Tuan Seto hanya bisa menarik napasnya saat mendengar jawaban dari gadis itu. Namun, kemiripan wajah gadis itu dengan mendiang calon menantunya bagai pinang dibelah dua.
'Aku harus melakukan sesuatu untuk kesembuhan putraku', tekad Tuan Seto dalam hati.
"Siapa namamu tadi, Nak?" tanya Tuan Seto.
Gadis itu tampak menelan saliva-nya sembari mengedarkan pandangan ke arah Tuan Seto dan Harry bergantian. Ia sedikit gemetar saat matanya bertatapan dengan Harry karena pria itu memandangnya tajam bak sedang mengintimidasi.
"Na-nama saya Vanilla Kiara atau biasa dipanggil Kia."
"Perkenalkan saya Seto Mahendra, saya adalah Presiden Direktur Blue Moon Grup. Kamu pernah mendengar nama perusahaan itu, 'kan?" Tuan Seto memberikan kartu namanya kepada gadis yang bernama Kia itu.
Kia mengambil kartu nama tersebut dan hanya mengangguk cepat. Rasa takut Kia kepada Harry terlihat jelas oleh Tuan Seto.
"Dan dia adalah Harry Nugraha. Dia adalah asisten pribadi saya. Jangan takut," ucap Tuan Seto sembari tersenyum. Kini pandangannya beralih kepada Harry yang berdiri di sampingnya, "Jangan terlalu galak dengan gadis ini. Kamu sangat seram."
Harry hanya menundukkan kepalanya tanda mengerti ucapan atasannya itu.
"Bisa kita bicara sebentar, Nak Kia?" Tuan Seto memandang penuh permohonan kepada Kia.
***
Kini Tuan Seto sudah berada di dalam toko bunga milik Kia, sementara Harry menunggu di luar. Kia dan Tuan Seto duduk berhadapan di kursi yang disusun melingkar dengan meja kecil di tengahnya.
Gadis polos berkepang dua itu hanya duduk tanpa sepatah kata sambil terus memilin-milin jari jemarinya. Ia menunggu Tuan Seto menyampaikan maksudnya.
"Wajahmu sangat mirip dengan calon menantuku yang meninggal dunia setahun lalu. Bahkan saya sampai tidak bisa mendapatkan perbedaan di antara kalian," ungkap Tuan Seto.
Kia mengerutkan keningnya. Ia heran, apakah memang ada orang yang benar-benar mirip tanpa sebuah perbedaan? Apalagi bagi orang yang tidak punya hubungan darah.
"Nama gadis itu adalah Shakira. Putra semata wayangku sangat mencintainya, tapi..." Tuan Seto tampak tidak bisa menahan rasa sedihnya. Kristal bening mengalir perlahan dari ekor matanya.
Kia seakan bisa merasakan kesedihan dari pria tua itu. Kesedihan yang sangat mendalam terpancar dari dasar lubuk hati sang ayah untuk putranya. Gadis cantik bermata cokelat itu merasa terenyuh. Ia bersiap untuk mendengarkan kisah selanjutnya.
"Ta-tapi anakku menjadi depresi semenjak kepergian Shakira. Dia tidak mau lagi mengurus perusahaan dan hanya mengurung diri di kamar. Sikapnya sangat buruk sehingga membuat semua orang takut. Dia hanya membutuhkan Shakira, tapi gadis itu sudah meninggal. Bagaimana bisa anakku sembuh?!" Tuan Seto tampak emosional. Ia menaikkan volume suaranya di akhir penjelasan. Tentu saja hal itu membuat Kia terjingkat kaget.
"Lalu ... Bapak ingin bagaimana?" Kia mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
Tuan Seto menatap Kia lekat. Terpancar sebuah harapan dari sorotan matanya. "Tolong! Bantu kesembuhan anakku," pinta Tuan Seto dengan suara parau.
Mata Kia terbelalak dan terkejut. Ia tidak memahami apa yang diminta oleh pria paruh baya itu.
"Maksud, Bapak?" tanya Kia.
"Rawat anakku sampai dia sembuh dari depresinya. Saya mohon," pinta Tuan Seto lagi.
Kia tampak bingung dengan permintaan Tuan Seto. Ia menundukkan kepalanya seraya berpikir. Dari cerita yang disampaikan oleh Tuan Seto, ia bisa menilai kalau putranya pasti sangat menyedihkan sekaligus menakutkan. Seumur hidup, ia hanya bekerja mengurus bunga-bunga. Bagaimana bisa ia menjadi seorang perawat pria depresi? Pikirnya.
"Nak Kia sudah tahu garis besar cerita mengenai anak saya. Tolonglah, Nak," pinta Tuan Seto lagi yang langsung membuyarkan lamunan Kia.
"Tapi ... saya tidak mempunyai dasar menjadi seorang perawat, Pak. Apakah saya bisa?" balas Kia ragu.
"Saya mohon, Nak Kia ... saya sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya mengobati putra saya. Obatnya hanya Shakira dan kebetulan wajah Nak Kia mirip sekali dengan tunangan anak saya. Saya yakin, dia tidak akan menyakitimu." Tuan Seto kembali mengeluarkan cairan bening dari matanya.
Kia bergeming. Lidahnya terasa kelu. Ia bingung sekali. Sebenarnya, ia merasa kasihan dengan Tuan Seto. Namun, membohongi orang lain merupakan hal yang sangat ia hindari. Ia berpikir, bagaimana jika nanti akan ketahuan? Ia pasti akan dalam masalah besar.
"Saya akan berikan semuanya untuk Nak Kia!" Tuan Seto bersimpuh di lantai memohon kepada Kia.
"Jangan begini, Pak!" Kia ikut berjongkok untuk membantu Tuan Seto berdiri. Ia merasa sangat tidak enak hati.
Tuan Seto pun beranjak dan kembali ke tempat duduknya. Wajahnya masih terlihat sedih dan matanya pun sembab. Ia mengembuskan napas dalam sambil memejamkan mata.
"Tolonglah, Nak," pintanya sekali lagi kepada Kia.
Kia kembali dilema. Pikirannya menerawang pada impiannya saat dua tahun lalu. Waktu itu ia baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan usianya masih depan belas tahun. Ia ingin sekali melanjutkan pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Cita-citanya ingin menjadi seorang guru, tetapi harus pupus karena saat itu juga bertepatan dengan sang ayah yang pergi meninggalkannya dan ibunya. Ayahnya seorang pecandu judi dan kabur dengan segala macam harta benda tanpa kabar hingga sekarang.
"Bagaimana, Nak Kia?" tanya Tuan Seto memastikan.
Kia tersentak. Ia harus segera mengambil keputusan. "Maaf ... saya tidak bisa, Pak," jawabnya cepat.
Tuan Seto mengesah lirih. Ia sangat kecewa karena Kia menolak permintaannya. Namun, tiada lagi yang bisa ia lakukan.
Drrt-drrt-drrt.
Suara getaran ponsel membuat konsentrasi keduanya buyar. Ternyata itu adalah ponsel milik Kia. Gadis itu langsung mengambil ponselnya dari atas meja dan mengangkat panggilan tersebut.
"Apa?! Sekarang ibu ada di mana?" Mata Kia terbelalak. Gadis itu bahkan menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Raut wajahnya terlihat sangat panik kala mendengar suara orang yang di seberang telepon.
***
Rumah Sakit, Ruang IGD.
Kia tampak menangis tersedu di samping seseorang yang tengah berbaring. Ia sangat tidak tega melihat sang ibu terlihat lemas di ranjang pasien yang berada di ruang IGD.
"Jangan menangis, Nak ... ibu tidak apa-apa."
"Ibu tidak baik-baik saja! Ibu bahkan tidak bisa menggerakkan tubuh Ibu sebagian," isak Kia.
Ibu Tina hanya tersenyum mendengar kekhawatiran putrinya. Sebenarnya, ibunda dari Kia itu juga bersedih karena merasa selalu menyusahkan putri semata wayangnya. Maka dari itu, tanpa sepengetahuan Kia, ia bekerja menjadi seorang buruh cuci. Namun, karena penyakit darah tingginya kambuh, tiba-tiba ia terjatuh dan akhirnya mengalami stroke sebagian.
"Seharusnya ibu istirahat saja di rumah," ucap Kia lagi sambil menyeka air matanya.
Kejadian memilukan itu disaksikan oleh Tuan Seto yang bersedia mengantar Kia ke rumah sakit. Pria paruh baya itu sebenarnya tidak tega, tetapi ini bagai pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia berpikir kalau Kia pasti tidak akan menolak permintaannya kali ini untuk merawat Zidan.
***
Kia meninggalkan ibunya sejenak untuk mengurus segala administrasi pendaftaran. Orang yang membawa ibunya ke rumah sakit belum mendaftarkan karena tidak mempunyai data lengkap dan memang harus keluarga yang melakukannya. Sepertinya, ibunya itu harus dirawat. Pikirannya sangat kalut sekali sehingga hanya berjalan dengan tatapan kosong.
"Nak Kia ... Bagaimana tawaran saya tadi?" Suara Tuan Seto membuat Kia terkejut. Ia sontak menghentikan langkahnya.
Kia hanya diam tak menanggapi.
"Saya akan menanggung semua biaya pengobatan ibumu. Saya tahu kalau kamu sedang kesulitan dalam hal ekonomi," pungkas Tuan Seto.
Kia menarik napas dalam. Ia tampak menimbang tawaran dari Tuan Seto kembali. "Saya setuju, tapi tolong ibu saya. Saya ingin dia sembuh," pintanya.
"Apapun yang Nak Kia inginkan, saya akan kabulkan," jawab Tuan Seto dengan senyum semringah.
"Terima kasih, Pak!"
Kia tidak peduli risiko yang akan ia tanggung saat merawat putra Tuan Seto. Ia hanya berharap ibunya bisa sembuh karena hanya ibunya lah satu-satunya keluarga yang ia punya. Mungkin ini juga sudah merupakan takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan.
Pernikahan Zidan dan Kia sudah berumur satu bulan. Sejak menikah, Zidan tetap saja sibuk dengan pekerjaannya di kantor sehingga ia belum sempat mengajak sang istri berbulan madu.Namun, esok hari pria berparas tampan itu berniat mengajak sang istri untuk bulan madu. Zidan ingin berlibur ke tempat yang indah dan menikmati kebersamaan dengan Kia tanpa ada yang mengganggu."Tumben hari ini kamu pulang cepat. Apa pekerjaan di kantor sudah selesai?" tanya Kia sambil meraih tangan Zidan dan menciumnya.Zidan yang baru keluar dari dalam mobil terlihat cukup lelah. Namun, begitu melihat Kia, lelahnya langsung hilang seketika."Aku ingin istirahat sebentar sebelum kita pergi bulan madu," jawab Zidan
Part ini mengandung adegan dewasa, harap bijak bagi para pembaca meski nggak panas-panas amat adegannya, muehehe.***Di hari pernikahan Zidan dan Kia, Harry tidak hadir karena harus mengurus pertemuan bisnis dengan kolega yang berada di Singapura siang ini. Pria berperawakan tinggi itu hanya bisa mengucapkan selamat lewat panggilan video call.Pria yang bernama lengkap Harry Nugraha itu tersenyum tipis sambil menatap patung Merlion yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia turut bahagia karena akhirnya sang sahabat dan gadis yang sudah dianggapnya adik sudah menikah sekarang. Di dalam hatinya, Harry tulus mendoakan hubungan mereka.Rasa cintanya terhadap Kia sebenarnya belu
Dua bulan kemudian...Persiapan pernikahan Zidan dan Kia sudah hampir mencapai sempurna, pernikahan yang tinggal menunggu hitungan jam itu digelar di salah satu villa milik keluarga Mahendra. Konsep yang diusung adalah outdoor penuh bunga karena Zidan memang sangat ingin menyenangkan calon istrinya itu. Pernikahan mereka tidak terbuka untuk umum, mereka hanya mengundang sanak saudara dan beberapa kolega bisnis yang dianggap dekat.Jantung Kia berdegup dengan kencang karena sebentar lagi ia akan melepas masa lajangnya. Penampilan Kia sangat cantik dengan gaun brokat berwarna putih tulang rancangan desainer kepercayaan keluarga Mahendra. Wajahnya pun terlihat sangat ayu dengan sapuan make up dari MUA terkenal, siapa lagi kalau bukan Andres.
Satu bulan berlalu. Seperti yang dijanjikan kepada Zidan, Kia pun kembali ke kota tempat tinggalnya dulu. Empat bulan yang lalu ia meninggalkan kota ini karena ingin menghapus semua kenangan dan nasib buruk. Namun, kali ini ia kembali dengan harapan akan mendapatkan kebahagiaan.Kia datang bersama sang ibu. Meskipun Ibu Tina lebih menyukai tinggal di tempat mereka yang baru, kebersamaan dengan putrinya lebih penting. Diusianya yang sudah tidak muda lagi harapannya hanyalah kebahagiaan putrinya. Semenjak sang suami kabur, ia bahkan tidak berniat untuk menikah lagi. Luka cukup dalam membekas di hatinya setelah ditinggal tanpa pamit."Nak Zidan akan menjemput jam berapa? Mungkin dia sibuk, apa kita naik angkot saja?" saran Ibu Tina. Sudah hampir setengah jam mereka telah sampai di stasiun kereta. Namun, Zidan belum muncul jug
"Kalian berdua ke mana? Kenapa tidak bawa belanjaan?" tanya Ibu Tina sambil mengernyitkan dahi.Zidan dan Kia saling memandang satu sama lain. Mereka berdua bak anak kecil yang sedang dimarahi oleh ibunya karena berbuat kesalahan. Namun, pada akhirnya Ibu Tina menyadari jika jari jemari mereka saling bertaut, wanita paruh baya itu pun tersenyum."Bagus ... kalian harus terus akrab begitu, ya!"Ibu Tina kembali masuk ke rumah dengan hati yang gembira. Ia senang jika pada akhirnya putrinya mendapatkan kebahagiaan. Sementara Zidan dan Kia masih terlihat bingung karena mereka belum mengatakan apa-apa."Kira-kira apa ibumu adalah cenayang? Dia bisa tau kalau kita sudah berbaikan," seloroh Zidan.
Zidan mencuri pandang ke arah Kia saat sedang bersama gadis-gadis itu. Wajahnya terlihat semringah karena Kia tampak cemburu. Ternyata rencana Ibu Tina cukup efektif juga, tinggal ia yang menjalankan perannya dengan baik."Apa salah satu dari kalian ada yang mau jadi pacar Kakak?" gurau Zidan."Mau!!!" sahut ketiga gadis yang sedari tadi bersama Zidan.Zidan terkekeh karena mendapatkan reaksi sungguh di luar dugaan. Parasnya yang tampan seolah mampu menyihir para gadis. Namun, hal itu tidak begitu penting, yang paling penting adalah reaksi dari Kia.Benar saja, raut wajah gadis bermata cokelat itu terlihat sangat suram. Sudah jelas Kia memang tidak menyukai hal itu. Rasanya ia cemburu, tetap
Hujan semalam cukup berlangsung lama. Setelah selama tiga jam menunggu akhirnya pun reda. Keadaan Zidan pun sudah lebih baik dan demamnya pun sudah turun. Semalaman, Kia bahkan tidak bisa tidur karena merawat pria yang dicintainya itu.Waktu kini menunjukkan pukul lima pagi. Karena kondisinya sudah lebih fit, Zidan memutuskan untuk bangun. Namun, ia malah melihat Kia yang tertidur sambil duduk di samping ranjangnya. Gadis itu merebahkan kepalanya di ranjang dan terlihat sangat lelap."Kamu pasti lelah telah merawat aku semalaman," gumam Zidan. Ia perlahan mengangkat tubuh bagian atasnya dan berusaha duduk.Zidan menatap wajah Kia yang sedang tertidur sambil tersenyum. Tangannya tanpa sadar mengusap lembut pucuk kepala Kia hingga gadis itu terbangun.
Napas Kia seakan tercekat di tenggorokan saat melihat wajah Zidan yang begitu dekat. Namun, dengan tekad yang kuat, ia pun berhasil keluar dari dalam mobil.Zidan terlihat frustrasi dan akhirnya mengikuti Kia keluar. Ia sedikit berlari untuk mengejar Kia yang ingin sekali menghindarinya. Dengan cepat ia meraih pergelangan tangan gadis itu dan menariknya ke dalam dekapannya."Jangan seperti ini! Aku mohon!" pekik Zidan sambil memeluk Kia dengan erat.Kia yang masih dengan pendiriannya berusaha melepaskan diri dari pelukan Zidan. "Lepaskan aku! Kalau tidak, aku akan teriak!" ancamnya.Zidan hanya bisa pasrah dan melepaskan pelukannya. Seketika itu, Kia pun pergi meninggalkannya dan masuk ke ru
Kia memundurkan langkahnya karena masih merasa tidak percaya jika Zidan sedang berada di hadapannya. Namun, berulang kali ia mengerjapkan mata, tetap saja sosok Zidan masih berada tepat di depannya."Maaf! Saya adalah Vani." Kia yang tersadar mencoba mengelak dan menghindari Zidan. Seketika hatinya terasa nyeri karena melihat pria yang pernah mencampakkan dan berbuat kejam padanya tiga bulan silam."Iya ... kamu Vanilla Kiara, 'kan," ucap Zidan dengan suara yang begitu yakin. "Kamu bisa dipanggil Vani, Nilla, Kia atau Ara. Semuanya sama saja," imbuhnya kemudian.Kia tidak bisa menghindar lagi. Ia mencoba menenangkan rasa paniknya dan bersikap biasa saja.'Bagaimana bisa dia ada di sini?