Share

DIA SIAPA?

Hari baru telah dimulai. Harapan Cora untuk hari ini, semoga lebih baik dari kemarin. Lebam-lebam kemarin, warnanya sudah berubah lebih pekat dibanding kemarin. Rasa sakitnya sedikit berkurang berkat petugas UKS, walaupun hanya berkurang 10% . Tidurnya juga lebih nyenyak dari satu jam dari kemarin. 

Memang tubuhnya masih terasa nyeri, tapi Cora tetap harus menyiapkan sarapan untuk seisi rumah. Dia membuat makanan simpel seperti beberapa roti bakar dengan gurihnya margarin dan juga semangkok bubur  untuk ayahnya. Semua itu sudah tercepak rapi di atas meja makan. Langkah selanjutnya, dia membuatkan 3 gelas susu untuk masing-masing anggota keluarganya. 

Tn. Owen juga sudah menghampiri meja makan dengan kursi rodanya. “Kau pucat, apa kau sakit?” tanyanya yang menyadari kondisi Cora yang tampak kurang fit.

“Aku hanya kelelahan sedikit,” bohong Cora sambil tersenyum tipis. Tn. Owen tetap memberikan tatapan curiga. Dia mendekatkan bubur buatannya ke ayahnya. “Aku tidak apa. Kau mau kusuapi?” alihnya. Senyuman tipis tadi, ia rubah menjadi lebih lebar agar meyakinkan ayahnya itu. Dan berhasil.

“Kalau ada apa-apa, bilang pada ayah. Oh iya, aku makan sendiri saja.” Tn. Owen langsung meraih sendoknya dan langsung melahap makanan bertekstur lembut itu. “Enak sekali,” pujinya sambil mengusap lembut tangan putrinya yang duduk bersebelahan dengannya.

Cora kembali tersenyum tipis mendengar pujian dari ayahnya. Selain musik jadul, senyuman pada bibir ayahnya juga salah satu hal yang bisa menenangkannya. Apalagi senyum ayahnya kali ini, bukan senyuman yang menahan sakit seperti hari-hari sebelumnya dan bukan seperti senyuman yang diberikan Cora tentunya. Dia jadi tahu, rasa sakit yang selalu ayahnya rasakan. Sepertinya dia juga harus mempersiapkan dirinya yang nanti akan menjadi serapuh ayahnya, atau mungkin bersiap untuk menemui malaikat maut.

Tiba-tiba Axel datang ke meja makan lalu melemparkan segebok uang di antara piring-piring yang tertata di sana. “Itu untuk kebutuhanmu. Obat ayah dan oksigen aku akan mengurusnya. Rotinya makan saja, aku sudah kenyang,” katanya sambil melangkah santai menuju kamarnya. Dia baru saja pulang dari rumah Ny. Yara dan juga sudah mengisi perutnya dengan sarapan yang lebih mewah dari itu.

Cora hanya melirik sekilas uang itu. Itu terlihat tak berkurang dan tak bertambah juga. "Ini uang kemarin? Masih utuh?" tanyanya sambil menatap heran pada ayahnya. Cora yang lapar, membuatnya tak terlalu tertarik dengan uang sebanyak itu. Roti bakarnya di atas meja itu, lebih menarik baginya.

“Sepertinya dia menang kemarin,” duga Tn. Owen.

“Dia kalah,” jawab Cora tanpa sadar. Roti ketiga alias roti bakar yang seharusnya untuk Axel, membuatnya melupakan perkataan yang seharusnya dia kunci rapat-rapat. Roti itu bukan hanya membuatnya acuh pada uang tapi juga membuatnya keceplosan. Dia sering melewatkan makan malam yang membuatnya kelaparan di pagi hari.

“Kau juga ikut kemarin?” Sambil menunggu jawaban Cora, dia melahap bubur krim kesukaannya. 

“Ya… Aku penasaran,” jawab Cora tenang lalu membasahi kerongkongannya dengan segelas susu.

Tn. Owen mengangguk. Dia sangat hafal putrinya pasti masih lapar, langsung mengambil segelas susu miliknya untuk diberikan pada Cora.  “Ini, sayang. Ayah minum punya Axel saja.”

Cora yang baru saja menenggak habis susunya, tersenyum lebar menyambut segelas susu itu. Senyum hingga memperlihatkan garis-garis tipis di wajahnya. Dia sangat jarang memperlihatkan itu. “Terimakasih ayah.”

Setelah Cora menghabiskan segelas susunya yang kedua, dia langsung menyelempangkan tas berwarna putihnya karena waktu kuliah tinggal satu jam lagi. Sebelum meninggalkan rumah, tak lupa Cora pamit pada ayah tercintanya juga memberikan kecupan pada kedua pipinya. Dia bergegas kuliah menggunakan sepeda ontel yang sudah menemaninya sejak dia SMA. Kayuhan yang ia berikan pada sepedanya kali ini sangat pelan. Masa bodoh bila nanti dia akan mendapat hukuman  dari senior.  Yang penting dia harus menenangkan pikirannya juga menyehatkan mentalnya dulu agar bisa mengikuti aktivitas di kampus nanti. Lagu-lagu era 80-an selalu menjadi pilihannya untuk membuat suasana hatinya normal kembali. Dengan membuat diri kita bersahabat dengan rasa derita, kita tidak akan sadar kalau selama ini kita sedang menderita.

Cora menghabiskan waktu 2 jam untuk menggapai kampus yang seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja. Dia langsung memarkirkan sepedanya dan segera mencari barisannya. Ternyata lapangan yang kemarin digunakan untuk barisan mahasiswa baru, kini kosong. Terpaksa dia harus mencarinya terlebih dulu. Karena masih asing dengan bangunan ini, dia semakin kesulitan menemukan barisannya. Apalagi dengan kondisi kakinya yang masih sakit, membuatnya semakin malas untuk memutari gedung sebesar itu. "Di mana sih?" kesalnya. 

"Hei, kau!" panggil salah seorang senior. Dia berjalan mendekat pada Cora lalu meperhatikan wajah Cora beberapa detik sebelum membuka suara. “Kau yang jatuh kemarin ya?" Wanita itu menyadari kalau Cora adalah salah satu mahasiswa baru.

Cora mengangguk.

“Kenapa kau baru datang jam segini?" tanyanya dengan nada rendah tapi dengan tatapan tajamnya. 

 

Cora terdiam. Mahasiswi senior di depannya ini, tentunya sangat hafal dengan wajahnya. Sudah 3 kali dia berurusan dengan seniornya itu. Pertama dia yang menghampiri Cora saat pura-pura terjatuh, lalu dia yang memberikan ijin ke toilet, dan dia juga yang kemarin memergokinya tak kembali ke barisan karena ketiduran di UKS. Pasti sebentar lagi dia akan mendapatkan hukuman. 

"Ayo ikut aku." Senior dengan name tag Shea itu, langsung menyeret Cora. 

“Kak…” Cora sangat ingin langsung mengatakan kalau kakinya masih sakit, tapi rasa sakit karena Shea yang terus memaksanya bergerak, membungkamnya. Dia sampai menggigit bibir bawahnya untuk berusaha menahan teriakkannya.

“Ayo cepat! Jangan melawan!” kesal Shea. Rasa kesal itu timbul karena Cora yang bergerak lambat. Tanpa ampun, dengan kekuatannya dia terus menyeret Cora menuju salah satu tempat di kampus ini. Tepatnya sebuah lapangan basket in door.

Shea sampai terengah-engah hanya untuk membawa Cora yang berulang-ulang menahan langkahnya. “Astaga… Napasku habis karena dirimu bodoh! Cepat lari 10 kali!” perintah Shea dengan nada membentak.

"Tapi..."

"Cepat lari!"

Dengan sangat terpaksa, Cora menuruti perintah senior itu agar tak membuatnya semakin marah. Ia tetap memaksa kaki lemahnya berlari walaupun dengan tertatih. 

"Cepat!" Teriak Shea yang semakin dibuat kesal karena langkah pelan Cora yang juga menghambat tugasnya untuk mendampingi mahasiswa baru lainnya. Kalau biasanya lagu jadul yang menemaninya merasakan penderitaan, kini teriakan itulah yang menemani Cora menjalani siksaan itu.

Langkah Cora terasa semakin berat di setiap putarannya, bahkan tubuhnya sudah mulai gemetar di putaran ke-5. Napasnya juga semakin menipis dan keringat sudah keluar sangat berlebihan di seluruh permukaan kulitnya. 9 putaran telah berlalu. Kurang satu lagi, namun kakinya sudah menyerah untuk menyanggupi tekad Cora menyelesaikan perintah Shea. Energinya yang sudah terkuras habis, membuatnya menjatuhkan tubuhnya tepat di depan Shea.

"Dasar lambat!" ejek Shea sebelum berlalu pergi begitu saja. Beruntung dia tak menyadari hitungan yang kurang itu. 

Karena hukuman itu, kaki Cora sekarang sama sekali tak bisa digerakkan. Dia masih membiarkan tubuhnya tidur terlentang di lapangan itu, menahan kesakitan yang tidak bisa lagi diungkapkan. Sangat sakit. Tak bisa dibayangkan jika dia harus mengalami ini di sisa hidupnya yang malang. "Kenapa aku harus bertemu dia sih," kesal Cora.

“Cora?” panggil seorang pria.

Cora seperti mengenali suara itu. Pasti dia pria kemarin. Ya, siapa lagi kalau bukan Finn. Posisi tubuh Cora yang terlentang, membuat si pria tak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Kini Cora sengaja membaringkan tubuhnya ke kiri untuk semakin menghalangi pandangan Finn.

Keyakinan Finn bahwa itu memang Cora, memancing langkah kakinya mendekat untuk memastikan dugaannya. Cora tak bisa melesat pergi seperti sebelumnya dan langkah Finn yang secepat angin itu sudah membuatnya berada tepat di samping Cora, juga membuatnya melihat wajah Cora dengan jelas. “Astaga Cora!” kaget Finn. Dia hendak menggendong Cora agar bisa segera dilarikan ke UKS.

“Jangan Finn, kakiku sakit sekali,” cegah Cora. Rasa sakit pasti semakin menyiksanya jika kakinya tertekuk.

“Begitu ya. Kalau begitu tunggu sebentar aku, bawakan tandu.” Finn jadi kalang kabut karena kekhawatirannya pada Cora. Tak berapa lama kemudian, dua petugas UKS dengan membawa tandu datang dan langsung cepat-cepat membopong Cora dengan kondisi kakinya yang sudah kaku.

Sesampaianya di UKS, petugas UKS lain yang sudah mempersiapkan obat sesuai laporan Finn tadi, langsung menangani masalah pada kaki Cora. Cairan dingin, balsem, dan pil pereda nyeri diberikan agar membuat rasa sakit yang teramat sangat tadi mereda. 

“Terimakasih,” ucap Cora pada petugas UKS. Berkat pertolongan mereka, kakinya kini sudah bisa digerakkan lagi. 

“Lebih baik kau telepon orangtuamu agar bisa dibawa pulang. Aku tuliskan obat untukmu dulu ya.” Petugas UKS beralih ke mejanya untuk mengambil kertas dan mencatatkan sesuatu di sana. Setelah itu dia kembali dan memberikan secarik kertas itu.

Finn yang sedari tadi di sebelah Cora, masih memperlihatkan raut wajah khawatirnya. “Kenapa kau tiba-tiba ada di sana?”

Ada sesuatu yang berbeda dengan Finn. Finn terlihat memakai jas yang juga dipakai oleh Shea tadi. Padahal, kemarin dia tampak seperti mahasiswa baru. “Kau senior?” tanya Cora.

Finn terlihat kaget karena Cora jadi tahu kalau sebenarnya dia bukan mahasiswa baru. “Mmm… iya.”

“Lebih baik kau pergi. Sebentar lagi kakakku akan menjemputku,” usir Cora, bersenjata kebohongannya. Tentu saja Axel takkan peduli dengannya, sekalipun dia dalam kondisi kritis.

“Ada yang menghukummu? Siapa?”

“Aku terlambat. Wajar kalau aku dihukum.” Cora memberikan dorongan kecil pada Finn agar pria cepat pergi dari sisinya. 

“Shea?” tebak Finn. Tebakan itu juga akan disebutkan orang lain jika membahas tentang hukum-menghukum. Shea memang sering memberikan hukuman pada junior meskipun kesalahannya sangat sepele. Dan sifat gadis itu memang sudah diketahui oleh seluruh mahasiswa di sini. Apalagi dia merupakan anak dari konglomerat yang kaya raya. Hal itu semakin membuat junior juga senior takut padanya.

Cora langsung terdiam karena tebakan benar yang Finn lontarkan itu. 

“Dia memang keterlaluan.” Finn memperhatikan memar di kaki Cora yang lebih gelap dari yang ia lihat kemarin. “Sebelumnya kenapa? Katakan saja.” Nada rendah selalu menjadi pilihan ketika dia ingin mendesak sesuatu pada targetnya. Target apa? Korban kekerasan tentunya. Finn bukan hanya mahasiswa biasa. Sejak SMA dia sudah aktif membantu korban KDRT di sekitarnya. Luka yang diterima korban, biasanya luka lebam atau luka bakar karena puntung rokok atau setrika. Tetapi luka lebam yang ia lihat pada Cora, merupakan yang terparah.

Cora tentu tak bisa mengatakannya begitu saja karena jika Cora mengatakan itu, Axel akan menghabisinya nanti. “Aku sudah dijemput,” alih Cora sambil berusaha turun dari brangkar itu. 

“Aku akan menggendongmu ke depan…”

“Tidak usah. Aku sudah baikan,” tolak Cora. Dia bersih keras menghindar dari Finn. Dia juga sudah tidak bisa melanjutkan aktivitas pengenalan kampusnya yang pasti akan membuatnya terus berkeliling nanti. Lebih baik dia kembali pulang dan meninggalkan kegiatan kampus seperti yang ia lakukan kemarin.

Sementara Finn masih membatu di tempatnya. Dia sibuk menebak apa yang gadis itu alami sebenarnya, dari mana luka itu, juga siapa yang melakukannya.

Cora. Gadis itu sungguh membuatnya penasaran. Bukan hanya karena dia merasa Cora adalah korban KDRT tapi juga karena ada hal lain yang menarik dirinya untuk lebih dekat pada Cora. Perkataan Cora yang sudah mengatakan kalau ayah dan kakaknya baik adalah pancingan pertama yang membuat Finn benar-benar ingin tahu banyak tentang Cora. “Aku harus menelusuri keluarganya dulu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status