Bel pulangan berdering, menggema ke seisi ruangan kelas. Semua murid berdiri dari kursinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang baru saja mengajari mereka. Kelas yang tadinya hanya diisi dengan suara guru, kini kelas bising dengan suara siswa dan siswi yang kelelahan.
"Sumpah, tadi pak Mulyadi seram banget pas nunjuk aku buat kerjakan pertanyaannya di papan tulis," gerutu seseorang yang suaranya terdengar sangat dekat denganku.
Sontak aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Jonathan berdiri di belakangku. Dia memegangi punggung kursiku dan membungkukkan badannya sehingga wajah kami berdekatan. Aku jadi salah tingkah dan menarik badanku menjauh darinya.
Sekilas kulihat dia tersenyum kepadaku sebelum menjauhkan wajahnya dariku dan melanjutkan keluh kesahnya. "Padahal aku duduk hampir di paling belakang, bisa-bisanya dia melihatku dan menunjukku!"
Vania menertawai Jonathan dan mengejeknya. "Kamu lagi apes kali. Aku sama Freya aja tidak ditunjuk, padahal kami duduk tepat di depannya."
Tanpa aba-aba, Jonathan menjitak jidat Vania dengan cukup keras hingga membuat kepala gadis yang duduk di samping kiriku tertunduk. Kelihatannya perang dunia ketiga akan segera dimulai.
Aku langsung berdiri dari kursiku. "Selamat bertengkar~ Aku akan pulang duluan."
Aku melangkah menuju pintu yang terbuka lebar di sisi kanan ruangan ini. Kudengar suara teriakan Vania dan Jonathan mengikuti langkah kakiku. Kedua orang yang selalu penuh energi itu langsung mengejarku dan berjalan berdampingan dariku.
Kami keluar dari kelas dan menuruni tangga. Selama berjalan menuju gerbang sekolah, aku terjebak dengan pertengkaran konyol mereka. Entah kenapa aku merasa seperti seorang single mom yang mengurus dua anak bermasalah.
"Ah, mama sudah menjemputku! Bye, Freya, Jonathan!" pamit Vania yang berlari mundur sambil melambaikan tangannya kepada kami.
Aku pun jadi berduaan dengan Jonathan, menunggu jemputan masing-masing. Rasanya tenteram tanpa kehadiran Vania yang selalu membuat keributan dengan Jonathan. Akhirnya aku bisa mengisi energiku dengan tenang.
Kami tidak mengatakan apa-apa selama menunggu jemputan masing-masing. Aku memandang lurus ke depan, memperhatikan setiap motor dan mobil yang berlalu lalang di jalanan. Kulihat sebuah motor yang familier bergerak menghampiri kami.
Aku menoleh ke arah Jonathan. "Aku sudah dijemput. Duluan, ya~"
"Oke, sampai jumpa di mall, Freya~" balas Jonathan sambil melambaikan tangannya kepadaku yang melangkah meninggalkannya.
.
.
.
Aku berdiri di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi ke langit. Kukeluarkan telepon pintarku dari dalam ransel kecilku dan mengecek jam. Jam menunjukkan pukul 15.44. Aku datang 16 menit lebih awal.
Aku bersandar pada pilar dan memainkan telepon pintarku selagi menunggu dua orang yang masih belum datang. Waktu berlalu dengan cepat saat aku bermain game. Akhirnya kedua orang yang ditunggu-tunggu datang juga.
"Freya! Jonathan! Ayo kita ke toko baju!" ajak Vania begitu keluar dari mobilnya dan berjalan mendahului kami berdua.
Tanpa aba-aba, Jonathan menarik baju Vania ke belakang. "Eits~ Nanti saja! Kita beli minum dulu! Aku haus!"
Vania sempat berdecih, tetapi dia tetap menuruti kemauan Jonathan. Kami bertiga pun melangkah memasuki gedung mall. Kami disambut oleh ramainya isi pusat perbelanjaan yang dipenuhi oleh pengunjung.
Jonathan membelikan aku dan Vania minuman sebagai ganti sudah membantunya mengerjakan PR Matematikanya. Kulirik ke arah Jonathan yang menatap isi dompetnya yang sedikit menipis.
Tiba-tiba pandangan kami bertemu dan dia tersenyum. "Kupikir yang kamu bilang di sekolah itu bercanda; ternyata kamu serius membeli yang paling mahal, ya ...."
Aku tertawa lepas. "Tentu saja aku serius waktu mengatakannya. Memangnya kamu pernah mendengarku bercanda?"
Jonathan terdiam mendengar balasan dariku. Dia terlihat seperti sedang berpikir keras di dalam kepalanya. Setelah berhasil memikirkan jawaban untuk menjawab pertanyaanku, dia menjentikkan jarinya.
"Kamu pernah! Hanya saja, membedakan kamu bercanda atau tidak tuh lebih susah daripada mengerjakan tugas Matematika atau IPA ...," jawab Jonathan yang diikuti dengan anggukan kepala Vania.
Aku tertawa kecil menanggapi jawaban darinya dan melihat Vania yang setuju dengannya. 'Memangnya apa yang membuat mereka sulit membedakan apakah aku bercanda atau tidak? Masa sih saat aku bercanda, wajahku atau suaraku terdengar serius?'
"Karena kita sudah beli minum, ayo kita ke toko baju sekarang! Shopping time!" ajak Vania memecahkan keheningan sesaat ini. Dia menarik tangan kami berdua untuk mengikutinya.
Sesampainya di toko baju, mereka dengan kompak memaksaku untuk mencoba hampir semua baju yang dipajang. Aku sampai kewalahan dibuat mereka. Rasanya seperti menjadi barbie yang dulu sering kumainkan saat masih kecil.
Aku berdiri di hadapan Vania dan Jonathan. Mereka dengan serius menatapku dari atas ke bawah tanpa mengatakan apa-apa. 'Oh, cepatlah berkomentar dan akhiri permainan berpakaian ini.'
Mereka saling bertatapan lalu berkata secara berbarengan, "Cocok banget untukmu!"
"Sekarang ayo kita cari sandal atau sepatu yang cocok untuk gaun itu!" lanjut Vania sambil menarik tangan kami berdua lagi.
Aku langsung menghentikan langkahku saat mendengarnya mengajak kami untuk membeli SANDAL atau sepatu untukku. "Tunggu, aku akan ganti baju dulu dan membayar nih gaun ke kasir. Kita juga tidak perlu membeli alas kaki baru."
Sontak Vania berhenti menyeretku dan Jonathan. Dia membalikkan badannya dan menatapku dengan heran. Tak hanya Vania, Jonathan juga menatapku dengan heran.
"Oke deh, tetapi kenapa tidak perlu membeli alas kaki baru? 'Kan bagus kalau cocok atau bisa serasi sama gaunmu?" tanya Vania heran.
"Tidak usah lah, aku punya sepatu yang senada sama nih gaun kok," balasku berusaha membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membeli alas kaki baru untukku. Jujur saja, sebenarnya aku tidak punya satu pun sepatu merah. Namun, aku bisa membelinya nanti.
Jonathan berdeham dan menanggapi balasan dariku. "Oke deh~"
Vania membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia terhenti dan tidak jadi mengatakannya. Aku dapat melihat dirinya yang merasa ada yang janggal dari matanya.
"Aku pergi ganti baju dulu, ya~" pamitku lalu membalikkan badanku dan melangkah meninggalkan mereka.
Setelah berganti baju, aku keluar dari ruang ganti dan melangkah menuju tempat mereka menunggu. Kuhentikan langkahku saat mendengar mereka mengomongkan diriku.
"Jonathan, aku heran, apa dia tidak benar-benar menganggap kita sebagai sahabatnya? Padahal sudah 2 tahun kita bersahabat, dia masih membangun tembok di antara kita."
"Dia pasti punya alasannya tersendiri. Cobalah untuk mengerti dengannya."
Aku mengepalkan tanganku. Aku mengerti kenapa mereka mulai meragukanku sebagai sahabatnya. Ini salahku karena tidak mau terbuka dengan mereka, tetapi aku tidak menyesalinya.
Aku menghampiri mereka. "Vania, Jonathan, maaf membuat kalian menunggu lama~"
Mereka berdua kembali ceria seperti semula seolah-olah perbincangan kelam tadi tidak pernah terjadi. Kami pun pergi ke arcade dan bermain bersama-sama dengan gembira. Kuharap apa pun yang terjadi, kegembiraan ini tidak akan berakhir.
Kulangkahkan kakiku melalui lorong yang menghubungkan banyak kelas. Kulihat dekorasi warna-warni yang menghiasi semua kelas dengan tema yang berbeda-beda. Murid-murid mengenakan pakaian bebas, berlalu-lalang mengunjungi stand bazaar kelas lain.Kudengar seseorang memanggil namaku dengan suara nyaring. Kulihat sebuah tangan melambai-lambai di depan sana. Aku tidak dapat melihat wajahnya karena dia tenggelam di antara siswa-siswi yang lebih tinggi daripada dia. Namun, aku tahu siapa yang memanggilku dari suaranya.Kuhampiri dia dan menyapanya. "Vania~ Selamat pagi~""Selamat pagi, Freya!" sahutnya sambil tersenyum lebar."Tumben kamu datang lebih cepat dariku," ujarku sambil melihat jam pada layar telepon pintarku yang menunjukkan pukul 07.11."Tentu saja aku harus datang cepat! Aku 'kan harus mendandani kamu untuk lomba fashion show mu!" balasnya sambil menyibakkan rambutnya yang bertengger pada bahunya ke belakang.Tanpa aba-aba, dia menarik
Semua orang berebutan ingin melihat jari kakiku yang 'unik'. Sesudah melihatnya, mereka langsung menatapku dengan jijik atau takut lalu saling berbisik kepada satu dengan yang lainnya.Aku berusaha menggerakkan tubuhku yang mematung saking syoknya. Aku ingin kabur dari sini. Masa bodoh dengan lomba fashion show, lebih baik aku segera menghilang dari hadapan mereka. Kubalikkan badanku dan melangkah menuju balik panggung dengan cepat.Akan tetapi, aku tersandung di permukaan yang datar ini karena sangat panik. Aku ambruk di atas panggung yang dilapisi oleh karpet berwarna biru tua. Suara bisikan orang-orang yang menontonku semakin terdengar jelas di telingaku."Ternyata si Freya cacat, ya.""Ini pertama kalinya aku melihat orang berjari 11."Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Aku ingin keluar dari sini secepatnya. Namun, kedua kaki dan tanganku mengkhianatiku. Mereka sama sekali tidak dapat kugerakkan. Rasanya ada lem yang membuat lengan dan lutut
Rambutku semakin ditarik oleh Celestine. Rasanya rambutku akan tercabut sampai ke akar-akarnya. Aku tak kalah menarik rambut Celestine hingga membuatnya menjerit kesakitan. "Dasar cewek gila!" umpatnya kepadaku. "Guys, jangan nonton saja! Tolong aku melepaskan cewek gila ini!" Dia berteriak meminta tolong kepada anggota gengnya. Empat siswi yang tadi hanya menonton dan merekam aksi jambak-jambakkan kami mulai membantu Celestine. Mereka memisahkan aku dari pemimpin geng mereka. Aku didorong hingga terjungkal ke belakang. Punggungku menabrak kaki meja yang keras di belakangku. Aku merintih dan memegangi punggungku yang sakit. Kulihat di lantai ada bayangan besar bergerak mendekatiku. Aku mengangkat wajahku dan mendapati Celestine beserta kawan-kawannya berdiri di depanku bagaikan tembok yang sulit ditembus. Celestine berjongkok di depanku dan menyisir rambutnya yang berantakan ke belakang dengan jarinya. Celestine mengangkat tangan kanannya dan
Vania dan Jonathan masih tidak meresponsku. Mereka hanya menatapku dengan tatapan yang tidak mengenakan. Tak lama kemudian, Vania membalikkan badannya dan melangkah keluar dari ruangan ini. Melihatnya yang akan pergi meninggalkanku tanpa menolongku membuatku secara tanpa sadar berlari menghampirinya. Kedua kakiku bergerak dengan sendirinya menuju kemana Vania melangkah. Orang-orang yang menghalangi jalan langsung membukakan jalan untukku. "Tunggu, Vania ...!" panggilku dengan putus asa. Begitu aku berhasil mengejarnya, aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. Namun, dia menyibakkan tangannya dengan kasar sehingga genggamanku terlepas darinya. Harapan yang bersinar di depanku langsung lenyap saat dia melepaskan tanganku. Aku berdiri mematung di sampingnya. Tanganku yang disibakkan olehnya membeku di udara. Saat aku melihat tatapan matanya yang menatapku, jantungku terasa seperti berhenti berdetak selama sesaat. "Vania ... aku m
Aku duduk di bangku halte dan berpura-pura tidak mendengar suara bisikan dari orang-orang yang berjalan di trotoar. Mereka pikir aku tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, padahal sebenarnya aku bisa mendengar suara mereka dengan jelas.Aku memandang dua siswi yang asik saling berbisik satu sama lain, mengomongi jari kakiku. Setelah mereka jauh sehingga aku tidak bisa mendengar suara mereka lagi, aku menurunkan pandanganku ke kedua kakiku.Aku mengepalkan tanganku dan menggigit bibir bawahku. 'Memangnya kenapa kalau aku punya 11 jari kaki? Apa itu sangat aneh sampai-sampai semua orang sibuk membahas jari kakiku?'Terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Kuangkat wajahku dan menoleh ke arah sumber bunyi. Kudapati sebuah motor berhenti tepat di depanku. Aku langsung tahu siapa orang yang mengendarai motor itu; papa.Aku pun bangkit dari bangku yang kududuki lalu menghampiri papa. Dia memberikan aku sebuah helm berwarna putih dengan c
Sinar matahari pagi menyeruak masuk menembus gorden pink. Sontak aku mengernyitkan mataku secara spontan. Silau sekali. Rasa kantukku langsung menghilang berkat sambutan yang menyilaukan dari Sang Surya.Aku merenggangkan badanku yang kaku dan lesu setelah bangun dari tidur. Terdengar bunyi 'kretek' dari tulang punggungku saat aku melakukan perenggangan badan. Rasa nyaman langsung menyebar ke sekujur tubuhku, punggungku tidak pegal lagi.Kuambil telepon pintarku yang tergeletak di atas nakas dan menyalakannya. Aku mengecek jam yang tampil pada layar benda pipih itu, jam menunjukkan pukul 06.09. Masih ada 1 jam 21 menit sebelum gerbang sekolah ditutup.Kumatikan teleponku dan bergumam, "Aku tidak mau ke sekolah ...."Aku meletakkan telepon pintarku di tempatnya semula; di atas nakas. Kutarik selimutku dan memejamkan kedua mataku, mencoba tidur lagi walaupun kedua mataku sudah sangat segar sekarang."Aku tidak mau ke sekolah ... aku takut dibuli oleh
Aku berpamitan dengan papa sebelum turun dari mobil. Dengan terpaksa aku melangkahkan kakiku memasuki gerbang sekolah. Pada akhirnya aku datang ke tempat yang tak kuinginkan untuk didatangi.Kakak laki-lakiku berjalan mendahuluiku dengan langkah cepat. Sosoknya semakin menjauh hingga menghilang di balik gedung SMA yang berhadapan dengan gedung SMP. Padahal biasanya kami berjalan berdampingan, tetapi kali ini dia meninggalkanku sehingga aku berjalan seorang diri.Saat aku menginjakkan kakiku di gedung SMP, kudapati siswa-siswi yang berlalu-lalang saling berbisik sambil melirikku dengan sinis. Aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bisikkan karena suaranya kecil. Namun, kurang lebih aku tahu apa yang mereka omongkan; pasti tentang jari kakiku.Aku melangkah menuju tangga sambil menurunkan pandanganku. Aku tidak sanggup melihat tatapan sinis dari orang lain. Tatapan mereka yang menatapku dengan merendahkan dan jijik membuat kepercayaan diriku menyusut hingga tak
Bel masukan berbunyi. Semua murid yang berada di luar berbondong-bondong memasuki kelasnya. Kulihat Vania dan Jonathan memasuki ruangan ini bersama-sama dan duduk di kursinya masing-masing.Sebelum Vania duduk di kursinya, dia berdiri di tempat kosong yang berada di sisi kanan mejanya, yang tak lain adalah tempatku duduk sebelumnya. Dia terlihat bengong karena teman sebangkunya menghilang berserta dengan meja kursinya.Saat dia mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan, mata kami saling bertemu. Tampak jelas keterkejutan di dalam mata hitamnya. Sedetik kemudian, pandangan terkejut itu berubah menjadi pandangan kecewa.Kurasakan hatiku seperti ditusuk jarum saat melihat tatapannya yang seperti dikhianati oleh orang terpercayanya. Aku pun bangkit dari kursiku dan hendak menghampirinya untuk menjelaskan kenapa aku pindah ke sini, tetapi rencanaku hanya menjadi wacana."Berdiri," ucap seseorang sehingga semua siswa dan siswi yang tadinya duduk langsung ba