Share

Let's Play With Me
Let's Play With Me
Penulis: Sugar Sweetnes

PROLOG

Alunan musik klasik, mengalir lembut melalui tape kecil bernama walkman. Sama seperti lagunya, benda itu juga pernah booming  di era 80-an sampai 90-an. Walaupun di jaman sekarang sudah banyak lagu-lagu yang lebih populer dan modern, si pendengar tetap menyukai lagu jenis itu. Lagu-lagu yang diciptakan jauh sebelum dirinya lahir itu lebih menenangkan gadis yang masih berusia 20 tahun, bernama Cora.  

"Today is gone so i have you fun run, Another day may never comes..." Begitulah lirik yang tengah Cora gumamkan sepanjang kegiatannya membersihkan rumah, juga di saat pikirannya kacau lagi.

Tempat tinggalnya berada di salah satu kamar di sebuah apartemen kumuh, tepatnya di lantai 4. Gedung apartemen itu berada tak jauh dari pantai. Cukup melihat dari jendela saja, kita bisa melihat cantiknya lautan biru. Apalagi saat pagi dan sore, saat sang pencipta menggoreskan lukisan indahnya tepat di atas lautan itu.

Brak!

Tiba-tiba walkman milik Cora melayang dan terbanting keras di lantai, hingga membuat beberapa potongan tercecer di lantai. Pelakunya tak lain dan tak bukan ialah Axel. Pria dengan rambut yang selalu terlihat berantakan karena poni panjangnya yang dibiarkan menutupi wajahnya itu, merupakan kakak laki-laki Cora. Kakak yang sama sekali tak mencerminkan sosok kakak yang baik. Justru sangat terbalik, dia lebih sering bersikap kasar kepada adik perempuannya itu. 

Cora memberikan tatapan kesal pada Axel yang menatapnya santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. Dia berjongkok untuk membereskan kepingan walkman yang baru selesai dia perbaiki kemarin. "Sampai kapan kau terus merusak walkman kesayanganku?"

Tatapan santainya tadi seketika berubah menjadi tajam, yang membuat wajahnya selalu terlihat judes. “Sampai aku tak melihatmu lagi.” 

Cora mempertajam tatapan matanya pada Axel. Perkataannya tadi, seolah menyuruhnya agar segera mengakhiri hidupnya. Axel tak suka melihat dirinya yang sampai detik ini, masih bisa menghirup napas di dunia. Kalau ada yang bertanya apa cita-cita Axel? Pasti pria itu akan menjawab, aku ingin Cora mati.

“Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau menantangku?!” bentak Axel sambil menendang dada Cora yang berjongkok tak jauh dari posisinya berdiri, hingga gadis itu mencium lantai. “Jangan pernah memberikan tatapan itu. Kau hanya sampah,” sarkasnya sambil berjalan, melangkahi Cora ke kursi yang ada di sebelah Cora. 

Cora hanya bisa bangkit sendiri sambil menahan tangisnya dan memasang mimik wajah datar seolah semua itu sama sekali tidak menyakitinya. Axel tak pernah mengijinkannya untuk bisa merasakan apa itu kebahagiaan. Bahkan hal sederhana seperti lagu klasik itu, tetap dihalangi olehnya. Cora hanya boleh merasakan derita, derita, dan derita.

Dengan tenang, Cora kembali menyatukan pecahan-pecahan yang terlepas tadi, masih di lantai yang tadi mencetak wajahnya. Jika benda itu tidak cepat kembali normal, tidak ada lagi media untuk mengalihkan kepedihannya. Tidak ada lagi penyeka untuk air matanya juga tidak ada lagi yang akan menguatkan tubuhnya yang sudah tak sempurna lagi. Alat ronsen mungkin bisa error ketika melakukan scan pada tubuhnya dan mengtahui ada banyak tulang yang patah secara tak wajar. Yang selama ini dia lakukan hanya berakting, agar tubuhnya terlihat baik-baik saja, bisa berjalan seperti biasa, dan tersenyum tanpa beban walaupun hanya senyuman tipis. 

“Axel…” panggil seorang pria paruh baya, yang perlahan mendekati Axel dengan kursi roda sebagai penganti kakinya. Kursi roda itu terlihat berbeda karena sentuhan modifikasi di sana. Ada tambahan tiang besi, yang digunakan untuk memasang selang oksigen. Dia tidak bisa bernapas tanpa itu.

“Sudahlah ayah. Jika bahasanmu masih tentang perjudian itu, lebih baik diam saja,” potong Axel. Nada bicaranya terdengar malas untuk mendengarkan apa yang akan ayahnya bicarakan itu.

Cora yang sedari tadi fokus pada walkman-nya, kini beralih memperhatikan kakak dan ayahnya.

"Aku sudah tidak kuat lagi, Axel. Kau harus menggantikanku," kata Tn. Owen lirih. Mata sayunya sangat menjelaskan keinginannya untuk mendengar jawaban pesetujuan dari putra sulungnya itu.

Kenapa pria itu bisa selemah itu? 

Kecelakaan? Jatuh? Cidera?

Bukan. Buang jauh-jauh pikiran itu. Semua oksigen yang kini tergantikan oleh oksigen buatan, juga luka-luka parah di sekujur tubuh Tn. Owen, disebabkan oleh perjudian bernama Zero O’Clock. Kenapa bisa? Tentu bisa. Saat kalah dari lawan, pemain bukan hanya membayar uang taruhan saja. Ada satu aturan lagi yang harus dilakukan, yaitu menyerahkan korban judi. Orang yang menjadi korban, akan dipukuli habis-habisan selama satu menit. Itu yang membuat Tn. Owen seperti sekarang.

Lalu kenapa dia meminta putranya untuk menggantikannya? Kenapa dia tidah berhenti bermain judi saja? 

Pertanyaan yang tepat bukan itu, seharusnya diganti menjadi, kenapa kau tidak menyerahkan nyawamu saja agar semuanya berhenti? Iya. Tepat sekali. Itu juga peraturan dari perjudian itu. Di awal perjanjian, nyawamu juga ikut dipertaruhkan. 

Cora bangkit lalu berlutut di depan ayahnya sambil memeluknya. “Biar aku saja yang menggantikanmu, ayah.”

Axel menatap Cora tak suka karena merasa diremehkan oleh gadis lemah, payah, dan menduduki predikat satu sebagai orang yang paling dia benci itu. Dia harus membuktikan kemampuannya yang lebih kuat dari Cora. "Kalau aku kalah, bisakah aku menyewa orang untuk dipukuli?" tanyanya.  

"Ya,  kau bisa menyewa orang. Ada yang menyediakan korban judi di sana," jelas Tn. Owen. Itu memang benar. Orang bukan seperti makhluk hidup di sana, lebih tepatnya menjadi benda yang bisa diperjualbelikan. Kalau kau punya uang, kau cukup membeli orang yang akan bersedia menerima pukulan keras dari para algojo ganas itu.

Tn. Owen mengeluarkan segebok uang dari sakunya. Bukan uang lokal lagi yang digunakan dalam perjudian itu, melainkan uang dollar yang akan menjadi alat pertukaran chips-nya nanti. 

"Aku tahu kau sering berjudi di luar sana. Tidak salah jika aku mengandalkanmu, nak." Uang segebok tadi, sudah berpindah ke tangan Axel. 

"Ya, aku akan berusaha untukmu, ayah."

***

Malam ini adalah kali pertama, Axel debut di perjudian Zero O'Clock. Dia bukan pemain sehebat ayahnya yang bisa memainkan perjudian yang memerlukan logika lebih dalam dan tentunya bergantung pada keberuntungan juga. 

Sedangkan Axel, dia hanya pernah memenangkan judi biasa. Judi yang penuh dengan kecurangan yang dia buat sendiri. Sementara perjudian besar seperti Zero O'Clock itu, dia belum pernah. Entah menang atau kalah, Axel tidak peduli. Yang terpenting, dia datang ke sana memperlihatkan penampilannya yang sangat tampannya seolah pemain yang hebat, lalu tertawa puas saat melihat Cora menderita lagi.

Sekarang, pria berjas biru tua itu sudah berada di kamar Cora, menatap gadis yang sedang tertidur pulas di ranjangnya. Tangannya langsung menarik kerah baju Cora hingga membuatnya terduduk. "Cepat bangun!" bentaknya membangunkan Cora.

Kaget karena tiba-tiba posisinya terduduk, membuat Cora merasa pusing juga jantungnya berdebar kencang. Jiwanya seperti dipaksa masuk ke badannya. "Mmm? Kenapa?" tanyanya masih dengan menyipitkan matanya, berusaha mengumpulkan sebagian nyawanya yang masih tersangkut di alam mimpi.

"Sudah ikut saja!" perintah Axel sambil melemparkan jaket oversize berwarna hitam dengan tudung di bagian kepalanya. Jaket itu sengaja digunakan untuk menutupi identitas Cora yang berjenis kelamin wanita, yang jelas tidak diperbolehkan menjadi korban dalam perjudian itu.

"Untuk apa?" Perasaan Cora mulai tidak enak sekarang.

"Untuk ayah. Bukankah kau bilang akan menggantikan ayah?" Axel menyeret Cora yang enggan melangkahkan kakinya, mengikuti Axel ke gedung bernama Flash House yang letaknya juga tak jauh dari pantai. Mereka hanya perlu berjalan 200 meter ke arah barat untuk menggapai gedung Flash House yang menjadi tempat untuk permainan haram itu. 

“Jangan bilang kau akan mengorbankanku nanti,” tanya Cora, menatap tak percaya pada Axel. 

"Memangnya apa lagi?" balas Axel dengan senyum miringnya.

Cora langsung memberontak dan berusaha pergi dari Axel, namun tenaga Axel lebih kuat untuk membuat Cora lebih dekat dengan tempat penyiksaan itu. “Percepat langkahmu, permainan itu akan segera dimulai."

*Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status