Share

KAU TIDAK APA?

"Kau puas dengan kekalahanmu?" sindir seseorang di belakang Axel. Suaranya yang lembut, menandakan pemiliknya adalah seorang perempuan. 

Kekesalan Axel yang sudah mereda karena menerima uang dari penonton, kembali merasukinya. Sindiran pedas itu tak bisa dia terima begitu saja. Terang saja, sifat gengsi yang membuatnya tak mau mengakui kekalahannya adalah penyebabnya. Dia bahkan sudah mengumpulkan tenaganya agar bisa langsung memberikan tonjokan pada wanita sombong itu setelah dia menoleh. Tangannya sudah menggenggam keras, dan siap untuk aksinya. 

Axel membalikkan tubuhnya dan langsung mengetahui pemilik suara itu. Dia adalah Ny. Yara, lawan mainnya tadi. Axel menahan dulu emosinya karena ternyata Ny. Yara tidak datang sendirian. Ada beberapa bodyguard yang berjaga tepat di pintu keluar dan mengawasinya. Itu membuatnya terpaksa harus menyembunyikan tangan kirinya yang masih terkepal di belakang punggungnya. "Menurutmu aku puas?" 

Ny. Yara tersenyum sambil melirik ke kantong plastik yang masih Axel bawa di tangan kanannya. “Oh iya. Aku lupa memberimu hadiah.”

“Untuk apa?” 

Ny. Yara menatap dalam mata Axel. Gerak geriknya terlihat seperti orang kelaparan yang sedang melihat makanan lezat di depannya. Sangat terlihat jelas, dia berulang-ulang kali menggigit bibir bawahnya dan mengeluarkan lidahnya, menjilat bibirnya sendiri.

"Kalau kau memberiku hadiah hanya untuk menghinaku, lebih baik tidak usah," ketus Axel. Dia semakin tak sabar untuk menghujani wajah Ny. Yara dengan pukulan yang ditahannya.

Ny. Yara terkekeh. "Kenapa kau menganggapnya begitu?" Dia memotong jarak dengan Axel agar lebih dekat dengannya juga bisa lebih jelas melihat detail barang yang akan dia beli. Tangannya mulai mengusap dada bidang Axel untuk memastikan ini memang barang bagus dan berkualitas. "Bagaimana jika kalimatnya menjadi...” Bibirnya mendekat ke telinga Axel untuk melanjutkan perkataannya. “Aku memberimu hadiah karena kau seorang pemenang," bisiknya.

"Pemenang?" tanya Axel yang semakin heran dengan perlakuan Ny. Yara itu. Kepolosannya membuat dia tidak peka dengan semua kode yang Ny. Yara berikan. 

Ny. Yara tersenyum gemas karena Axel yang tak kunjung mengerti apa keinginannya. Belaian lembut dari tangannya di pipi Axel, mempertegas maksud Ny. Yara yang mencoba menggodanya. "Kau sudah memenangkan hatiku. Kurasa semua penonton memilihmu karena ketertarikan mereka padamu juga," godanya, sambil masih memberi sentuhan-sentuhan pada setiap sudut badan Axel. 

Sekarang Axel mulai memahami tujuan wanita tua berjiwa muda ini. Dia meraih tangan Ny. Yara lalu mengusapnya lembut. Tidak apa jika dia menjatuhkan harga dirinya sekarang, karena ini bisa membawa keuntungan yang besar baginya.  Bukan hanya mendapat uang jajan, dia juga bisa mendapat trik agar bisa memenangkan perjudian yang baru dia geluti. "Jadi, kau menyukaiku?" 

Ny. Yara melepas genggaman tangan Axel lalu bertepuk tangan beberapa kali yang membuat seorang bodyguard datang dengan membawa sebuah kotak berwarna hitam. Setelah kotak hitam itu beralih ke tangan Ny. Yara, bodyguard itu kembali ke tempatnya berdiri tadi. Kotak itu dibuka lalu sengaja diperlihatkan tepat di depan wajah Axel. Di sana, terlihat sebuah kunci mobil. "Aku ingin dirimu. Hanya untuk bersenang-senang, kau mau?" tawarnya penuh harap.

Axel memperhatikan kunci mobil, yang terlihat berbeda dari kunci mobil pada umumnya itu. Dia menduga, pasti sebuah mobil mewah yang sedang ditawarkannya.

"Semua ada bayarannya, sayang. Tidak usah khawatir." Ny. Yara terus berusaha untuk mendapatkan Axel sepenuhnya.

Tentu saja ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan. Dorongan pada diri Axel yang mengharuskannya untuk menunjukkan kehebatannya sebagai anak dari pejudi hebat, membuatnya tak ragu dengan keputusannya. "I'm your's.”

Ny. Yara tersenyum puas. “Kalau begitu, besok kita akan mulai berkencan.” Sebelum pergi, tak lupa dia memasukkan kartu namanya di saku Axel. Kartu nama yang menunjukkan nomer telepon pribadinya juga kediamannya. Alamat yang tertulis di sana membuat Axel seolah mendapat hadiah lagi dari Ny. Yara. Hadiah yang lebih besar dari mobil mewah yang dia dapat.

***

"Hei! Cepat bangun! Jangan bertingkah, biaya kuliahmu mahal!" Bentakan dari Axel, mengagetkan Cora yang baru saja bisa tertidur setelah berusaha menentukan posisi yang tepat untuk mengurangi rasa nyeri di seluruh tubuhnya. Posisi tidurnya yang seperti janin di perut, membuat Axel tidak tega untuk menendangnya seperti biasa. Akting Cora kali ini gagal, membuat Axel yakin Cora memang sedang kesakitan. Tidak salah kalau Axel selama ini tega karena dia pikir, Cora tidak merasa sakit sama sekali. 

Cora ingin langsung bangun dari tidurnya tapi, hanya sekedar meluruskan kakinya saja, dia sudah merasa kesakitan. Sakit yang teramat sangat. "Iya sebentar..." kata Cora lirih. Dia terus berusaha menggerakkan kakinya yang mati rasa juga punggunggnya yang terasa sangat remuk. 

“Aku tunggu di bawah.” Hari ini Axel tak berbuat kasar. Dia sengaja melakukannya karena melihat Cora kesakitan seperti sekarang sudah cukup baginya. Bahkan lebih dari cukup.  

Cora meluruskan kedua kakinya terlebih dahulu lalu berhenti sejenak, menguasai tubuhnya yang terus terasa ngilu saat tulang-tulangnya bergerak. Walau hanya tergeser satu centi, rasa yang dihasilkan sungguh luar biasa. Setelah itu dia berusaha menegakkan punggungnya agar bisa berganti menjadi posisi terduduk. Dia kembali berhenti, sebelum membuat tubuhnya berdiri, dan sekarang dia harus kembali melawan rasa sakitnya untuk melangkah ke kamar mandi.

Setelah mandi, Cora masih harus bersiap-siap untuk menentukan pakaian yang membuatnya terlihat baik-baik saja. Dia sempat berkaca di cermin, ternyata luka memar itu seperti merubah kulit putihnya menjadi biru. Alhasil ia harus memilih memakai kemeja panjang dan juga celana panjang. Penderitaannya tidak berhenti sampai di situ. Dia masih harus berusaha menuruni tangga untuk menggapai mobil Axel. Perlahan dia menuruni satu demi satu anak tangga. Bukan hanya satu tangga, tapi tiga. Itu karena rumahnya terletak di lantai 4 dan bangunan ini belum disediakan lift. 

Setelah perjuangan panjangnya, akhirnya Cora berhasil masuk ke mobil baru Axel. Walaupun mobil ini terlihat mewah karena interiornya, Cora tak tertarik untuk menganguminya.

“Lama sekali. Kau sengaja membuatku menunggu ha?! Kau pikir kau siapa? Ratu? Jangan bermimpi, bodoh. Kau itu hanya jalang, bahkan seharusnya pantat kotormu itu tidak cocok berada di mobil berkelas seperti ini…” Axel terus mengumpat dan mencemooh Cora karena merasa kesal telah menunggu lama. 

Cora langsung mengambil walkman lalu memasangkannya di kedua telinganya, berusaha mengacuhkan kata-kata pedas dari mulut Axel. Hingga volumenya kini berada di titik maksimal. Masa bodoh bila telinganya rusak karena ini. Lebih baik dia tuli daripada harus mendengarkan perkataan-perkataan menyakitkan itu. 

Setelah 15 menit, Cora sudah berada di depan gerbang 'Bernice University'. Dia langsung membuka pintu mobil agar bisa cepat-cepat pergi dari sana. Tetapi bukan axel namanya jika tidak memberikan siksaan untuk Cora. Dia menarik rambut Cora, membuatnya duduk kembali. "Ingat, jangan berbicara pada siapapun. Apalagi bila ada yang bertanya tentang lukamu.” Terakhir, Axel menoyor kepala Cora hingga terbentur ke kaca mobil. “Cepat keluar.”

“Baiklah.” Cora hanya memasang wajah datar menanggapinya. Dia keluar dari mobil lalu berjalan tertatih agar bisa lebih dalam memasuki gedung universitasnya. 

Ternyata para mahasiswa baru, sudah berkumpul di barisannya masing-masing. Dia langsung mempercepat langkahnya karena proses pengenalan lingkungan kampus akan segera dimulai. “Jauh sekali,” keluhnya saat melihat barisan jurusan kedokteran yang terletak di paling ujung. Itu membuatnya harus mengerahkan tenaga ekstra. 

Cora sudah berhasil menggapai barisannya tepat saat mahasiswa senior sudah memberikan sambutannya. Ketika mengedarkan pandangannya ke barisannya dan barisan lain, dia baru sadar ada yang ketinggalan. Topi ulang tahun berbentuk kerucut adalah persyaratan hari ini yang tidak boleh ketinggalan. “Astaga… Jika aku dihukum karena ini, tulangku bisa patah,” keluhnya lagi.

Seseorang tiba-tiba menepuk pundak Cora dari belakang. Dia berbalik dan mendapati seorang pria yang juga merupakan salah satu mahasiswa baru di sana. "Ini, aku membawa dua." 

Ternyata masih ada malaikat penolong untuknya. "Terimakasih," ucap Cora menerima topi itu.

Pria itu kemudian berpindah di samping Cora. Satu jurusan memang harus membentuk 2 banjar, dan kebetulan barisan di samping Cora masih kosong. "Perkenalkan aku Finn," kata Finn memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya

"Aku Cora," balas Cora sambil menjabat tangan Finn.

"Senang berkenalan denganmu." Finn tersenyum.

Cora membalas senyuman lebar Finn dengan senyuman tipis.

Finn memperhatikan senyuman Cora dan merasakan ada keanehan dengan gadis itu. Dia terlihat seperti menahan sesuatu. "Kau tidak apa?" 

Cora langsung menggeleng cepat. “Aku baik-baik saja.” Dia kini berusaha mengacuhkan Finn. Bahaya jika Finn tahu apa yang dia alami sebelumnya.

"Semua duduk lalu tulis nama jurusan di lengan kalian masing-masing!" perintah mahasiswa senior.

“Siap kak!” sahut  semua mahasiswa serempak.

Jika Cora duduk secara perlahan, pasti rasa sakitnya bisa ketahuan oleh Finn. Setelah diam sejenak, Cora sengaja menjatuhkan tubuhnya berpura-pura kepeleset.

“Hati-hati Cora,” khawatir Finn sambil membantu Cora membenarkan posisi duduknya. 

“Ada apa ini?” tanya seorang mahasiswi senior yang menghampiri mereka karena melihat Cora terjatuh. 

“Hanya kepeleset,” jawab Finn. Mahasiswi itu hanya mengangguk lalu berjalan pergi. Untung Finn mengenal senior itu. Jika tidak, Cora pasti dalam masalah karena kegaduhan yang dia buat tadi.

Cora hendak melinting lengan kemejanya tapi terhenti karena teringat luka memarnya. Tak mau semua orang tahu, dia memilih untuk menulis nama jurusannya di punggung tangannya. 

Finn yang baru saja selesai menulis nama jurusannya di lengannya, tak sengaja melirik ke arah Cora. "Kenapa kau menulis di situ?"

“Aku…”

Finn mengira, Cora tidak bisa menekuk lengan kemeja hitamnya yang memang panjang. “Aku bantu ya.” 

"Tidak usah…" Cora mencoba menahannya tetapi  lengan kemejanya sudah terangkat dan memperlihatkan rahasianya.

“Cora?” 

Cora langsung memanjangkan lengan kemejanya, kemudian mengangkat tangannya.

“Kenapa?” tanya senior yang melihat Cora mengangkat tangannya. Dia adalah senior yang tadi menghampirinya saat jatuh. 

“Saya mau ke toilet,”ijin Cora.

Senior itu mengangguk. “Jangan lama-lama.”

 Cora berusaha berdiri, melawan nyeri yang masih dia rasakan. Tanpa disuruh, Finn langsung membantu Cora berdiri. Finn juga berniat untuk mengantar Cora ke toilet. Pikir Finn, Cora pasti sangat membutuhkan bantuannya mengingat dia baru saja terjatuh tadi. 

“Aku bisa sendiri,” tolak Cora lalu bergegas pergi meninggalkan Finn. 

Entah kenapa, Finn merasa curiga dengan Cora dan memutuskan untuk mengikutinya.

Kecurigaan Finn terjawab ketika melihat Cora yang berjalan menuju UKS, bukan ke toilet. Dia langsung berlari mendekati ruang UKS itu. Ketika dia mengintip dari pintu, dia melihat gadis itu mengambil balsem. Sebelum balsem itu dioleskan ke luka memarnya, Finn langsung berlari untuk menahannya.  "Luka memar seharusnya dikompres air es dulu," cegahnya.

Cora sangat terkejut karena kedatangan Finn. “Finn, kenapa kau…”

"Ada yang bisa kubantu?" tanya petugas UKS yang baru saja datang. Petugas itu melihat lengan Cora dengan bekas biru itu. "Astaga! Kenapa bisa seperti ini?!” kagetnya. Dia langsung bergegas menyiapkan obat untuk Cora.

Finn mengambil balsem dari tangan Cora lalu mengembalikannya ke kotak obat. “Duduklah.”  

Cora menuruti Finn, duduk di brangkar. Pasrah. Hanya itu yang menggambarkan dirinya saat ini. Dia sudah gagal menyembunyikan kondisi lengannya pada Finn.

Finn duduk di sebelah Cora sambil membolak-balik lengan Cora, berusaha mencari tahu apa penyebab luka itu. 

"Kau jangan salah paham dulu, ayah dan kakakku adalah orang yang baik. Dia tidak pernah menyakitiku," tegas Cora, mencegah Finn agar tidak berpikir yang aneh-aneh. Tanpa dia sadari, perkataan itu malah membuka rahasianya sendiri.

Finn terkekeh. “Aku bahkan tidak mengatakan apapun.”

Benar juga. Cora jadi menyesali perkataan yang dia keluarkan tadi. Seharusnya dia menuruti kata Axel. Andai dia bungkam saja, pasti Finn tidak semakin mencurigainya. “Ya, bisa saja kau berpikir seperti itu,” alihnya sambil tersenyum kikuk.

Petugas UKS kembali dengan membawa beberapa obat dan baskom berisi air es. 

“Kembalilah ke barisan Finn. Petugas UKS akan mengurusku,” usir Cora.

“Aku menunggumu saja,” tolak Finn dengan nada polosnya. Cora ingin langsung mendorong Finn saja rasanya. Menurutnya Finn terlalu ikut campur. Kalau begini dia lebih baik memilih dihukum senior, daripada aman dari hukuman tapi dikejar-kejar olehnya. Topi kerucut itu mengantarkannya pada petaka.

“Kau kenapa? Bagaimana bisa kau terluka separah ini?” tanya petugas UKS yang di sela aktivitasnya mengobati luka Cora, mulai dari mengompresnya dengan air es, menyemprotkan cairan yang sangat dingin saat menyentuh kulit, dan terakhir baru mengoleskan balsem.

“Aku kecelakaan. Tubuhku menabrak mobil, lalu...” Cora berpikir sejenak untuk memberikan alasan yang lebih aman. “Tubuhku beberapa kali menghantam aspal. Ya seperti itu,” lanjutnya.

Finn hanya tersenyum mendengar penjelasan Cora. Dia tahu Cora sedang berbohong. Tanpa bertanyapun, ia sudah tahu penyebab pasti memar itu. Apalagi melihat Cora yang sama sekali tidak meringis seperti kebanyakan orang jika baru saja terkena luka memar separah ini. Dia menyimpulkan, memarnya itu karena KDRT dan Cora sudah terbiasa dipukuli sampai seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status