Share

MENCARI TAHU

Ny. Beatrice berusaha mengatur napasnya juga mengontrol detak jantungnya yang semakin kencang saat melihat pistol yang terpasang di celananya. “Apa yang kau bicarakan? Kau tidak lihat, aku seharian di toko kue. Seharusnya kalau menuduh, harus ada bukti.” Dia juga tetap menjaga nada tenangnya agar bisa mengelabui suaminya. Suaminya yang merupakan seorang komandan polisi, sangat sering bertugas pada malam hari, hingga membuatnya tak pernah tahu apa yang istrinya lakukan saat jam 12 malam.

“Lalu kartu-kartu itu? Kenapa ada di sini?” Tn. Edgar masih tidak percaya dengan penjelasan Ny. Beatrice.

“Ya, aku hanya ingin melepas penat. Aku bermain dengan karyawanku di sini. Ya… dengan taruhan kecil tapi itu tidak membebankan mereka." Ny. Beatrice terus mencari-cari alasan yang aman.

Mata Tn. Edgar masih menajam seperti tatapan awal saat dia membuka pintu ruangan itu. “Kau masih tidak mau mengakuinya?”

 Walau takut, Ny. Beatrice tetap bersikap angkuh karena jika dia merubah ekspresi yang dia tunjukkan di awal, pasti kebohongannya akan berantakan. “Terserah kau mau percaya atau tidak. Pekerjaanku masih banyak.” Ny. Beatrice langsung melangkah pergi sambil membawa sekotak kue kering yang sudah dia siapkan tadi. Daripada rahasianya terbongkar, dan peluru menancap di jantungnya, lebih baik cepat-cepat melarikan diri saja. Lari ke tempat persembunyiannya.

Tn. Edgar memang mendiamkan Ny. Beatrice, tapi orang suruhannya sudah bersiap di depan toko untuk mengikuti ke mana, istrinya akan pergi. 

*** 

Suara gemericik air, terdengar meramaikan rumah Tn. Owen yang sunyi. Rumahnya yang hanya sepetak, membuat suara sekecil apapun masih bisa terdengar di seluruh ruangan. Suara air itu, berasal dari kamar mandi. Cora si gadis kuat itu, tengah memandikan ayahnya yang sudah rapuh. Dengan gosokan yang lembut dan senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya, Cora membersihkan tubuh ayahnya dengan telaten.

"Kenapa kau memakai baju lengan panjang? Jadi basah semua," heran Tn. Owen sambil menggulungkan lengan baju Cora.

"Tidak apa, ayah. Sebentar lagi aku juga mandi," jawab Cora. Dia langsung menahan tangan ayahnya agar dia tak melihat bekas lebam yang masih membekas di sana. Lebam itu sudah satu minggu, pasti warnanya tambah terlihat jelas sekarang.

"Pasti Axel memukulimu lagi ya?" tebak Tn. Owen.

Cora memperlihatkan senyum tipisnya. "Tubuhku dari baja ayah, aku tidak sakit sama sekali. Jangan khawatir, sekarang buka mulutmu ayah." Cora kini memasukkan sikat gigi ke dalam mulut ayahnya, lalu menggosok deretan gigi putih milik Tn. Owen, seolah menyumpal mulut ayahnya agar tak membahas tentang itu, lebih dalam lagi. Setelah seluruh kerak gigi juga noda-noda di giginya dibersihkan, Tn. Owen membuang bekas odol dimulutnya lalu berkumur. Tak lupa, Cora mengeringkan badan Tn. Owen dengan handuk sebelum membalutnya dengan pakaian.

Di sela-sela Cora yang sedang mengganti tabung oksigen, tangan ayahnya tiba-tiba memegang tangannya. Tangan pucat itu, membuat Cora menolehkan kepalanya menatap Tn. Owen, dengan senyumannya. “Kenapa ayah?” 

"Maafkan ayah. Ayah tidak bisa melindungimu," sesal Tn. Owen yang merasa gagal menjadi ayah untuk Cora. Dia hanya bisa membuat hidup Cora selalu menderita, ditambah dia yang tak bisa berbuat apapun saat melihat gadis kecilnya disiksa oleh Axel.

Melihat ekspresi sedih ayahnya, membuat Cora langsung memeluk tubuh kurus Tn. Owen. "Ini bukan salah siapa-siapa. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, itu melukaiku. Kau sudah berjanji untuk tidak membahas ini lagi, kan?"

Tn. Owen memberikan sentuhan lembut untuk membelai pipi Cora. "Aku senang kau bisa lahir ke dunia, walau aku tidak bisa memilikinya seutuhnya."

Tunggu, bukankah sebuah pernikahan bisa membuat kita memiliki pasangan kita seutuhnya? Kenapa Tn. Owen masih belum merasa memiliki istrinya sendiri? Atau mungkin, karena kepergian istrinya yang membuat tak bisa memilikinya lagi? Sepertinya pertanyaan terakhir yang menjadi jawabannya. Ibu Cora yang sudah meninggal 20 tahun lalu tepat di hari kelahiran Cora, membuatnya sangat kehilangan dan menimbulkan perkataan yang mengiris hati itu. "Ibu seutuhnya milikmu, ayah. Sampai kapanpun." Cora memberikan usapan pada punggung ayahnya, agar bisa melarutkan rasa sedih itu. Pasti sangat menyiksa rasanya, menahan perpisahan selama itu.

Tn. Owen tersenyum. "Aku mau melihat ibu?”

“Ayah…” Cora mencegah Tn. Owen agar tak membicarakan hal yang tak bisa ia terima juga. Andai ibunya masih ada, pasti dia bisa merasakan hidup bahagia dalam keluarga yang harmonis.

Tn. Owen tersenyum pahit. “Mmm... Cepat obati lukamu, tubuhmu juga terasa hangat.”

"Baik, ayah. Aku akan ke apotek, nanti."

Selepas meminumkan obat untuk ayahnya, juga menunggunya hingga tertidur, Cora langsung bergegas ke apotek. Berbekal kertas dengan tulisan tangan Finn, yang berisi nama obat-obatan yang harus dia beli. Nama obat-obatan asing itu harus segera dia beli agar tubuhnya bisa sembuh total sebelum Axel membawanya ke perjudian itu lagi. Walau para algojo sudah mengurangi kekuatan mereka, bukan berarti itu tidak sakit, ya. Selama ini hanya balsam yang mengobati luka memarnya dan obat sakit gigi untuk menghilangkan rasa nyerinya. Itu dulu, sebelum mendapat pukulan seganas itu.

Sambil menyalakan walkman dengan lagu-lagu favoritnya, dia berjalan di bawah senja menuju apotek yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Dia sangat menikmati senja yang indah itu, apalagi dengan udara yang bersih karena jarang ada kendaraan yang lewat. Saat jam pulang kerja seperti sekarang saja, kelihatannya masih tetap sepi.

"Nona, kau mencari obat apa?" tanya apoteker, setelah Cora memasuki apotek tujuannya.

"Ini." Cora memberikan kertasnya tadi.

“Tunggu sebentar, ya.” Apoteker itu langsung mengambil obat-obatan yang tertera di sana. 

"Jangan lupa obat penurun demam. Aku lupa menuliskan itu." Suara yang terdengar berat, tiba-tiba lewat di telinganya. Tanpa menolehpun, Cora sudah tahu siapa dia.

“Tambah obat demam ya,” pinta Cora pada apoteker. Kemudian dia menoleh pada Finn dengan wajah datarnya. “Memang di dekat rumahmu tidak ada apotek? Atau…” Ekspresi curiga, kini merubah wajah datar Cora tadi. “Kau menguntitku ya?”

“Aku hanya ingin memastikan kalau kau benar-benar membeli obat yang kutulis,” jawabnya sambil tersenyum.

“Ya tapi, kau tidak perlu sampai menguntitku seperti ini. Aku bisa melaporkanmu ke polisi kalau kau begini terus,” ancam Cora. Jujur semakin hari, perhatian Finn yang berlebihan itu membuatnya sangat risih.

“Kalau kau berani melakukan itu, pasti seseorang di rumahmu sudah tertangkap. Dan masalah kekerasan ini, akan cepat selesai.” Setelah mengatakan perkataan yang membuat Cora kicep, Finn membalikkan badannya lalu melangkah pergi. Dia keluar dari apotek dan kembali masuk ke mobilnya. Sejak pulang dari kampus, dia memang sudah mengikuti Cora. Nama yang sudah menjadi target pantaunya, akan terus dia kejar sampai dia bisa menyelesaikannya dan membuat gadis itu berhasil lepas dari penderitaannya. Tekadnya yang besar itulah yang membuatnya rela mengawasi Cora seharian. Bukan hanya untuk mencari tahu tempat tinggal Cora, tapi juga memastikan kesembuhannya.   

Setelah perjalanan yang cukup lama, akhirnya Finn sampai juga di rumahnya saat matahari sudah tak terlihat lagi. Begitu dia melangkah masuk, dia langsung bertemu dengan ayahnya yang terlihat akan meninggalkan rumah.

“Ayo ikut ayah.” Tn. Edgar langsung menarik Finn. Finn mengikuti tarikan tangan ayahnya itu yang berakhir di mobil milik Tn. Edgar. Mobilpun langsung melaju ke jalanan. “Masakan eropa?” tanya Tn. Edgar menawarkan makan malam. 

Finn mengangguk menyetujui tawaran ayahnya itu. “Ibu pergi lagi ya?” Biasanya, Ny. Beatrice-lah yang menyiapkan makan malam yang memang merupakan aktivitas wajib di keluarga Finn. Hanya di saat itulah mereka bisa berkumpul dengan formasi lengkap. Selepas makan, ritual selanjutnya adalah berbincang-bincang hangat menceritakan bagaimana hari mereka juga masalah apa yang dihadapi di hari itu. Tentu waktu sesingkat itu, tak membuat mereka saling tahu rahasia apa saja yang sedang ditutupi satu sama lain.

“Ya. Aku juga ingin membahas itu denganmu. Kau ada bukti lagi?”

“Kau sudah tahu tempat yang sering ibu datangi?”

“Itu hanya rumah biasa.” Orang suruhan Tn. Edgar yang mengikuti Ny. Beatrice tadi, melaporkan kalau dia hanya mendatangi sebuah rumah.  Bahkan orang suruhan itu juga menyelundup ke dalam rumah tersebut dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.

“Tidak, tidak. Mungkinkah ada tempat lain?” Finn mencoba berpikir keras di sepanjang perjalanan. Dia sangat yakin dengan kecurigaannya pada ibunya yang akhir-akhir ini coba dia bongkar. Kecurigaan itu bermula saat ibunya yang sering terlihat meninggalkan rumah saat jam 12 malam. Dia melihatnya sendiri, ketika dia begadang karena tugas. Setelah itu, keanehan-kanehan lain juga mulai sering ia temui, contohnya ibunya yang tiba-tiba saja memiliki banyak bodyguard padahal ibunya itu sering bepergian sendirian. Yang paling mencurigakan adalah, omzet toko kue kering ibunya tiba-tiba meledak hingga miliaran. Padahal kalau dilihat, tokonya tidak begitu ramai. Lalu uang-uang itu dari mana?

Kini mereka telah sampai di restoran untuk mengisi perut mereka. Setelah memilih tempat duduk, pelayan langsung mendatangi mereka dengan membawa buku menu. Mereka kompak memesan steak untuk dinner kali ini.

Sambil menunggu makanan datang, mereka melanjutkan obrolan di mobil tadi. “Kau pernah mengikutinya saat malam?” Tn. Edgar yang pertama kali membuka obrolan itu.

“Tidak ayah.”

“Coba nanti malam kau ikuti ibumu.”

Finn berdecak. “Kenapa kau tidak menyuruh anggota polisimu saja?” 

“Jadi, kau tidak mau?” kecewa Tn. Edgar. 

“Aku sebentar lagi lulus ayah. Waktuku harus kugunakan sebaik mungkin. Aku sampai rela begadang untuk menyelesaikan semuanya,” jelas Finn. Dia sangat ingin menyelidiki apa yang sedang dilakukan ibunya sekarang, tapi dia benar-benar kekurangan waktu untuk melakukannya. Pagi dia harus kuliah, kadang juga harus mengisi jadwal piket di UKS lalu siang sampai sore dia harus magang di rumah sakit. Biasanya sepulang dari rumah sakit dia tidur sebentar, sebelum  bangun lagi untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya saat tengah malam sampai pagi tiba. Tak ada waktu lagi, bahkan tidurpun hanya 3-5 jam saja.

“Bukankah hari ini kau libur magang? Lalu dari mana kau?” tanya Tn. Edgar dingin.

“Aku…”

“Kau memnemukan korban KDRT lagi?” tebak Tn. Edgar. Tatapan tajam yang seolah mengintimidasi, seperti mengisyaratkan ketidaksukaannya pada tindakan mulia Finn itu. “Kau lebih mementingkan orang lain daripada dirimu sendiri?” tembaknya kemudian.

“Kita di sini untuk makan ayah.”

“Tidak. Kita di sini untuk menyelesaikan masalah keluarga kita.”

Finn menghembuskan napasnya lalu membalas tatapan tajam dengan tatapan yang mengutarakan pemberontakan di hatinya. “Aku ingin memberantas semua masalah KDRT di sekitarku. Aku tidak mau melihat orang lain sama seperti ibu. Aku juga tidak mau ada orang sepertimu, yang tega memukuli istrinya sendiri.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status