Share

Bab 2

Bel pulangan berdering, menggema ke seisi ruangan kelas. Semua murid berdiri dari kursinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang baru saja mengajari mereka. Kelas yang tadinya hanya diisi dengan suara guru, kini kelas bising dengan suara siswa dan siswi yang kelelahan.

"Sumpah, tadi pak Mulyadi seram banget pas nunjuk aku buat kerjakan pertanyaannya di papan tulis," gerutu seseorang yang suaranya terdengar sangat dekat denganku.

Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jonathan berdiri di belakangku. Dia memegangi punggung kursiku dan membungkukkan badannya sehingga wajah kami berdekatan. Aku jadi salah tingkah dan menarik badanku menjauh darinya.

Sekilas kulihat dia tersenyum kepadaku sebelum menjauhkan wajahnya dariku dan melanjutkan keluh kesahnya. "Padahal aku duduk hampir di paling belakang, bisa-bisanya dia melihatku dan menunjukku!"

Vania menertawai Jonathan dan mengejeknya. "Kamu lagi apes kali. Aku sama Freya aja tidak ditunjuk, padahal kami duduk tepat di depannya."

Tanpa aba-aba, Jonathan menjitak jidat Vania dengan cukup keras hingga membuat kepala gadis yang duduk di samping kiriku tertunduk. Kelihatannya perang dunia ketiga akan segera dimulai.

Aku langsung berdiri dari kursiku. "Selamat bertengkar~ Aku akan pulang duluan."

Aku melangkah menuju pintu yang terbuka lebar di sisi kanan ruangan ini. Kudengar suara teriakan Vania dan Jonathan mengikuti langkah kakiku. Kedua orang yang selalu penuh energi itu langsung mengejarku dan berjalan berdampingan dariku.

Kami keluar dari kelas dan menuruni tangga. Selama berjalan menuju gerbang sekolah, aku terjebak dengan pertengkaran konyol mereka. Entah kenapa aku merasa seperti seorang single mom yang mengurus dua anak bermasalah.

"Ah, mama sudah menjemputku! Bye, Freya, Jonathan!" pamit Vania yang berlari mundur sambil melambaikan tangannya kepada kami.

Aku pun jadi berduaan dengan Jonathan, menunggu jemputan masing-masing. Rasanya tenteram tanpa kehadiran Vania yang selalu membuat keributan dengan Jonathan. Akhirnya aku bisa mengisi energiku dengan tenang.

Kami tidak mengatakan apa-apa selama menunggu jemputan masing-masing. Aku memandang lurus ke depan, memperhatikan setiap motor dan mobil yang berlalu lalang di jalanan. Kulihat sebuah motor yang familier bergerak menghampiri kami.

Aku menoleh ke arah Jonathan. "Aku sudah dijemput. Duluan, ya~"

"Oke, sampai jumpa di mall, Freya~" balas Jonathan sambil melambaikan tangannya kepadaku yang melangkah meninggalkannya.

.

.

.

Aku berdiri di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi ke langit. Kukeluarkan telepon pintarku dari dalam ransel kecilku dan mengecek jam. Jam menunjukkan pukul 15.44. Aku datang 16 menit lebih awal.

Aku bersandar pada pilar dan memainkan telepon pintarku selagi menunggu dua orang yang masih belum datang. Waktu berlalu dengan cepat saat aku bermain game. Akhirnya kedua orang yang ditunggu-tunggu datang juga.

"Freya! Jonathan! Ayo kita ke toko baju!" ajak Vania begitu keluar dari mobilnya dan berjalan mendahului kami berdua.

Tanpa aba-aba, Jonathan menarik baju Vania ke belakang. "Eits~ Nanti saja! Kita beli minum dulu! Aku haus!"

Vania sempat berdecih, tetapi dia tetap menuruti kemauan Jonathan. Kami bertiga pun melangkah memasuki gedung mall. Kami disambut oleh ramainya isi pusat perbelanjaan yang dipenuhi oleh pengunjung.

Jonathan membelikan aku dan Vania minuman sebagai ganti sudah membantunya mengerjakan PR Matematikanya. Kulirik ke arah Jonathan yang menatap isi dompetnya yang sedikit menipis.

Tiba-tiba pandangan kami bertemu dan dia tersenyum. "Kupikir yang kamu bilang di sekolah itu bercanda; ternyata kamu serius membeli yang paling mahal, ya ...."

Aku tertawa lepas. "Tentu saja aku serius waktu mengatakannya. Memangnya kamu pernah mendengarku bercanda?"

Jonathan terdiam mendengar balasan dariku. Dia terlihat seperti sedang berpikir keras di dalam kepalanya. Setelah berhasil memikirkan jawaban untuk menjawab pertanyaanku, dia menjentikkan jarinya.

"Kamu pernah! Hanya saja, membedakan kamu bercanda atau tidak tuh lebih susah daripada mengerjakan tugas Matematika atau IPA ...," jawab Jonathan yang diikuti dengan anggukan kepala Vania.

Aku tertawa kecil menanggapi jawaban darinya dan melihat Vania yang setuju dengannya. 'Memangnya apa yang membuat mereka sulit membedakan apakah aku bercanda atau tidak? Masa sih saat aku bercanda, wajahku atau suaraku terdengar serius?'

"Karena kita sudah beli minum, ayo kita ke toko baju sekarang! Shopping time!" ajak Vania memecahkan keheningan sesaat ini. Dia menarik tangan kami berdua untuk mengikutinya.

Sesampainya di toko baju, mereka dengan kompak memaksaku untuk mencoba hampir semua baju yang dipajang. Aku sampai kewalahan dibuat mereka. Rasanya seperti menjadi barbie yang dulu sering kumainkan saat masih kecil.

Aku berdiri di hadapan Vania dan Jonathan. Mereka dengan serius menatapku dari atas ke bawah tanpa mengatakan apa-apa. 'Oh, cepatlah berkomentar dan akhiri permainan berpakaian ini.'

Mereka saling bertatapan lalu berkata secara berbarengan, "Cocok banget untukmu!"

"Sekarang ayo kita cari sandal atau sepatu yang cocok untuk gaun itu!" lanjut Vania sambil menarik tangan kami berdua lagi.

Aku langsung menghentikan langkahku saat mendengarnya mengajak kami untuk membeli SANDAL atau sepatu untukku. "Tunggu, aku akan ganti baju dulu dan membayar nih gaun ke kasir. Kita juga tidak perlu membeli alas kaki baru."

Sontak Vania berhenti menyeretku dan Jonathan. Dia membalikkan badannya dan menatapku dengan heran. Tak hanya Vania, Jonathan juga menatapku dengan heran.

"Oke deh, tetapi kenapa tidak perlu membeli alas kaki baru? 'Kan bagus kalau cocok atau bisa serasi sama gaunmu?" tanya Vania heran.

"Tidak usah lah, aku punya sepatu yang senada sama nih gaun kok," balasku berusaha membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membeli alas kaki baru untukku. Jujur saja, sebenarnya aku tidak punya satu pun sepatu merah. Namun, aku bisa membelinya nanti.

Jonathan berdeham dan menanggapi balasan dariku. "Oke deh~"

Vania membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia terhenti dan tidak jadi mengatakannya. Aku dapat melihat dirinya yang merasa ada yang janggal dari matanya.

"Aku pergi ganti baju dulu, ya~" pamitku lalu membalikkan badanku dan melangkah meninggalkan mereka.

Setelah berganti baju, aku keluar dari ruang ganti dan melangkah menuju tempat mereka menunggu. Kuhentikan langkahku saat mendengar mereka mengomongkan diriku.

"Jonathan, aku heran, apa dia tidak benar-benar menganggap kita sebagai sahabatnya? Padahal sudah 2 tahun kita bersahabat, dia masih membangun tembok di antara kita."

"Dia pasti punya alasannya tersendiri. Cobalah untuk mengerti dengannya."

Aku mengepalkan tanganku. Aku mengerti kenapa mereka mulai meragukanku sebagai sahabatnya. Ini salahku karena tidak mau terbuka dengan mereka, tetapi aku tidak menyesalinya.

Aku menghampiri mereka. "Vania, Jonathan, maaf membuat kalian menunggu lama~"

Mereka berdua kembali ceria seperti semula seolah-olah perbincangan kelam tadi tidak pernah terjadi. Kami pun pergi ke arcade dan bermain bersama-sama dengan gembira. Kuharap apa pun yang terjadi, kegembiraan ini tidak akan berakhir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status