomong ya?” kata Arka, menyadari dirinya sedari tadi berbicara tetapi Tia hanya mendengarkan saja.

Tia menggeleng pelan, senyumnya masih terukir di bibirnya. “Nggak apa-apa kak, aku seneng kok dengerin kak Arka cerita. Seru ya kayaknya keluarga kakak?” ujarnya, menopang kakinya ke kaki yang lain dan menggunakan tangan kirinya untuk menopang kepalanya, menoleh ke arah Arka. Hembusan angin membuat anak rambut Tia menggelitiki wajahnya, yang langsung diselipkan Arka ke balik telinganya dengan lembut. Arka lanjut menepuk pelan kepalanya, terasa sangat nyaman.

“Yah, sepinya kalau anak-anak lagi di rumah kak Tiffany aja sih. Rumah yang isinya sepasang orangtua sama saya doang mah nggak mungkin rame,” ujarnya, menyenderkan punggungnya ke kursi taman tersebut.

Tia memandang asal ke depan. Walaupun rumah Arka diisi lelaki itu dan orangtuanya saja, ia yakin hangatnya tidak akan hilang. Tidak seperti rumahnya yang selalu dingin sampai ia sendiri tidak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari. Jika Tia tidur di rumah, ia baru bisa terlelap saat fajar tiba, dimana orang-orang di luar rumahnya sudah beraktivitas dan ia tidak lagi merasa sendirian.

“Kamu beruntung ya kak,” ucapnya pelan, seperti tidak ingin Arka untuk mendengarnya. Tetapi taman itu amat sepi, tentu saja bisikan Tia barusan terdengar oleh Arka.

Arka kembali menegakkan tubuhnya, senyumnya lagi-lagi teduh dan menenangkan. Saat melihatnya, Tia juga ikut tersenyum kecil, entah kenapa.

“Aku anter pulang?” tawar Arka, menengadahkan tangannya ke Tia. Tia hanya menyambutnya dalam diam, lalu mereka berdua berdiri berjalan beriringan tanpa Tia bersedia melepaskan genggaman hangat tangan Arka.

---

Tia berjalan riang dari kamarnya menuju dapur menghampiri bibi di dapur. Ayahnya barusan mengabari kalau ia akan ada di rumah untuk makan malam bersama Tia dan meminta si bibi untuk memasakkan makan malam untuk mereka berdua.

“Bibiii, udah dapet kabar dari papa belum?” tanyanya riang kepada si bibi yang sedang mencuci beras.

Si bibi menoleh dan tersenyum senang melihat Tia bersemangat sore ini. “Udah, adek. Mau dimasakkin yang spesial nggak buat adek?” tanyanya sambil menyalakan rice cooker.

Tia menopang dagunya di counter dapur sambil meringis lebar. Ia merebut wortel dari tangan si bibi dan mulai memotong dadu sayuran itu.

“Nggak usah bi, apa aja boleh. Mau masak apa emang buat hari ini?” tanyanya, tangannya menaruh potongan wortel ke dalam mangkuk bersih.

Suara pisau yang sedang ditajamkan terdengar ngilu di telinga, Tia menutup telinganya sampai si bibi selesai menajamkan pisau. Si bibi mengeluarkan daging sapi dari tempatnya, “Kari gimana, dek?” tawarnya.

Terkekeh kecil, Tia tahu itu bukan penawaran tetapi pemberitahuan, karena semua bahan sudah siap dan tidak mungkin menu diubah kalau Tia menolak. Toh, Tia tidak akan menolak apapun, dan ini mungkin pertama kali dari sejak entah berapa lama bagi si bibi untuk mampir ke rumah saat sore untuk memasakkan Tia makan malam mengingat ia jarang makan malam dan jarang pula menghabiskan malam di rumahnya.

Si bibi pun juga tidak menunggu jawaban Tia dan lanjut mempersiapkan panci untuk memasak karinya. Menoleh ke arah Tia yang sudah selesai memotong dadu wortelnya, ia setengah mengusir Tia untuk mandi sebelum ayahnya datang.

Tia hanya menjawab “Oke,” dengan riang sebelum merangkul dan menepuk bahu si bibi pelan, sebagai gestur terima kasih. Lalu ia hilang di balik pintu kamarnya.

---

Makan malam kali ini seperti makan malam sebelum ibunya meninggal. Dimana ayahnya ada di meja bersamanya, dan ayahnya juga yang memberi komentar disana dan sini, entah mengenai makanan, atau hal lain di luar itu. Tia menanggapi seperti dulu ia biasa lakukan, dan perasaannya betul-betul menghangat. Senyumannya tak lepas dari bibir manisnya malam itu.

“Terus si Arka itu ya, dek, kemaren papa minta kopiin berkas buat rapat, malah dateng ke ruangan papa bawa kopi coba? Anak itu kadang emang lucu kelakuannya,” bahas ayahnya, menggelengkan kepalanya mengingat kelakuan sekretarisnya itu. Tia ikut terkekeh, memang Arka itu selain sikapnya yang hangat dan mengayomi, kadang keluar sisi lucunya. Seperti saat Arka terkejut waktu Tia mengenggam tangannya seminggu lalu.

Seminggu belakangan ini, ia dan Arka memang sering bertukar pesan singkat. Isinya tidak jauh dari Arka yang mengingatkannya untuk makan dan juga tidur tiap harinya. Tia pasti akan merasa risih mendapatkan pesan seperti itu setiap harinya, jika saja dirinya memang sudah melakukan semua itu tanpa diingatkan. Tetapi pola makannya masih berantakan, dan jam tidurnya juga belum seperti orang kebanyakan. Antara ia tidur subuh di rumahnya, atau ia tidur saat tengah malam di kasur Juna yang sedang tidak memiliki janji dengan teman kencannya saat itu.

“Juna gimana kabarnya, dek?” tanya ayahnya sambil menyuapkan sesendok potongan kentang ke dalam mulutnya.

Tia menelan makanan yang sedang dikunyahnya sebelum menjawab, “Baik pah, lagi deketin yang punya toko bunga di ujung jalan kafenya baru-baru ini.” Daripada menjawab hal yang basi seperti menyatakan kalau Juna sehat dan tidak kekurangan apapun, Tia lebih suka membahas percintaan sahabatnya itu dari dulu ketika mengobrol dengan kedua orangtuanya.

Ibunya dulu suka gemas terhadap percintaan Juna dan meminta mereka berdua untuk berpacaran saja. Yang sudah pasti ditolak langsung oleh mereka berdua. Dibanding pacaran, mereka jauh lebih nyaman menjadi sahabat dekat seperti sekarang. Toh hal ini kadang membantu Tia untuk menyingkirkan lelaki-lelaki brengsek dengan berpura-pura menjadi pacar Juna saat kepepet.

“Kalau kamu gimana?” tanya ayahnya, membuat Tia membeku sesaat.

“Kenapa apanya, pa?” tanyanya balik, memasang wajah bertanya-tanya.

“Belum ada yang mau dikenalin ke papa?” tanya papanya lagi, kali ini sambil mengangkat alisnya.

Tia hanya menggeleng sambil tertawa kecil, mengabaikan fakta bahwa ayahnya tidak pernah bertanya mengenai malam-malamnya yang dihabiskan di luar rumah. Orang tua lain pasti akan menanyakan dimana anaknya semalam tidur, jika tidak ada di rumah? Tetapi ayahnya bahkan tidak pernah mempertanyakan mengapa mereka jarang sekali bertatap muka sehari-harinya.

Menawarkan senyum lebar ke ayahnya, ia menjawab, “Nanti ya pa kalau ada aku bakal kenalin langsung,” matanya membentuk bulan sabit yang cantik dan membuat ayahnya ikut tersenyum, lalu mereka melanjutkan makan malamnya.

---

“Selamat datang, selamat berbelanja,” sapa kasir minimarket ramah.

Mini market tempat Tia mampir ini berada di daerah kawasan kantor ayahnya. Sebenarnya tidak ada yang spesial disini dibandingkan minimarket yang ada di dekat rumahnya. Hanya saja, di minimarket ini selalu ramai oleh pengunjung orang-orang yang bekerja di kantor sekitaran situ. Tia kadang sengaja mampir kesini hanya agar merasa dirinya sama sibuknya seperti orang lain disitu.

Tia mengangguk membalas sambil tersenyum singkat, ia langkahkan kakinya ke arah pendingin minuman dan mengambil air mineral untuk menemaninya ke toko buku. Siang ini cuaca mendung, dan terdengar suara gemuruh di kejauhan. Tia memundurkan badannya untuk menutup lemari pendingin, lalu terhuyung ke belakang saat kakinya tersandung sesuatu.

Tangannya kelabakan mencari pegangan, ia membuka matanya saat tubuhnya tidak lagi terhuyung dan ia merasakan ada tangan yang memegangi pinggangnya agar ia tidak jatuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status