"Kau mau? Ini enak Finn..." tawar Hazel sambil menyodorkan ice cream rasa coklat yang tengah dinikmatinya. Wanita bernama Hazel itu adalah kekasih Finn yang juga mahasiswa baru sama seperti Cora. Dia sangat cantik juga imut dengan rambut panjang yang juga berponi. Senyumnya yang tercetak di bibir tipisnya, pasti membuat semua pria ingin mendapatkan gadis secantik itu juga. Sebenarnya Finn yang waktu itu berada di barisan mahasiswa baru, hanya ingin mengobatinya rasa rindunya pada Hazel yang baru saja pulang dari London setelah lulus dari bangku SMA-nya.
"Ini masih pagi, sayang. Jangan makan itu dulu, nanti kau bisa flu," omel Finn sambil berusaha mengambil ice cream itu dari tangan Hazel.
"Tiiidaak! Ini enak…" Hazel berlari kecil agar Finn tidak bisa merampas ice creamnya. Saking takutnya makanan favoritnya diambil, ia sampai tidak melihat jalan menurun di depannya yang membuatnya terjatuh.
Brak!
Pantat Hazel terduduk keras di lantai. Ice cream coklat sudah terlempar berantakan di lantai. "Aww..."Finn langsung berlari menghampiri kekasihnya, lalu berjongkok di samping Hazel untuk memeriksa bagian mana yang cedera. "Lihat, kan? Kau jadi jatuh. Untung tidak apa-apa."
“Tidak apa-apa bagaimana?! Ini sakit, Finn…” rengek Hazel karena perkataan Finn.
“Tidak apa, sayang. Ayo berdiri.”“Gendong…” rengek Hazel manja. Walau memang tak ada cedera serius pada dirinya, dia tetap mau Finn memperlakukannya bak putri.
Finn tersenyum, lalu mulai memeluk Hazel. Sebelum tubuh Hazel terangkat di gendongannya, dia tak sengaja mendengar suara bentakan.
“Kalau jalan pakai mata! Dasar bodoh!” bentak seorang mahasiswi.
Perhatian Finn langsung teralihkan saat mendengar suara wanita yang menjadi lawan bicara mahasiswi yang membentak tadi. Suara yang sangat ia kenal. Dia bahkan rela mengabaikan kekasihnya yang masih demi melihat ke arah dua mahasiswi yang sedang berdebat itu.
"Maafkan aku… Aku tidak sengaja..." ucap mahasiswi yang merasa bersalah tadi, yang ternyata dia adalah Cora. Saat berjalan tadi, tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan karena kondisi kakinya yang sakit. Sialnya ia malah refleks berpegangan pada senior pemarah yang kemarin sempat menghukumnya.
"Lihat! Teropongku hancur sekarang! Kau ini…" Shea yang naik pitam sudah bersiap untuk menjambak rambut hitam sebahu milik Cora.
"Sudahlah Shea, maafkan saja dia. Dia tidak sengaja," bela Finn yang tiba-tiba saja sudah berdiri di antara Shea dan Cora dan berhasil mencegah tangan Shea yang hampir menyentuh rambut Cora, juga memberikan dorongan kecil pada Shea agar sedikit menjauh dari Cora.
Shea menghempaskan tangannya dan masih berusaha untuk menyakiti Cora. Finn tentu tidak diam saja, dia langsung memeluk tubuh Shea dan menyeretnya agar lebih jauh lagi dari posisi Cora yang masih terduduk di lantai. "Lepas!” tangan Shea berhasil terlepas dari genggaman Finn.
“Sudahlah Shea! Bukannya kau sering membayar dosen untuk masalah ini?”
Tanpa sepatah kata, Shea langsung melangkah pergi dengan langkah yang menghentak karena masih merasa kesal karena ulah Cora tadi.
“Kenapa dia begitu sekarang…” gumam Finn melihat perubahan Shea yang sangat jauh dari sikapnya dulu. Dia kembali lagi pada Cora dan langsung menggendong Cora untuk dibawa ke UKS.
Kepergian Finn yang lebih memilih Cora, membuat Hazel hanya bisa menggeleng tak percaya. “Dia mendapat target lagi,” keluhnya sambil berusaha berdiri tanpa bantuan orang lain. Walaupun memang niat kekasihnya yang selalu membantu korban KDRT sangat mulia, tapi itu kerap kali membuat Hazel harus menahan cemburu, apabila korban yang ditolongnya adalah seorang wanita seperti Cora.
Sementara Finn dan Cora sudah sampai ke UKS terlebih dahulu. Kini Cora sudah tertidur di brangkar yang ada di sana. Dia memandangi sebentar tubuh Cora. Tanpa membuka lengan jaket atau celana Cora pun, dia sudah tahu pasti ada bekas biru yang baru saja tercetak lagi di sana. “Kau dipukul lagi ya?” tanyanya. Kini dia mulai berlalu lalang mengambil obat untuk Cora.
"Ini luka waktu itu," kata Cora beralasan.
"Lalu kenapa kau jatuh tadi?”
“Sudah pergilah! Biar petugas UKS yang membantuku,” usir Cora.
“Hari ini adalah jadwal piketku di UKS,” santai Finn. Tangannya terus bergerak mengobati kaki dengan bekas biru yang semakin memekat dan mendekati sembuh, juga memar yang masih kemerahan.
“Ini tidak separah kemarin. Hanya di kaki saja.”
"Kau pasti belum membeli obat yang dicatatkan kemarin, kan?”
“Untuk apa? Nanti juga seperti ini lagi.” Cora sudah malas untuk terus menutupi masalah kekerasan yang dialaminya pada Finn.
“Aku bisa membantumu.”
“Tidak perlu. Aku bisa tambah parah nanti.” Cora yang sudah selesai diobati, tanpa ucapan terimakasih langsung turun dari brangkar dan berjalan pergi. Dia kembali menghindar dari Finn.
***
"Kenapa kau bisa memenangkan permainan itu?” tanya Axel.
“Habiskan dulu makan siangmu. Ketika orang suruhanku kembali, aku akan menjelaskan semuanya,” jawab Ny. Yara sambil terus mengunyah daging lembut berjenis sirloin yang sangat dinikmatinya. Mereka kini sedang berada di ruang makan.
“Aku tidak berselera.” Axel merajuk. Dia semakin yakin, Ny. Yara hanya ingin memakainya tapi tidak mau membocorkan sedikitpun tentang perjudian Zero O’clock itu padanya.
Melihat ekspresi kekasihnya itu, membuat Ny. Yara terpaksa harus mebeberkannya sekarang juga. "Aku pecinta kue khas Rusia, dan kebetulan itu ada di sana. Kemarin ada kue Carac dan Silserli. Jangan marah begitu, sayang…” Pikiran Axel sangat berbanding terbalik dengan apa yang Ny. Yara pikirkan. Axel selalu berpikir Ny. Yara hanya mengiming-imingi tentang bocoran itu, tapi tidak benar-benar ingin memberikannya pada Axel. Padahal yang sebenarnya, Ny. Yara sangat rela membocorkannya, agar Axel tidak pergi darinya.
Ny. Yara meraih tangan Axel lalu mengusapnya lembut. “Tenang saja, aku hafal semua nama kue-kue itu dan aku sudah menyuruh asistenku untuk membeli semua yang kulihat di kotak kue kemarin. Percaya padaku.” Kemampuan Ny. Yara dalam menghafal memang tidak tertandingi lagi. Pejudi unggul itu, memang sering bermain judi yang alur pemainannya mengharuskan untuk menebak kartu yang terbalik. Bahkan sebelum kartu dibalik, dia sudah menghafal kartu apa saja yang ada di atas meja. Semua kekayaan yang dia miliki sekarang, murni dari hasil perjudian. Baik dari perjudian Zero O’clock, juga dari perjudian lainnya yang diikutinya. Seharusnya Axel bersyukur, karena Ny. Yara yang tergila-gila padanya sangat bisa dia manfaatkan.
"Apa menu hari ini? Aku tidak mau makan kalau tidak ada menu yang berkuah!" teriak seorang wanita yang kedengarannya, sudah dekat dengan ruang makan.
"Ada sup tahu pedas kesukaanmu sayang," sahut Ny. Yara yang menyadari anak semata wayangnya, sudah pulang dari kampus.
Axel terus mengawasi pintu, tak sabar untuk melihat siapa yang datang. Dan tepat di sana, Shea muncul dengan tatapan mata yang langsung bertemu dengan tatapan matanya. Seketika senyum melebar saat mengetahui pujaan hatinya yang sudah menghilang lama, kini ia temukan lagi.
Shea sampai mematung ketika melihat Axel, harus ada lagi di hidupnya.
“Sini makan, sayang. Kenapa kau berdiri saja di situ.”
"Dia pria barumu?" tanya Shea dengan nada bicaranya yang terdengar meledek.
Axel langsung menundukkan kepalanya menahan malu.
Shea tertawa kecut. “Tidak kaget sih, dia memang menjijikkan.” Dia membalikkan badannya lalu pergi begitu saja. Rasanya dia akan muntah jika memaksakan dirinya makan, satu meja dengan Axel.
“Bi Tolong bawakan makanan Shea ke kamarnya ya," perintah Ny. Yara pada salah satu pembantunya.
“Baik Nyonya.”
"Lanjutkan makanmu, Axel. Jangan dengarkan dia, mulutnya memang pedas,” kata Ny. Yara mencoba menenangkan Axel agar tidak merajuk lagi.
“Ya, tidak masalah,” santai Axel sambil mencoba tersenyum.
***
Ny. Beatrice tersenyum puas setelah menyiapkan kue-kue yang akan dia sajikan untuk perjudian yang akan berlangsung nanti malam. “Aku tidak menyangka, Yara lebih memilih Axel daripada bocoran ini,” gumamnya tak percaya dengan langkah bodoh pelanggan setianya itu.
Sejak Ny. Beatrice membuat perjudian dengan media kue kering itu, Ny. Yara menjadi satu-satunya pemain yang sanggup membayar imbalan tinggi untuk sekotak kue-kue kering bocorannya itu. Dan karena ancaman main-main yang dia ucapkan perihal hubungannya dengan Axel, Ny. Yara malah benar-benar menghentikannya.
Brak!
Tiba-tiba seorang pria paruh baya masuk dengan membanting pintu sekeras-kerasnya.“Astaga! Kau mengangetkanku, sayang,” kaget Ny. Beatrice karena perlakukan Tn. Edgar, yang merupakan suaminya itu.
Suaminya berjalan masuk lalu melemparkan beberapa kardus berisi kartu remi. “Apa ini?! Kau berjudi lagi, ya?!”
Mata Ny. Beatrice ketika melihat kartu-kartu yang selalu ia sembunyikan dengan rapi, langsung melotot karena Tn. Edgar bisa menemukannya sekarang. Dia sangat kaget. Bagaimana tidak, Tn. Edgar pernah menodongkan sebuah pistol di depan banyak orang ketika suaminya itu menemukan Ny. Beatrice yang sedang asik berjudi. Dia takut, hari ini Tn. Edgar bukan hanya menodongkan pistolnya, tapi juga akan menembakkan peluru tepat di kepala atau jantungnya.
Ny. Beatrice berusaha mengatur napasnya juga mengontrol detak jantungnya yang semakin kencang saat melihat pistol yang terpasang di celananya. “Apa yang kau bicarakan? Kau tidak lihat, aku seharian di toko kue. Seharusnya kalau menuduh, harus ada bukti.” Dia juga tetap menjaga nada tenangnya agar bisa mengelabui suaminya. Suaminya yang merupakan seorang komandan polisi, sangat sering bertugas pada malam hari, hingga membuatnya tak pernah tahu apa yang istrinya lakukan saat jam 12 malam. “Lalu kartu-kartu itu? Kenapa ada di sini?” Tn. Edgar masih tidak percaya dengan penjelasan Ny. Beatrice. “Ya, aku hanya ingin melepas penat. Aku bermain dengan karyawanku di sini. Ya… dengan taruhan kecil tapi itu tidak membebankan mereka." Ny. Beatrice terus mencari-cari alasan yang aman. Mata Tn. Edgar masih menajam seperti tatapan awal saat dia membuka pintu ruangan itu. “Kau masih tidak mau mengakuinya?” Walau takut, Ny. Beatrice tetap bersikap angkuh karena
“Kenapa kau terus mengungkit itu?” tanya Tn. Edgar tak suka. Pembicaraan mengenai KDRT yang pernah ibunya alami dulu, selalu membuat Finn geram. Perlakuan kasar itu, tak pernah sedikitpun memunculkan perasaan bersalah pada diri Ayahnya. Sangat malas rasanya bila harus melawan orang berhati batu seperti dia. “Lagipula itu memang kesalahan ibumu sendiri, kan?” Tn. Edgar kembali memberikan pembelaan untuk dirinya sendiri. Finn tersenyum kecut. Bosan mendengar semua kalimat pembelaan yang selalu menyudutkan itu. “Kalau begitu, kenapa kau memaksa untuk tetap menikahi seorang pejudi, lalu melarangnya berjudi? Kau bisa menikahi wanita lain, ayah.” Skakmat dari Finn itu, membuat Tn. Edgar kembali mengingat awal mula pernikahannya dengan Ny. Beatrice. Jika kalian berharap pernikahan mereka diawali oleh kisah yang romantis, kalian salah besar. Tn. Edgar bukan tipe pria yang tiba-tiba jatuh cinta pada pandang pertama. Hal yang memotivasi untuk rencananya a
“Kau pasti sangat kelelahan ya? Tinggallah di sini dulu…” manja Ny. Yara sambil mengelus dada sixpack Axel. Elusan itu langsung ditepis kasar oleh Axel. Tubuhnya yang sudah sangat lelah akibat Ny. Yara yang meminta ronde tambahan sebanyak 5 kali, membuatnya kesal. Padahal perjanjian untuk check bernominal 100 juta tadi, hanya untuk satu permainan. Jika dia berlama-lama di sini, ronde ketujuh pasti akan terjadi juga. “Aku harus pulang, sayang. Ada sesuatu yang harus aku urus.” Berulang kali Ny. Yara menarik baju yang akan Axel kenakan, tak mau melepas peliharaannya. “Aku akan menambah uangnya, sayang…” “Besok lagi ya.” Sekali lagi memberikan penolaknnya dan mempercepat gerakan tangannya agar baju itu segera menutupi tubuh sexy-nya yang menggoda. Kepala Ny. Yara yang sudah kliyengan karena efek alkohol, membuatnya tak bisa menguasai dirinya dan kehilangan kesadarannya. Dia memang memiliki kebiasaan meminum alkohol saat sedang berhubungan.
“Aku antar ya.” Setelah anggukan Cora, Finn langsung menggandeng Cora, ke mobilnya. Dia juga membukakan pintu untuk gadis malang itu, lalu turut masuk ke mobil. Goresan pada pipi itu, menuntutnya untuk mengambil plester, perban dan obat merah untuk Cora, sebelum melajukan mobilnya. “Kau bisa sendiri?” Cora mengangguk, mengambil tiga benda itu. Karena kesedihannya tadi, dia sampai melupakan luka di pipinya juga rasa perih yang seharusnya ia rasakan. Dan karena telah sadar, rasa perih yang terlupakan itu mulai terasa. Sambil meringis menahannya, perlahan ia mengoleskan obat merah ke pipinya untuk membuat lukanya kering. Step selanjutnya, dia memotong perban sepanjang goresan dari pisau tadi, yang panjangnya dari bawah mata hingga mendekati mulutnya. Memang goresannya tidak terlalu dalam, tetapi tetap ada reaksi sakit yang dihasilkan. Step terakhir, dia memasang plester untuk merekatkan perban itu. Finn sengaja mendiamkan Cora. Sengaja memberikan waktu untuk menen
Setelah berpamitan dengan Finn, Cora langsung berlari cepat masuk ke rumahnya. Ketika membuka pintu, kekhawatiran yang membuatnya sangat terburu-buru itu, memang benar karena Axel yang sudah menggendong ayahnya.“Kau datang rupanya. Kupikir Ayah akan menggantikanmu malam ini,” santai Axel dengan seringaian iblisnya. Dia mengembalikan ayahnya ke kursi rodanya, sebelum menatap ke Cora lagi. “Waah… Potonganmu bagus juga,” kekehnya sambil memperlihatkan raut mengejeknya pada Tn. Owen.Sebelum Cora datang, terjadi pertikaian kecil di antara ayah dan anak yang membuat ketegangan di rumah itu. Axel adalah pihak yang paling geram karena mengetahui alasan Tn. Owen yang menjeburkan dirinya di perjudian itu, yaitu untuk membuat Axel mati perlahan karena pukulan dari algojo. Axel yang tak terima itu, langsung membongkar korban judi yang ia pakai, yaitu Cora. Dan kata-kata pamungkas malam ini yang terlontar dari mulut Axel adalah, ‘K
Suasana malam selalu identik dengan tidur. Malam hari, tepatnya pukul 10 malam sampai 2 pagi, kita bisa mendapatkan hasil tidur yang maksimal. Juga, bisa memproduksi hormon pertumbuhan dan perbaikan dalam tubuh dengan sempurna. Tetapi waktu tidur terbaik itu tak bisa Finn nikmati. Belum sembuh memar-memar di tubuhnya, kini dia harus menjalani magang di rumah sakit dan dipaksa begadang oleh shift malamnya. Kemarin setelah Finn dipukuli sampai babak belur, dia tidak pulang. Kondisi wajahnya tentu akan menghebohkan keluarganya. Hotel menjadi pilihannya untuk mengungsi. Karena tak melindungi wajahnya, bonyok-bonyok parah yang kini masih membekas di mata, mulut, juga pipinya. Untung dia adalah asisten dokter di ruang operasi, dengan masker yang menutupi wajah hancurnya yang mungkin bisa menakuti para pasiennya.Setelah operasi yang dikerjakan sukses, Finn kini bisa beristirahat dan bisa memanfaatkan waktu untuk mengobati lukanya. Dia juga sudah mengganti bajunya dan
Cora tengah bersiap-siap di kamarnya untuk pergi memenuhi undangan Shea. Setelah menembak seharian bersama Shea, yang berakhir kemenangan di pihak Shea, membuat ini sebagai hukuman. Hukuman untuk makan malam bersamanya. Shea juga bilang ada yang ingin dibicarakan bersamanya. Tentu saja kesempatan ini tidak akan disia-siakannya. Dengan begini, dia bisa sekalian mengajak Axel seolah ini adalah usahanya untuk mendekatkan Axel dengan Shea. Penampilannya sudah siap, kini dia menghampiri Axel di ruang TV. “Axel,” panggil Cora.“Hmm?” dehem Axel, dengan pandangan tak teralihkan dari TV.“Shea mengajakku makan malam. Kau mau ikut?” ajak Cora.Dengan senyuman lebar, Axel menyambut ajakan itu. Ternyata bualan yang dia berikan, menghasilkan juga. Misinya untuk mendekati Shea setelah lama berpisah, dilancarkan oleh Cora. “Tentu saja. Sekarang? Di mana?”"Di rumahnya. Sebentar, dia sudah mengirimkan alamatnya." Cora memb
Malam ini Cora sedang berada di salon, mencoba berbagai jenis wig. Itu dilakukannya agar penyamarannya berjalan dengan lancar. Penyamaran untuk menutupi identitasnya di meja judi Zero O’Clock. Tawaran Tn. Owen cukup membuat Cora tergiur. Selain untuk mencoba peruntungannya, pilihannya kali ini juga bisa menjadi langkah awal pemberontakannya pada semua penderitaan yang dirasakannya selama ini.“Bagaimana kalau begini?” tanya karyawati salon, di model rambut ketiga yang terpasang dirambut Cora. Rambut lurus panjang sepinggang dengan warna hitam dan ombre abu-abu di bawahnya, terlihat cocok untuk Cora.“Ya, aku suka ini.” Cora tampak berbeda sekarang. Dia yang memang sudah memiliki wajah cantik, kini menjadi sangat-sangat cantik. “Oh iya tolong berikan riasan yang membuat wajah asliku berbeda.”“Sepertinya dengan rambutmu sekarang, ini cocok untukmu.” Karyawati itu menunjukkan foto Lisa Blackpink di MV Money, me